SEJARAWAN DAN KARYANYA

 Sejarawan bukan hanya mereka yang telah menempuh studi sejarah di perguruan tinggi, namun mereka  yang juga menghasilkan karya-karya sejarah dan tentang kesejarahan. Walaupun judul tulisan ini mengenai sejarawan Indonesia, tapi tidak tertutup kemungkinan bagi sarjana asing dan profesi lain, seperti wartawan dan sastrawan, yang telah berjasa dalam bidang sejarah Indonesia. (Kuntowijoyo, 2005).

Tulisan ini berisi kumpulan mengenai karya sejarah dan kesejarahan dari para sejarawan akademisi dan sejarawan otodidak, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Untuk memudahkan dalam pencarian, maka dibuat sesuai dengan alpabet. Karya-karya yang dimuat dalam tulisan ini semuanya berbahasa Indonesia atau karya sejarah yang sudah diterjemahkan.

Zaman terus bergerak, dan karya-karya sejarah terus bermunculan, maka banyak karya terbaru belum termuat. Masih banyak karya sejarah Indonesia yang belum dimuat dalam kumpulan ini, dan saya berharap ke depan semakin banyak karya sejarah dan tentang kesejarahan yang tercakup di dalamnya.

Untuk pencarian bahan-bahan kumpulan ini penyusun mencari dari beberapa perpustakaan, mulai dari Perpustakaan Islam Iman Jama, Perpustakaan Nasional RI, Pemerintah DKI Jakarta, Perpustakaan Daerah Kab. Bogor, Perpust. HB Jassin Taman Ismail Marzuki, dan Perpust. Islam Istiqlal, Perpust. FIB UI, LIPI serta toko buku-buku loakan, juga internet. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang memungkinkan kumpulan ini selesai. Semoga panduan ini bermanfaat bagi pembaca. a

Depok, 1 Nopember 2010

A

Abduh, Muhammad. (Ketua Tim, dkk.), Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan (Jakarta: Dep.Dikbud, dir. Sej. dan Nilai Tradisional, Inventarisasi dan dok. Sej. Nasional, 1991/1982).

Buku ini membahas mengenai perlawanan terhadap imperialis-kolonialis Eropa di Sulawesi Selatan. Rentang waktu mulai abad ke-18 hingga ke-20, ketika nasionalisme Indonesia tumbuh. Juga ditulis peran kerajaan-kerajaan dalam perlawanan terhadap Belanda, seperti Bone, Goa, Luwu dsb.

Pada awal abad ke-20 semua kerajaan di Sulawesi Selatan bangkit melawan usaha perang pasifikasi yang dilancarkan oleh Hindia Belanda. Perlawanan berakhir 1917. Pergerakan nasional yang berkembang di pulau Jawa pengaruhnya sampai pula di Sulawesi Selatan.

 

Abdullah, Taufik. Lahir 3 Januari 1936 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia memperoleh sarjana dalam bidang sejarah dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta (1962), lalu ia melanjutkan ke Cornell University, Amerika Serikat dan memperoleh Ph.D dalam bidang Sejarah Asia Tenggara (1970) dengan disertasi “Schools and Politic: The Kaum Muda Movement in West Sumatera, 1927-1933” (1971). Ia peneliti Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Guru besar sejarah UGM, Yogyakarta; ia pernah menjadi Ketua LIPI (2000-2002); Ketua umum Himpunan Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS); sejak (1996-2003) menjadi Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).

Ia juga sebagai visiting Research Scholar di The Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), University of Kyoto, Jepang, 1989-1990; di Departement of History, University of Wisconsin, Madison, USA (1975), tahun 1997 ia mengambil Post Doctoral Fellow di Departement of Political Science, University of Chicago.

Banyak menulis di berbagai jurnal tentang sejarah, sosial dan sastra, dan  karyanya antara lain: Sejarawan dan Kesadaran Sejarah (Jakarta: Leknas-LIPI), 1971); Sebagai editor Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: GM Press,1990); Islam dan Masyarakat, (Jakarta: LP3ES, 1990); bersama Dr M Hisyam (ed. Dkk.) Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI dan Y Pustaka Umat, 2003); Indonesia: Towards Democracy (2007); Sejarah dan Dialog Peradaban (Penghargaan 70 Tahun Prof. Taufik Abdullah), (Jakarta: YOI, 2006).

Dalam Islam dan Masyarakat ini Taufik mengulas pandangan asing mengenai Islam di Minangkabau pada masa kolonial. Sejak pertengahan abad ke-19 telah banyak usul agar pendidikan Belanda disebarkan di Sumatra Barat. Dengan pendidikan Barat Islam yang negatif, bagi Belanda, dapat dinetralisir. Oleh karena itu 1850-an didirikanlah Sekolah Raja di Bukittinggi.

Ketakutan Belanda pada kekuatan Islam tidak hanya berdasarkan pengalaman perang Paderi dan pemberontakan-pemberontakan yang sporadis. Kekhawatiran ini berdasar pengamatan asisten residen Verkerk Pistorius tentang pengaruh ulama. Ada dua hal yang dilihatnya: pertama, pengaruh surau, mulai dari mengaji Qur’an sampai tingkat pesantren, sangat besar. Kedua, di tempatnya memerintah harta pusaka dibagi dua golongan besar 1. Berdasar ketentuan adat, dan 2. Harta pencarian, berdasar hukum Islam.

Oleh karena itulah ketelitian dan kecermatan dalam pengamatan dibutuhkan. Perbaikan metodologi terus dilakukan. Walaupun tujuannya untuk memperkuat kekuasaan kolonialis, namun banyak hasil penelitian mereka yang bermutu ilmiah.    Mereka umumnya ahli bahasa yang memiliki perhatian pada etnologi dan sejarah. Pandangan politik mereka liberal.

Dicatat, beberapa sarjana Belanda menuliskan laporannya mengenai Minangkabau, di antaranya tentang perkembangan sekolah Islam, ada yang perlu dicurigai dan tidak.

Abdurachman, Paramita Rahayu. Lahir 29 Februari 1920 di Bogor-1988. Ia mengikuti studi sejarah pada Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, Jakarta (1951-1953), dan bidang sejarah Indonesia di Universitas Amesterdam tahun 1965-1967.  Staf peneliti pada Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI, Jakarta. Ia aktif meneliti masalah sejarah, kebudayaan dan terutama wilayah Indonesia bagian Timur abad XVI dan XVII.

Karyanya: tentang Portugis di Maluku, Flores, Papua dan Timor Timur untuk majalah Masyarakat Indonesia; “Menembus blokade”, ditulis bersama Mara Karma dalam Colin Wild dan Peter Carey (ed.), Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1986); Bunga Angin Portugis di Nusantara (Jakarta: LIPI-YOI, 2008); Perempuan Mendahului Zaman; In Search of Living Traditions and Art (Thung Ju Lan, ed. dkk) (Jakarta: LIPI-YOI, 2010).

Paramita sebagai pelaku sejarah menuliskan pengalamannya dalam “Menembus blokade”. Ia ketika zaman revolusi menjadi kurir untuk menyampaikan pesan dari Kabinet Pertama untuk izin kepada Sri Sultan mengenai kepindahan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Ia menjadi anggota Palang Merah. Melalui kenalan di lingkungan kraton ia sampakan pesan itu kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dalam situasi bahaya surat-surat ia buang dan pesan di dalamnya ia hapal untuk disampaikan ke tujuan.

Pada saat terjadi Aksi Militer I dan II ia menjadi kurir, dan situasinya sangat berbahaya. Surat-surat yang berisi pesan juga dikirim ke luar pulau Jawa.

Abeyasekere, Susan. Pengajar senior dalam bidang Sejarah dan Politik Asia Tenggara, Footcray Institute of Tecnology, Melbourne, Australia. Publikasinya mencakup tentang Jaklarta dan gerakan nasionalis Indonesia.

Karya: One Hand Capping; Indonesia Cooperating Nasionalists and Dutch (1076); Jakarta: the History;   “Koperator dan Non-Koperator: Kegiatan Politik Nasionalis di tahun 1930” dalam Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1986).

Tulisannya membahas mengenai sejarah gerakan nasionalis. Pada tahun 1930-an Belanda bertindak terhadap organisasi-organisasi politik nasionalis di Indonesia. Namun, organisasi-organisasi yang baru muncul seperti Parindra dan Gerindra mulai moderat dan mulai berusaha untuk mencapai kemajuan dalam berkerja sama dengan pihak Belanda.

Adam, Asvi Warman. Lahir 8 Oktober 1954 di Bukittinggi. Menempuh pendidikan Sarjana (muda) sastra Perancis di UGM Yogyakarta tahun 1977, dan sarjana sastra Perancis di Universitas Indonesia (UI) tahun 1980. Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI ini pernah bekerja sebagai wartawan di majalah Sportif  sebelum masuk LIPI tahun 1983. Taun 1984 belajar pada EHESS (Ecole des Hautes Etudes on Sciences Sociales) Paris sampai tahun 1990. Antara tahun 1984-1986 ia menjadi lektor bahasa dan sastra Indonesia pada Institut National des Langues et Civilations Orientales, Universite de la Sorbonne Nouvelle, Paris III. Lulus doktor sejarah dari EHESS tahun 1990 dengan disertasi tentang hubungan   Hindia Belanda dengan Indochina pada era kolonial “Les Relations Centre les Indes Neederlandaises et l’Indochine 1870-1914 di bawah bimbingan Prof. Denys Lombard.

Tahun 1990 menjadi peneliti di LIPI tentang masalah Vietnam, Kamboja, dan ASEAN. Sejak tahun 1998 banyak menulis tentang rekayasa sejarah Orde Baru dan historiografi Indonesia. Menjadi pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) sejak tahun 1996. Juga mengikuti Visiting Fellow pada KITLV Leiden tahun 2005.

Karyanya antara lain: “Pengendalian Sejarah sejak Orde Baru” dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Denys Lombard (Jakarta:EFEO-PPAN-YOI, 1999); Pelurusan Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2004); Seabad Kontroversi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007); Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (Jakarta: Kompas, 2009); Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?, (Jakarta: Kompas, 2010).

Dalam buku Pelurusan Sejarah Indonesia Asvi menulis bahwa “Istilah “pelurusan sejarah” sangat populer sejak berhentinya Soeharto menjadi presiden dan merosotnya kekuatan Orde Baru. Ada juga beberapa orang yang kurang setuju dengan istilah tersebut. Apakah sejarah bisa diluruskan, demikian pertanyaan mereka. Perdebatan ini tentu bersumber dari perbedaan pengertian tentang sejarah”.

Sejarah dibagi dua: Pertama, sejarah sebagai peristiwa yang dilakukan, dan kedua, sejarah sebagaimana diceritakan. Maka pelurusan sejarah menyangkut aspek sejarah sebagaimana yang diceritakan. Yang pertama memang tidak dapat direvisi, namun revisi pada yang kedua adalah suatu hal yang wajar.

Lebih lanjut ia menulis, “Jadi memang wajar bila sejarah itu mengalami revisi dan penulisan ulang dari waktu ke waktu. Tetapi pada rezim Orde Baru yang terjadi adalah sesuatu yang tidak normal. Sejarah dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa dan rezim, contoh yang nyata adalah penjelasan sejarah Gerakan 30 September 1965 yang diizinkan hanya versi tunggal yang dilakukan oleh pemerintah. Di dalam buku putih yang dikeluarkan oleh Setneg, dicantumkan secara tegas bahwa itu pemberontakan PKI”.

Mengenai peristiwa September 1965 ada banyak versi, berkaitan dengan siapa pelakunya.

Adam, Cindy. Lahir 24 April 1930 New York, Amerika. Kolumnis dan penulis.

Karyanya: Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, (Jakarta: Masagung, 1966), terj. (Edisi baru ada koreksi kata-kata yang dihilangkan)

Buku ini adalah otobiografi Soekarno, presiden pertama Indonesia, yang dituliskan oleh wartawati Amerika, Cindy Adam.

Ia lahir di Surabaya 6 Juni 1901. Ayahnya Raden Sosrodiharjo berasal keturunan Sultan Kediri pulau Jawa dan ibunya Idayu asal Bali keturunan Raja Singaraja. Semuala ia diajar membaca dan menulis oleh ayahnya. Ia dibesarkan di Mojokerto. Tahun 1916 ia melanjutkan sekolah HBS () di Surabaya. Ia tinggal kos di rumah HOS Cokroaminoto pendiri Sarekat Islam. Di kota inilah ia belajar politk kepada Pak Cokro. Ia membuat perkumpulan pertama Tri Koro Darmo (Tiga tujuan suci), yang melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial. Lalu berikutnya Jong Java.

Dari Surabaya lalu ia meneruskan pendidikannya di Bandung di Sekolah Tekni Tinggi, Juni 1921. Ia terus mengobarkan nasionalisme. Ia membaca, menulis dan orasi. Ketika pagi ia naik sepeda ke selatan kota Bnadung bertemu dengan petani Marhaen. Ia berdialog. Dari sanalah ia mendapat ide tentang Marhaenisme. Di kota ini ia menikah dengan Inggit Ganarsih tahun 1923. Pada tanggal 25 Mei 1925 ia lulus dengan gelar Ingenieur, teknik sipil. Setelah lulus ia sempat ditawari kerja di pemerintahan, tapi ia menolak.

Ia bersama kawannya berdiskusi dengan nama Algemeene Studieclub. Kemudian ia mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927. Dengan pidatonya ia memberi semangat persatuan dan ia mengobarkan nasionalisme. Oleh karena itu ia dan kawan-kawannya ditangkap 9 Desember 1929 dijebloskan ke penjara Banceuy dan 8 bulan kemudian ia disidang di pengadilan.

“Aku menganjurkan kepada Saudara-Saudara untuk mematuhi tentara pendudukan. Tentara Jepang sangat kuat. Sebaliknya kita sangat lemah. Tugas kita bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak mempunyai senjata. Kita tidak terlatih untuk bertempur. Kita semua akan dibinasakan, bila kita mencoba melakukan perlawanan secara terang-terangan.

Orang yang tidak bersenjata tidak mungkin melawan prajurit-prajurit yang puluhan ribu. Tetapi meskipun seluruh tentara dari semua negeri di atas dunia ini digabung menjadi satu, mereka tidak akan mampu membelenggu satu jiwa yang bertekad untuk tetap merdeka. Aku bertanya kepada Saudara-saudara semua: Siapakah dapat membelenggu suatu bangsa jikalau semangat bangsa itu sendiri tidak mau dibelenggu?”

Buku ini bercerita tentang Soekarno dari masa kecil hingga masa akhir kekuasaannya, ketika ia berumur 65 tahun.

Agung, Ida Anak Agung Gde. Lahir 24 Juli 1921 di Gianyar, Bali Selatan. Setelah menyelesaikan Sekolah Rendah Belanda di Klungkung, Bali, ia melanjutkan ke HBS di Malang, selesai tahun 1939. Lalu ia belajar di Sekolah Tinggi Hukum (Rechts hogesschool) di Jakarta, dan lulus Sarjana Muda Hukum pada 30 Oktober 1941; Sempat terputus kuliahnya saat pendudukan Jepang, kemudian ia melanjutkan kembali dan menempuh ujian doktoral lengkap pada 2 November 1950. Pada zaman setelah kemerdekaan ia pernah menjadi Menteri Dalam negeri pada kabinet Nadjamuddin Daeng Malawa dan kabinet Hatta; menjadi dubes di berbagai negeri; sempat dipenjara bersama Syahrir dan roem di madiun oleh Sukarno   tahun 1959; tahun 1978 ia diundang oleh Nederlands Institute for Advanced studies (NIAS) di Wassenaar untuk melakukan penelitian.

Karyanya antara lain: Renville (Jakarta: SH, 1991), terj.

Karyanya ini mengisahkan mengenai perjanjian Renville. Persetujuan ini sebagai suatu peristiwa yang menentukan bagi penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada RIS.

Semula pemerintah Belanda ingin bahwa persoalan Indonesia hanya urusan dalam negeri. Belanda mencegah internasionalisasi sengketa Indonesia-Belanda, namun usaha itu gagal. Dalam pembicaraan-pembicaraan di Renville Dewan Keamanan menjadi penengah.

Sebelum persetujuan Renville, tahun 1947 DK atas usul Australia dan India mengambil tindakan. Tanggal 1 Agustus 1947 DK menerima resolusinya yang pertama tentang sengketa Indonesia- Belanda dan mempersilahkan kedua belah pihak untuk menghentikan permusuhan. DK menyerukan:

  1. Menghentikan permusuhan dengan segera
  2. Perbedaan dipecahkan dengan perwasitan (arbitrase) atau sarana-sarana damai lainnya dan memberitahu DK mengenai hal itu.

Lalu resolusi kedua diajukan AS. Resolusi itu tentang DK menawarkan jasa-jasa baiknya kepada kedua belah pihak untuk membantu kedua belah pihak guna menyelesaikan masalah secara damai, sesuai dengan resolusi DK tanggal 1 Agustus 1947.

Setelah persetujuan itu hubungan antara Indonesia-Belanda menjadi buruk. Namun, beberapa tahun kemudian hubungan itu menjadi baik.

Alam, Rudy Harisyah, (ed.).

Sejarah Masjid-Masjid Kuno di Indonesia, (Jakarta: Litbang Depag RI, 1998).

Buku ini berisi kumpulan tulisan dari sejumlah penulis mengenai sejarah masjid di berbagai wilayah di indonesia, mulai di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan NTB. Namun tidak disertai data para penulisnya. Di antaranya: “Masjid Besar Kauman Yogyakarta”, oleh Hasan Basri ST; “Masjid Tua Katangka Sulawesi Selatan” oleh Siti Musdah Mulia; “Masjid Al-Anwar (Angke) Jakarta Barat” oleh Yasin Rahmat Anssari; “Masjid Kuno Demak Jawa Tengah” oleh Andy Baharuddin M; “Masjid-Masjid Kuno di Gresik Jawa timur” oleh E Badri Yunardi; “Masjid Ar-Raisiyah Mataram Nusa Tenggara Barat” oleh Aden Daenuri Fachri; “Masjid Menara Kudus Jawa Tengah” oleh A Hafidz Dasuki; “Masjid Sultan Suriyansyah Banjarmasin Kalsel” oleh Muhlis; “Masjid Mapauwe Kaitetu Leihitu Maluku Tengah” oleh Moh. Zahid; “Masjid Al-Kahfi Tanjung Johar Jambi” oleh Mazmur Sya’rani; “Masjid Jami Airtiris Kampar, Riau” oleh M Syatibi AH; “Masjid Shirath Al-Mustaqim Samarinda Kaltim” oleh Rosehan Anwar; “Majid Tua Bungku Bajo Sulawesi Tengah” oleh E Badri Yunardi; “Majid Jami Sultan Abdurrahman Pontianak Kalimantan Barat” oleh Ahmad Musthafa Hadna ; “Masjid Baiturrahman Banda Aceh” oleh Bunyamin Yusuf; “Masjid Jami Kota Waringin Kalimantan Tengah” oleh Hasan Basri; “Masjid Agung Palembang Sumatra Selatan” oleh Rosehan Anwar.

Pada tulisan yang pertama tentang sejarah masjid Besar Kauman Yogyakarta. Sejarah berdirinya masjid tersebut terkait erat dengan sejarah keberadaannya Negara Ngayogyakarta Hadiningrat (13 Maret 1755/ 29 Jumadil Awal Be 1168 J). Masjid Besar Kauman itu berdiri pada tahun 1773 M (1187 H), yang terletak di sebelah utara alun-alun Yogyakarta. Pada tahun-tahun berikutnya masjid itu semakin disempurnakan bangunannya.

Alatas, Syed Hussein. Bogor, 17 September 1928 – 23 January  2007 di Malaysia. Ia dikenal sebagai sosiolog, akademisi dan aktivis partai. Guru besar pada jabatan Pengajian Melayu, Universitas Nasional, Singapura.

