Soedjatmoko, There is a Javanese saying

Dr. Soedjamoko/ gr

Urip Mung Mampir Ngombe

Meaning that ‘life is a brief stop for a sip of water’

on a longer spiritual journey.

In this view, all our experiencies,

the way we go through the rites of passage,

from birth to adulthood,

marriage and parenthood,

the old age and death,

all our loves and friendships,

all our commitments,

all our compassion,

and the way we learn to deal with our failure, disappointment,

and misfortunies,

constitutes the making for human growth

on this longer spiritual journey.

Soedjatmoko, (12-14-1989)

Soedjatmoko

Lahir 10 Januari 1922 di Sawahlunto, dan meninggal di Yogyakarta 21 Desember 1989. Ia menyelesaikan ELS di Surabaya dan kemudian Hoogere Burger School (HBS) tahun 1936, dan ia masuk kedokteran pada tahun 1940 di Jakarta. Pada tahun inilah ia ikut pergerakan hingga akhirnya dipenjara oleh pemerintah kolonial Jepang. Keluar dari penjara ia mengasingkan diri di Solo dan ia banyak membaca buku-buku pemikir Barat, mistik Islam, kejawen dan berbagai agama dunia.

Soedjatmoko pernah menjabat sebagai Duta besar RI untuk Amerika Serikat (1968-1971), Penasehat Ahli Bidang Sosial Budaya pada BAPENAS di Jakarta (1971-1980), dan Rektor Universitas PBB di Tokyo sejak 1980. Memperoleh gelar Doctor Honoraris Causa dari Cedar Chrest University (Doctor of Laws, 1969) dan Yale University (Doctor of Humanities, 1970) di AS, dari University Sains di Penang (Doctor Persuratan, 1982), dan ia juga menjadi anggota Club of Roma dan anggota kehormatan American Academy of Arts and Science.

Ia adalah seorang pemikir yang memiliki perhatian pada banyak hal, mulai dari politik, agama, sastra, kebudayaan dan sebagainya.

Karya tulisnya tersebar di dalam dan di luar negeri, di antaranya: Etika Pembebasan (Jakarta: LP3ES, 1988) ; Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1990) ; Menjelajah Cakrawala: Kumpulan karya Visioner Sodjatmoko (1994), dan  ia mengedit bersama Mohammad Ali, Resink, dan Kahin buku berjudul An Introduction to Indonesian Historiography yang terbit tahun 1965. Buku itu diterjemahkan dengan judul Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995).

Buku ini kumpulan tulisan para ahli sejarah Indonesia, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam pengantarnya Soedjatmoko mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan penting dalam studi sejarah Indonesia. Hal itu terjadi disebabkan tersedianya bahan baru dan penggunaan metode penelitian baru. Lebih lanjut ia mengatakan, “Pertama, penemuan historigrafi Bugis-Makasar sebagai sumber sejarah asli yang penting. Kedua, beberapa negara baru, antara lain Uni Soviet [Rusia]  dan Jepang, telah mulai mengadakan penelitian tentang sejarah Indonesia. Di samping itu, penggunaan metode-metode ilmu pengetahuan sosial terhadap sejarah Indonesia telah menghasilkan perkembangan pendekatan interdisipliner yang ternyata sangat bermanfaat”.

Buku ini berusaha menyediakan sumber-sumber sejarah Indonesia dari berbagai jalur.

17-3-2023

Iklan
Dipublikasi di Sejarawan | Tag , , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

ernest gellner

“The strong belief that the interests of a particular nation-state are of primary importance. Also, the belief that a people who share a common language, history, and culture should constitute an independent nation, free of foreign domination.”
― Ernest Gellner

11-3-2023

“Keyakinan kuat bahwa kepentingan negara-bangsa tertentu adalah kepentingan utama. Juga, keyakinan bahwa bangsa yang memiliki bahasa, sejarah, dan budaya yang sama harus merupakan bangsa yang merdeka, bebas dari dominasi asing.”
Dipublikasi di Kata-Kata | Tag , , | Meninggalkan komentar

Putu Wijaya, dan Proses Kreatifnya

putu wijaya/ wk

Ada orang bisa berpikir cepat. Biasanya para genius.

Ada orang berpikir seumur hidup dan hasilnya tidak ada.

