Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
Dengan sapaan palsu. Lalu mereka pun belajar
Sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai,
maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah
bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop
berisi perhatian dan rasa hormat palsu.
Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan
tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru
terima juga amplop itu sambal berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir
ssbagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
dan seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan
palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan ramainya
perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong dengan kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat
menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu
tapi diam-diam meminjam juga pinjaman
dengan izin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakat pun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin
devisa palsu. Maka uang-uang asing
menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu
ke dalam nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar
begitu nyaring
dan palsu.
siiiiiip………….. 🙂
Belajar, menurut pribadi saya, seperti sifat manusia itu. Keingintahuan tanpa batas.
Belajar, belajar, dan terus belajar, termasuk belajar memberi apa yang kita tahu dan kita peroleh dari belajar itu sendiri.
Sajak yang bagus sobat… 🙂
ganti konten