Karyanya antara lain: Korupsi, (Jakarta: LP3ES, 1986); “Tesis Weber dan Asia Tenggara” dalam Taufik Abdullah (ed.) Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: LP3ES, 1988), terj.; Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial (Jakarta: LP3ES, 1988), diterjemahkan A Rofi’ie.

Buku Mitos Pribumi Malas karya S.H. Alatas ini berisi bantahan mengenai pribumi yang malas, bahwa kemalasan hanyalah mitos yang digambarkan oleh penjajah. Bila mitos itu dapat dipelihara dengan baik, maka penjajahan dapat berlangsung lama, sebab tidak ada perlawanan. Memang argumentasi historis dalam buku itu cukup meyakinkan, sehingga kita sulit untuk menolak argumentasinya. Buku itu tentu saja merekam mengenai situasi zaman penjajahan Belanda dulu di Indonesia dan khususnya di pulau Jawa.

Buku tersebut menepis imagi bahwa kita bukanlah sebagai bangsa yang malas.

Alfian. Lahir pada 9 Oktober 1940 di Solok, Sumatra Barat. Ia mendapat gelar Ph.D. dalam ilmu politik pada tahun 1969 dari Universitas Wiscounsin, Amerika Serikat. Lalu ia menjadi dosen ilmu politik di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia (UI) dan anggota Staf Peneliti LEKNAS (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional) di bawah LIPI.

Karya-karyanya, antara lain: Poltik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, (Jakata: LP3ES, 1985); Editor Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, (Jakarta: Gramedia, 1985);Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, (Jkt: Gm, 1992); “Ulama dalam Masyarakat Aceh”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain (ed.) Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989), terj; “Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian” dalam Taufik Abdullah dkk., Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1994).

Dalam tulisannya “Ulama dalam…“ penulis membahas mengenai peranan ulama dalam perang Aceh. Perang Aceh yang dimulai tahun 1873 dan berlangsung sekitar 40 tahun. Dalam perang itu kaum ulama membantu memotivasi rakyat Aceh dengan mengubahnya menjadi perang sabil. Islam dijadikan sebagai ideologi bersama, mereka dengan gigih melawan musuh bersama, orang-orang kafir Belanda. Kaum ulama mendorong dan memelihara semangat juang rakyat dengan memanfaatkan cerita rakyat Aceh tentang perang suci, yakni Hikayat Perang Sabi. Emosi mereka diperkuat dengan janji-janji dalam hikayat itu bahwa pengorbanan jiwa mereka, mati syahid, akan dibalas Allah di akhirat nanti.

Dengan persenjataan modern akhirnya Belanda memenangkan  perang itu. Kemenangan itu setelah Belanda mengikuti nasehat Snouck Hurgronje. Namun, walaupun rakyat Aceh kalah perang secara sporadis masih berlangsung.

Setelah kekalahan itu kekuatan kaum ulama semakin berkurang sementara kaum uleebalang mendapat sokongan dari Belanda. Tetapi kemudian kaum ulama mampu bangkit dengan membuat perkumpulan tahun 1939, dengan nama Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh atau POESA. Ada juga dari kaum uleebalang yang mendukung organisasi kaum ulama itu.

 

Alfian, Tengku Ibrahim. Lahir 14 Februari 1930 di Lhoksumawe, Aceh – meninggal 31 Mei 2006 di Yogyakarta. Ia memperoleh gelar Master sejarah Eropa di Kansas University, Amerika Serikat (1959). Dekan Fakultas Sastra UGM (1985-1991).

Beberapa karyanya antara lain: Perang Kolonial Belanda di Aceh; Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912 (Jakarta: SH, 1987); Mata uang Emas Kerajaan-Kerajaan Aceh,(Jakarta: SH, ), sebagai editor dkk. Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, ( Yogyakarta: GM Press, 1992).

Penulis Perang di Jalan Allah mengisahkan, bahwa setelah berbagai kejadian dan persaingan diplomatik, maka pada tahun 1873 Batavia melancarkan agresinya ke Aceh, sebagai negara yang berdaulat di pulau Sumatra bagian utara. Di agresi pertama Aceh dapat mempertahankan diri dengan menyeru “tiada Tuhan selain Allah”. Namun, dalam agresi kedua 1874 Belanda di bawah pimpinan Jend. Van Swieten berhasil merebut dalam (kraton) dan menghancurkan masjid Kotapraja.

Pada perang tahap awal itu Jend. Van Swieten sudah mengumumkan bahwa kerajaan Aceh telah ditaklukan. Penulis mencatat, “setelah itu perang, yang bermula sebagai konflik antara dua negara yang berdaulat ini- yang satu “negara kolonial” dan yang lain “negara tradisional”- memasuki situasi konflik bersenjata yang hampir tanpa henti” .

Perang Aceh tersebut memperkuat tradisi penentangan yang keras terhadap kolonialisme Barat, yang disebut oleh bangsa Aceh sebagai “kaphe’ ” (kafir).

Juga dengan karyanya ini penulis membuktikan bahwa Indonesia dijajah selama tiga setengah abad hanyalah mitos. Sebab Aceh adalah sebuah negara berdaulat yang kemudian ditaklukan oleh Belanda tahun 1912. Jika dihitung dari ditaklukannya Aceh sampai kemerdekaan, maka Indonesia tidak dijajah selama tiga setengah abad.

AlGadri, Hamid. Lahir 10 Juli 1912 di Pasuruan, adalah seorang perintis kemerdekaan RI dan pernah memperoleh anugerah Nishan Iftighar (Bintang tertinggi Tunisia). Lulus Recchshogeschool ( Fakultas Hukum ) pada 1952, dan berminat besar pada ilmu-ilmu sosial dan politik. Pernah menjelajahi negara-negara non-komunis. Ia pernah menjabat sebagai anggota KNI kab. Pasuruan 1945; anggota KNI pusat Jakarta 1946; anggota Badan Pekerja KNIP merangkap pegawai Sekretariat Perdana Menteri 1947; Sekretaris Kementerian Penerangan RI, merangkap Penasehat Delegasi RI dalam perundingan-perundingan Linggarjati dan Renville 1947; penasehat Delegasi RI di KMB 1049; anggota DPR-RIS 1950; anggota DPRS-RI; anggota Konstituante; ketua dan wakil ketua seksi luar negeri DPR 1951; Sekjen Panitia Pembantu perjuangan Aljazair 1952. Pernah menjadi editor di dua majalah politik, Sikap (1948-1951) dan Insaf (1937-1942).

Karya tulis: Islam dan Keturunan Arab: Dalam Pemberontakan Melawan Belanda (Bandung: Mizan, 1996).

Buku Islam dan Keturunan Arab merekam bagaimana orang-orang keturunan Arab berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Orang-orang keturunan Arab mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada tahun 1934. Perkumpulan ini bergerak di bidang sosial dan agama. Namun, pada tahun 1937 dalam kongresnya PAI memasuki juga jalur politik. Organisasi ini mendukung cita-cita orang Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, sejajar dengan Belanda, dan menentukan nasib sendiri dalam hubungan Rijksverband Nederland.

Pada tahun 1939 PAI sudah tersebar di seluruh Indonesia, seperti Sumatra, Kalimantan, Maluku dsb. Di mana terdapat kelompok keturunan Arab, di situ berdiri  PAI. Pada tahun pertamanya berdiri PAI dipimpin oleh AR. Baswedan. Dan untuk menghindari perpecahan dalam tubuh PAI, organisasi ini tidak menggunakan gelar “sayid”, dan sebagai ganti perkataan “saudara”. Yang menjadi dasar adalah bahwa orang Islam itu bersaudara. Juga sudah umum perkataan itu di kalangan pergerakan Indonesia.

Untuk menyebarkan ide-ide yang diusung PAI, seorang pemuka PAI di Surabaya Hoesin Bafaqih mendirikan majalah Aliran Baoe, yang sehaluan dengan majalah al-Manar yang terbit di Mesir.

Ali, Muhammad. Lahir di Madiun. Belajar pada Errste Europeesche Largere School (sekolah dasar berbahasa Belanda), lulus tahun 1927; melanjutkan ke MULO (Sekolah Menengah) dan ke HIK (Sekolah Guru), tamat 1933. Lalu ia menjadi guru di SMA, dan sejak tahun 1957-1970 ia menjadi Direktur Arsip Nasional.

Ia banyak menulis karya berupa buku dan artikel, di antara karyanya: Sejarah Jawa Barat: Suatu Tanggapan, (Bandung: Pemda Jabar, 1972); Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, (Jakarta: Bhratara, 1963); ”Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.) Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995).

Buku Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia ini membahas tentang penulisan sejarah Indonesia, dari yang Belanda-sentris ke Indonesia-sentris. Pada masa sebelum kemerdekaan 1945 sejarah masih ditulis dengan sejarah Hindia Belanda, dan setelah periode itu sejarah Indonesia mulai mendapat warna yang bersifat Indonesia, dengan nama Sejarah Indonesia. Yang dibahas mengenai orang-orang Indonesia.

Alwi, Des. Lahir 17 November 1927 di Banda Naire dan meninggal 12 November 2010 di Jakarta. Lulusan British Institute of Technology, London, 1947-1950, Philip NSF Advence School Hilversum, Januari-Juli 1950, dan Spesial Antena Penyiaran Rombek ITB dan PT (Pos, Telegraph dan Telepon), 1951. Seorang pejuang, pelaku sejarah bangsa, penyelam laut banda, sinematografer dan pencinta kebun pala dan lingkungan (sehingga UNESCO menamakan karang baru yang ditemukan di banda naira sebagai “Akrolpora Des Alwi” tahun 1994).

Karyanya: Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, (Jakarta: Dian Rakyat, 2005).

Buku Alwi mengungkap mengenai wilayah Indonesia bagian timur, yaitu kepulauan Banda, Ternate, Tidore dan Ambon. Diawali dengan tahun 1614, 1720, 1810, 1891 ketika terjadi letusan gunung berapi, dan letusan terakhir terjadi pada 8 Mei 1988. Wilayah cakupan bagian Indonesia timur yang cukup luas yang terdiri dari beberapa pulau, yang kurang mendapat perhatian selama ini. Terutama ketika kekuasaan sentralistik pada masa baru lalu.

Buku ini bukan saja mendeskripsikan tentang keadaan alam dan para penjajah yang menjarah rempah-rempah di kepulauan ini, namun juga mengisahkan tokoh-tokoh nasionalis seperti Bung Hatta, Syahrir, Iwa Kusuma Sumantri dan Tjipto Mangunkusumo, ketika mereka dibuang ke pulau itu.

Ambary, Hasan Muarif. Lahir pada 13 Mei 1939 di Kuningan, Jawa Barat- meninggal 18 Mei 2006. Ia menyelesaikan studinya di jurusan arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1967, dan Master dalam bidang yang sama dari Ecole des Hautes Etude en Science Sociales (EHESS), Paris 1983. Gelar doktor ia peroleh dari universitas yang sama dengan disertasi berjudul “L’Art Funeraire Musulman en Indonesie des Origines au XIX eme Siecle; Etude Epigraphique et Typologique” (Paris, EHESS, 1994).

Ia menempuh karir sebagai Kepala Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas Depdikbud RI), juga sebagai dosen luar biasa pada Fak. Adab IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta), Universitas Indonesia (Jakarta), dan Universitas Gajah Mada (Yogyakarta).

Sebagai arkelog Islam ia telah banyak menulis karya, di antaranya: A Preliminary Report of the Excavation on the Urban Sites in Banten (West Java), Bulletin of Research Centre for Archaeology of Indonesia, No. 11 Jakarta, P4N 1977; Catalogue of Sites, Monuments and Artifacts of Banten, Jakarta: Depdikbud, 1988, ditulis bersama Halwany Michrob dan John N Miksic; dan Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta: Logos, 1998).

Dalam buku Menemukan Peradaban ini penulis menyajikan kajian arkeologis tentang Islam di Indonesia. Situs-situs peninggalan orang-orang Islam atau kerajaan dengan ilmu arkeologi dapat diungkap, bukan hanya memberi kontribusi bagi perkembangan ilmu arkeologi, namun juga menambah wawasan tentang sejarah Islam di Indonesia. Sisa-sisa peninggalan masa silam itu dapat menjadi bukti keberadaan suatu komunitas Islam dan dapat memperkuat bukti sejarah Indonesia.

Amran, Rusli. Lahir 14 September 1922 di Padang. Pendidikan HIS dan MULO di Padang; AMS Jurusan Kesusastraan Barat di Yogyakarta, lulus 1944; dilanjutkan di Selolah Tinggi Hukum zaman Jepang hingga proklamasi, lalu pada Fak. Hukum Universitas RI di Jakarta, kemudian pindah ke Fak. Ilmu-ilmu Sosial dan Politik di Amsterdam unntuk akhirnya tamat pada Sekolah Tinggi Fak. Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi di Praha tahun 1953. Pengalaman kerja pada harian Berita Indonesia di Jakarta; kementeriam pertahanan bagian penerangan, dan kembali ke Berita Indonesia. Bnerbagai jabatan pernah dipegangnya. Tahun 1960-1964 menjadi Kepala Biro pampasan perang Jepang di Dept. Luar Negeri Jakarta, dan tahun 1970 ia mengundurkan diri dan menjadi orang swasta di Paris.

Karyanya; Sumatra Barat hingga Plakat Panjang, (Jakarta: SH, 1981).

Buku ini membahas mengenai sejarah Sumatra Barat. Sampai akhir abad ke-19 daerah Batanghari masih merdeka dan rakyatnya, sangat bangga dengan kemerdekaan itu. Dengan Hulu Kuantan dan Hulu Kamparkini, daerah tersebut dulu termasuk “rantau nan tigo jurai” dari kerajaan Minangkabau. Tahun 1845 beberapa raja di sana, sebagai wakil raja Minangkabau, mereka berjanji tidak akan mengizinkan Belanda masuk. Mulai ekspedisi Veth tahun 1877, dan ekspedisi Yzerman 1895, tidak dapat masuk daerah “rantau di baruh” Minangkabau tsbt. Housten Waller tidak mau mendengar nasehat pemerintah Belanda ketika ia ingin pergi ke Jambi melewati Batanghari districten pada tahun 1905. Sebagai akibat ia dibunuh di sana.

Pada tahun 1905 itulah para raja disodori perjanjian yang menuntut raja-raja mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.

Sebelum dikuasai Hindia Belanda, pemerintahan di daerah itu, tidak banyak berbeda dengan daerah-daerah lain di Minangkabau pada permulaan abad lalu. Tiap kampung dapat berdiri sendiri dengan seorang datuk atau penghulu, manti, mualim dan dubalang. Namun, Bonjol tidak dapat dikalahkan. Walaupun daerah itu sudah dikepung ternyata rakyat di Bonjol memanfaatkan alam untuk bergerilya.

Bosch mencari cara lain. Ia menguras kekayaan alam Sumatra Barat, dan ia berhasil. Kekalahan Bonjol hanya soal waktu saja.

Andaya, Leonard Y. Ahli sejarah Bugis dan Makassar.

Karyanya: “Pandangan Palakka tentang Desa dan Perang Makassar 1666-1669” dalam Anthony Reid dan David Marr (ed.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya, (Jakarta: Grafiti Press, 1983).

Penulis mengisahkan mengenai Arung Palakka yang melarikan diri  pulau Buton setelah gagal melakukan pemberontakan melawan para penguasa Goa pada 1660. Oleh karena ada ancaman terus-menerus dari pihak Makassar. Mereka meminta bantuan VOC. Pada tahun 1663 dibawa ke Batavia, dan mereka ditempatkan di tepi sungai Angke.

Mereka diikutkan dalam pasukan Bugis di bawah pimpinan Arung Palakka di Pariaman. Mereka membuat kagum Belanda. Mereka menjadi sekutu dalam setiap bentrokan dengan Goa. Dalam pembalasan VOC pada tahun 1666 untuk menyerang Goa, terdapat Arung Palakka dan orang-orang Bugis. Dalam perang itu Goa dapat dikalahkan dan memaksa kerajaan itu Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Mereka tak puas, para pemimpin Goa pada April 1668 mengobarkan perang kembali.  Goa kalah dan untuk kedua kalinya mereka terpaksa menandatangani Perjanjian Bunggaya lagi pada Juli 1669, dan perang berakhir.

Setelah kekuasaan Goa runtuh, Arung Palakka menata struktur kekuasaan di Sulawesi Selatan. Sang tokoh tidak hanya sebagai tokoh pahlawan tetapi juga sebagai orang keramat.

Anderson, Benedict Ricard O’Gorman (ROG). Lahir tahun 1936 di Kunming, Tiongkok. Bapaknya sebagai di Jawatan pemberantasan Narkotika pada Pemerintah Tiongkok. Ia Berkewargaan Irlandia. Ia mendapat Ph.D. di bidang ilmu politik di Universitas Cornell tahun 1967. Ia sebagai pendiri majalah Indonesia, terbitan Cornell Modern Indonesia Project 1966. Di dunia akademik ia menjadi guru besar di bidang ilmu politik dan Asian Studies, di samping sebagai Direktur Southeast Asia Program, Universitas Cornell.

Karya-karyanya antara lain: Myithology and Tolerance of the Javanese (1965); Java in a Time of Revolution (1972); “The Idea of Power in Javanese Culture” (1972); Imagened Communities (1983); Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, (Jakarta: SH, 19 ), terj.

Ben dalam bukunya Revolusi Pemuda mengulas tentang peran revolusioner para pemuda Indonesia yang menjadi militan, dan diciptakan oleh faktor-faktor kebudayaan tradisional dan pendudukan Jepang yang mempengaruhi kesadaran pemuda.

Penulis juga merekam mengenai perdebatan para pemuda kala itu, seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka.

Anshari, Endang Saefudin. Lahir 28 Oktober 1938 di Bandung. Setelah tamat  SMA, ia melanjutkan studi di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Padjajaran (1958-1961). Pada 1970-1974 ia menjadi dosen luar biasa: Pendidikan Agama Islam di ITB dan Fak. Kedokteran Universitas Padjajaran; Pengajar Ilmu Dakwah di Institut Islam Siliwangi Bandung, Pondok karya Pembangunan, dan Kulliyatul Mujahidin Istiqomah. Ia mendapat M.A. dari Institut of Islamic Studies McGill University tahun 1976 dengan tesis tentang Piagam Jakarta.

Karya-karyanya antara lain: Islam, Filsafat dan Agama; Islam dan Kristen di Indonesia; dan Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 (Jakarta: GIP, 1997).

Dalam buku Piagam Jakarta penulis merekam peristiwa setelah kemerdekaan Indonesia, ketika itu panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang  bermusyawarah untuk membentuk dasar negara yang baru merdeka, yakni Undang-Undang Dasar. Semula hasil musyawarah itu diterima oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dengan bulat. Namun, dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, yang membicarakan Undang-Undang Dasar 1945 dan preambulnya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia   (PPKI) menetapkan, bahwa tujuh kata yang penting bagi umat Islam itu dicoret.

Pada sore harinya Bung Hatta menerima pesan golongan Kristen di Indonesia timur yang disampaikan melalui utusan Jepang, bahwa mereka keberatan dengan tujuh kata itu. Karena itu, untuk menghindari perpecahan, tujuh kata itu dihapus, yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Tujuh kata tersebut kemudian dikenal sebagai “tujuh perkataan Piagam Jakarta”.

Dengan hilangnya tujuh perkataan tersebut menimbulkan kekecewaan bagi golongan Islam. Namun, dengan berat hati umat Islam menerima untuk menghindari perpecahan bagi RI yang baru merdeka.

Anwar, Rosihan. Lahir 10 Mei 1922 di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat. Dikenal sebagai wartawan, kolomnis, pengarang dan penulis biografi. Ia menjadi wartawan sejak 1942. Pernah mengetuai surat kabar terbesar di Indonesia Pedoman tahun 1950-an, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, Ketua Dewan Kehormatan PWI, dan pernah duduk di Dewan Pers. Pada tahun 2001, bersama Ramadhan K.H., diangkat sebagai Anggota Kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) berdasarkan karya-karyanya yang turut memperkaya pengetahuan sejarah. Ia banyak menulis buku, termasuk karya sastra.