Orang gila malah tidak pernah berpikir, karena ia sudah tahu

bahwa itu tidak ada gunanya.”    Putu Wijaya

Lahir di Tabanan, Bali, tahun 1944, yang hidup dalam tradisi Bali, yang semula ia diharapkan ayahnya menjadi dokter, tapi ia lebih suka memilih menjadi penulis. Ia suka membaca, mulai dari karya Karl May, karya sastra terjemahan Saroyan, kisah Mahabarata dan Ramayana, komik, juga nonton film, wayang dan pertunjukan sandiwara.

Tulisan pertamanya berupa cerita pendek dimuat di harian Suluh Indonesia ketika ia masih Sekolah Menengah Pertama.  Selanjutnya ia terus menulis cerita pendek.

Sejak SMA ia sudah berkecimpung dalam dunia teater dalam Badak-nya Anton Chekov. Lalu ia menulis naskah drama dan menyutradarai sendiri. Juga ketika ia menjadi mahasiswa Fak. Hukum Univeritas Gajah Mada Yogyakarta, antara tahun 1962-1969. Ia menulis naskah drama pendek diikutkan dalam sayembara di Yogya dan ia terpilih juara dua atau tiga, ia lupa. Naskah dramanya Bila malam Bertambah Malam dan Dalam Cahaya Bulan ia tulis kembali menjadi novel. Karya pertama menang dalam sayembara IKAPI Bandung.

Ia  menulis beberapa naskah drama. Itu karena kebutuhan, untuk dimainkan grup. Tahun 1967 ia bergabung dengan Rendra. Ia katakan, dalam proses kreatifnya, terpengaruh Rendra. Ia terus berjuang menjadi penulis dan ia banyak menulis naskah drama.

Ketika Putu Wijaya tinggal di Jakarta tahun 1969 ia bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C Noer. Ia hidup dari menulis resensi pertunjukan dan esai-esai yang dimuat di koran, seperti Sinar Harapan, juga ia menulis cerita pendek dimuat di majalah sastra Horison. Kemudian tulisan-tulisannya banyak dimuat di berbagai koran di Jakarta. Ia menulis Telegram, Aduh dan Pabrik. Telegram semula ia tulis sebagai cerita pendek lalu ia kembangkan menjadi novel.

Tahun 1972-1973 ia berkesempatan tinggal dalam masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto, Jepang. Ia datang di situ pada awal musim bunga dan kemudian pergi menjelang musim gugur. Ittoen adalah suatu tempat di lereng bukit. Ketika itu anggotanya 400 orang. Mereka berpakaian hitam-hitam. Mereka generasi kedua, atau ketiga. Kepercayaan mereka, bekerja sama dengan beribadah. Bagi mereka, hidup adalah bekerja. Mereka menyatakan sebagai penganut Buddha, tetapi terpengaruh ajaran Gandhi. Rombongan dramanya “Swaraj” berkeliling menghibur orang tua dan anak-anak.

Di Ittoen semuanya diurus oleh komune. Setiap hari mereka bangun pagi, bekerja, sembahyang, makan bersama dan tidur teratur. Di situ dilarang merokok, bertanya dan harus menahan emosi, dan harus menjalankan perintah pimpinan, semua pertanyaan sudah dijawab almarhum pimpinan dan mereka tinggal melaksanakannya saja. Sewaktu-waktu mereka turun ke dusun untuk membersihkan toilet orang.

Ia pergi ke Jepang semula ingin mempelajari Kabuki. Ia bekerja di ladang sebulan, mengikuti rombongan “Swaraj” 4 bulan. Ia ikut terlibat bekerja, menyiapkan semua keperluan dan ikut main teater. Ia merasa tidak mendapatkan apa-apa. Ia perhatikan semakin lama ia melihat hipokrisi. Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu, dan mematikan emosi. Itu semua hanya ada dalam angan, atau cita-cita. Ia setiap hari menahan dorongan seksual. Di situ ia tulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug dan persiapan novel Lho.

Putu Wijaya kemudian kembali ke Indonesia. Ia malu melihat Jepang yang makmur, tapi terus bekerja. Semangat bekerja orang Jepang merasuki dirinya. Ia selesaikan naskah-naskah itu. Karya Anu mencoba menerjemahkan keburaman kata anu, yang justru menyelamatkan setiap orang Indonesia. Sebab, katanya, jika orang tidak cukup tahu tentang sesuatu, ia cukup katakan anu. Kemudian ia melihat kemiskinan bangsa ini tiba-tiba menjadi kaya sekali.

