Peran Perempuan dalam Islam

Benarkah Busana Muslimah Harus Warna Hitam? - Dakwah.ID

dak

 

Bagaimana Islam memandang peran perempuan? Untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini tentu kita perlu menengok bagaimana perempuan pra-Islam, sebagai perbandingan lalu pada ajaran Islam itu sendiri sebagai parameter untuk menimbang secara tepat.

Pada zaman Jahiliyah perempuan sangat rendah derajatnya. Bahkan pada sebagian kabilah jika seseorang mendapat anaknya perempuan ia sangat malu dan anaknya itu akan dikubur hidup-hidup. Praktek semacam itu telah berlangsung lama pada zaman Jahiliah di wilayah Arab.

Dalam catatan sejarah praktek biadab semacam itu bukan hanya dilakukan bangsa Arab, namun bangsa-bangsa lain pun melakukannya, hanya saja dalam bentuk dan tujuan yang berbeda. Pada bangsa-bangsa selain Arab seperti Yunani, India, Romawi dll kedudukan perempuan sangat rendah.[1]

Ketika derajat perempuan demikian rendah pada awal abad ke 7 M muncullah nabi Muhammad saw  dengan membawa panji Islam. Perempuan yang semula pada masa Jahiliah derajatnya rendah oleh Islam diangkat, bahkan setara dengan laki-laki (dalam beberapa hal). Hal ini sebagai penghargaan Islam terhadap perempuan, yang juga manusia. Sejarah mencatat bagaimana peran perempuan mengungkir prestasi, dari Aisyah ra, Rabiah, dan seterusnya.[2]

Segi kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, sebagai mana dalam Al-Qur’an : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari diri yang satu.. “ (QS An-Nisa: 1). Kewajiban mencari ilmu juga tidak ada perbedaan. “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah)”, (HR At-Thabrani melalui Ibnu Mas’ud)

Dalam ayat ini Allah menyeru manusia untuk bertaqwa kepada-Nya yang telah menciptakannya. Manusia yang telah diciptakan-Nya baik laki-laki maupun perempuan. Dari sisi kemanusiaan antara keduanya mempunyai kesamaan, namun berkaitan dengan kualitas taqwa bergantung pada usaha masing-masing.

Dengan melihat teks Al-Qur’an dan Hadits di atas dan berbagai catatan sejarah maka kita dapat meyakini bahwa kewajiban menuntut ilmu bukan hanya bagi laki-laki, namun perempuan mempunyai kewajiban yang sama. Jika tugas laki-laki menjadi kepala keluarga ia harus memiliki ilmu dan begitu pun bagi perempuan. Jika ia bertugas menjadi ibu rumah tangga maka ia pun harus memiliki ilmu atau pengetahuan bagaimana mendidik anak yang baik. Dengan demikian antara keduanya mempunyai kewajiban dan hak yang sama, hanya tugas masing-masing yang berbeda bergantung pada pilihan mana yang akan mereka perankan. Keduanya saling melengkapi, bukan saling menyaingi atau bahkan saling melenyapkan.

Jika peran keduanya disamakan untuk apa Pencipta menciptakan manusia dengan dua jenis yang berbeda? Mereka sama manusia hanya peran mereka sesuai dengan kodrat yang telah diberikan bukan untuk saling berebut peran, tapi untuk kerja sama sesuai kapasitas masing-masing.

Kita melihat ada sebagian kaum perempuan yang berjuang untuk mengangkat derajat kaumnya, atau yang sering disebut sebagai gerakan feminis. Namun gerakan ini dalam perkembangannya yang muthahir sudah kehilangan arah, seperti gerakan feminisme radikal di Barat, yang menolak lembaga perkawinan, melegalkan aborsi, hidup sesama jenis dan menolak laki-laki. Dan dari sebagian mereka sendiri banyak yang menolaknya.[3]

Hembusan angin gerakan feminisme juga sampai di dunia Muslim. Di dunia Muslim sendiri dalam menyikapinya berbeda-beda, ada yang menerima secara mutlak, menolak secara bulat dan mersponnya secara kritis. Amin Qosim menyerukan emansipasi wanita ala Barat. Jika ingin maju, katanya,  membuang jauh-jauh doktrin agama yang menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami dan sebagainya.