Karya-karya tulisnya antara lain: Profil Wartawan Indonesia (1962), Kisah-kisah Zaman Revolusi (1975), Jakarta Menjelang Kles ke-1 (1978), Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia (1981), Menulis dalam Air (Otobiografi, 1983), Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950 (Jakarta: Grafiti, 1985), Soebadio Sastrosatomo (1985), Bertumbuh Melawan Arus: Biografi Soedarpo Sastrosatomo, 1920-2001 (2001), Sukarno, Tentara, PKI; Segitiga kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965, (Jakarta: YOI, 2007).

Buku Sukarno, Tentara, PKI merekam berbagai peristiwa penting pada masa Demokrasi Terpimpin dan untuk mengetahui kondisi politik, ekonomi dan masyarakat serta karakter para pemimpin Indonesia kala itu. Penulis sebagai wartawan mampu merekam banyak hal mengenai situasi pada masa akhir Orde Lama. Juga dokumentasi ini dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti ilmu-ilmu sosial, terutama sejarah.

Aqsha, Darul. Lahir 20 Juni 1958 di Ampel, Surabaya. Lulus UI, Fak. Sastra, Jurusan Asia Barat, Prog. Studi Arab  tahun 1986. Belajar sebagai wartawan lepas (Surabaya, 1977-1978); majalah Semesta (Surabaya-Jakarta, 1979-1982); pustakawan Harian Jawa Pos  Surabaya (Jakarta, 1982-1983), pustakawan The Jakarta Post (1983-1990); editor INIS News Letter (Jakarta, 1989-2000), menerjemahkan buku dari bahasa Arab.

Karyanya: Islam di Indonesia: A Survey of Events and Developement from 1988 to March 1993 bersama Dr. Dick van der Meij dan dr. John Meuleman (Jak-Leiden: INIS, 1993); Kiai Haji Mas Mansur (1896-1946): Perjuangan dan Pemikiran, (Jakarta: Erlangga, 2008).

Buku ini mengisahkan riwayat hidup KH. Mas Mansur. Ia dibesarkan dalam lingkungan pesantren di Surabaya. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lain, di antaranya pernah belajar di pesantren yang dipimpin KH Kalil Bangkalan, Madura. Ia belajar berbagai ilmu keislaman dan bahasa. Tahun 1908 ia pergi ke Makah. Dari Makah ia pergi ke Mesir, untuk belajar di Al-Azhar. Di negeri ini ia banyak mengenal pemikiran Muhammad Abduh, Al-Afghani, dan  Rasyid Ridha, juga ia membaca karya-karya terjemahan penulis Barat.

Tahun 1915 KH Mas Mansur kembali ke Makah, namun situasi politik memanas, lalu ia memutuskan meninggalkan Makah dan kembali ke pulau Jawa tahun 1916. Ia sempat mampir di Yogyakarta, bertemu dengan KH. Ahmad dahlan, lalu ke Surabaya. Di kota Surabaya ia mengajar di pesantren ayahnya sejak tahun 1920, dan juga ia mulai berdagang. Tahun 1937 ia bersama keluarga pindah ke Yogyakarta, karena ia terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah. Selain sebagai ketua, ia mengajar di Madrasah Mu’alimin (Sekolah Guru) Muhammadiyah.

Tahun 1942 Jepang memasuki Yogyakarta, dan ia masih memimpin Muhammadiyah. Namun, tangal 1 Oktober 1942 ia meninggalkan kota itu menuju Surabaya, tak lama kemudian ia pergi ke Jakarta.

Ardana, I Ketut. Lahir di Banjar Belaluan Sadmertha, Denpasar, Bali. Ia lulus sarjana UGM tahun 1985; tahun 1992-1994 ia mengisahkan program master pada Faculty of Asian Studies, the Australian National University, Canbera, Australia; tahun 1996 ia mendapat beasiswa dari pemerintah Jerman untuk mengikuti program doktor, dan diraihnya dari Sudosttasienkunde der Philosophische Falutat der Universitat Pasau. Lalu ia diperbantukan sebagai Kepala bidang Penelitian dan Perkembangan Asia Tenggara pada Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, LIPI, Jakarta.

Karyanya: “Relevansi Studi Psikologi dalam Sejarah”, dalam jurnal ilmu sejarah Tantular, edisi No 2, 2004; Penataan Nusa Tenggara pada Masa Kolonial 1914-1950, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005).

Karya Penataan Nusa Tenggara.. ini membahas mengenai sejarah di wilayah Indonesia Timur yang disatukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada periode antara 1915-1950, yakni wilayah yang dikenal sebagai Residentie Timor en Onderhoorigheden (Keresidenan Timur dan Sekitarnya). Keresidenan ini meliputi pulau Timor dan pulau-pulau sekitarnya, namun Lombok tidak termasuk. Pada periode itu terjadi perubahan struktur dalam bidang ekonomi, masyarakat dan politik serta perkembangan hubungan dengan nasionalisme di pulau Jawa.

Tahun 1915 pemerintah Hindia Belanda memasukan Nusa Tenggara sebagai bagian dari tanah jajahannya. Pada tahun selanjutnya Nusa Tenggara menjadi sebuah kesatuan administrasi setelah dipisahkannya Sumbawa dari Residentie Celebs en Onderhoorigheden. Pada periode itu pemerintah kolonial melakukan pembaruan dengan pembangunan jalan, perumahan dan sistem pendidikan baru. Mengenai sistem pendidikan baru pada awalnya oleh para misionaris, namun kemudian dikembangkan secara sistematis. Pemerintah kolonial berkepentingan untuk menggunakan pegawai pribumi. Dibangunnya sekolah-sekolah baru di Nusa tenggara tersebut menimbulkan reaksi. Oleh karena itu di wilayah Sumbawa dibangunlah sekolah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Arroisi, Abdurrahman. Lahir 13 Desember 1945 di Pemalang Jawa Tengah. Pendidikan IAIN Sunan Ampel (cabang malang) Fak. Tarbiyah Jurusan bahasa Inggris (sampai tingkat II), Fak. Usuluddin Ibnu Khaldun, Jakarta, ATNI (Akademi teater nasional Indonesia), Jakarta, Kak, Sospol Jurusan Administrasi Negara UNIS Jakarta, dan pernah menjadi Wakil Dekan ST Ilmu Dakwah Al-Aqidah, Jakarta. Adalah sarjana sejarah, ulama dan penulis karya fiksi.

Telah banyak karyanya diterbitkan, satu di antaranya: Islam, pergolakan, dan Pembangunan (Jakarta: Samudra, 1987); Pengembaraan Batin Bung Karno, (Bandung: Rosdakarya, 1993).

Memang telah banyak biografi Sukarno ditulis oleh para pakar sejarah baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun, buku ini memotret Soekarno dari sisi kehidupan pribadi yang selama ini belum terungkap, terutama yang berkaitan dengan keberagamaan Bung Karno. Dari mana ia belajar Islam, diskusi dengan para tokoh Islam dan bagaimana pemikiran-pemikirannya yang ia tuangkan dalam tulisan.

Asyri LA, Zul. Lahir 11 Mei 1945 di Teluk Kuantan, Riau. Tamat Sarjana Muda IAIN Imam Bonjol, Sumatra Barat tahun 1968, dan Drs. Diperoleh dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun 1972; lalu ia melanjutkan ke program S2 bidang Ilmu agama Islam 1985 dan memperoleh gelar doktor pada Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta di bidang pemikiran Islam tahun 1996. Menjadi dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Qasim dan dekan Fakultas Tarbiyah; pernah menjabat Kepala Perpustakaan Pusat IAIN Syarif Qasim, dan ketua lembaga penelitian IAIN Syarif Qasim dll.

Karyanya: Pelaksanaan Musyawarah dalam Pemerintahan Khulafaur-Rasyidin, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990); Nahdlatul Ulama: Studi tentang Faham Keagamaan dan Pelaksanaannya Melalui Lembaga Pendidikan Pesantren, (Pekanbaru: Susqa Press, 1993).

Buku ini membahas mengenai peran NU dalam melestarikan keilmuan Islam di pesantren. Tradisi keilmuan di pesantren dikembangkan melalui proses pewarisan, terutama belajar langsung dari kiai-kiai. Penulis mengungkap bahwa dua aspek faham keagamaan NU, yakni: pertama, dalam bidang kalam NU mengikuti faham Asy’ariyah; dan kedua dalam bidang fiqh NU mengakui keberadaan empat madzhab yang masyhur, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambali. Namun, dalam praktek yang paling menonjol diikuti oleh warga Nahdiyyin adalah Imam Syafii, seperti juga pada mayoritas umat Islam Indonesia.

Juga dicatat bahwa NU tidak menutup pintu ijtihad. Ijtihad bagi orang yang mampu, tetapi bagi orang yang rendah ilmu pengetahuannya cukup menjadi pengikut (muqallid) para mujtahid.

Atjeh, Aboebakar. Lahir 28 April 1909 di Kutaraja, Aceh dan meninggal 17 Desember 1979 di Jakarta. Ia mendapat Doctor Honoraris Causa dalam bidang Ilmu Agama Islam dari Universitas Islam, Jakarta tahun 1967 (30 Januari). Setelah itu ia diangkat sebagai profesor pada berbagai universitas di Indonesia. Ia seorang otodidak. Ia memahami berbagai bahasa asing seperti Arab, Inggris, Belanda, Prancis, Jerman dan Jepang serta berbagai daerah. Pernah menjadi Kepala Bag. “D” di Kementerian Agama.

Ia banyak menulis buku, seperti: Toleransi nabi Muhammmad dan Sahabat-sahabatnya, (Jakarta: Ramadhani, 1970); hasil suntingannya Sejarah Hidup KH. Wahid Hasyim dan Karangan tersiar, ( Jakarta: Panitia Perngt. KH W Hasyim, 1957).

Buku ini menyajikan kisah hidup KH. Wahid Hasyim, anak KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, yang lahir 1 Juni 1914 di desa Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sejak kecil ia sudah kelihatan cerdas. Pada umur 15 tahun ia banyak membaca dan belajar sendiri bahasa Arab, Belanda dan Inggris. Ia berlangganan penerbitan bahasa-bahasa tersebut. Pada tahun 1931 ia sudah mulai mengajar kitab “Ad-Durarul Bahiyah” dan “Kafrawi”, dan tahun 1932 ia pergi haji ke Makkah. Ketika berada di kota suci itu ia mendalami bahasa Arab dialek Quraisy.

Dengan ilmu dan pengalamannya yang luas KH. Wahid mulai mencoba menerapkan model pengajaran yang baru, yakni penggabungan antara ilmu agama Islam dan pengetahuan umum. Pada tahap awal ia berhasil mendidik dua orang murid, yang satu berkiprah di Nahdlatul Ulama dan satu lagi menjadi guru di Muhammadiyah. Kemudian pada tahun 1935 ia mulai membuka madrasah modern, dengan nama Madrasah Nizamiyah. Semua kritik tak ia hiraukan, namun dengan berjalannya waktu percobaan madrasah modern itu melahirkan hasil yang baik, murid-murid pandai berbahasa Arab, juga lancar bahasa Belanda dan Inggris. Banyak orang kagum dan percaya, yang akhirnya banyak yang mendaftarkan anaknya untuk belajar di sekolah itu.

Ia aktif berorganisasi, berjuang, dan menulis, dan semua yang ia lakukan karena cintanya pada tanah air ini. Ketika ia menulis untuk sambutan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, dalam kongrs PUSA di Kutaraja ia mengutip Douwes Dekker (Dr. Setia Budi), “Jika tidak ada agama Islam di Indonesia ini, niscaya akan lenyaplah kebangsaan Indonesia dari kepulauan ini, karena derasnya arus paham kebaratan. Memang kebangsaan Indonesia akan tetap juga di Indonesia, akan tetapi kebangsaan itu tidak asli lagi”.

Atmakusuma,(ed. Dkk.) Tahta Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, (Jakarta: Gramedia, 1982).

Dalam buku ini terdapat informasi penting mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949. Pada saat itu Sultan Hamengku Buwono IX mendatangkan Letkol Suharto, dan ia menanyakan tentang kesiapan Letkol Suharto untuk mempersiapkan serangan umum dalam tempo dua minggu.

Hanya sekali itu saja pertemuan antara kedua tokoh dalam kaitan dengan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949. Untuk selanjutnya komunikasi antara mereka berdua melalui kurir. Serangan dilakukan oleh tentara dan rakyat di bawah pimpinan Letkol Suharto. Yogyakarta waktu itu diduduki selama enam jam.

Azra, Azyumardi.  Lahir 4 Maret 1955 di Lubuk Agung, Sumatera Barat dan meninggal 18 September 2022. Ia selasai menempuh studi di Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah tahun 1982. Dari Departemen Bahasa-bahasa dan Kebudayaan Timur Tengah ia meraih gelar MA (1988), dari Departemen Sejarah MA kedua (1989), M.Phil. (1990), dan Ph.D. (1992) di Columbia University, New York, Amerika Serikat, dengan disertasi berjudul “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Easten and Malay Indonesia ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”.

Ia pernah menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat  (1979-1982), peneliti LRKN LIPI (1982-1985). Ia menjadi guru besar sejarah pada Fakultas Adab sejak 1997; Purek I 1998; Rektor UIN Syarif Hidayatullah sejak 1998.

Ia juga menjadi Southeast Asia Fellow pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University (1994-1995); SEASREP Visiting Professor pada Universitas Malaya dan University of Philippines, Diliman (1997), dan International Distinguihed Visiting Professor pada New York University, dan The Asia Center, Harvard University (2001).

Telah banyak karya tulisnya yang dipublikasikan, terutama yang berkaitan dengan pemikiran Islam dan kesejarahan. Di antaranya: Karya sejarahnya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII (1994); Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: YOI, 1984); Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Rosdakarya,1999); Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (2002); Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah (Jakarta: Gramedia,2006).

Dalam bukunya Historiografi Islam.. Azra membahas mengenai perkembangan historiografi Indonesia, secara kuantitatif dan kualitatif. Ia mengatakan, bahwa banyak muncul karya sejarah, baik yang ditulis sejarawan Indonesia maupun sejarawan luar. Karya-karya tersebut memberikan sumbangan yang berarti bagi pemahaman yang lebih akurat terhadap sejarah Indonesia. Dari segi kualitas, karya-karya tersebut mengalami peningkatan, dengan penggunaan metodologi yang semakin kompleks, dengan menggunakan ilmu bantu, seperti humaniora dan ilmu-ilmu sosial.

Ilmu-ilmu bantu yang digunakan dalam penulisan sejarah Indonesia telah memperkuat dan mengembangkan corak baru, yang oleh kalangan sejarawan Indonesia, disebut sebagai “sejarah baru”, untuk membedakan dengan sejarah lama. Sejarah lama umumnya bersifat deskriptif-naratif, yang cenderung kepada “sejarah politik”. Namun “sejarah baru”  sebagai alternatif dari sejarah lama, dipahami sebagai “sejarah sosial”, yaitu sejarah yang menekankan kepada analisis terhadap berbagai faktor dan bahkan ranah-ranah sosial yang mempengaruhi terjadinya peristiwa sejarah.

Sejarah sosial di Indonesia dikenalkan oleh sejarawan Sartono Kartodirjo pada tahun 1980-an, terutama mendasarkan pada karyanya tentang pemberontakan petani Banten pada 1888 pada zaman kolonial Belanda. Namun, kata Azra, kajian-kajian sejarah yang dilakukan Sartono termasuk ke dalam pengertian lama mengenai “sejarah sosial”, yang mengacu pada arti sejarah tentang masyarakat kelas bawah. Dalam perkembangan selanjutnya, “sejarah sosial”  tidak hanya sekedar yang berkaitan dengan gerakan-gerakan sosial, namun adat istiadat dan kehidupan sehari-hari diikutsertakan. Contoh terbaik jenis ini mengacu kepada karya Anthony Reid (1993) dan Denys Lombard (1996).

Sementara dalam karyanya sejarahnya Jaringan Ulama ia mengulas mengenai adanya jaringan antara ulama Timur Tengah dengan ulama Nusantara. Transmisi keilmuan tersebut mempengaruhi perkembangan intelektual di Nusantara, mulai dari Hamzah Fansuri, Ar-Raniri, As-Singkili, Nawawi al-Bantani, untuk menyebut beberapa. Mereka banyak menghasilkan karya tulis.

 

B

Baried, Baroroh. Adalah dosen Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta.

Karyanya: “Islam dan Modernisasi Wanita Indonesia” dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed.) Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1988), terj.; “Syair Ikan Tongkol: Paham Tasawuf Abad XVI-XVII di Indonesia” dalam T Ibrahim Alfian (ed. dkk.) Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, ( Yogyakarta: GM Press, 1992).

Dalam karyanya “Islam dan Modernisasi Wanita Indonesia” ini penulis mengulas bahwa sejarah Indonesia mencakup periode yang panjang. Di dalamnya, secara umum wanita Indonesia menduduki posisi yang menonjol, di bidang politik pada awal sejarah Indonesia. Namun, feodalisme mengubah citra wanita Indonesia dari tokoh-tokoh yang mempunyai tanggung jawab sosial besar menjadi warga masyarakat yang diperlakukan sebagai benda-benda yang dipuja. Kesadaran akan tanggung jawabnya akhirnya menghilang.

Terjadi perubahan pada zaman pergerakan nasional, terutama ketikamuncul tokoh Kartini dari Jepara, Jawa Tengah. Banyak organisasi bermunculan di antaranya Muhammadiyah, atas inisiatif KH Ahmad Dahlan, membentuk seksi wanita Muhammadiyah pada tahun 1917, yang disebut Aisyiyah. Aisyiyah mempunya misi untuk memimpin anggota wanita Muhammadiyah memupuk kesadaran mereka akan kehidupan beragama dan berorganisasi. Saat itu tokohnya yang menonjol adalah Nyai Ahmad Dahlan.

Kegiatan Aisyiyah dalam bidang-bidang pengajaran agama, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan ekonomi memperlihatkan bahwa wanita Muslim Indonesia dapat bekerjasama untuk kesejahteraan bersama. Organisasi semacam itu memberi sumbangan terhadap modernisasi kaum wanita Indonesia.

Barton, Greg. Pengajar senior studi perbandingan seni, sains dan agama, pada Deakin University, di Greelong, Victoria, Australia.

Karyanya antara lain: Bersama Greg Fealy (peny.), NU, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (1996); Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (), diterjemahkan Biografi Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2007).

Biografi Gus Dur ini, menurut penulisnya, ditulis setelah melakukan penelitian melalui bacaan dan wawancara, dan ia memfokuskan pada keterangan subyeknya sendiri. Ia menghabiskan waktu berjam-jam bersama tokoh yang ditulisnya dan mendapatkan keterangan darinya. Terutama mengenai dunia tradisionalnya yang banyak tidak dipahami orang, di sini  penulis mencoba menampilkan pemahaman tentang tokoh ini dan dunianya, dari sudut pandangnya sendiri, dan tentu saja dengan pendekatan yang kritis.

Batutah, Ibnu. Pelancong Muslim, yang pernah singgah di kerajaan Samudra Pasei, Sumatra  bagian utara. Hal itu terungkap dalam catatan perjalanannya, seperti disunting oleh Ross E Dunn.

Baudet, H. Lahir tahun 1919. Ia belajar sejarah pada Universitas Leiden dan Paris. Pada tahun 1948 ia menerima gelar doktor di Leiden dengan disertasi tentang tinjauan Abad Pertengahan. Ia pernah bekerja pada Algemeen Nederlands Persbureau di Denhag tahun 1945-1950, lalu menjadi gurubesar sejarah ekonomi dan Sosial pada Rijks Universiteit Groningen tahun 1985, dan kemudian ia mengajar pada Technische Universiteit di Delf.

Karyanya: Ia menulis bersama IJ. Brugmans Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan (Jakarta: YOI, 19 ), terj.