Tahun 1974-1975 ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika. Setelah selesai mengikuti program itu ia tidak langsung pulang ke Indonesia, tapi ia keliling Eropa. Ia juga ikut main di pertunjukan.

“Saya memilih hal yang kecil-kecil. Yang lucu tapi unik. Yang tak menyakiti orang lain. yang tidak diotak-atik orang lain. Kadangkala saya sengaja menampilkan yang liar untuk meneror orang supaya mau menyangsikan lagi segala sesuatu. Saya memancing dan merangsang, kadangkala menunjukkan pendapat saya secara samar, kemudian mengelak, karena bukan pendapat saya yang penting tapi pendapat orang lain itu.” Putu Wijaya, (h. 168)

gr

Kata A Teeuw, novelnya Stasiun, “ Ini juga sebuah novel pendek yang menarik, yang berhasil menyingkap kekacauan yang tak berpengharapan, tempat kita semua hidup—kekacauan dari kenyataan yang tidak nyata, dan ketidaknyataan yang nyata.” (h. 209)

——

Sumber: Pamusuk Eneste, 1982; A. Teeuw, 1989.

——

Cibinong, 7-3-2023

Dipublikasi di Tokoh | Tag , , , , , , , , , , , , , , , | Meninggalkan komentar

equality

“Mereka merasakan letih dan lapar. Beliau pun orang yang paling letih dan lapar di antara mereka. Itulah hakikat persamaan antara penguasa dan rakyat, antara orang kaya dan orang miskin, antara amir dan rakyat jelata yang ditegakkan oleh syariat Islam. Seluruh cabang syariat dan hukum Islam didasarkan kepada prinsip ini dan untuk menjamin terlaksananya hakikat ini.

Akan tetapi, janganlah Anda menamakan ini dengan istilah demokrasi dalam perilaku dan pemerintahan. Prinsip dan persamaan keadilan ini sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan demokrasi mana pun, karena sumber keadilan dan persamaan dalam Islam adalah ‘ubudiyah kepada Allah yang merupakan kewajiban seluruh manusia. Sementara itu, sumber demokrasi ialah pendapat mayoritas atau “mempertuhankan” pendapat mayoritas atas orang lain betapapun wujud dan tujuan pendapat tersebut.

Karena itu, syariat Islam tidak pernah memberikan hak istimewa kepada golongan atau orang tertentu. Juga tidak pernah memberikan kekebalan kepada kelompok tertentu betapapun motivasi dan sebabnya karena sifat ‘ubudiyah (kehambaan kepada Allah) telah meleburkan dan menghapuskan semua itu.”

Dr. MS Ramadhan al-Buti (316)

2-3-2023

“This principle and equality of justice cannot be equated with any democracy at all, because the source of justice and equality in Islam is ‘ubudiyah to Allah which is the obligation of all human beings. Meanwhile, the source of democracy is the opinion of the majority or “deifying” the opinion of the majority over other people, regardless of the form and purpose of that opinion.

Therefore, Islamic law never gives special privileges to certain groups or people.”

Dipublikasi di Kata-Kata Bijak | Tag , , , , , | Meninggalkan komentar

noam chomsky

“A language is not just words. It’s a culture, a tradition, a unification of a community, a whole history that creates what a community is. It’s all emboidied in language.” Noam Chomsky

1-3-2023

Dipublikasi di Kata-Kata | Tag , , | Meninggalkan komentar

Prof. Vincent Monteil about Ibnu Khaldun

ibnu khaldun/ wk

“Di kalanngan penulis-penulis Arab, ada beberapa orang yang disebut-sebut oleh Ibnu Khaldun, seperti misalnya musafir kelana terkenal dari Marokko, yang bernama Ibnu Batutah (1340-1377), padahal belum tentu mereka ini sudah pernah saling bertemu muka. Tetapi hal yang terpenting adalah dari seorang Andalusia, yang bernama Ibnu al-Khatib (1313-1374), yang telah menulis riwayat hidup Ibnu Khaldun, dalam bukunya ”Sejarah Granada” (Ihathah). Kedua penulis ini, sama-sama merupakan kawan baik dan dapat dibedakan yang satu dengan yang lain. Karena dua-duanya telah menjalani karier yang sama, baik dalam politik maupun kesusastraan. Yang satu di Afrika Utara dan yang lain di Spanyol.”      Vincent Monteil

