”Keindahan tulisan adalah kefasihan tangan dan keluwesan pikiran.” Ali bin Abi Thalib*
Kaum muslim tidak mengenal istilah ‘seni untuk seni’. Sebab, semua aktivitas muslim itu nilainya ibadah, termasuk berkesenian.
Ketika kaum muslim kekuasaannya semakin melebar, melampaui kawasan Arab, mereka bersentuhan dengan budaya lain, Persia, Romawi dan wilayah lainnya, maka wawasan seni mereka pun semakin luas. Namun demikian mereka menghindari seni pahat dan gambar makhluk hidup. Sebab, dalam pandangan mereka seni semacam itu mirip dengan para penyembah berhala.
Yang banyak mereka kembangkan adalah seni arsitektur, dekorasi, kubah dan tiang. Mereka menyerap dari kebudayaan lain tapi kemudian disesuaikan dengan nilai-nilai Islami.
Dari zaman Nabi Saw, para sahabat, Umayah dan Abasi hingga Andalusia, seni yang berkembang adalah arabesque, yang diterapkan pada arsitektur, dekorasi, kaligrafi, perencanaan kota, sastra dan lainnya. (Hasan, jl. 3)
Prinsip pertama, adalah pengingkaran atas alam yang hukumnya tentu adalah perkembangan, atau gerakan melalui tahap-tahap pertumbuhan berurutan yang berakhir pada kematangan, yang di luar cakupannya segala sesuatu tampak tidak relevan dengan proses alam yang besangkutan. Sebagaimana pandangan Islam dimulai dengan pengingkaran “tidak ada Tuhan selain Allah”, begitu juga pola-pola universal seni Islam, bahasa, pemikiran dan gaya dimulai dengan pengingkaran atas alam sebagai ukuran dan norma, sebagai perwujudan, tempat atau pembawa keagungan.
Prinsip kedua, yang menjadi dasar arabesque adalah pengulangan, dan ketiga, simetri. Alam tidak bersifat pengulangan dan simetris. Daun-daun dari pohon yang sama mungkin tampak sama, namun setiap daun berbeda dari daun-daun lainnya. Begitu juga dengan simerti. Keempat, adalah prinsip momentum atau gerakan dari pola yang diulangi ke pola selanjutnya secara ad infinitum—diciptakan. Sebagai contoh, sederetan batu-batu atau tenunan dari benang atau jerami bersifat pengulangan dan simetris, tetapi tidak mempunyai momentum.
Arabesque menata elemen-elemen atau pola-pola yang diulangi secara simetris sehingga menimbulkan gerak, menarik orang yang melihat dari satu unit dalam desain ke unit yang lain, membentangkan jalan yang, ditinjau dari sifat desain itu sendiri, tidak akan pernah sampai pada kesimpulan natural. Dalam gambaran grafis pada dinding, karpet, miniatur, atau papan –kayu atau bangunan-batu, arabesque tampak berlanjut terus melewati batas-batas natural obyek tersebut.
Kaligrafi Islam
Bangsa Arab sebagai bangsa penyair, bahasa lisan lebih utama. Yang bisa baca tulis masa itu hanya orang tertentu. Ketika wahyu al-Qur’an diturunkan kepada mereka akhirnya memaksa mereka untuk belajar membaca dan menulis. Kemampuan itu dibutuhkan untuk mendokumentasikan wahyu, yang ditulis pada berbagai media tulis.
Tuisan Arab sendiri terus berkembang dari bentuk sederhana hingga mencapai kesempurnaan dan keindahannya, seperti kita saksikan saat ini.
“Kaligrafi tulisan Arab adalah puncak seni Islam. Ia adalah seni ganda. Pertama, ia merupakan arabesque yang tampak. Ia terdiri dari garis lentur yang oleh kaligrafer bisa dibuat berombak, direntangkan, dibengkokkan, dimiringkan, dibentuk menjadi desain yang kaku, patah-patah, bersiku-siku atau kursif, dihiasi dan diberi hiasan bunga menjadi pola-pola geometris atau yang lainnya, dengan menjadikan penulisan arabesque seindah dekorasi lain yang mana pun. Kedua, kaligrafi mempunyai isi diskursif. Kata-kata yang disalin-tulis menyajikan sesuatu secara langsung pada pemikiran di samping apa yang disuguhkan pada indera. Ini biasanya berupa ayat al-Qur’an atau hadits Nabi. Menampakkan kalam Allah secara indah adalah raison d’etre dan tujuan tertinggi seni.” (Faruqi, h. 85)
Seni kaligrafi di Indonesia
Seni kaligrafi yang berkembang di Indonesia sendiri, di antaranya, pertama, kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang telah ditentukan, atau disebut juga “kaligrafi murni”. Model ini banyak digunakan pada karya naskah, baik teks al-Qur’an atau tulisan Arab -Jawi. Sedangkan yang kedua, “lukisan kaligrafi”, yang tidak mengikuti kaidah resmi kaligrafi. Yang kedua ini biasa diterapkan pada karya lukisan. (Sirajuddin ar., h. 9)
Cibinong, 24-2-2024
Sumber: Ibrahim Hasan (2013); al-Faruqi (1992); Sirajuddin Ar. (1988)
*The beauty of writing is the eloquence of the hand and the flexibility of the mind.