Dalam tulisannya ia membahas mengenai kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Karena berbagai kritik terhadap kebijakannya di Nusantara pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kebijakan politik etis terhadap kaum pribumi. Dari kebijakan itu lahir beberapa elit pribumi yang dengan sadar memperjuangkan nasib bangsa untuk bangkit dan melawan penindasan kolonialisme.

Pemerintah kolonial dalam banyak hal melakukan diskriminasi terhadap kaum pribumi. Oleh karena itu maka beberapa elit pribumi berjuang untuk bebas dari belenggu itu.

Benda, HJ. Adalah mantan Profesor Sejarah pada The Yale University, Amerika Serikat.

Karyanya: Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, (Jakarta: P Jaya, 1980), terj.

Buku Bulan Sabit ini mengulas, pada bagian pertama mengenai Islam pada masa Hindia Belanda, dan bagian kedua yang cukup banyak dibahas tentang Islam zaman Jepang 1942-1945.

Pada zaman kolonial kontak pertama antara orang Belanda dan Indonesia pada sekitar abad ke-17. Orang Belanda membayangkan Islam sebagai sebuah agama yang terorganisir secara ketat, serupa dengan Katolik Roma, susunan kebiaraan hirarkis yang bergabung dengan Khalifah Turki, dan yang memegang kekuasaan terhadap pemerintah dan rakyat Indonesia. Hal itu menimbulkan ketakutan pihak Belanda.

Kemudian pada abad ke-19 banyak orang Belanda di negeri sendiri dan di Hindia Belanda berharap menghilangkan pengaruh Islam dengan kristenisasi. Orang misionaris memang tidak bersekutu dengan pemerintah, namun dana-dana misi dibantu oleh dana-dana negara. Meskipun begitu agama Kristen hanya mampu beroperasi di wilayah yang belum dimasuki Islam.

Pada akhir abad ke-19 ketakutan Belanda meningkat. Oleh karena itu mereka mulai melakukan pembatasan, terutama terhadap urusan haji ke Makkah. Berdasarkan hal itulah, maka pada tahun 1889 diutuslah Christian Snouck Hurgronje, yang kemudian diangkat menjadi penasehat tentang masalah-masalah Arab dan pribumi. Dengan pengetahuannya yang luas tentang Islam di Indonesia ia mulai bekerja. Dengan analisisnya ia membagi Islam menjadi Islam religius dan Islam politik. Terhadap Islam pertama, ia menanamkan sikap toleransi dan netral, namun terhadap yang kedua harus dibereskan sampai tuntas. Kebijakan yang dijalankan Snouck dapat meredam berbagai pemberontakan, namun hanya sementara.

Pada tahun 1942 Jepang mulai memasuki wilayah Indonesia. Berbeda dengan Belanda, Jepang mulai mendekati elit Islam. Hal ini menimbulkan simpati di kalangan umat Islam.

Jepang dapat memahami kelompok-kelompok elit yang bersaing, dan memanipulasikan kelompok-kelompok ini untuk kepentingan pendudukan. Pada masa Jepang, kaum elit priyayi yang mendapatkan hak istimewa pada masa Belanda dikurangi. Kaum priyayi mendapatkan saingan dari kaum nasionalis dan kaum elit Islam Indonesia. Pada masa Belanda, para pemimpin gerakan nasionalis dibuang, namun Jepang mengakui mereka, menempatkan mereka pada pos-pos pemerintahan militer, dan mereka memperoleh prestise sosial. Jepang juga meningkatkan posisi agama Islam, memberikan prestise sosial dan secara implisit prestise politik kepada pemimpinnya di pulau Jawa, dan si seluruh Indonesia.

Wadah untuk berkumpulnya umat Islam dibentuk tahun 1943, yaitu Masjumi. Keannggotaannya terdiri Muhammadiyah dan NU, dan yang menjadi pemimpinnya KH Hasyim Asy’ari.

Dikatakan, meskipun pendudukan Jepang sangat singkat, namun masa penguasaan Jepang ini sebagai masa traumatik yang secara mendalam mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Pada masa akhir pendudukan Jepang di Indonesia kelompok elit Indonesia memainkan peranan penting untuk kemerdekaan Indonesia.

Berg, C.C. Profesor Bahasa Austronesia, Universitas Leiden, Belanda.

Karyanya antara lain: Penulisan Sejarah Jawa, (Jakarta: Bhratara, 1979), terj.; “Gambaran Jawa Pada Masa Lalu” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.) Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995).

Tulisannya mengenai gambaran Jawa pada masa lampau yang didasarkan pada Babad Tanah Jawi yang memuat banyak kisah, silsilah raja-raja dan mitos. Silsilah dari enam dinasti yang memerintah Jawa setelah Raja Shailendra, yaitu: 1. Sailendra, 2. Pajajaran, 3. Majapahit, 4. Para raja Giri, 5. Demak, 6. Mataram. Di dalam Babad itu diserap banyak mitos India.

Bizawie, Zainal Milal. Lahir 28 April 1977 di Pati. Menyelesaikan S1 IAIN di Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 2000, Jurusan Tafsir-Hadits. Pernah menjadi Pemred Jurnal studi Islam dan Budaya Gong (1997-1999); Eksekutif editor pada ICNIS (Intensive Course and Networking for Islamic Sciences) (1998-2000); staf pada lakpesdam NU, Jakarta 2001. Banyak menulis untuk berbagai media, cetak dan elektronik.

Karyanya: Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergumulan Islam Tradisi (Jakarta: Samha dan Keris, 2002).

Buku ini membahas mengenai pemikiran dan paham keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin dengan setting budaya Jawa. Penulis mencatat, bahwa kritik al-Mutamakkin tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Wilayah kepercayaan dan pemahaman yang dikembangkan kraton dangkal dan menyempitkan keagamaan, 2. Apa yang dikembangkan kraton gagal menumbuhkan sistem etika duniawi yang rasional dan produktif, 3. Syari’ah Islam dan sufisme cenderung dimanipulasi kraton untuk tujuan politik yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan umat.

Blusse, Leonard. Lahir tahun 1946. Ia memperoleh gelar Sinologi dari Universitas Leiden, mempelajari antropologi sosial dan sejarah Timur jauh di Universitas Nasional Taiwan dan Universitas Kyoto. Ia mengajar dan meneliti di Universitas Leiden . Di Leiden ia menjadi sekretaris pada Centre for the History of European Overseas Expansion.

Karyanya: Persekutuan Aneh: Permukiman Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC, (Jakarta: Pustazet Perkasa, 1987), terj.

Buku ini mengisahkan mengenai kota Batavia pada abad ke-17 dan perkembangan selanjutnya. Di kota ini penduduknya sangat majemuk, di antaranya Belanda, Cina, peranakan, Bali, Ambon, dan kaum budak. Pemerintah VOC di Batavia menerima kenyataan perbedaan-perbedaan budaya dalam masyarakat kolonial itu selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan Belanda (Eropa).

Boland, Bernard Johan. Lahir 7 Desember 1916 di Dinxperlo, Belanda. Ia memperoleh pendidikan guru, lalu masuk Nederlandse Zendingschool (1936-1941); ia belajar bahasa Arab dan Islam di bawah bimbingan JH. Kramers di Universitas Leiden, tahun 1946-1959 ia bekerja di Indonesia sebagai pendeta, di GK Pasundan dan kemudian di badan penerbit Kristen (BPK Gunung Mulia) Jakarta; lalu kembali ke Belanda ia bekerja pada Fakultas Teologi Universitas Leiden, lulus 1968; tahun 1966 dan 1969 melakukan penelitian di Indonesia, dan memperoleh gelar doktor tahun 1971 dengan disertasi berjudul The Struggle of Islam in Indonesia. Ia mengajar dan menjadi guru besar di almamaternya, dan sejak 1074 Boland menjadi kepala bag. Penerbitan KITLV sampai tahun 1981.

Karyanya antara lain: Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972 (Jakarta: Grafiti, 1985), terjemahan.

Buku ini mengungkap perkembangan Islam di Indonesia sejak zaman kemerdekaan tahun 1945 sampai masa Orde Baru. Pada masa kemerdekaan bagaimana peran kaum muslim, zaman Orde Lama, ketika partai-partai nasionalis, Islam dan komunis dsb mengalami ketegangan dan berakhirnya era Orde Lama ketika terjadi peristiwa 30 September 1965; dan munculnya Orde Baru. Pada zaman setelah 1965 kiprah umat Islam juga direkam dalam buku ini, serta tokoh-tokohnya. Dan terakhir penulis mengulas mengenai hubungan umat Islam dan Kristen, yang mengalami pasang surut.

Booth, Anne. Profesor ilmu ekonomi di  University of London School Oriental and African Studies. Ia pernah menjadi senior reseacrh fellow di Australian Nasional University, dan telah mengajar di Departement of Economics and Statistics, University of Singafore. Perhatian risetnya mengenai, antara lain, dampak pertumbuhan ekonomi dan standar kehidupan di Asia Tenggara sejak tahun 1960.

Karyanya di antaranya: The Indonesian Economy in Nineteenth and Twntieth Centuries: A History of Missed Opportunities (1998); Agricultural Deplovement in Indonesia (1988); bersama William J O’Malley dan dalam Anna Weidemann (Peny.) Sejarah Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988), terjemahan Mien Jubhaar; “Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan” dalam Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: Gramedia, 2001), terj.

J O’Malley, dengan mengutip Tan, dalam pengantar-nya mengatakan, bahwa:”1, seorang sejarawan ekonomi Indonesia harus merupakan ahli teori yaitu seorang “yang sekaligus merupakan ahli teori ekonomi yang piawai serta seorang sejarawan profesional”; 2, sejarah ekonomi Indonesia bagaimana harus memperhatikan perkembangan di daerah pedesaan; 3, bahwa jika ingin dicapai hasil yang memadai, maka cara pendekatan sosiologi harus dikaitkan dengan sejarah ekonomi.”

Braginsky, Vladimir I. Lahir tahun 1945 di Moskwa, Rusia. Ia mulai studi di bidang bahasa dan sastra Melayu dan Indonesia pada Lembaga Bahasa Timur, Universitas Negeri Moskwa; mendapat Ph.D. tahun 1972 dengan judul “Evolution of Classical Malay Versification”; lalu menjadi reserch fellow pada Lembaga Ketimuran, Akademi Ilmu Pengetahuan di Moskwa, dan meraih D.Litt. dengan tesis Genesis and Evolution of Classical Malay Literature (1982). Jabatannya terus menanjak; dan sejak 1983 ia menjadi profesor of Souteast Asian Culture and languages pada School of Oriental and African Studies, Universitas London.

Karya-karyanya antara lain: Tasawuf dan Sastra Melayu: Kajian dan Teks-teks; Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-9 (Jakarta: INIS, 1998), terj.

Buku Yang Indah ini membahas tentang perkembangan sastra Melayu mencakup wilayah Indonesia, Malaysia, Brunai dan Singapura . Sastra Melayu mempunyai sejarah yang panjang dan beraneka warna; juga sejarah sastra Melayu memiliki koherensi dan sitematika yang mengagumkan. Ia merekonstruksi sistem sastra Melayu pra-Islam, seperti dalam Hikayat Seri Rama; sastra awal Islam, masa gemilang kesultanan Pasai dan Malaka, seperti Hikayat Iskandar Zulkarnaen; dan karya Melayu asli yang muncul pada masa itu, seperti sastra sejarah Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu.

Pada awalnya belum ada yang disebut ‘kesadaran diri’ sastra Melayu, lalu dalam perkembangannya muncul apa yang disebut ‘kesadaran diri’ sastra Melayu itu sendiri.

Bruinessen, Martin van. Lahir tahun 1946 di Schoonhoven, Belanda. Belajar fisika teoretis dan matematika di Universitas Utrecht; tahun 1978 ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi Agha, Syaikh and State. Mulai datang di Indonesia tahun 1980, untuk meneliti kemiskinan kota dan gerakan Islam; menjadi konsultan metodologi penelitian pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); ditugaskan INIS menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan mengajar di Faculty der Letteren Universiteit Utrecht, Belanda.

Karyanya: NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994); Tarekat Naqshabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), Kitab Kuning (Bandung: Mizan, ). 

Bukunya NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Martin menganalisis mengenai perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama berinteraksi dengan kekuasaan, dan juga kajian atas pemikiran tokoh-tokohnya yang memungkinkan perkumpulan ini mampu terus berkembang. Tak luput kritik beberapa tokoh NU terhadap kekuasaan atau masalah-masalah sosial-politik-keagamaan, seperti Gus Dur yang sejak semula tidak setuju atas kemunculan ICMI, yang hanya mengakomodasi kepentingan tertentu.

Burger, DH. Pernah menjadi guru besar pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan masyarakat, UI, Jakarta dengan memberikan materi Ekonomi Indonesia.

Karyanya: Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, (Jakarta: JB Wolters, 1957), terj. Mr. Prajudi.

Karya ini mengulas mengenai sejarah ekonomi Indonesia yang dimulai dari sebelum tahun 1500. Perdagangan Asia kuno terdapat dua jalan perniagaan kuno, yakni,  jalan laut dan jalan darat. Jalan darat disebut juga “jalan sutra”, mulai dari Tiongkok, melaui Asia Tengah dan Turkistan, sampai laut Tengah, sedang jalan ini berhubungan juga dengan jalan-jalan kafilah dari India. Hubungan darat antara Tiongkok dan India dengan Eropa sudah terkenal semenjak tahun 500 sebelum masehi. Jalan darat ini adalah jalan yang paling tua. Jalan melaui laut dari Tiongkok dan Indonesia, melaui selat Malaka ke India; dari sini ada yang lalu ke Teluk Persia, melalui Syria ke laut Tengah, ada yang ke Laut Merah, melalui Mesir dan sampai juga di Laut Tengah.

Dalam buku ini diuraikan secara kronologis, dari tahun 1500 M sampai 1800 M, terdapat orang Portugis di Indonesia, orang-orang Belanda pada zaman kompeni, dan perkembangan ekonomi di daerah-daerah luar Jawa pada abad ke-19.

 

C

Carey, Peter. Lahir 30 April 1948  di Rangoon, Birma. Ia studi di Winchester College dan Universitas Oxford, Inggris. Setelah menyelesaikan sarjana Muda (BA) tahun 1969, selama 1 tahun ia mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Cornell, AS. Di lembaga inilah ia mulai berminat pada sejarah Indonesia, khususnya Perang Jawa.

Ia datang ke Indonesia pertama kali tahun 1970. Ia pernah tinggal selama tiga di Jakarta dan Yogyakarta (1970-1973-1976-1977) untuk mengumpulkan bahan penulisan tesisnya tentang sejarah perang Jawa. Setelah ia meraih gelar Ph.D. tahun 1975 ia bekerja di Universitas Oxford, Inggris, semula sebagai pembantu riset di Magdalen College, dan sejak 1979 menjadi dosen sejrah modern di Trinity College. Kemudian ia menjadi Direktur pusat sejarah di Universitas Oxford, Inggris.

Karyanya: Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh (Jakarta: Pustaka Azat, 1985), terj.; Orang Cina, Bandar to Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825 (Jakarta: K Bambu, 2008).

Buku Asal Usul Perang Jawa ini mengisahkan mengenai perang Dipanegara ,atau disebut sebagai Perang Jawa, antara tahun 1825-1930. Perang Jawa ini merupakan suatu garis pemisah, demikian kata penulis, di dalam sejarah pulau Jawa dan seluruh Perang Jawa ini juga sebagai suatu peristiwa yang memisahkan dua zaman, yaitu zaman kekuasaan kuno raja-raja Jawa dan kolonialisme Belanda. Setelah tahun 1830 VOC digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa inilah awal diberlakukannya Sistem Kultur (1830-1848) oleh Johanes van den Bosch.

Perang Dipanegara bermula dari Belanda yang menimbulkan rasa tidak puas rakyat yang hidup dalam wilayah-wilayah kerajaan. Pemerintah Belanda terus mencaplok wilayah-wilayah kerajaan yang ditempati rakyat. Para petani menjadi resah karena ulah pemerintah Belanda, seperti yang dilaksanakan oleh Chavallier. Pada akhir Mei 1825 Smissaert mengadakan perbaikan dan pelebaran jalan-jalan samping yang terletak di sekeliling ibukota kerajaan, dan salah satu jalan-jalan tersebut menyusuri batas tanah-tanah perkebunan milik Dipanegara di daerah Tegalreja. Dalam pelebaran jalan tersebut Danureja melaksanakannya tidak dengan bijaksana. Akibatnya, kejadian tersebut menimbulkan permusuhan bersenjata dengan para pengikut Dipanegara.

Smissaert dan Danureja berupaya mengundang Dipanegara untuk datang ke Yogyakarta, namun pangeran menolaknya. Lalu diutuslah Mangkubumi ke Tegalreja untuk membujuk Dipanegara, malah sebaliknya Mangkubumi memihak Dipanegara dan mendukung cita-cita keponakannya itu. Karena itu, Chavallier mengirim ekspedisi untuk menagkap pangeran, dan terjadi pertempuran. Tegalreja dapat direbut dan kemudian dibumihanguskan dengan meriam. Pangeran dan mangkubumi dapat meloloskan diri.

Pelarian mereka sampai di Selarong. Tempat inilah yang kemudian menjadi tempat persembunyian pangeran dan pengikutnya. Saat ini juga dimulai perang Jawa. Sejumlah guru-guru agama dari pesantren-pesantren memberikan bantuan, seperti Kiai Maja dari tanah perdikan Maja.

Chauvel, Richard. Ia mendapat Ph.D. dari Sydney University, dan ia menjadi staf peneliti pada Australian Institute of Multicultural Affairs di Sydney,  Australia.

Karyanya: “Ambon: Bukan Revolusi Melainkan Kontrarevolusi”, dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti, 1989) terjemahan.

Tulisannya mengungkap mengenai peristiwa yang terjadi di Ambon. Setelah pemulihan kedaulatan RI pada bulan Desember 1949 oleh Belanda, RMS (Republik Maluku Selatan) melakukan pertumpahan darah dan berusaha mencegah bergabung dengan pemerintah Indonesia yang baru. Pemerintah pusat merespon dengan kekuatan militer TNI.  TNI dapat merebut kota Ambon, dan sebagian para pemipinnya kabur dan ada yang ditangkap, di antaranya Soumokil tahun 1962 dan dihukum mati 1966.

Masyarakat Ambon terpecah belah para, yang pro RMS dan pro pemerintah RI. Hubungan antara masyarakat Islam dan Kristen yang sudah tegang, diperkuat oleh kenyataan bahwa para pemimpin sipil RMS semuanya beragama Kristen serta serdadunya, dan yang menjadi korban mereka kebanyakan orang-orang Islam. Pasca RMS keadaan di Ambon menjadi damai.

Clombijn, Freek. Ahli sejarah Perkotaan, peneliti NIOD Belanda. Ia memperoleh gelar doktor sejarah perkotaan dari Universitas Leiden, Belanda.

Karya bersama (Martine Bawegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Khusyairi, ed.)  Kota Lama Kota Baru, (Semarang: 2004).

Buku ini berisi beberapa tulisan dari hasil seminar. Di antaranya mengungkap tentang beberapa kota, seperti Bandung, Surabaya dan Malang mengalami kerusakan berat pada masa revolusi. Kedua, perubahan penguasa administrasi perkotaan pasti telah meninggalkan konsekuensi-konsekuensi pada kota secara menyeluruh. Ketika peralihan terjadi transisi dari administrasi Belanda ke Indonesia, tentu menghasilkan ide-ide baru tentang bagaimana membentuk suatu kota yang ideal. Ketiga, komposisi etnis pada populasi perkotaan berubah sebagai hanya karena penduduk lama pergi, namun karena ada masyarakat baru yang masuk ke dalam populasi kota. Keempat, pertumbuhan di perkotaan dan di perbatasan dengan desa mengakibatkan arus massal pengungsi yang datang dan pergi. Ada yang pergi dan ada yang mendiami kota. Kelima, karena terjadi penaikan yang tiba-tiba dari orang Indonesia tanpa bekal ke posisi staf-staf hingga ke kepala sehingga terjadi kekacauan administrasi.