22-2-2023

"From an Andalusian, named Ibn al-Khatib (1313-1374), who has written the life history of Ibn Khaldun, in his book "History of Granada" (Ihathah). These two writers are both good friends and can be distinguished from one another. Because both of them have had similar careers, both in politics and in literature. One is in North Africa and the other is in Spain.” 
Dipublikasi di Sejarawan | Tag , , , , , , , | Meninggalkan komentar

Kritik Sumitro tentang Demokrasinya ala Bung Karno

“Akhirnya kepemimpinan itu tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengeluarkan semboyan-semboyan yang paling buruk, yang meskipun pada mulanya dimaksudkan sebagai propaganda, akhirnya menjadi selubung kebusukan atau alat dari para penguasa yang hampir sekarat. Pada tahap tertentu politik sloganisme itu akan merupakan boomerang yang timbul dari ledakan frustasi yang pedih dan mimpi-mimpi yang tak terpenuhi.”

Sumitro Djoyohadikusumo, tahun 1959, tanggapan ini dicetak stensil untuk kalangan nasionalis di luar yang tak sejalan dengan Demokrasi Terpimpin. Di dalam negeri sendiri tulisan itu baru beredar setelah 1 Oktober 1965.

20-2-2023

Dipublikasi di sejarah | Tag , , , , , | Meninggalkan komentar

Dr. Maurice Bucaille

“Manusia dibentuk dari tanah, maka kita pada kenyataannya sedang belajar tentang suatu prinsip keagamaan mendasar: yakni, manusia kembali dari mana ia datang, karena dari tempat ia dikuburkan ia akan dibangkitkan sekali lagi pada Hari Pengadilan.” Dr. Maurice Bucaille

13-2-2023

"Man was formed from dust, so we are in fact learning about a fundamental religious principle: that is, man returns from whence he came, for from the place where he was buried he will be resurrected once more on Judgment Day."

وَاللّٰهُ اَنْۢبَتَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ نَبَاتًاۙ ثُمَّ يُعِيْدُكُمْ فِيْهَا وَيُخْرِجُكُمْ اِخْرَاجًا

“Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur). Kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kamu (pada hari Kiamat) dengan pasti. (QS Nuh 71: 17-18)

“ And Allah has caused you to grow from the earth a [progressive] growth. Then He will return you into it and extract you [another] extraction.” (QS 71: 17-18)

Dipublikasi di Kata-Kata Bijak | Tag , , , , , | Meninggalkan komentar

Prof. Ali Jum’ah

kmj

Nama lengkapnya Ali Muhammad Jum’ah Abdul Wahhab, yang lahir pada 3 maret 1952 di Bani Suwayf, Mesir. Syekh Ali Jum’ah mulai menghapal al-Qur’an pada umur sepuluh tahun. Ia tidak masuk sekolah agama, tapi Syekh Ali telah membaca dan mempelajari Kutubus Sittah serta mempelajari karya fiqih Imam Maliki sejak lulus sekolah menengah atas. Kemudian ia mengambil gelar BA. di Fakultas Perdagangan, Universitas Ain Syam pada tahun 1973. Setelah lulus dari perguruan tinggi itu Syekh Ali belajar di Universitas Al-Azhar. Ia menyelesaikan kesarjanaannya di Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab pada Universitas Al-Azhar pada tahun 1979.

Lalu Syekh Ali melanjutkan program master bidang Usul Fiqh pada Fakultas Syariah dan Perundang-undangan di Universitas Al-Azhar yang diselesaikan tahun 1985 dengan nilai mumtaz (cumlaude), dan gelar doktor pada Fakultas yang sama pada tahun 1988 dengan nilai summa cumlaude.