Gagasan-gagasannya banyak mendapat sanggahaan. Di antaranya dari Syekh Abdul Halim Muhmmad Abu Syaukah, yang mengatakan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam sangat emansipatoris.[4]

Di dunia Muslim pun banyak perempuan terpengaruh gerakan feminis radikal yang berkembang di Barat. Untuk menyebut beberapa Fatimah Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Taslim Nasreen dari Bangladesh, Assia Djebar dari Aljazair, Amina Wadud dari AS, Zainah Anwar dari Malaysia dan Siti Musdah Mulia dari Indonesia, dan tentu masih banyak yang lain.

Jika dicermati, kata Arif, paling tidak ada tiga hal yang melatarbelakangi munculnya gerakan feminisme radikal. Pertama, sebagai imbas dari apa yang telah terjadi di negara-negara Barat. Kedua, kondisi masyarakat di negara-negara Islam saat ini yang masih terbelakang dan memprihatinkan, terutama keadaan kaum wanitanya. Ketiga, dangkalnya pemahaman kaum feminis  radikal tersebut terhadap sumber-sumber Islam. Dan jika pemikir sekaliber Syeh Muhammad Abduh dan Dr. Yusuf Qardhawi menyeru kaum muslimin untuk kembali kapada Al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender,  namun kaum feminis radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.[5]              

Jelas, Islam mereformasi tradisi yang melecehkan martabat kaum perempuan di era Jahiliyah dulu, seperti yang telah banyak dibuktikan oleh para ulama. Memang dalam perjalanan sejarahnya, terjadi tarik menarik antara idealisme Islam dan budaya. Sementara di lain pihak ada pula mereka yang justru mengangkat derajat kaum perempuan dengan berpaling kepada Barat. Bagi kaum Muslim tentu harus menengok kembali kepada sumber ajaran Islam, dan bukan sumber yang lain. Secara historis Barat berbeda dengan Islam. Apalagi sejak Abad Pertengahan Barat telah terlepas dari sumbernya, agama, menjadi liberal dan sekuler, sehingga tidak dapat dibandingkan. 

Kita pun melihat ada sebagian kaum perempuan yang berjuang untuk mengangkat derajat kaumnya, namun di lain pihak ada pula sebagian mereka yang justru merendahkan martabat kaumnya, dengan menampilkan bentuk-bentuk fisik untuk komersialisasi di bawah naungan bendera liberalisme dan kapitalisme. Dalam hal ini yang berperan adalah media. Hal ini terjadi di era modern saat ini, yang ditandai dengan pesatnya perkembangan media informasi. Melalui media inilah bagaimana ‘harga’ perempuan dinilai, dan yang dinilai tentu saja apa yang dapat dilihat.

Jika media menampilkan perempuan dari sisi kualitas dan perannya baik dalam keluarga maupun sosial maka imaj umum bisa jadi akan berubah positif.. Wallahu ‘alam bissawab.

“Kaum sekuler liberal ingin umat memandang sesuatu dengan kaca mata Barat, mendengar dengan kuping Barat, dan berpikir dengan framework Barat. Mereka hendak memaksakan filsafat Barat dalam soal bagaimana kita hidup, pandangan barat tentang agama, konsep barat tentang sekularisme, dan berbagai teori barat dalam bidang hukum, sosial, politik, bahasa dan kebudayaan.”

Syekh Dr. Yusuf Qardhawy

Depok, 1-6-2010

luay


[1] Dr. Musthafa As-Sibai, Wanita dalam pergumulan Syari’at dan Hukum Konvensional, (Intimedia, Jkt, ), terj. h. 25; Nasaruddin Umar, Qur’an untuk Perempuan, (JIL & TUK, Jkt, 2000), h. 6; juga Charis Waddy, Wanita dalam Sejarah Islam, (Jkt: P Jaya), terj.; juga Sayyid Abul Hasan Ali Nadwi, h. 40.

[2] Anemarie Scimmel, Jiwaku adalah Wanita, (Mzn, Bdng, 2010), terj. h. 92; Seyyed Hossein Nasr, Tradisi Islam, (P, Bdng, 1989), h. 40

[3] Dr. Syamsuddin Arif, “Menyikapi Feminisme dan Isu Gender”, Al-Insan No. 3 Vol 2, h. 93; Nazhat Afza dan Khurshid Ahmad, Mempersoalkan Wanita, h. 47

[4] Ibid., h. 95; lihat juga Rana Kabbani, Menggugat Kesalahpahaman.., (1992)

[5] Ibid., 97

Iklan

Tentang luaydpk

on history..... "masa kini dan masa lampau akan muncul di masa depan..." ts eliot (the present and the past will appear in the future)
Pos ini dipublikasikan di Islam, perempuan dan tag , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s