Sebagai contoh tulisan Djoko Suryo, “Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”. Persoalan yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah persoalan penduduk, tanah dan lahan permukiman serta usaha. Kota Yogyakarta berasal dari kota istana/ kraton yang bernama Ngayogyakarta hadiningrat yang terletak di daerah agraris pedalaman Jawa yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I (pangeran Mangkubumi) pada tahun 1756. Pendiriannya dengan perjanjian Giyanti 1755, yang membagi kota menjadi dua kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta.

Cribb, Robert Bidson. Lahir 1957 di Brisbane, Australia. Ia belajar di University of Queensland, 1975-1978, dan kemudian pada School of Orintal and African Studies di London, 1979-1984, temat ia menerima gelar Ph.D. Ia mengajar sejarah dan politik pada Griffith University di Brisbane pada 1983- 1986, Lektor dalam sejarah Indonesia di Universitas Queensland di Brisband, Australia. Ia telah memegang jabatan peneliti di Australian National University, Netherland Institute of Advanced Study dan Nordic Institute of Asian Studies di Denmark, dan telah mengajar di Griffith University di Australia maupun di Leiden Unversiteit di Belanda.

Karya-karyanya ialah: Yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 (Jakarta: PU Grafiti, 1990); Suntingan The Indonesian Killings of 1963-1966 (1990);Historical Dictionary of Indonesia (1992); Gengsters and Revolutionaries (1992); Historical Altas of Indonesia (1999); “Jakarta: Kerja Sama dan Perlawanan dalam Kota yang Diduduki”, dalam Pergolakan Daerah pada Awal kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti, 1989), terj. “Bangsa: Menciptakan Indonesia” dalam Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: Gramedia, 2001), terj.

Buku Gejolak Revolusi ini berasal dari disertasi Cribb mengungkap mengenai sejarah di suatu daerah tertentu, dikaitkan dengan berbagai kecenderungan besar dalam sejarah Indonesia; integrasi daerah yang berlangsung berangsur-angsur dan berkesinambungan yang mewujudkan suatu bangsa dan negara Indonesia.

Proses intergrasi tersebut berlangsung dalam situasi tarik menarik antara pusat dan daerah, yang masing-masing menggambarkan kepentingan representatif negara dan kepentingan partisipatoris bangsa. Bagi daerah Jakarta, situasi konflik semacam itu mencapai puncaknya pada tahun 1948, ketika RI secara formal meninggalkan Jawa Barat, laskar Jakarta Raya membentuk “Pemerintah Republik di Jawa Barat” dan menyatakan diri sebagai ahli waris yang sah dari proklamasi.

D

Dahm, Bernhard. Meraih gelar doktor di Universitas Kiel, Jerman Barat tahun 1964, dengan disertasi tentang Soekarno yang diterbitkan dalam bahasa Jerman tahun 1965, bahasa Belanda 1866 dan bahasa Inggris 1969.

Karyanya: Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta:LP3ES, 1987), terj.

Buku Dahm mengisahkan sepak terjang Soekarno sebagai ideolog dan pemikir. Dilukiskan, ia dengan piawai mampu menyatukan berbagai perbedaan yang ada untuk membangun Indonesia yang merdeka. Penulis mencatat, masyarakat di luar negeri mencitrakan dirinya sebagai pengacau perdamaian, dan bahkan Hitler dari Asia, namun di pihak lain, kebanyakan rakyat Indonesia melihat Soekarno sebagai pemimpin yang paling mampu yang mengekspresikan cita-cita mereka bagi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial.

Juga dibicarakan tentang pemikirannya Nasionalisme, Islam dan Maxisme  (Nasakom).

Damais, LCh. Adalah Profesor Ecole Practiquie des Hautes Etudes, Paris, Prancis dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Jakarta.

Karyanya antara lain: “Sejarah Indonesia menjelang Abad 17: Beberapa Sumber dan Petunjuk” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.)  Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995), terj.

Ia menulis tentang berbagai sumber sejarah Indonesia. Indonesia memiliki prasasti-prasasti yang kebanyakan berupa piagam-piagam dalam bahasa Sangsekerta, Melayu Kuno, Jawa Kuno, Bali Kuno dan bahasa Sunda Kuno, serta di Sumatra terdapat dokument bahasa India.

Selain dokumen-dokumen berbahan batu dan perunggu itu, di pulau Jawa, Bali dan Sunda terdapat naskah daun lontar. Naskah-naskah tersebut seperti Nagarakertagama dan Pararaton. Juga terdapat sumber-sumber dari luar negeri, berupa naskah-naskah dalam bahasa Cina, India dan Islam. Dalam naskah berbahasa Cina banyak ketrerangan mengenai Jawa, dalam bahasa India berupa dokumen-dokumen dalam perunggu yang berkaitan Sumatra dan Jawa, dan karya Islam dalam bahasa Arab dan Persia.

Darban, Ahmad Adaby. Lahir di Yogyakarta 25 Februari 1952. Lulus kuliah di Jurusan Sejarah Fak. Sastra dan Sastra dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta 1980. Tahun 1982 diangkat sebagai dosen Jurusan Sejarah Fak. Sastra dan Kebudayaan UGM, lalu ia melanjutkan S2 Jurusan Humaniora di Pasca-Sarjana UGM lulus 1987 dengan tesis berjudul ”Rifa’iyah: Gerakan Sosial Keagamaan di Pedesaan Jawa Tengah tahun 1950-1952”. Pada tahun 1992-1997 menjadi Ketua Jurusan Sejarah Fak. Sastra; 1997-1998 sebagai Ketua Program Studi Kearsipan (Diploma III) Fak. Sastra UGM; 1998 menjadi Pudek III Fak. Sastra UGM; 2003-2007 sebagai Ketua Jurusan Sejarah Fak. Ilmu Budaya (FIB) UGM. Selain di dunia akademis ia pun aktif di Muhammadiyah Yogyakarta dan MSI cabang Yogyakarta.

Karyanya antara lain: Sejarah Pelajar Islam Indonesia, (Panitia PII 1976); Snouck Hurgronje dan Islam di Indonesia, (1992); Peran serta Islam dalam Perjuangan di Indonesia, (1988); Historiografi: Sebuah Catatan, (Tarawang, 2000); Rifa’iyah: Gerakan Protes Ulama di Pedesaan Jawa Tengah, (Tarawang, 2000); dan Fragmentasi Sejarah Islam Indonesia, (2008), dsb.

Buku Fragmentasi  mengulas tentang umat Islam Indonesia dalam berbagai aspek, di antaranya dakwah, seni, perjuangan ulama dan santri melawan kolonial Belanda, serta peranan Islam dalam pergerakan nasional Indonesia. Umat Islam memiliki peran yang penting dalam mengantarkan bangsa ini ke alam kemerdekaan.

van Dijck, Cornelis. Lahir di Rotterdam, Belanda pada 28 Juni 1946. Ia menyelesaikan kuliah antropologi di Universitas Leiden tahun 1970, dan mempertahankan disertasinya tahun 1981 di universitas yang sama. Sejak tahun 1970 ia bekerja sebagai peneliti senior pada KITLV (Koninkelijk Institut voor Tallanden Volkenkunde/ Institut Kerajaan untuk Kajian bahasa, Kebudayaan dan Sejarah) di Leiden. Pada 1985 ia diangkat sebagai guru besar pada Universitas Leiden untuk mata kuliah Sejarah Masyarakat Islam Mutakhir di Indonesia. Ia juga editor Review of Indonesia and Malayan Affairs (RIMA), European Newsletter of Southeast Asian Studies dan Handbuck der Orientalistik, dan Abteilung III: Indonesia and Malaysia.

Ia telah menerbitkan banyak tulisan, di antaranya tentang Nahdlatul Ulama, Darul Islam, dan sejumlah karangan tentang sejarah Indonesia abad XX. Bukunya yang telah diterjemahkan Darul Islam (Jakarta: Grafiti, 1993 ).

Melalui buku ini van Dijck mengungkap Darul Islam yang dipimpin oleh Maridjan Kartosuwirjo, atau Kartosuwirjo saja. Mengapa rakyat memihak Darul Islam? Menurut penulis ada empat faktor: Pertama, hubungan Tentara Republik dengan satuan-satuan gerilya liar, yang akarnya terdapat dalam keadaan-keadaan khusus perang kemerdekaan antara 1945 dan 1950. Perang yang terjadi pada masa itu tidak hanya dilakukan Tentara Republik resmi, namun banyak kelompok bersenjata lain turut serta dalam perjuangan, dan sejumlah besar “kelompok gerilya lain”; kedua, satuan-satuan liar tersebut ada hubungannya dengan meluasnya penguasaan pusat. Kepentingan daerah harus mengalah demi kepentingan pusat; ketiga, pemberontakan  Darul Islam merupakan pemberontakan lokal, karena itu yang dibicarakan faktor struktur agraria. Ledakan lokal terjadi dalam waktu yang panjang dan meliputi daerah-daerah yang luas; faktor keempat adalah agama.

Dalam gerakan DI yang dianggap musuh bukan lagi kolonialis asing yang kafir, tetapi orang Indonesia sendiri yang juga Muslim. Dan dalam gerakan ini adanya unsur-unsur bid’ah, seperti kepercayaan akan datangnya Ratu Adil atau suatu masa damai dan makmur.

Djamal, Murni. Meraih master di The Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada.

Karyanya: Dr. H Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20, (Jakarta: INIS, 2002), terjemahan.

Diulas dalam buku ini, bahwa gerakan pembaruan di daerah Minangkabau dicetuskan oleh Syekh Ahmad Khatib, yang lahir di Bukittinggi tahun 1855. Ia pergi ke makkah dan bermukim di sana. Ia banyak menulis. Di antara murid-muridnya, yakni Dr Abdul Karim Amrullah, Dr Abdullah Ahmad, dan Syekh Muhammad Jamil Jambek. Namun, karena ketiga tokoh itu pemikirannya identik, penulis memilih mengulas gagasan Dr Abdul Karim Amrullah.

Ia banyak menulis dan menaggapi berbagai masalah keagamaan, mulai dari Tauhid, Qur’an-hadits, Mistik, pandangan tentang taqlid, kepemimpinan, hukum waris adat.

Pengaruh Dr Abdul Karim Amrullah sangat kuat di Minangkabau. Ia menjadi penggerak untuk menolak penerapan guru ordonantie. Dengan kesepakatan para ulama di Minangkabau maka lahir resolusi menolak guru ordonantie. Pengaruh Haji Rasul dalam gerakan pembaruan Islam tampak besar ketika ia memperkenalkan Muhammadiyah dan menyatukan semua ulama pembaru ketika pemerintah kolonial dalam usahanya untuk menerapkan guru ordonantie.

Djamhari, Saleh A. Ia memperoleh BA. Tahun 1962 dari jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan  UGM; tahun 1965 ia menyelesaikian sarjana Fak. Sastra UI; juga lulus Pascasarjana UI dengan tesis tentang sejarah militer Diponegoro.

Karyanya: Strategi Menjinakkan Diponegoro: stelsel benteng 1827-1830 (Jakarta: Kom. Bambu, 2003).

Buku ini mengisahkan mengenai pemberontakan Diponegoro. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang mengaku sebagai pelindung Sultan dan pemilik kedaulatan atas Kesultanan Ngayogyakarta, menilai pemberontakan Diponegoro sebagai melawan hukum dan mengganggu kedaulatan negara. Lalu pemerintah kolonial memutuskan untuk menumpas pemberontakan itu dengan kekuatan senjata. Pelaksana tugas tersebut adalah Jenderal De Kock, panglima Hindia Timur. Ia membangun Stelsel Benteng tahun 1627.

Stelsel Benteng dibangun dengan maksud melemahkan lawan, namun karena kecerdikan para pembantu Diponegoro, seperti Kyiai Mojo, Alibasah sentot Prawirodirdjo, dan Pangeran Bei, perang menjadi berjalan lamban. Akhirnya, strategi atrisi Diponegoro tidak mampu tidak mampu melawan Stelsel Benteng Belanda, yang didukung dengan persenjataan modern. Ia dipaksa berdamai.

Djaya, Tamar. Lahir 12 Maret 1913 di Sungai Jaring, Bukitinggi, Sumatra Barat. Pernah mengenyam Sekolah rakyat, Diniyah School, Thawalib Maninjau Parabek, Padang Panjang tamat pada 1930; Islamic College Padang; Universitas Ibnu Khaldun Fak. Publistik, hingga tingkat v. Ia mulai menulis tahun 1930, dan pengalamannya menjadfi Pemimpin Redaksi berbagai penerbitan, antara 1934 sampai 1957.

Karyanya antara lain: Riwayat Hidup A Hassan, (Jakarta: Mutiara, 1980).

Buku ini menuturkan kisah mengenai Ahmad Hassan, sebagai seorang ulama yang telah melahirkan banyak karya tulis. Ia dilahirkan di Singapura tahun 1887. Seperti orang tuanya yang wartawan, ia pun menjadi penulis muda yang mula-mula pada surat kabar Utusan Melayu, tahun 1909 di Singapura. Ia banyak belajar agama kepada berbagai ulama. Lalu 1921 ia pindah ke pulau Jawa, Surabaya. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh SI, seperti HOS Cokroaminoto, AM. Sangaji, H Agus Salim, Bakri Suratmaja dll. Juga ia bertemu dengan tokoh Nahdlatul Ulama KH Abdul Wahab Hasbullah, Dengan Kiai Wahab ia berdialog soal agama, dan setelah itu ia menjadi pendukung kaum muda.

Tahun 1923 ia pindah ke Bandung, dan ia berkenalan dengan tokoh Persatuan Islam (Persis). Di kota Bandung ia menjadi tokoh Persatuan Islam dan ia menulis tafsir al-Furqan, yang diselesaikan di Bangil. Ia juga berkenalan dengan tokoh nasionalis, Soekarno. Bung Karno tertarik belajar agama kepadanya. Ketika di Ende, sebagai orang buangan politik kolonial terjadi suart menyurat antara Bung Karno dengan A Hassan. Surat-suarat itu dibukukan oleh A Hassan dengan judul Surat-surat Islam dari Endeh.

Tahun 1941 ia pindah ke Bangil. Di kota kecil ini ia mendirikan pesantren untuk putra dan putri. Pada tahun 1958 ia meninggal dunia di Bangil. Karya-karyanya banyak dibaca luas, bahkan di lingkungan Asia Tenggara.

Djayadiningrat, Hoesein. Lahir tahun 1886 di Kramat Waru, Banten dan meninggal tahun 1960. Tahun 1899 ia masuk HBS, dan sebelum ke universitas ia belajar bahasa Latin dan Yunani Kuno antara 1904-1905, untuk persiapan masuk Universitas Kerajaan, Leiden, lulus 1910. Lalu tahun 1924 ia diangkat sebagai guru besar pada Sekolah Hakim Tinggi, bidang Hukum Islam dan bahasa Melayu, lalu Jawa dan Sunda; tahun 1935 diangkat menjadi anggota Dewan Hindia; tahun 1945 ia menjadi kepala Dep. Urusan Agama; tahun 1952 sebagai Guru besar pada Fak. Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.

Ia menulis “Islam di Indonesia” dalam Knett Morgan (ed.) Islam Jalan Lurus, (Jakarta: P Jaya, 1986) terjemahan; Tinjauan Kritis Sejarah Banten (Jakarta: KITLV dan Djambatan,1983); ”Tradisi Lokal dan Studi Sejarah Indonesia” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.) Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995).

Melalui buku Tinjauan Kritis.. ini Hoesein mengungkap tentang penulisan sejarah Jawa dengan menganalisis secara kritis Babad Banten. Ditinjau dari sudut historis dan historiografis. Pertama tinjauan historis atas berbagai keterangan  kronik tentang sejarah Banten dan perbandingan dengan kronik-kronik lain, serta dengan perbandingan itu pembaca dapat mengetahui tentang penulisan sejarah Jawa.

Djuned Poesponegoro, Marwati. Sarjana sejarah dari Universitas Indonesia, Jakarta.

Menulis dkk. untuk Sejarah Nasional VI. Buku ini bermasalah dan dianggap belum selesai oleh sebagian penulisnya. Namun belum juga diperiksa kembali oleh penulisnya keburu diterbitkan, sehingga sebagian penulisnya tidak mau bertanggung jawab dan namanya tidak dicantumkan.

Drewes, GWJ. Lahir 28 November 1899 – 7 Juli 1992. Ia menjadi mahasiswa bahasa-bahasa dan kesusastraan Indonesia di Universitas Leiden mendapat BA; master dalam bahasa Jawa; menerima gelar Ph.D. dengan disertasi “Drie Javaaneche Goeroe’s: Hun Leven, Onderrich en Messias prediking” (Tiga Guru Jawa: Kehidupan, Ajaran dan Amanat Mesianis Mereka) tanggal 1 Juli 1925, di bawah promotor Snouck Hurgronje.

Lalu berangkat ke Hindia Belanda dan ditugaskan di Kantor Penasehat (Pengganti) untuk Urusan Pribumi (Kantoor voor Inlandsche zaken), yang dipimpin oleh RA. Kern; lalu Kantor Bakai Pustaka (Kantoor  voor de Volkslectuur) atas usaha DA Rinkes. Tahun 1935 ia diangkat menjadi guru besar pada Sekolah Tinggi hukum (Rechtshoogeschool) sebagai pengganti prof. Hoesen Djayadidiningrat, yang menjadi anggota Dewan Hindia Belanda pada 1 Januari 1935. Ia memberi kuliah, Hukum Islam, lembaga-lembaga Islam, bahasa Jawa, Sunda dan Melayu.

Karya tulisnya telah banyak diterbitkan, di antaranya: “Indonesia: Mistisisme dan Aktivisme” dalam Gustave E von Grunebouen (ed.) Islam: Kesatuan dalam Keragaman (Jakarta: YOI, 1983), terj.; “Pemahaman Baru tentang Kedatangan Islam di Idonesia?” dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain (ed.) Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989), terj.

Menganai dari mana Islam datang ke Indonesia masih belum ada kepastian, sebab belum ada bukti yang kuat. Namun berkaitan dengan berkembangnya Islam sudah cukup jelas setelah ditemukan batu-batu nisan pada makam di wilayah Pasai, seperti batu nisan Malik al-Saleh, yang dianggap sebagai raja Pasai pertama yang beragama Islam, yang diperkirakan, meninggal tahun 1297.

Penulis menyarankan untuk dilakukan penelitian kembali kepurbakalaan di Sumatra Utara dan kajian mengenai Islam di India Selatan. Tanpa adanya data baru terhadap masalah tersebut belumlah memadai.

Dunn, Ross E. Adalah profesor sejarah pada San Diego State University dan penulis Resistence in the Desert: Moroccon Responses to French Imperialism 1881-1912.

Menulis: Petualangan Ibnu Battuta: Seorang Musafir Muslim Abad ke-14, (Jakarta: SH, 1995), terjemahan.

Buku yantg ditulis (ulang) oleh Dunn ini mengisahkan petualangan Ibnu Battuta, musafir asal Maroko, ke berbagai negeri mulai dari Afrika Utara, India, Sumatra, Malaka dan Cina. Pada perjalanan ke dunia timur itu ia sempat singgah di Sumatra.

Di pulau ujung Sumatra itu hidup Al-Malik Al-Zahir (anak Malikul Saleh, pendiri dinasti Samudra Pasei), pangeran dan keturunan ketiga dari penguasa-penguasa Muslim yang telah ada beberapa tahun sebelum tahun 1297. Ia dengan hangat menghibur Ibnu Battuta dan rombongannya.

 

E

Ekadjati, Edi S. Lahir 25 Maret 1945 di Kuningan, Jawa Barat-1 Juni 2006. Masuk PGA PUI, lalu SPG, tahun 1964 kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung; 1973 mengikuti penataran filologi untuk penelitian sejarah di UGM, lalu di Rijksuniversiteit Leiden, Belanda (1974-1975), Penelitian untuk disertasi di UI (1979), dan disertasinya diterbitkan Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda, (Jakarta: P Pustaka, 1982). Ia mengajar di almamaternya, Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Ketua Pusat Studi Sunda.