Selain belajar di universitas Syekh Ali juga belajar kepada banyak syekh dan ahli di bidang syariah. Di antaranya ia belajar kepada ahli hadits dari Maroko, yaitu Syekh Abdullah bin Siddiq al-Ghumari. Ia menganggap Syekh Ali sebagai mahasiswa yang paling berhasil. Selain itu Syekh Ali belajar kepada banyak syekh yang lainnya, yakni Syekh Abdul Fattah Abu Ghuda, Syekh Muhammad Abu Nur Zuhair, dan sebagainya.

Sebelum diangkat menjadi Mufti Agung Republik Arab Mesir Syekh Ali menjadi rujukan dalam Manahij Fiqhiyah di Universitas Al-Azhar.

Pada tahun 1990-an Syekh Ali mencetuskan kembali tradisi lama, memberi pelajaran agama di masjid al-Azhar, untuk kalangan umum bagi mereka yang ingin mendalami tentang agama. Kuliah umum ini bertempat di ruangan dekat masjid al-Azhar.

Tahun 2003 Syekh Ali diangkat sebagai Mufti Agung Mesir. Sejak menjabat sebagai Mufti Agung Syekh Ali menjadikan Daul Ifta’ sebagai sebuah institusi modern dengan dewan fatwa dan system checks dan balances. Juga Syekh Ali mengembangkan sarana berbasis teknologi informasi untuk institusi tersebut dengan mengembangkan sebuah wesite canggih dan call center yang membuat orang semakin mudah untuk meminta fatwa tanpa harus datang ke lembaga tersebut. Syekh Ali juga menjabat sebagai anggota Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (2004-2013); Majma’al-Fiqh di Mu’tamar ’Alam Islami di Jeddah; Guru besar Ushul Fiqh Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab, Cabang putra, Universitas al-Azhar, dan anggota Mu’tamar Fiqh Islam di India.

Di samping itu, Syekh Ali Jum’ah adalah penulis produktif yang berkaitan dengan isu-isu keislaman, dan ia menulis kolom mingguan di surat kabar al-Ahram Mesir dengan bahasan masalah kontemporer.

Karya-karya tulisnya antara lain: al-Musthalah al-Ushuli wa at-Tathbiq ‘ala Ta’rif, al-Hukmu syariyu ‘indal Ushuliyyin, al-‘Alaqah Ushul Fiqh bil Falsafah, al-Imam Bukharii, al-Imam Syafi’I, dan al-Mutasyaddidun manhajuhum wa Munaqaasatuhu ahammi Qadaayaahum yang diterjemahkan menjadi Menjawab Dakwah Kaum Salafi.

Dalam buku ini Syekh Ali Jum’ah memulai bahasannya mengenai istilah as-salafiah atau as-salaf, yang secara etimologi mengandung banyak makna. Namun semua makna bermuara kepada sebuah arti yang berkaitan dengan masa atau waktu. Setiap masa dapat dikatakan sebagai salaf jika dilihat dalam konteks masa-masa setelahnya. Orang yang dikatakan salaf juga dapat disebut khalaf, jika dilihat dari konteks masa-masa yang telah berlalu sebelumnya.

Secara terminologis, atau istilah, maksud kata as-salaf adalah tiga generasi pertama setelah Nabi Muhammad Saw, atau tiga generasi pertama dari umat ini. Sebagaimana ditegaskan secara langsung oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (taabi’in), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (taabi’ut taabi’in), kemudian setelah mereka akan datang suatu kaum kesaksian mereka mendahului sumpah meraka, dan sumpah mereka mendahului kesaksian mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)

Istilah as-salafiah pada dasarnya mengandung arti yang baik, namun belakangan disalahpahami, dan bahkan cenderung ‘dirampas’ oleh orang-orang yang mencoba menisbatkan diri mereka ke dalam tiga golongan di atas. Sebagian mereka bahkan mengklaim secara terang-terangan sebagai satu-satunya pewaris salaf, dan tidak ada salafi kecuali mereka.

Namun ironisnya, ketika ditelusuri lebih jauh pemahaman mereka mengenai istilah as-salafiah, ternyata bahwa istilah ini dalam pemahaman mereka terbatas pada permasalahan tertentu, dan berkaitan masalah-masalah cabang yang masih diperdebatkan. Mereka berpendapat bahwa tidak terlibat di dalamnya kecuali sebagian kecil saja dari umat ini. Menurut mayoritas ulama dan pendakwah mereka, orang-orang yang berbeda pandangan dengan mereka dalam masalah-masalah furu’iah (cabang, yang tidak prinsip) tersebut adalah sebagai ahlu bid’ah, sekalipun orang itu telah banyak berjuang untuk agama ini.

