Al-Qur’an dan Orientalisme

Pendahuluan

Kajian Islam (Islamic studies)  terkait dengan semangat orang-orang Barat dalam mengkaji Timur (orient). Kegiatan pengkajian ini telah berlangsung lama, terutama ketika Barat bersentuhan dengan Islam di Andalusia (Spanyol). Namun kajian Islam dan ketimuran yang kemudian dinamakan orientalisme  baru dimulai sekitar abad ke-18. Saat ini cukup banyak buku yang mengkaji tentang proyek orientalisme, misalnya karya Edward W. Said.

Ia adalah pengritik yang gigih terhadap orientalisme. Kegigihannya dibuktikan dengan mengkaji berbagai karya para orientalis yang hasilnya kemudian menjadi buku Orientalisme. Buku itu telah berhasil membongkar orientalisme secara mendasar. Namun, kehadiran buku itu, kata Amien Rais suatu kali, belumlah meruntuhkan sendi-sendi orientalisme secara keseluruhan.

Mengapa Barat tertarik mengkaji kebudayaan Timur dan Islam? Prosesnya cukup panjang dan kompleks. Namun, paling tidak ada dua motif secara umum. Pertama adalah motif keagamaan. Barat yang nota bene Kristen memandang Islam sejak awal kemunculannya menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah banyak mengoreksi agama itu. Karena itulah Barat selalu ingin bagaimana melawan ancaman Islam.

Kedua lebih kepada motif politik. Islam dalam pandangan Barat adalah peradaban yang tersebar dan membebaskan dunia dengan begitu cepat. Tak ada kebudayaan yang dengan cepat dapat tersebar secepat Islam. Barat yang baru bangkit dari zaman kegelapan sadar bahwa Islam tidak sekedar istana dan militer, namun Islam memiliki khazanah dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Oleh karena itu Barat harus merebut khazanah itu untuk kemajuan mereka, walaupun dengan cara apapun. Motif politik  ini kemudian berkembang ke motif perdagangan dengan jalan kolonialisme.[1]

Selaian dua motif tersebut, mereka pun memasuki bidang kajian ilmiah. Kajian yang dilakukan para orientalis beragam, namun tulisan ini hanya menyoroti hal yang berkaitan dengan kajian al-Qur’an. Kajian Al-Qur’an yang mereka lakukan banyak menyisakan persoalan. Banyak pendapat mereka yang tidak sesuai dengan pandangan para ulama, karena kebanyakan mereka mendekati Al-Qur’an sesuai dengan kacamata mereka. Hal itu dimulai dari abad-abad awal hingga abad kini.

Orang-orang Barat pada awal persentuhannya dengan Islam pada abad ke-12. Pada masa itu sudah ada yang mulai menerjemahkan Al-Qur’an. Dan hasil terjemahan mereka terus berkembang hingga zaman Renassan Barat, dan abad ke-19 dan ke-20. Kebanyakan para penerjemah adalah pendeta dan orientalis-misionaris, sehingga banyak terjemahan Al-Qur’an mereka yang keliru dan disengaja diselewengkan untuk kepentingan misi mereka. Oleh karena itu, orang Islam sendirilah yang kemudian menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Barat, Inggris di antaranya oleh Pickthall dan Abdullah Yusuf Ali yang banyak dicetak ulang. [2]

Metode Bibel atas Al-Qur’an

Di samping mereka berusaha menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa Barat mereka pun mulai mengkaji berbagai aspek Al-Qur’an. Namun para orientalis itu dalam mengkaji Al-Qur’an menggunakan pendekatan seperti terhadap Bibel, seperti dilakukan oleh Arthur Jeffery. Ia ingin mengedit Al-Qur’an secara kritis. Karena ia meragukan otentisitas Al-Qur’an yang umat Islam baca saat ini. Untuk merealisasikan gagasannya “ia mulai menghimpun berbagai variasi teks yang diperoleh dari berbagai sumber”. [3]   Apa yang dilakukan oleh Jeffery ditiru oleh beberapa sarjana di dunia Islam, seperti di Indonesia.