Karyanya: Fatahillah Pahlawan Arif Bijaksana, (1975); Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat, (1975); Penyebaran Agama Islam di Pulau Sumatra, (bacaan anak), Wawacan Sejarah Galuh, (1981);Sejarah Daerah Jawa Barat Periode Revolusi Kemerdekaan, (1980, karangan bersama); Sunan Gunung Jati: Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda (Jakarta: P Jaya, 2005); bersama tim menulis Sejarah Perkeretaapian Indonesia, 2 jilid (Bandung: Angkasa, 1997). Jilid 1 tulis oleh Ch. N. Latief, SH. dkk.

Buku ini didasarkan pada Babad Cirebon edisi Brandes dan Kern. Penulis di dalamnya mengisahkan bahwa Sunan Gunung Jati sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa, terutama di Tatar Sunda, dan ia juga sebagai tokoh politik yang menegakkan Kesultanan Cirebon dan Banten. Sunan Gunung Jati sebagai tokoh besar banyak diliputi kabut mitos dan legenda, namun penulis berhasil menuliskannya berdasarkan ilmu sejarah, sehingga ia mampu menulis kisahnya secara jernih.

F

Fang, Liaw Yock. Lahir tahun 1938 di Singapura. Ia lulus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1965; kemudian ia melanjutkan studi pada Universitas Leiden tahun 1971 dan menerima doktor bidang sastra tahun 1976 dengan disertasi “Undang-Undang Melaka”. Ia mengajar bahasa dan kesustraan Melayu/ Indonesia di Universitas Nasional Singapura, Singapura.

Karyanya: Undang-Undang Melaka (Leiden, 1971); Sejarah Kesustraan Melayu Klasik, Jilid I dan II (Jakarta: Erlangga, 1991), terj.

Buku Sejarah Kesustraan Melayu Klasik ini mengulas  mengenai sejarah kesusastraan Melayu klasik. Ulasannya diawali dengan kesusastraan rakyat. Kesusastraan ini adalah sastra yang hidup di tengah-tengah rakyat. Sastra jenis ini diturunkan melalui lisan, yang biasanya dari ibu kepada anaknya menjelang tidur. Juga tukang cerita menuturkannya kepada para penduduk, dan terus secara turun temurun.

Setelah beberapa abad terjalin hubungan antara India dan Alam Melayu, maka kebudayaan India dapat mempengaruhi masyarakat Melayu. Agama Budha yang tidak berkasta dan Hindu memiliki kontribusi kepada alam Melayu. Pada sekitar tahun 450 M seorang putra raja dari Kasymir Gunavarman telah mengunjungi pulau Jawa dan Sumatra. Oleh karena itu banyak didapati peninggalan purbakala berupa arca Budha dalam bentuk raga arca Amaravati dari India Selatan, dari abad ke-2 dan ke-3. Agama Hindu disebarkan oleh kaum Brahmana di kawasan Asia Tenggara. Dengan adanya pengaruh dari India tersebut, maka di tanah Melayu terdapat Ramayana dan Mahabarata.

Sekian lama kebudayaan Hindu berkembang, kemudian alam Melayu memasuki zaman peralihan Hindu-Islam. Namun, untuk menentukan karya mana yang termasuk dalam zaman sastra peralihan, penulis sulit menentukan. Lalu katanya, sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari percampuran antara sastra berunsur Hindu dengan pengaruh dari Islam. Cirinya, yang semula dewa diganti dengan Allah Swt.

Dari zaman peralihan mulailah sastra Melayu menampakkan ciri Islam. Yang didahului oleh masuknya Islam ke Nusantara. Menurut laporan Marco Polo, bahwa telah ada pemeluk Islam di Perlak (Aceh). Maliku Saleh, raja Islam pertama Samudra Pasei mangkat menjelang tahun 1297. Perkembangan Islam di Nusantara berhubungan dengan perkembangan Islam di dunia. Gujarat tahun 1196 masuk wilayah Islam. Yang datang berdagang bukan hanya orang Hindu, tapi juga orang Islam. Tahun 1258 Bagdad runtuh oleh bangsa Mongol. Perdagangan darat beralih ke laut. Orang-orang Islam mulai berlayar ke wilayah Timur. Itulah sebabnya mengapa Islam pada abad ke-13 berkembang.

Pada masa Islam kesusastraan Melayu dipengaruhi oleh Islam. Sastra Islam Melayu adalah sastra orang Islam yang ditulis dalam bahasa Melayu, yang cirinya yaitu, pertama, terjemahan atau saduran dari bahasa Arab atau Persia, dua, kebanyakan anonim (tanpa nama penulis dan waktu penulisannya).

Federspiel, Howard M. Doktor studi Islam di McGill University dan Prof. Ilmu Politik pada Ohio State University,  AS.

Karyanya: Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia, 1923-1957 (Jakarta: Serambi, 2004), terjemahan.

Buku ini mengulas bagaimana suatu kelompok muslim Indonesia di era 1923-1957. Penulis menjelaskan pasang surut peran politik Persatuan Islam (Persis) dan tokoh-tokohnya, dan momen-momen penting yang menentukan arah suatu perjalanan bangsa menuju kemerdekaan.

Penulis merekam pergulatan ideologi dalam masyarakat Indonesia dan termasuk Persis di dalamnya dengan kekhasannya. 

Feillard, Andree. Lahir di pantai barat Prancis, 16 Februari 1950. Lulus dalam bidang bahasa dari Universitas Mainz, Jerman Barat tahun 1972, dan ia melanjutkan ke Jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Indonesia 1973. Pernah menjadi wartawan untuk Agence Frence Presse di Jakarta tahun 1981, dan menjadi koresponden Asia-Week 1985-1989. Memperoleh doktor dalam bidang sejarah dan kebudayaan dari EHESS (Ecole des Hautes Etudes on Sciences Sociales), Paris tahun 1993. Mengajar bahasa dan kebudayaan Indonesia di Universitas le Havre dari 1993-1995, peneliti di Centre National  de la   Rechrche Scientifique (CNRS) Paris sejak 1993 , dan mengajar sejarah Islam Indonesia di Institut National des Langues Civilisations Orientales (INALCO) Paris.

Karya-karyanya antara lain: NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LKiS, 1999), terjemahan dari bahasa Prancis.

Penulis mengungkap peran penting Nahdlatul Ulama dalam sejarah Indonesia sejak berdirinya tahun 1926. Sejak semula NU mendukung gagasan-gagasan mengenai negara nasionalis. NU mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, hingga Orde Lama berakhir 1965. Dan pada periode selanjutnya stelah kudeta PKI yang gagal itu, NU bekerjasama dengan ABRI, namun ketika kekuasaan yang didukungnya bersikap otoriter, ia memosisikan diri sebagai oposisi. Saat inilah terjadi krisis politik. NU memosisikan diri sebagai oposisi terhadap kekuasaan, dan karena itu terjadi kemerosotan jumlah anggota organisasi ini.

Krisis kelembagaan inilah yang memberikan peluang untuk tampilnya pemimpin pembaru, yakni Kiai Abdurrahman Wahid dan KH Achmad Sddiq. Mereka berdua mendorong NU untuk menjauhi partai politik dan kembali ke “Khittah 1926” pada tahun 1983. Gus Dur melakukan konsolidasi dalam organisasi ini.

Di bagian akhir bukunya penulis menyinggung mengenai Gus Dur yang menolak kehadiran ICMI yang dinilainya sektarian dan akan menanamkan bibit-bibit perpecahan dalam masyarakat Indonesia.

Feith, Herbert. Lahir 3 November 1930 di Wina, Austria. Pada tahun 1939 ia bermigrasi ke Australia. Belajar sejarah dan ilmu politik di University of Melburne, Australia. Lalu ia bekerja sebagai pegawai Kementerian Penerangan Indonesia di Jakarta (1951-1953) dan (1954-1956). Tahun 1957-1960 ia mempersiapkan disertasi dengan judul “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia” (1962) di Cornell University, AS. Sejak 1962 mengajar pada departemen ilmu politik di Monash University; tahun 1967 menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia.

Karya-karya tulisnya antara lain, berupa buku, artikel dan makalah mengenai politik, perang dan persenjataan nuklir. Bersama Lan Castles menyunting Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965 (Jakarta: LP3ES, 19); Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin, (Jakarta: SH, 1996).

Herbert Feith, dalam buku Sukarno-Militer… mengulas tentang Demokrasi Terpimpin sebagai suatu sistem politik yang dipengaruhi terutama, oleh hubungan antara Sukarno dan Angkatan Darat, suatu hubungan konflik yang ditandai oleh upaya bersama, berlangsungnya terus kompetisi dan ketegangan antara dua mitra yang bertanding lebih kurang secara seimbang.

Penulis juga membahas dengan memberikan suatu usaha dasar kerjasama dan konflik yang ada antara Sukarno dan AD. Ia tulis juga mengenai beberapa segi penting kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia yang memperlihatkan demikian pentingnya interaksi pemerintah sipil, partai komunis dan partai-partai pro-Barat, orang-orang Cina Indonesia, dan juga menyangkut urusan luar negeri.

Ia juga mengungkap struktur konstitusi dan ideologi Demokrasi Terpimpin dan bagaimana sistem ini mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan.

Firdaus, AN. Lahir 20 Agustus 1924 di Maninjau, Sumatra Barat. Sejak muda ia menjadi orang pergerakan sambil meneruskan belajar di perguruan tinggi. Ia aktif dalam organisasi seperti PII, GPII dan PSII sebagai wakil presiden.

Karyanya antara lain: Detik-detik Akhir Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: ); Dari Penjara ke Meja HijauSyarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa, (Jakarta: Gatayasa, 1997), dan lainnya. Juga menerjemahkan karya Syekh Muhammad Abduh Risalah Tauhid;  Ibnu Taimiyah Pedoman Islam Bernegara; Abdul Kadir Audah Islam dan Perundang-undangan.

Penulis melalui bukunya Syarikat Islam berargumen, bahwa dari fakta sejarah Syarikat Islam lahir (16 Oktober) tahun 1905, sedangkan Budi Utomo (20 Mei) tahun 1908, jadi dilihat dari waktu yang lebih dulu adalah SI. SI bersifat nasional dan anti pemerintah kolonial Belanda, namun Budi Utomo tidak, dan BU menjalin hubungan dengannya. Oleh karena itu hari kebangkitan Nasional yang semula dilangsungkan setiap 20 Mei harus diubah menjadi tanggal 16 Oktober, sesuai dengan hari lahirnya Syarikat Islam pada 16 Oktober (tahun 1905).

Foulcher, Keith. Lahir 22 Juli 1947 di  Sydney, Australia. Studi di University of Sydney, tamat 1969; dan telah memperoleh Ph. D. Pernah mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Melbourne (Monash University) dan Flinders University of South Australia, Adelaide; Saai ini ia mengajar di Dept. Southeast.

Karyanya: Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan, (Depok: Kom. Bambu, 2008).

Buku ini berusaha menggali makna Sumpah Pemuda dan proses penciptaan sebagai sombol kebangsaan. Penelusurannya secara historis, memperlihatkan bahwa Sumpah Pemuda yang cikal bakalnya sebelum tahun 1928 adalah akumulasi dari pertemuan berbagai organisasi pemuda. Sebelumnya bersifat kedaerahan, dengan simbol daerah. Lalu semua menanggalkan simbol-simbol kedaerahan dan menyatakan satu Indonesia yang diimpikan, sebagaimana dalam teks deklarasi kongres pemuda tersebut:

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Pernyataan ini dicetuskan jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan 1945. Dengan tanah, bangsa dan bahasa yang satu, maka lahir nangsa yang satu, Indonesia.

Frederick, William H. Lahir 2 September 1941 di Boston, AS. Ia mendapat gelar BA dari Yale University  tahun 1963 dalam bidang Southeast Asian Studies, dan Ph.D. dari University of Hawaii tahun 1978, dengan disertasi berjudul “Indonesia Urban Society of Transition: Surabaya 1926-1946”. Banyak tulisannya dimuat dalam berbagai jurnal terkemuka baik di AS maupun di indonesia, seperti Indonesia dan Prisma. Adalah guru besar sejarah dengan spesialisasi Asia Tenggara, khusus Indonesia pada Ohio University, Athens.

Karyanya: Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), (Jakarta: K Sarana dan Gramedia, 1989); bersama Soeri Soeroto (ed.), Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: LP3ES, 2005); “Seperti Bersaudara; Revolusi Indonesia dan Vietnam: Sebuah Perspektif Perbandingan” dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia, (Jakarta: Gramedia dan LIPI, 1997).

Dalam tulisannya “Seperti Bersaudara;…” ia membandingkan Revolusi Indonesia dan Vietnam seperti ada kemiripan. Di antara beberapa aspek yang dilihat, dari kepemimpinan Vietnam (Ho Chi Minh) pada umumnya memiliki prinsip, rasional, berdisiplin, bersatu dan tegas, sedangkan pemimpin Indonesia (Soekarno) dramatis, pragmatis, cenderung mistis, tidak bersatu dan luwes; kaum militer di bawah pemerintahan sipil, berdisiplin, dikendalikan terpusat dan merupakan aktivis secara politik, sedangkan di Indonesia militer di luar pengendalian sipil, tidak berdisiplin, dan pada umumnya tidak memiliki pusat yang efektif, dan a-politis; dikatakan orang Vietnam memiliki revolusi sosial, sedangkan Indonesia tidak memilikinya.

G

Gajahnata, KH.O. dan Sri Edi Swasono. (Ed.), Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta: UI-Press, 1986).

Buku ini merupakan kumpulan tulisan beberapa sejarawan dan penulis lain mengenai sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Karena ditulis oleh banyak orang tentu kualitas dan gaya tulisan satu dengan lainnya berbeda. Beberapa sejarawan di antaranya Taufik Abdullah, Uka Tjandrasasmita, Hasan Muarif Ambary dan Ahmad Mansyur Suryanegara.

Dalam buku ini ditulis mengenai tokoh yang berjasa pada penyebaran Islam di Sumatra Selatan, seperti Syekh Abd al-Shomad al-Palimbani.

Gonggong, Anhar. Lahir pada 1943 di Pinrang, Sulawesi Selatan. Ia menyelesaikan studi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta pada tahun 1976 dan memperoleh gelar doktor dalam Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia pada tahun 1990 dengan disertasi berjudul “Gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan” (1990). Ia bekerja di Direktorat jendral Kebudayaan, Dept. Pendidikan dan Kebudayaan, dan juga menjadi staf pengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta.

Karya-karyanya, antara lain: Mgr. Albertus Sugiyopranoto (Proyek Inventarisasi dan Dok. Sejarah nasional, dept. Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984); HOS. Tjokroaminoto (Proyek Inventarisasi dan Dok. Sejarah nasional, dept. Pendidikan dan Kebudayaan, 1985); berasal dari disertasi Abdul Qahhar Muzakkar: Dari Pejuang sampai Pemberontak (1992); “Salah Kaprah Pemahaman Terhadap Sejarah Indonesia: Persatuian Majapahit dan Piagam Jakarta” dalam Komaruddin Hidayat dan A Gaus AF, Menjadi Indonesia, (Jakarta: Mizan-YF Istiqlal, 2006).

Buku Abdul Qahhar Muzakkar ini mengulas mengenai Abdul Qahhar Muzakkar ketika ia menjadi pejuang bagi bangsa ini dan periode ketika ia gagal membentuk Brigade Hasanuddin. Ia dan kelompoknya kecewa. Perlawanan KGSS, CTN, dan TKR masa antara 1950-1952 didorong dan ditopang oleh terakumulasinya rasa kecewa, yang menumbuhkan perasaan siri’-pesse’, maka periode tahun 1953 gerakannya ditopang unsur keagamaan, Islam. Selanjutnya 7 Mei 1953 ia menyatakan menggabungkan diri dengan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, yang secara jelas bertujuan mendirikan NII.

Pada tahun 1958-1960 di antara para pemimpin pemberontak berusaha menggabungkan kekuatan mereka, namun nampaknya mereka tidak dapat menghilangkan bibit perpecahan di antara mereka.

Di lain pihak antara tahun 1960-1962 pemerintah RI pimpinan Presiden Soekarno melakukan operasi militer secara intensif. Dalam operasi ini banyak pemimpin pemberontakan yang menyerahkan diri. Pada saat banyak teman-temannya banyak yang menyerah, ia mengambil jalan lain, bukan NII yang dibentuk Kartosuwiryo dan bukan pula RPI yang dibentuk PRRI. Ia menyebut negara bentukannya dengan nama, Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII). Ia menjadi pimpinan “negara” yang dibentuknya itu, hingga petualangannya berakhir pada tanggal 2 April 1965 ketika ia tertembak mati di sebuah tempat di pinggir Sungai  Lasalo di Sulawesi Tenggara.

Goto, Ken ‘Ichi. Lahir 1943 di Tokyo, Jepang. Guru besar pada pusat kajian wilayah Asia-Pasifik (Institute of Asia-Pasific Studies), Universitas Waseda, Tokyo, Ketua Asosiasi kajian sejarah Asia Tenggara di Jepang (Japan Society for Southeast Asian History, 1996-1997). Ia menyelesaikan S1 pada Fakultas Politik-Ekonomi Universitas Waseda, Tokyo, bidang ilmu politik; MA bidang ilmu politik perbandingan dari Universitas Cornell, Ithaca, AS; gelar doktor dalam ilmu sejarah Diplomatik Jepang dari Universitas Keio, Tokyo.

Karya mengenai Indonesia pada masa pendudukan Jepang dalam bahasa Inggris di antaranya: “Modern Japan and Indonesia: The Dynamics and Legecy of War Time Rule”, dalam Peter Post dan Elly Touwen-Bouwsma, ed., Japan, Indonesia and War, (Leiden: KITLV, 1997); “The Semarang Incident in the Context of Japanese-Indonesian Rebelians, dalam Taufik Abdullah, ed., The Heartbeat of Indonesia Revolution, (Jakarta: Gramedia, 1977); Jepang dan Kergerakan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: YOI, 1998), terj.

Buku Jepang dan Kergerakan ini mengungkap mengenai hubungan Indonesia-Jepang yang sudah terjalin sebelum perang. Hubungan itu terjalin berkat para aktivis pribumi dan aktivis Jepang, dan penulis pun mengkaji pendapat para tokoh pemikir dan pergerakan bangsa Indonesia dan kiprah Jepang di Asia-Pasifik, setelah munculnya krisis ekonomi tahun 1930.

Penulis mengkaji pemikiran para tokoh nasionalis Indonesia mengenai jepang, seperti Hatta, bahwa memandang Jepang harus dengan hati-hati, sebab tak ada bantuan yang tidak menyimpan maksud apa-apa.

de Graaf, Hermanus Johannes. Lahir di Rotterdam, 2 Desember 1899 dan ia meninggal 24 Agustus 1984. Meraih gelar sarjana dari Universitas Leiden, Belanda, ia kemudian bekerja di Indonesia. Ketika bertugas di Batavia, 1927-1930, ia belajar bahasa dan kebudayaan Jawa pada Purbacaraka. Lima tahun kemudian, 8 Februari 1686, di Universitas Leiden, de Graaf mempertahankan disertasinya berjudul “De Moord op Kapitein Francais Tack” (Terbunuhnya Kapten Tack, terjemahan diterbitkan Grafiti). Lalu ia kembali ke Indonesia sebagai guru sejarah di Surakarta hingga diinterim Jepang dalam Perang Dunia II. Setelah perang usai ia mengajar di Universitas Indonesia sampai 1950.

Beberapa karya tulisnya dalam bahasa Belanda, di antaranya yang sudah diterjemahkan: Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (1985), HJ. de Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa:Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI  (Grafiti- KITLV: Jakarta, 2001), terj.; Karya bersama HJ. de Graaf dan TH. Pigeaud terakhir Chinese Muslims in Java in 15th and 16th Centuries (CSAS Universitas Monas, 1984).