Istilah as-salafiah dalam perfektif sejarah modern

Itilah as-salafiah pertama kali muncul di Mesir ketika negara itu dalam cengkeraman kolonial Inggris. Ketika itu menjamur berbagai gerakan yang mengumandangkan semangat reformasi agama. Tokoh gerakan ini yang terkenal di antaranya Jamaluddin al-Afghani, dan muridnya, Muhammad Abduh. Bersamaan dengan munculnya gerakan itu istilah as-salafiah semakin popular didengungkan. Semua itu tidak lepas dari kondisi keagamaan dan ritual yang dijalankan masyarakat Mesir saat itu.

Pada masa itu, berbagai bentu ritual bid’ah dan khurafat sedang berkembang pesat di seluruh wilayah Mesir. Seperti ajaran tasawuf yang tercemar semakin memicu berseraknya ritual aneh dan bahkan ‘gila’ di tengah masyarakat. Mengahadapi realitas itu masyarakat Mesir terpecah menjadi dua kelompok.

Pertama, yang berpendapat, hendaknya masyarakat Mesir mengikuti peradaban Barat, melepaskan segala ikatan dan peraturan, dan bahkan pemikiran Islam. Kedua, yang berpendapat, memperbaiki keadaan kaum muslimin dengan cara mengembalikan mereka kepada ajaran Islam yang benar, bersih dari khurafat, bid’ah dan anggapan-anggapan yang keliru. Selain itu, juga dengan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam sehingga relevan dengan roda kehidupan masa kini. Kelompok terakhir ini juga mencoba membuka diri dengan peradaban asing selama tudak bertentangan dengan Islam.

Syekh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh sebagai garda terdepan dari kelompok kedua. Kelompok yang juga membumikan istilah as-salafiah yang saat itu dimaksudkan untuk mengajak kaum muslimin meninggalkan segalam macam ritual keliru yang membuat keruh kesucian Islam, baik itu bid’ah ataupun khurafat. Mereka optimis kaum muslimin dapat kembali kepada pemahaman Islam seperti di masa salaf, agar kemudian diteladani dan ditiru.

Tujuan dari pemilihan istilah as-salafiah adalah untuk membangkitkan kebencian masyarakat terhadap semua bentuk kekeliruan yang berkembang saat itu. Keinginan itu dilakukan dengan cara membandingkan realitas kehidupan kaum muslimin pada masa awal yang penuh kegemilangan dan kemajuan dengan realitas yang dialami mereka pada saat kini, yang penuh kesuraman. Setelah itu, mereka menjadikan hubungan Islam dengan masa salaf sebagai ukuran dari setiap kebahagiaan, kemajuan dan kebaikan.

Di tengah perjuangan itu, mulai muncul aliran Wahabi, yang dihubungkan dengan tokoh Muhammad bin Abdul Wahab dari Nejd (Arab) dan sebagian daerah semenanjung Arab. Memang tidak dapat dipungkiri, ada hubungan antara munculnya aliran ini dengan dakwah pembaruan agama di Mesir. Hal itu terlihat dalam kenyataan mereka dalam memerangi bid’ah, khurafat dan tahayul. Oleh karena itu penggunaan istilah salaf dan as-salafiah menjadi laris di kalangan elit aliran Wahabi. Tdiak lama kemudian istilah as-salafiah mulai dilekatkan kepada kaum Wahabi, atau mereka yang berfaham wahabiyah. Dikatakan, bahwa pengalihan itu sebagai strategi untuk membuat opini bahwa aliran Wahabi tidaklah hanya berhenti pada tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, tapi menanjak naik sampai ke salaf. Selain tujuan itu, agar masyarakat yakin bahwa aliran yang mereka bangun adalah amanah, untuk menyebarkan aqidah, pemikiran dan metode salaf, baik dalam memahami Islam maupun mengamalkannya.

Awalnya kata as-salafiah digunakan sebagai ciri gerakan reformasi Islam agar mudah diterima masyarakat, tetapi kemudian digunakan oleh kelompok yang menaggap diri mereka paling benar.  