Mereka ingin umat Islam meniru apa yang mereka lakukan yakni membuang  tuntutan Rasulullah SAW, karena ternyata setelah mengkaji Bibel mereka  meragukan otentisitas dan lalu mencampakkan ajaran Yesus. [4]

Mengenai otentisitas Al-Quran yang perlu diingat, sebagaimana Arif katakan bahwa, pertama, pada prinsipnya Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm/ writing) tetapi merupakan “bacaan” (qira’ah/ recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Jadi sejak awal yang dimaksud “membaca” Al-Qur’an adalah “membaca dari pikiran (qara’a ‘an zhahri qalbin). Hal ini berbeda dengan kitab Bibel. Kedua, walaupun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hapalan, Al-Qur’an juga dicatat dengan berbagai media tulisan, dan ketiga, mereka salah faham tentang rasm dan qira’at. Perlu diketahui, bahwa tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan, dari gundul tanpa harakat hingga sempurna seperti sekarang ini. Meskipun ditulis, namun mereka tidak tergantung pada manuskrip atau tulisan.

Jadi orientalis seperti Jeffery menganggap bahwa teks gundul adalah penyebab perbedaan Al-Qur’an, dengan membandingkan kitab Bibel yang mengalami banyak perbedaan. Padahal membaca Al-Qur’an, kala  itu dari ingatan bukan dari tulisan.[5]

Menyebarkan keraguan atas Al-Qur’an

Sudah mafhum bagi kaum Muslim dan para pengkaji bahwa Al-Qur’an ditulis dalam bahasa Arab. Tulisan Arab sendiri mengalami perkembangan, mulai tanpa titik hingga kemudian disempurnakan seperti yang kita saksikan saat ini. Perkembangan seperti itu tidak hanya terjadi pada tulisan Arab, namun juga terjadi pada tulisan Latin atau lainnya.

Begitupun dengan tulisan Al-Qur’an. “Salinan mushaf ‘Utsmani tidak bersyakl dan bertitik. Cara yang demikian itu membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan di berbagai kota dan daerah yang mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri sesuai dengan kebiasaan dan adat istiadat masing-masing”, kata Subhi Shaleh. [6] Namun bagi kaum muslimin ketika itu untuk membaca mushaf ‘Utsmani tersebut tidak membutuhkan harakat (tanda-tanda bunyi) dan tanda titik. Baru setelah mereka bersentuhan dengan orang – orang bukan Arab banyak yang keliru membaca kata (lafadz) Al-Quran dan huruf-hurufnya. Dan bahasa-bahasa non Arab mulai menyentuh kemurnian dan keaslian bahasa Arab, maka pada tahun 65 H para pembesar pemerintahan Abdul Malik mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya perubahan pada nash-nash Al-Qur’an, jika penulisan al-Qur’an dibiarkan tanpa syakl dan titik.

Oleh karena itu mulailah ada usaha untuk menciptakan tanda-tanda tertentu agar memudahkan dalam membaca tulisan, dimulai dari yang sederhana hingga mencapai keindahannya pada abad ke-3 H, di antara tokohnya Abul Aswad ad-Duali. Ia dikenal karena dialah yang pertama kali yang meletakkan kaidah tata bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi Thalib ra. [7]

Mengenai awal tulisan Arab itulah, yang tidak ada syakl dan titik, yang dianggap oleh kebanyakan orientalis menimbulkan variasi dalam bacaan. Dengan anggapan seperti itu maka mereka mulai menebarkan keraguan di kalangan muslim atas otentisitas Al-Qur’an.

Meng-counter  tesis orientalis

Pendapat para orientalis Barat tidak dapat dibiarkan tanpa kritik. Apakah pendapat mereka cukup kokoh menghadapi kritik dari para sarjana muslim? Siapakah yang paling benar di antara kaum orientalis dan sarjana Muslim? Seperti yang dilakukan oleh Muhammad Al-Bahi  dan Prof. M Mustafa A’zami . Untuk tujuan meng-counter pendapat mereka A’zami menulis sejarah teks Al-Qur’an dan dibandingkan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ia mengatakan bahwa kaum orientalis untuk membuktikan naskah Al-Qur’an mengalami perubahan mereka mencurahkan pada aspek naskah bahasa Arab dengan menyentuh segi-segi kelemahannya. Dan perubahan itu terjadi dalam penyusunan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Mereka menuduh bahwa pada periode tersebut terjadi pemalsuan teks asli.  Padahal pada periode itu selain banyak penghapal Al-Qur’an dan mereka pun memiliki naskah tertulis. Sebenarnya anggapan mereka tentang “naskah yang tidak lengkap” tidaklah berpengaruh terhadap keutuhan Al-Qur’an. Berbeda dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang keasliannya diragukan.[8]