Buku Kerajaan Islam ini menguraikan mengenai sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Pada abad itu Islam berangsur-angsur berkembang menjadi agama yang paling dominan di pulau Jawa. Hal itu terjadi karena di beberapa titik temu perdagangan laut internasional di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah (Gresik-Surabaya dan Jepara-Demak), golongan menengah Islam, yakni para pedagang berdarah campuran yang telah lama menetap, menjalankan pemerintahan setempat.

Pada mulanya para penguasa baru Islam tersebut, mengikuti contoh para pendahulunya, mengakui kedaulatan raja Hindu-Jawa di Majapahit. Segala sesuatu berlaku seperti dahulu. Namun, menjelang akhir perempat pertama abad ke-16, ibu kota kraton Majapahit diserang dan direbut oleh sekelompok orang Islam fanatik dari Jawa Tengah, yang pada saat itu merupakan kerajaan daerah perbatasan kerajaan. Lalu penguasa Islam dari Demak oleh kelompok-kelompok orang saleh diakui sebagai sultan.

Setelah sekian lama, melalui suatu peperangan, kekuasaan Sultan Demak diambil alih oleh Raja Pajang, maka titik berat pemerintahan mulai bergeser dari pantai ke pedalaman Jawa. Dan sejak abad ke-17 di pedalaman menjadi pusat politk dan kebudayaan Jawa. Sejak pergeseran itu, masyarakat, kesenian dan kesusastraan Jawa mengikuti alurnya sendiri, mulai tidak terbuka terhadap pengaruh kebudayaan lain di Nusantara, seperti India dan Cina.

Green, Marshall. Pernah menjadi Duta Besar AS untuk Indonesia pada tahun 1965-1969.

Karyanya: Dari Sukarno ke Suharto: G 30 S-PKI dari Kacamata Seorang Dubes (Jakarta: Grafiti, 1992), terj.

Buku ini merupakan catatan pengalamannya ketika menjadi Duta Besar AS untuk Indonesia dari tahun 1965-1969. Karena kedudukannya, ia dapat mengumpulkan berbagai informasi mengenai peristiwa itu. Dikatakannya, bahwa kejatuhan PKI adalah karena kelemahannya sendiri yang melekat. Walaupun jumlah anggotanya besar dan adanya dukungan kuat dari Soekarno, PKI sebagian besar terdiri atas orang-orang yang tidak mengenal pelatihan dan organisasi, kurang keyakinan dan disiplin. Kelemahan tersebut terungkap ketika krisis terjadi setelah tanggal 1 Oktober 1965.

Dalam arti politik internasional kup yang gagal itu menghancurkan hubunghan Indonesia dan Cina, pun harapan Beijing bahwa komunisme akan meluas  ke negara-negara berkembang. Dikatakan pula bahwa AS tidak terlibat dalam peristiwa itu, juga AS tidak menjatuhkan Soekarno. (Catatan: Informasi ini harus dicek ualng dan dibandingkan)

Guillot, Claude. Lahir 1944 di Prancis.  Sarjana sastra klasik dan pernah mengajar bahasa Prancis pada Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta dari tahun 1973-1981; juga sebagai tenaga ahli pada Centre National de la Recherche Scintifique di Paris, Prancis.

Karyanya: Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: Grafiti, 1985), diterjemakan Asvi Warman Adam.

Penulis mencatat berbeda dengan anggapan umum bahwa masuk dan berkembangnya ajaran Kristen di Indonesia hasil usaha para zending bersama kehadiran VOC. Penulis ternyata membuktikan berbeda dari anggapan itu. Ia dengan meneliti kasus kelompok Sadrach memperlihatkan bahwa keberhasilan kristenisasi di Jawa pada abad ke-19 hasil aktivitas orang-orang pribumi sendiri. Sadrachlah tokoh kunci dalam usaha tersebut.

Pada tahun 1889 jemaahnya mencapai sekitar tiga ribu orang di desa Kedu. Sadrach berbeda jalan dengan zanding. Dalam ajarannya ia melakukan penyesuaian ajaran Kristen dengan tradisi Jawa.

H

al-Hadad, al-habib Alawi bin Thahir. Ia adalah ulama besar kelahiran Hadhramaut sebagai penulis, peneliti dan pernah menjabat sebagai mufti di Kerajaan Johor, Malaysia.

Karyanya: Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2001), terjemahan Ali Yahya.

Walaupun judulnya tentang Timur jauh, namun di dalamnya ada bab yang mengulas tentang “Masuknya Islam ke Jawa”. Bahwa Islam telah lama masuk ke pulau Jawa, sekitar abad ke-11 M, dengan bukti ditemukannya kuburan Fatimah binti Maimuinah bin Hibatullah di Leren, Gresik. Orang-orang Arab, terutama dari Hadhramaut, Yaman, melakukan hijrah ke pulau di Nusantara.

Hamid, Abu. Lahir 3 Maret 1934, Sinjai, Sulawesi Selatan. Lulus Sarjana Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin tahun 1965, dan doktor bidang antropologi tahun 1990. Peneliti senior pada DEVI-CNRS (Centre Nasonale Reserchers Scientifique) paris tahun 1987; Guru Besar bid. Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin. Selain akademik ia juga menjadi Konsultan/Staf Ahli pada Bappeda Tingkat I Sulawesi Selatan.

Karyanya: Syekh Yusuf: Seorang Ulama Sufi dan Pejuang (Jakarta: YOI, 2005).

Buku ini mengisahkan mengenai Syekh Yusuf al-Maqashari, dari awal kehidupannya di Makassar, masa perjuangan zaman Belanda dan ketika ia dibuang ke luar negeri, Afrika Selatan, serta tentang aliran tasawuf yang ia jalani. Sebagai tokoh tarekat ia banyak memiliki murid di tempat ia dibuang oleh penguasa kompeni.

Hamka. Lahir 16 Februari 1908 di Maninjau, Sumatra Barat dan wafat Jakarta 24 Juli 1981. Dikenal sebagai ulama, penulis produktif, dan mubaligh di Asia Tenggara. Ia seorang otodidak. Ia menguasai bahasa Arab.

Tahun 1924 ia pergi ke Jawa, dan ia banyak belajar dari para tokoh pergerakan. Tahun 1927 ia pergi haji dan bermukim selama lebih kurang 6 bulan di Makkah, lalu kembali ke kampung halamannya.

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto 1953 ia terpilih menjadi anggota pimpinan pusat Muhammadiyah hingga 1971.

Pada masa Departemen Agama dipimpin KH Abdul Wahid Hasyim 1956 ia menjadi dosen di PTAIN Yogyakarta; Universitas Islam Jakarta; Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Ujung Pandang; Universitas Muslim Indonesia di Makasar; Universitas Islam Sumatra Utara di Medan. Dan tahun 1959 ia menjadi anggota konstituante, dan tahun itu juga mendirikan majalah Panji Masyarakat. Tahun 1975 ketika MUI pusat berdiri ia menjadi ketua umum pertama hingga 1980. Ia mendapat gelar Doktor honoraris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo, makalah berjudul “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”.

Karya-karyanya antara lain, fiksi dan non-fiksi: Tenggelamnya Kapal van der Wijck (fiksi); Sejarah Umat Islam 1-4 (Jakarta: B Bintang, 19); Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Gapura, 1951); Antara Fakta dan Khayal: Tuanku Rao, (Jakarta: B Bintang, 1964); karya besarnya Tafsir Al-Azhar (30 juz) ketika ia ditangkap dan dipenjara 1964, dan  Ayahku, (Jakarta: Jayamurni, 1949,1982).

Hamka, dikatakan oleh Deliar Noer walaupun ia tidak menempuh studi formal, ia dimasukan sebagai sejarawan. Dalam Ayahku secara khusus ia menceritakan mengenai haji rasul, Syekh Abdulkarim Amrullah dari masa kelahiran hingga meninggal, 10 Februari 1879 – 1948. Juga mencakup mengenai perkembangan Islam di Minangkabau dan Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan. Dikisahkan pula tentang guru-gurunya, di antaranya Syekh Ahmad Khatib dan beberapa ulama yang menentangnya serta murid-muridnya.

Abdulkarim Amrullah adalah pelopor gerakan Islam “Kaum Muda”  di Minangkabau.

Hanifah, Abu. Lahir 1908 di Padangpanjang, Sumatra Barat. Ia menyelesaikan pendidikan di STOVIA (sekolah tinggi kedokteran) di Jakarta tahun 1932, kemudian Geneeskunige Hogeschool tahun 1932-1938. Sejak tahun 1832 ia aktif sebagai dokter di dalam dan luar negeri, dan pada masa revolusi 1945-1950 bergabung dengan BKR, Ketua Fraksi Masjumi dalam KNIP, Ketua delegasi ke Asian Relations Conference, New Delhi 1947; tahun 1950 menjadi Menteri PPK RIS, Duta Besar RI dan berbagai jabatan serta tugas lain.

Karyanya: Tofan di atas Asia; Insan Kamil; “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifudin” dalam Taufik Abdullah dkk., Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1994).

Penulis mengisahkan pengalamannya dengan Amir Sjarifudin. Ia menjadi pelajar STOVIA. Amir aktif dalam diskusi dan pergerakan. Ia masuk Gerindo yang dipimpin oleh Mr Sartono. Ia telah menjadi komunis pada tahun 1937.

Para pemimpin PKI melakukan kampanye di daerah Jawa Tengah. Para pemuda tak sabar, lalu mereka melakukan pemberontakan di Madiun. Muso dan Amir Sjarifudin menghadapi satu situasi yang harus dihadapi dan tidak dapat kembali. Sebab kaum komunis telah melakukan pemberontakan yang dimulai di Solo. Pasukan Siliwangi tak dapat memadamkannya.

Tanggal 15 September 1948 Presiden Sukarno menyatakan bahwa daerah Solo dan sekitarnya dalam keadaan perang, dan ia memerintahkan Kol. Gatot Subroto selaku Gubernur Militer untuk memimpin. Jend. Sudirman mengirim pasukan tambahan sebanyak 3 ribu orang dari divisi Siliwangi ke Solo untuk memperkuat Republik. Perang saudara sebangsa berkecamuk di Jawa Tengah. Pasukan PKI yang belum terlatih dapat dihancurkan. Sementara banyak rakyat yang menjadi korban keganasan PKI.

Menurut catatan penulis, Muso dan Amir Sjarifudin mengira rakyat membenci pemerintahan Sukarno-Hatta. Mereka mengira oposisi sebagai konfrontasi, padahal tidak. PNI dan Masjumi mempraktekan demokrasi.

Pada akhirnya 28 Oktober 1948 pasukan komunis di Madiun dapat dihancurkan. Amir Sjarifudin tenggelam bersamanya. 31 Oktober Muso tewas dalam pertempuran, dan Amir dan Suripno ditangkap. Kemudian mereka dihukum mati.

Hanna, Willard A. Lahir di Florida, Amerika 3 Agustus 1911 dan meninggal 5 Oktober 1993. Tahun 1932 selesai studi, dan sejak itu ia banyak menghabiskan waktu di wilayah Asia Timur. Ia bekerja sebagai guru, penasehat militer dan sebagai pegawai kedutaan AS di Manila, Tokyo dan Jakarta. Lalu ia menjadi staf pada The American Universities Field, yang mempelajari masalah Asia Tenggara.

Karyanya: Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala, (Jakarta: YOI, 1983); Hikayat Jakarta (Jakarta: YOI, 1988) terj.

Dalam buku Hikayat Jakarta penulis berusaha mengungkapkan beberapa informasi secara umum dan sejarah Jakarta yang berkaitan dengan masa peralihan dan masa penjajahan ke zaman modern. Selama masa peralihan itu telah terjadi peristiwa, perang antara keompeni Belanda dengan Pangeran Jayakarta, pembunuhan orang-orang Tionghoa, masa pendudukan Inggris dan tumbangnya rezim Orde Lama.

Nama kota Sunda Kelapa tidak mengesankan lalu oleh Faletehan diganti menjadi Jayakarta atau Jayakatra, yang berarti “kota yang jaya”, yang disingkat menjadi Jakatra, dan kemudian Jakarta. Kota ini menjadi kota pelabuhan yang cukup ramai setelah Banten.

Cornelis de Houtman semula berlabuh di Banten tahun 1596, lalu ia singgah di Jakatra. Houtman kemudian melanjutkan perjalanannya dengan melakukan penipuan dan pembunuhan-pembunuhan besar-besaran di berbagai pelabuhan di Jawa Timur dan terus menuju Bali. Dari Bali ia kembali ke negeri Belanda dengan tiga kapal penuh muatan lada, pala, dan bunga pala. Rempah-rempah itu sebagian besar hari rampokan.

Di Jakatra tinggal berbagai komunitas Sunda, Jawa, Belanda, Inggris, Portugis, Cina dan Arab. Belanda dan Inggris bersaing dan bahkan konflik dalam perdagangan.

Harvey, Barbara Silklar. Lahir 18 Desember 1933 di Glasgow, Skotlandia, dan dibesarkan di AS. Mendapat B.A. dari George Washington University dan M.A. dari Redcliffe College, kedua-duanya dalam hubungan internasional. Selama 1955-1968 ia bekerja di USIS dan bertugas di Washington, Seoul, Korea dan Surabaya. Pada tahun 1974 mendapat Ph.D. dari Cornell University dalam pemerintahan. Lalu mengajar politik di Monash University di Melbourne, Australia. Ia bekerja di Departemen Luar Negeri AS tahun 1978, bertugas di Singapura,  dan desk officer urusan Vietnam dan kemudian Korea. Pada Agustus 1984 menjadi konsul AS di Surabaya.

Karya monografnya, Permesta: Half Rebellion (Cornell Modern Indonesia Project, 1977), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (Jakarta: Grafiti, 1989), “Sulawesi Selatan: Boneka dan Patriot”, dalam Pergolakan Daerah pada Awal kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti, 1989), terj.

Dalam buku Permesta penulis mengungkap Permesta (perjuangan rakyat semesta) yang mulai di Makassar pada tahun 1957, sebagai gerakan daerah yang umum dan mempengaruhi banyak wilayah lain di Nusantara. Gerakan Permesta tersebut lahir dari rasa kekecewaan para tokohnya terhadap penyelenggaraan negara RI di bawah pimpinan presiden Soekarno.

Alfian menyinggung, mengapa penulis berkesimpulan bahwa Permesta sebagai pemberontakan setengah hati? Karena pada mulanya tidak pernah terlintas di benak para tokoh pemberontakan itu untuk memberontak atau memisahkan diri dari NKRI, di mana mereka pun ikut berjuang di dalamnya. Namun, kata Alfian lagi, pemberontakan setengah hati atau sepenuh hati, ia tetaplah pemberontakan.

Hasymy, M Ali. Lahir 28 maret 1914 di Montasie, Aceh Besar. Ulama yang banyak menulis sejarah, kebudayaan dan sastra Islam.  Lulus sarjana Fak. Hukum Universitas Islam Sumatra Utara (1951-1953); pernah kursus jurnalistik, dan pernah menjadi pemimpin berbagai penerbitan; Guru besar Ilmu Dakwah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, sejak 1975; rektor dan berbagai jabatan pernah dipegangnya.

Karyanya antara lain: Sastera dan Agama, (BA: DIA, 1980); Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: al-Maarif, 1981); Apa Tugas Sastrawan sebagai Khalifah Allah, (Sby: BI, 1984) dan sebagainya.

Buku Sejarah Masuk… ini adalah kumpulan tulisan hasil seminar tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia pada (17-20) Maret 1963 di Medan yang dihadiri para ahli seluruh Indonesia. Dari seminar ini dapat diketahui beberapa kesimpulan, di antaranya, yaitu: 1. Islam masuk ke Nusantara pada abad 1 Hiriyah (7/8 M) dan langsung dari Arab; 2. Daerah yang didatangi di pesisir Sumatra, setelah terbentuknya masyarakat Islam, raja Islam pertama di Aceh; 3. Dalam proses islamisasi orang Indonesia selanjutnya ikut berperan; 4. Mubalig Islam juga sebagai saudagar; 5. Penyiaran Islam dilakukan dengan damai; 6. Kedatangan Islam di Indonesia membawa peradaban yang tinggi dan membentuk kepribadian bangsa Indonesia.

Hatta, Mohammad. Lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatra Barat-meninggal 14 Maret 1980 di Jakarta. Lulus HBS pada 1916 dan dilanjutkan ke MULO lulus 1919, lalu ke PHS (Prins Hendrik School) 1921 di Betawi. Pada tahun itu juga 3 Agustus ia berangkat ke Rotterdam, Belanda untuk kuliah di Handelshogeschool.

Bung Hatta adalah seorang pelaku sejarah sebagai proklamator, yang sejak muda sudah aktif dalam kegiatan politik. Telah banyak ia menulis buku tentang filsafat, ekonomi, politik dsb. Di antaranya karya otobiografinya: Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1982 ).

Dalam Memoir-nya ia menulis dari masa kelahiran, sekolah di Bukittinggi, kemudian di Batavia, kuliah di Belanda hingga masa kemerdekaan ketika ia ikut terlibat dalam berbagai perjanjian dengan pemerintah Belanda.

Bung Hatta ketika di Rotterdam mempelajari ilmu ekonomi. Di waktu malam hari ia mempelajari buku-buku yang sulit dan di siang hari buku yang agak mudah ketika waktu luang. Selama di Belanda ia sempatkan untuk berkeliling Eropa, dari Den Haag, ia dan temannya Dahlan Abdullah naik kereta menuju Hamburg, lalu ke Berlin, Praha, Wina, Munchen dan kembali ke Den Haag.  Di Hamburg ia memborong buku-buku. Ketika kuliah di Belanda ia aktif di organisasi Indonesische Vereeniging, rapat dan membuat tulisan untuk majalah organisasi Hindia Poetra.

Bulan Juli 1922 di Berlin ia menginap di tempat Darsono untuk bertemu Tan Malaka. Mereka bertiga membicarakan menganai situasi Indonesia dan perjuangan untuk Indonesia. Dari Berlin ia akan pergi ke Moskow.

Nama  organisasi yang semula Indonesische Vereeniging diganti namanya pada tanggal 8 Pebruari 1925 menjadi “Perhimpunan Indonesia”. Pada pertengahan tahun 1925 ada pembicaraan tentang kooperasi, yang berhasil meningkatkan ekonomi rakyat. Lalu diusulkan untuk mempelajari kooperasi. Dana untuk itu dikumpulkan dari anggota perhimpunan yang berpenghasilan tinggi. Setelah itu diutuslah Samsi dan Hatta ke Denmark, Swedia dan Norwegia untuk mempelajari praktek kooperasi di negara-negara itu.

Tanggal 10-15 Pebruari 1927 delegasi PI. mengikuti kongres anti kolonial di Bussel, di antaranya Moh. Hatta, Nazir Pamontjak, A Subarjo, Gatot Tarumihardja dan Abdul Manaf. Dalam kongres itu dibicarakan tentang penjajahan termasuk yang terjadi di Indonesia, dan delegasi Indonesia mengemukakan beberapa resolusi.

Setelah lulus ujian tanggal 20 Juli 1932 Bung Hatta dari Rotterdam pulang ke Indonesia melalui Singapura ke Jakarta. Ia aktif dalam Pendidikan Nasional Indonesia. Ia menulis dalam Daulat Ra’yat dan berpolemik dengan Bung Karno yang menulis dalam Utusan Indonesia tentang non-cooperation.

Bulan Januari 1935 Bondan dan Bung Hatta dari penjara Glodok untuk siap-siap diangkut dengan KPM ke Boven Digul. 28 Januari mereka sampai di Tanah Merah. Buku beberapa peti dibawanya. Ia juga mengajar kawan-kawannya tentang ekonomi, dan sesekali filsafat. Bulan November masih tahun 1935 ia bersama Sjahrir  dipindah ke Banda Naire. Sjahrir mengangkat anak Des Alwi dan beberapa saudaranya, dan diajarinya bahasa Belanda dan bebrbagai keterampian. Bulan 1 Februari 1942 Sjahrir dan Hatta meninggalkan Banda Naire ke Surabaya, dan kemudian mereka dibawa ke Sukabumi.