Dengan menyandang nama salafi mereka mengklaim bahwa hanya merekalah yang paling amanah dalam menyampaikan aqidah salaf, dan hanya merekalah sebagai refresentasi dari manhaj salaf dalam memahami dan menerapkan ajaran Islam.

Hakikat mengikuti salaf menurut ulama

Sesungguhnya mengikuti salaf tidak hanya sebatas makna sederhana kata salaf atau sebagian sikap mereka. Karena kalangan salaf tidak menuntut semua itu. Tetapi mengikuti salaf secara benar adalah dengan cara kembali merujuk semua yang menjadi pedoman mereka dalam merumuskan hukum. Dimulai dari kaidah-kaidah dalam penafsiran al-Qur’an, Sunnah, kaidah dalam ijtihad dan dasar-dasar hukum agama lainnya. Kaum muslim di setiap masa wajib kembali kepada semua itu, tak terkecuali salaf, tapi juga khalaf.

Kalangan salaf sendiri tidak pernah menjadikan makna as-salafiah secara khusus sebagai identitas kelompok atau pemikiran tertentu untuk membedakan mereka dari kaum muslimin yang lain.

Begitupun dalam masalah cabang agama (furu’iyah) kalangan salaf tidak berada dalam satu pemahaman yang sama. Mereka berbeda pendapat dalam banyak masalah furu’ hingga bermuara pada hukum yang bersifat perbuatan maupun masalah aqidah yang bersifat cabang. Dampaknya masih kita temui sampai sekarang dalam perselisihan anarmazhab.

Tipe kaum ekstrim kontemporer (salafi-Wahabi)

Dikatakan, banyak terdapat kesalahanpada pendapat, paradigm, perilaku, sikap dan rumusan hukum mayoritas mereka yang menamakan diri salafi itu. Beberapa unsur yang disebutkan di atas harus menjadi catatan bagi mereka yang ingin melihat aliran ini secara objektif.

Pada waktu yang sama, mereka juga membangun pemikiran yang kontadiktif. Pemikiran itu tercermin dalam beberapa hal.

1. bahwa semua negara di dunia ini membenci Islam. Mereka semua selaalu menyatakan perang untuk menghabisi Islam.

2. mewajibkan perlawanan terhadap asing hingga kita benar-benar bisa membalas dendam atas penderitaan yang dialami negara-negara Islam di berbagai wilayah, dengan diwujudkan membunuh orang-orang kafir dan membunuh orang-orang murtad dan fasik.

3. pemikiran mereka dimaksudkan sebagai pola piker yang sekedar mudah diterapkan.

Doktrin mereka menjadi beban yang sangat berat bagi kemajuan kaum muslimin baik dalam soal reformasi dakwah dan agama maupun pengembangan lain yang dibutuhkan dunia Islam. Fanatisme yang mereka kembangkan mudah menjadi embrio bagi maraknya pemikiran ekstrim (keras). Adalah kewajiban kita semua untuk melawan pemikiran tersebut. Sebab, gejala itu tidak hanya membahayakan kelompok mereka, generasi umat, masyarakat, tapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya.

Mereka menentang segala pembaruan (tajdid) di dalam agama, sebab setaip yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah sesat. Dalam membahas masalah mereka enggan menganalisa kandungan inti permasalahan. Mereka hanya mengamati kulit luarnya saja.

Dalam ilmu fiqh mereka hanya melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihad sendiri. Dalam aqidah mereka bertaqlid kepada para pemimpin mereka. Mereka muliakan orang yang sebetulnya belum layak dianggap sebagai ulama. Pada waktu yang sama, justru mereka mediskriditkan para ulama, yang bertentangan dengan mereka.   

Kita dituntut untuk melawan pemikiran dan pemahaman tersebut. Dengan cara kembali ke paham Ahlu Sunnah wal jama’ah.  Kedudukan Ahlu Sunnah wal jama’ah dalam mazhab-mazhab aqidah seperti halnya kedudukan Islam di antara agama-agama lainnya. Dalam bidang aqidah mengikuti paham Asy’ariyah yang banyak diikuti kaum muslimin, dan dalam bidang fiqh mengikuti mazhab arba’ah (Imam mazhab empat), juga tidak mengingkari adanya ijtihad individu dan golongan. Manhaj moderat berusaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan utama (maqasidul ‘ulya), yakni perlindungan terhadap jiwa, akal, agama, kehormatan dan harta.  Dalam bidang akhlak, al-Azhar, mengajarkan beberapa aliran tasawuf yang memberikan pendidikan kepada manusia untuk selalu membersihkan dirinya dari penyakit hati, seperti sombong, keras kepala, dengki dan lainnya.