Jika kita perhatikan kitab PL dan PB banyak versinya. Dari banyak versi tersebut siapakah yang dapat menjamin yang mana dari semua itu yang asli, atau semuanya telah mengalami perubahan? Banyak sarjana meyakini bahwa kedua kitab itu telah mengalami perubahan dengan dukungan hasil penelitian sejarah. Namun Al-Qur’an yang dibaca kaum Muslim selama lima belas abad lalu hingga kini tidak ada yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tetap utuh.

Namun, kaum orientalis dengan segala cara ingin membuktikan bahwa Al-Qur’an mengalami perubahan. Untuk itu gagasan mereka tuangkan dalam berbagai tulisan, dan mereka seakan-akan ilmuwan yang menjunjung tinggi kejujuran dan obyektivitas. Padahal sebenarnya, seperti telah banyak diteliti oleh para sarjana Muslim, kebanyakan mereka tidak jujur dan mengada-ada. Karena itu mereka menolak pendapat yang  diyakini kaum Muslim.[9]

A’zami melihat  terdapat beberapa pintu gerbang yang digunakan kaum orientalis sebagai alat penyerang teks Al-Qur’an, yang pertama adalah menghujat tentang penulisan dan kompilasinya. Dengan semangat ini mereka mempertanyakan mengapa, jika Al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman nabi Muhammad SAW, Umar bin Khattab khawatir dengan kematian para penghapal (huffaz) pada peperangan Yamamah dan memberitahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini. Mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak disimpan oleh Nabi SAW sendiri? Mengapa pula Zaid bin Tsabit tidak memanfaatkan bahan itu untuk menyiapkan Suhuf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh kaum Muslimin, penjelasan itu oleh mereka bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.

Lalu ia mengatakan, “Mungkin karena kedangkalan ilmu, berlaga tolol (tajahul), atau pengingkaran terhadap kebijakan pendidikan kaum Muslimin merupakan permasalahan sentral yang melingkari pendirian mereka.” [10]

Pintu gerbang kedua, yakni masuknya  serangan terhadap Al-Qur’an adalah melalui perubahan besar-besaran studi keislaman menggunakan peristilahan bahasa Barat, seperti yang dilakukan oleh Schackt dalam menulis tentang hukum Islam dan Wansbrough terhadap Al-Qur’an. Dan pintu gerbang ketiga dalam menyerang Al-Qur’an, yakni tuduhan yang diulang-ulang terhadap Islam sebagai pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen.[11] Pintu gerbang terakhir adalah mereka hendak memalsukan Kitab Suci  Al-Qur’an itu sendiri, seperti yang dilakukan Arthur Jeffery mengenai ragam bentuk Al-Qur’an.[12]

Bagaimana sikap kita?

Bagi kaum Muslim sudah jelas bahwa Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang diwayukan Allah SWT melalui Jibril ra kepada nabi Muhammad SAW. Nabi yang ummy dan dikenal jujur tak mungkin mengubahnya. “Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.”(QS Al-Baqarah: 2).  Dan “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya.” (QS Al-Hijr: 9)

Kita harus mengingat bahwa kaum orientalis perilakunya hampir sama dengan kaum kafir Quraisy hanya saja mereka menggunakan kedok ilmiah. Padahal Arab Jahili itu memiliki kemampuan bahasa dan sastra Arab yang tinggi tapi mereka menolak isinya, dan tentu mereka yang kemampuan bahasa lebih lemah dari itu hanya mampu menjangkau sedikit.  Mereka dengan keras kepala menolak penjelasan para sarjana Muslim, lalu apa tujuan mereka? Sebagaimana telah banyak diungkap mereka adalah para ilmuwan-misionaris yang hendak memadamkan sinar Islam, dan bukan untuk mencari kebenaran. Mereka mempelajari Islam dan bahasanya untuk mencari kelemahan dan menanamkan keraguan di kalangan kaum Muslimin. Memang ada sebagian kecil mereka yang obyektif dalam memandang Islam.  Untuk ‘menyentuh’ al-Qur’an perlu kebersihan hati tanpa itu maka tidak akan mendapatkan apa-apa, demikian kata Rumi, (SH Nasr).