Ada 17 masalah yang dibahas Syekh Ali Jum’ah dalam bukunya itu. Cukup dalam tulisan ini ambil satu tentang bid’ah. Mereka meluaskan pemahaman tentang bid’ah sehingga mereka mengklaim adat istiadat maupun tradisi yang dilakukan kaum muslimin sebagai bid’ah dan sesat.

Dan setiap yang bid’ah itu sesat.” (HR Muslim)

Imam Syafi’i berkata, “Perkara-perkara yang baru itu ada dua macam. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar sahabat atau ijma’. Perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang mengandung kebaikan, dan tidak bertentangan dengan salah satu di atas. Maka perkara baru semacam ini tidaklah tercela.”

Imam al-Ghazali berkata, “Tidaklah semua perbuatan yang baru itu dilarang. Akan tetapi, yang dilarang adalah bid’ah yang bertentangan dengan Sunnah yang telah kokoh, serta menghilangkan perintah agama.”

Ibnu Rajab mengatakan, “Yang dimaksud bid’ah adalah melakukan sesuatu yang dasar pembolehannya tidak ada sama sekali dalam syariat.” Sedang Imam Izuddin membagi bid’ah menjadi: waajibah, muharramah, manduubah, dan mubaahah…”

Ulama memiliki dua pandangan mengenai bid’ah. Pertama, pandangan secara umum, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Rajab dan ulama lainnya yang sependapat dengannya. Yakni, segala perbuatan yang bisa mengakibatkan pelakunya mendapat pahala, dan ada tuntutan syariat untuk melakukannya (meski secara umum) maka itu tidak dinamakan bid’ah secara syar’i, sekalipun ia termasuk dalam kategori bid’ah secara bahasa. Kedua, pandangan yang lebih rinci, seperti dikemukakan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam.

Di antara masalah manhaj terpenting yang digulirkan kalangan kaum yang keras dan kaku itu adalah berdakwah tanpa persiapan, dan mencampuradukan antara ceramah agama dan ilmu agama. Mereka menggunakan majelis ceramah agama sebagai panggung fatwa sehingga menyebabkan kebodohan merajalela dan kaum muslimin terpecah-pecah. “Apakah benar ulama telah berkurang sehingga kebodohan meruyak di mana-mana? Apakah benar sudah dekat kabar yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw ?”

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Ia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Sehingga ketika Allah ta’ala tidak menyisakan seorang alim pun, orang-orang akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. (Apabila) para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka akan berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari dan Muslim)

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ

Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS az-Zumar: 9)

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

“Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadilah: 11)

Ibnu Abbas berkata, “Para ulama lebih tinggi 700 derajat di atas orang-orang beriman lainnya. Antara satu derajat dengan derajat yang lainnya seluas perjalanan 500 tahun.”

—————–

Sumber: Prof. Ali Jum’ah, (2020).

11-2-2023

Dipublikasi di hukum Islam | Tag , , , , , , , | Meninggalkan komentar

komunikasi politik

“Barangsiapa yang ingin mereformasi undang-undang politik, ia mesti bergaul dengan para politikus, mengenal peraturan politik, mendengarkan pidato, membacakan program partai, kemudian mengenal bidang yang mereka geluti, peradaban yang mereka serap, dan orientasi yang mereka tuju. Semua itu untuk mengetahui bagaimana cara berkomunikasi yang efektif dengan mereka dan bagaimana cara menjalankan agenda reformasi bersama mereka tanpa mengundang kebencian hati dan penolakan emosional yang menimbulkan permusuhan.”

Dr. Musthafa as-Siba’i

10-2-2023

“Whoever wants to reform political laws, he must associate with politicians… All of this is to know how to communicate effectively with them and how to carry out their reform agenda with them without inviting the hatred and emotional rejection that lead to hostility.”

Dipublikasi di Kata-Kata | Tag , , , , | Meninggalkan komentar