فَإِنَّمَا يَسَّرۡنَٰهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ ٱلۡمُتَّقِينَ وَتُنذِرَ بِهِۦ قَوۡمٗا لُّدّٗا

“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.” (QS Maryam 97)

Wallahu a’lam.

Depok, 13 Des 2009

lu’ay-peminat sejarah

Sumber Rujukan

Hamid Fahmi Zarkasyi, “Mengkritisi Kajian Islam Orientalis”, Islamia, Des., 2005
Tim penerjemah DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Arab Saudi, 1421 h/1989
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, GIP, Jkt, 2005
Dr. Syamsuddin Arif, “Al-Qur’an, Orientalisme, dan Luxemberg”, Al-Insan, vol.1 No.1 Jan, 2005
Dr.Subhi Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, P Firdaus, Jkt, 1999, Terj.
MM. Al-A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, GIP, Jkt. 2005, Terj. Dr. Sohirin Solihin dkk.
Dr. Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Menyingkap Tabir Orientalisme, P Al-Kautsar, Jkt 1993. Terj. AM Basalamah
S Parvez Manzoor, “Method vis a vis Truth: Orientalisme dan Studi Al-Qur’an”, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. No. 2, 2006
Abdu as-Shabur Sahin, Saat Al-Quran Butuh Pembelaan, Erlangga: 2011, Jkt. terj.

[1] Fahmi Zarkasyi, “Mengkritisi Kajian Islam Orientalis”, dalam Islamia, 2005; Perlu diingat kebanyakan negara berpenduduk Muslim adalah bekas jajahan Barat, termasuk Indonesia, dan tokoh yang berperan dalam kebijakan politik bagi kaum Muslim C Snouck Hurgronje. Ia mendorong umat giat dalam ibadah, namun umat Islam harus dijauhkan dari aktivitas politik. Baca Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,; dan PS.Von Koningspel, Islam dan Snouck Hurgronje.
[2] Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 30-32; Ghurab, Mengingkap Tabir Orientalisme, h. 56-63; juga Ziauddin Sardar, Ngaji Quran, (Jkt: Serambi), terj.
[3] Adnin Armas, Metodologi Bibel.., h. 53
[4] Syamsuddin Arif, “Al-Qur’an, Orientalisme, dan ..”, h. 14
[5] Ibid., h. 14-17; Lihat juga Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 25
[6] Subhi Shalih, Membahas.., h. 105
[7] Ibid., h. 105-7
[8] MM. A’zami, Sejarah Teks.., h. xxviii-xxix dan h. 3; Prof. Abdu as-Shabur Sahin mengatakan bahwa, kaum Muslim menolak sebuah riwayat ditinjau dari aspek sanadnya, karena atas dasar inilah kaum Muslimin untuk menerima hadits-hadits dari Rasul dan para sahabatnya. Berkaitan dengan hal ini, ada ilmu yang dikenal dengan “jarah” dan “ta’dil“. Ilmu ini untuk menolak para pemalsu dan pembohong yang menisbatkan perkataan-perkataan yang dipalsukan ke dalam Al-Quran dan hadits. Kata penulis lagi, di dunia ini tak ada ilmu yang dibangun dengan methodologi kritik seperti ini. Para ulama mengkaji denganmethodologi yang ketat dan komprehensif, baik kritik terhadap sanad maupun matan. Hal ini berbeda dengan apa yang digunakan para orientalis terhadap kitab terdahulu yang menaruh perhatian terhadap aspek matan, mulai dari Noldeke, Schawally, Bergstrasser, Bretzl dan Arthur Jefry, serta R Blachere. (Saat Al-Quran Butuh Pembelaan, h.162-3)
[9] S Parvez Manzoor, “Method vis a vis Truth: Orientalisme dan Studi Al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. No. 2, 2006, h. 45
[10] A’zami., h. 338
[11] Ibid., h. 340
[12] Ibid., h. 343
Iklan

Tentang luaydpk

on history..... "masa kini dan masa lampau akan muncul di masa depan..." ts eliot (the present and the past will appear in the future)
Pos ini dipublikasikan di Al-Quran, Islam, orientalisme dan tag , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Satu Balasan ke Al-Qur’an dan Orientalisme

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s