Setelah Jepang menyerah. Para pemuda bergerak dan mendesak agar proklamasi kemerdekaan segera dibacakan. Tanggal 15 Agustus 1945 Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto datang ke pada Bung Hatta mereka minta bantuan supaya kemerdekaan jangan dinyatakan oleh PPKI, bentukan Jepang. Tapi Hatta tidak dapat diyakinkan. Lalu tengah malam Bung Karno dan Bung Hatta dibawa Soekarni dan kawan-kawan ke Rengasdengklok. Disusul oleh Subardjo mereka kemudian kembali ke Jakarta.

Setelah mereka berbicara dengan Nishimura tak  ada hasil, lalu mereka pergi ke rumah Maeda, yang di sana telah hadir pemimpin-pemimpin pemuda dan pergerakan. Di rumah itu disepakati BungKarno menuliskan dan Bung Hatta mendiktekan. “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.” Lalu ditambahkan,” Hal-hal yang mengnai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Setelah bertukar pikiran sebentar, mereka berlima lalu sepakat.

Pagi hari itu tanggal 17 Agustus 1945 tepat jam 10 proklamasi dibacakan di Jalan Pegangsaan  Timur 56, Jakarta.

Ia menuliskan pengalamannya sebagai pelaku sejarah dalam menghadapi kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang dan bagaimana negeri ini dibentuk bersama para pejuang yang juga pemikir lainnya. Dalam catatannya itu ia merekam para pejuang bukan saja berjuang secara fisik, namun juga mereka berjuang secara intelektual, seperti dalam berdiplomasi dengan pihak penjajah asing.

Hendriatmo, Anton Setyo. Lahir tahun 1969 di Jakarta. Lulus sarjana jurusan sipil dengan program studi Struktur pada fakultas Teknik UI, tahun 1993; S2 di bidang Construction Project Management pada Hogeschool van Arnhem en Nijmegen (HAN), University of Netherland tahun 2005.

Ia peminat masalah kebudayaan dan sejarah Jawa. Karyanya antara lain: Giyanti 1755, (Jakarta: CS Book, 2006).

Buku ini mengisahkan sejarah kerajaan Mataram. Terutama ketika terjadi perebutan mahkota, kerajaan Mataram terpecah menjadi dua wilayah, Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Konflik tersebut terjadi antara Paku Buwana (II) dengan Pangeran Mangkubumi, yang kelak bergelar Sri Sultan Hamkubuwana I, juga sebagai pendiri Yogyakarta.

Pangeran Mangkubumi yang taat pada agama Islam tidak menyukai perilaku orang-orang Belanda, seperti suka minum-minuman keras dan kompeni ingin terus menancapkan kukunya di Nusantara. Pangeran Mangkubumi  angkat senjata untuk berperang, sementara di belakang Paku Buwana ada kompeni. Akhir dari konflik tersebut menghasilkan perjanjian Giyanti pada tahun 1755 (8 februari).

Hisyam, Muhamad. Ia memperoleh gelar Doktor dari Universitas Leiden, Belanda. Ia bekerja sebagai Kepala PPKK LIPI, Jakarta.

Karyanya: bersama Taufik Abdullah (ed. Dkk.) Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI dan Y Pustaka Umat, 2003); “Kebijakan haji Masa kolonial” dalam Sejarah dan Dialog Peradaban (Penghargaan 70 Tahun Prof. Taufik Abdullah), (Jakarta: YOI, 2006).

Dalam tulisannya ia mengulas tentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap jamaah haji Indonesia. Pemerintah mengalami posisi yang serba sulit. Jika memberikan kemudahan pada jamaah haji sama dengan memberikan kemewahan, dan juga membuat pemerintah semakin sibuk mengurus masalah haji. Sementara Belanda dengan kaum pribumi berbeda keyakinan. Semakin banyak kaum pribumi yang pergi haji ke Makah, maka akan semakin banyak kaum Muslim menjadi sadar dan radikal. Hal ini tentu menyulitkan pemerintah kolonial dan akan membahayakan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Dengan pertimbangan tersebut, maka pemerintah kolonial mulai mengeluarkan kebijakan yang mempersulit kaum pribumi pergi haji ke Makah.

Hoesein, Rushdy. Lahir 4 Juni 1945 di Jatinegara, Jakarta. Lulus Fakultas Kedokteran UI dan sebagai dokter umum 1973; tahun 1990 mengikuti program Pascasarjana pada bag. Farmakologi FKUI. Tahun 2000 ia mengambil S-2 pada Jurusan Sejarah Fak. Ilmu Budaya UI selesai tahun 2003; lalu ia melanjutkan ke program S-3 pada Departemen Sejarah Fak. Ilmu Budaya, UI.

Karyanya: Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati, (Jakarta: Kompas, 2010).

Buku karya Rushdy Hoesein ini mengungkap mengenai perundingan antara Indonesia dengan Belanda, yang disebut Perundingan Linggarjati. Perundingan ini sangat penting untuk mengakhiri kolonisasi Belanda di Indonesia. Perundingan ini diawali dengan perundingan gencatan senjata yang dilaksanakan di Konsulat Inggris . Setelah disepakati dan kemudian ditandatangani oleh RI, Belanda dan Inggris, pada tanggal 14 Oktober 1946.

Setelah terjadi kesepakatan gencatan senjata, lalu diadakan perundingan politik yang disebut sebagai Perundingan Linggarjati. Perundingan itu berlangsung sebanyak 11 kali. Perundingan politik pertama pada 22 Oktober 1946 sampai ke-4 dilaksanakan di Jakarta, perundingan ke-5 sampai ke-8 di Linggarjati, dan perundingan ke-9 hingga ke-11 dilakukan di Jakarta kembali. Termasuk perundingan informal 4 kali yang diadakan di Jakarta dan di Kuningan.

Yang hadir dari delegasi Belanda antara lain, Schermerhorn, van Voll, de Boer, van Mook, Maassen, dan Samkalden, sedangkan delegasi dari RI yang hadir di antaranya Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Soesanto Tirtoprodjo, AK. Gani, Amir Sjarifuddin, Soedarsono, Leimena, dan A.G. Pringgodigdo. Sukarno-Hatta dilibatkan dalam perundingan ketika dilaksanakan di Kuningan.

Perundingan itu berjalan cukup alot, sebab ada pasal yang tidak diterima oleh pihak Indonesia. Sukarno-Hatta terlibat dalam pertemuan informal. Di sinilah justru terjadi hal yang penting dan menentukan, karena Sukarno hadir dengan membuat terobosan dan mengambil keputusan, sehingga naskah perundingan Linggarjati dapat disepakati dan diterima pihak Indonesia. Setelah itu, tanggal 15 November 1946 Naskah Linggarjati diparaf, dan ditandatangani pada 25 Maret 1947.

Perundingan Linggarjati tersebut diawali pada tanggal 22 Oktober 1946 dan diakhiri pada tanggal 16 November 1946. Inilah perjuangan melalui jalan diplomasi antara Belanda dengan Republik Indonesia.

Hooker, Virginia Matheson. Profesor dan kepala Southeast Asian Center di Faculty of Asian Studies, Austrlian Nasional University, tempat ia mengajar tentang kebudayaan dan masyarakat Indonesia dan Melayu kontemporer.

Karyanya: Writing a New Society: Social Change through the Novel in Malay (1999), dan satu bab dalam Indonesia: Dealing with a Neighbour (1996), sebuah yang disunting Cultur and Society in New Order Indonesia (K Lumpur: Oxford University Press, 1993); “Ekspresi: Kreatif Biarpun Tertekan” dalam Donald K. Emmerson (ed.), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (Jakarta: Gramedia, 2001), terj.

Tulisannya merekam mengenai fenomena ekspresi pada masa Orde Baru. Pada masa rezim ini masayakat di Nusantara memiliki caranya sendiri bagaimana mengespresikan karya-karyanya. Mulai dari seniman pertunjukan, sastrawan, pelukis, jurnalis dan sebagainya. Meskipin mereka dibatasi ruang geraknya.

Orde Baru tak mampu membendung arus kreatifitas masyarakat dalam berbagai bidang, dari ujung kepulauan Nusantara sampai ke ujung lainnya.

Hurgronje, Christiaan Snouck.  Lahir di Oosterhont 8 Februari 1857 dan meninggal dunia di Leiden 26 Juni 1936. Ia orientalis dan penasehat pemerintah Hindia Belanda, mengikuti kuliah teologi dan kesusastraan Semitis dengan disertasi berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekah) 24 November 1880, dengan promotor De Goeje.

Tahun 1889 Snouck Hurgronje berangkat ke Hindia Belanda, untuk masa 2 tahun, mempelajari agama Islam di Indonesia. Atas laporan-laporannya yang baik mengenai alam pikiran orang Jawa dan Islam di Jawa tahun 1891 ia mendapat jabatan penasehat untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Tahun itu bulan Juni ia berangkat ke Aceh, dan kurang setahun kemudian kembali di Batavia. Setelah dari Aceh ia menulis De Atjehers (2 jilid, 1893-4).

Tahun 1906 Snouck mengajukan permohonan cuti ke Eropa yang dikabulkan, karena ia membutuhkan waktu istirahat. Baru sampai di Belanda ia ditawari jabatan guru besar bahasa Arab di Leiden, dan ia menerima jabatan itu.  Tahun 1913 ia memberikan serangkaian ceramah tentang Islam atas undangan American Committee for Lectures on the History of Religions.

Antara tahun 1920-1922 Snouck sibuk menjalankan tugas sebagai sekretaris Senat dan Rektor Universitas di Leiden, dan dalam pengukuhannya ia berpidato dengan judul “De Islam en het rassenprobleem” (Islam dan masalah rasialisme). Dan pada tahun 1927, pada saat ulang tahunnya ia mendapat hadiah sejumlah uang dari kawan-kawannya. Uang itu ia gunakan membangun Lembaga Ketimuran (Oostersch Instituut).

Karya-karya tulisnya telah banyak dipublikasikan: The Acehnese telah diterjemahkan Aceh: 2 jilid (Jakarta: INIS, ), Gayo (Jakarta: INIS,); dan Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhratara, 1983), terj.

Karya Islam di Hindia Belanda ini mengulas mengenai perkembangan Islam di wilayah Nusantara. Karya ini ditulis sesuai dengan sudut pandang penulis sebagai seorang ilmuwan-orientalis, yang mengandung informasi kesejarahan. Snouck berpendapat bahwa Islam disebarkan oleh pedagang Muslim setelah membentuk keluarga dengan penduduk pribumi dan kemudian secara perlahan-perlahan mengembangkan pengaruh ke sekitar, dikatakan oleh Taufik Abdullah sebagai “terasa terlalu memudahkan masalah yang sebenarnya jauh lebih rumit”.

I

El-Ibrahimi, M Nur. Bekas Mayor Tri Divisi Gajah I dan bekas anggota DPR-RI.

Karyanya: Tengku Muhammad Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta: G Agung, 1986).

Buku ini mengisahkan tentang sepak terjang Tgk Muhammad Daud Bereueh dalam pemerontakan yang dilakukan dengan para pengikutnya terhadap pemerintah pusat RI, pada 21 September 1953. Beberapa tahun kemudian, pada Mei 1959, di Kutaraja diadakan musyawarah antara wakil-wakil pemerintah pusat yang dikenal dengan Misi Hardi dan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Trio Hasan Shaleh, Ayah gani dan Husin Al-Mujahid, yang memisahkan diri dari pimpinan Tgk Daud Beureueh ke RI. Hasil kesepakatan itu sebagian anggota DI/TII menjadi pengikut Dewan revolusi kembali ke RI. Sementara Tgk M daud Beureueh dan pengikutnya masih di hutan.

Namun, pada 9 Mei 1962 Tgk M Daud Beureueh ke luar dari hutan dan kembali ke RI. Peristiwa itu tak banyak diketahui oleh umum. Penulis mengisahkan pengalamannya berkaitan dengan peristiwa itu.

Ingelson, John. Adalah dosen sejarah pada Universitas New South Wales, Sydney, Australia. Ia meraih gelar M.A. dari Universitas Wetern Australia dan Ph.D. dari Universitas Monash. Ia melakukan studi tentang serikat buruh di Indonesia pada masa 1920-30-an.

Artikel-artikel berkaitan dengan tema tersebut dimuat di Indonesia, Pacific Affairs dan Modern Asian Studies. Banyak karyanya mengenai sejarah Indonesia dan Malaysia telah diterbitkan di antaranya: Perhimpunan Indonesia and the Indonesian Nasionalist Movemen 1923-1928; Expanding the Empire: James Brooke and Sarawak Lobby, 1839-1869; dan karya yang telah diterjemahkan Jalan ke Pengasingan: Gerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934, (Jakarta: LP3ES, 1988).

Buku Jalan ke Pengasingan ini mengungkapkan pergerakan nasional Indonesia pada awal abad ke-20, terutama tahun 1927. Pada masa itu para pemuda aktif melakukan gerakan politik menolak kolonialisme di Indonesia. Karena aktivitas mereka pada akhirnya banyak mereka yang diasingkan oleh pemerintah kolonial ke luar pulau Jawa.

Iskandar, Mohammad. Menyelesaikan  sarjana pada Fakultas sastra Universitas Indonesia; lalu ia melanjutkan studi  S2 pada program Pascasarjana dengan disertasi berjudul “Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kyai dan Ulama di Priangan, 1900-1942” tahun 1991. Sejak trahun 1995 ia menjadi pengajar di almamaternya. Banyak karya tulisnya tentang sejarah dipublikasikan, di antaranya di Prisma dan Sejarah.

Karyanya antara lain: Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kyai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1942 (Yogyakarta: Matabangsa, 2001).

Dalam karyanya ini penulis mencoba mengungkap dunia kiai dan ulama. Terutama peranan mereka dalam perubahan sosial-politik yang terjadi pada masa kolonial, pada kurun waktu antara 1900-1950. Pada masa ini, paling tidak kata penulis, di Hindia Belanda (Indonesia) muncul gerakan reformasi Islam yang menggugat berbagai praktek keagamaan yang dianggap bid’ah. Pikiran-pikiran tersebut mengguncangkan tatanan keagamaan masyarakat pedesaan, dan pada masa itu timbul pula gerakan politik yang memperjuangkan kemerdekaan, yang berdasarkan agama dan kebangsaan.

Dari studi ini terungkap peranan kiai dan ulama di wilayah Jawa Barat pada masa kolonial Belanda. Di antaranya Kiai Ajengan Ahmad Sanusi, yang memiliki kemampuan yang dapat memungkinkan terjadinya keragaman ilmu (diversifikasi) pada masyarakat Islam. Respon kiai dan ulama terhadap gerakan reformasi Islam dan nasionalis beragam.

Isma’il, Ibnu Qoyim. Lahir tahun 1954 di Kauman Purbalingga, Jawa Tengah. Studi ilmu perbandingan agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; lalu studi sejarah pada program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Pernah menjadi reporter untuk bukuApa dan Apa dan Siapa Sejumlah Orang Terkemuka di Indonesia 1983-1984, (Grafiti Pers). Dosen di berbagai perguruan tinggi di Jakarta; sejak 1983- kini sebagai peneliti bid. Kemasyarakatan dan kebudayaan di LIPI; tahun 1983-1989 menjadi peneliti Leknas-LIPI; tahun 1989-kini peneliti di Pusat penelitian dan pengembangan kemasyarakatan dan kebudayaan (PMB)-LIPI; Wakil sekjen pengurus pusat MSI 1996-2001. Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai jurnal ilmiah, dan menjadi dewan redaksijurnal Sejarah (MSI, Gramedia, Toyota); berkontribusi untuk Seratus Tahun H Agus Salim.

Karyanya: Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di antara Kolonial (Jakarta: GIP, 1997).

Buku ini menguraikan mengenai ulama, penghulu dan lembaganya, juga polemik yang terjadi akibat hubungan sosial keagamaan yang dialami oleh kalangan umat Islam secara umum dan khususnya kalangan penghulu pada masa kolonial Belanda, antara 1882 – 1942. Peran mereka terhadap masyarakat Islam sangat penting, terutama untuk pengembangan Islam dan menumbuhkan Jiwa kebebasan dari cengraman penjajah.

Di satu pihak pemerintah kolonial tidak memberi tempat yang layak kepada mereka, namun masyarakat Islam justru memberi hormat, bahkan gerakan-gerakan perlawanan kebanyakan dipimpin oleh para kiai.

 

J

Jackson, Karl D. Ia memperoleh gelar Ph.D. dari Departemen Ilmu Politik Massachusetts Institute of Tecnology, AS pada tahun 1971. Sempat mengajar pada Departemen Ilmu politik Universitas Barkeley; dan pernah bekerja sebagai Deputy Assistant Secretary untuk urusan Asia Timur dan Pasific, di Departemen Pertahanan AS.

Karyanya antara lain: Salah seorang editor, Power and Communications in Indonesia (1978); Kewibawaan Traditional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: PU Grafiti, 1990), terjemahan.

Menurut penulis bahwa pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh motif ekonomi atau pernyataan-pernyataan ideologis para pemimpinnya. Ia menunjuk sebagai variabel utama pada sistem hubungan kewenangan tradisional yang mendasari kehidupan masyarakat dan yang memperhubungkan setiap desa dengan dunia luar.

 

K

Kahin, Audrey Richey. Adalah editor Indonesia (Cornell University) , majalah ilmiah, di samping sebagai editor Cornell Modern Indonesia Project monograf series. Menerima B.A. dari Notthingham University di Inggris dan Ph.D. mengenai Asia Tenggara dari Cornell University. Ia melakukan penelitian di indonesia dan bagian Asia Tenggara lainnya, dengan fokus Minangkabau dan Sumatera Barat.

Karya-karyanya, antara lain ialah tulisan-tulisan mengenai revolusi Indonesia, masayarakat Minangkabau dan pergerakan kebangsaan. Ia juga menjadi co-editor Interpreting Indonesia’s Politik (1982); “Sumatra Barat: Pos Terdepan Republik”, dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti, 1989), terj.; Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 , (Jakarta: YOI, 2008), terj.

Penulis mencatat bahwa Sumatra Barat mempunyai makna penting bagi revolusi Indonesia, terutama secara simbolik. Tidak ada pertempuran militer besar-besaran. Ketika terjadi  Agresi Belanda I. Pada bulan Juli 1947, bukittinggi menjadi ibuka untuk seluruh Sumatra, sementara Presiden Soekarno memimpin Republik di Jawa, dan Wakil presiden Mohammad Hatta memimpin RI di Sumatra dari Bukiitinggi. Lalu sesudah Agresi Belanda II, bulan desember 1948, ketika pasukan Belanda memduduki Yogyakarta dan menahan para pemimpin inti RI, di Sumatra Barat Pemerintah Darurat RI diproklamsikan.

Kahin, George McT. Lahir 25 Januari 1918 . Ia memperoleh pendidikan di Harvard University (BS, sejarah 1940), memperoleh MA dalam ilmu politik dari Stanford University tahun 1946, dan mendapat gelar Ph.D. bidang ilmu politik dari John Hokpins University tahun 1951. Sejak tahun 1951 ia menjadi guru besar pada Universitas Cornell, dan menjadi Direktur Program Asia tenggara Cornell University (1961-1970), Pendiri dan Direktur Cornell Modern Indonesia Project ( sejak 1954), AS. Ia pernah menjadi Ketua Indonesia Council dari Asia Society, New York (1962-1966), dan anggota dewan berbagai lembaga ilmiah. Ia pernah tinggal di Yogyakarta tahun 1946-1949. Profesor Emeritus Aaron Binenkorp  dalam International Studies.

Ia banyak menulis tentang asia Tenggara, khususnya  Indonesia. Karyanya, antara lain: Repleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Revolusi dan Nasionalisme Indonesia, (Suirakarta-Jakarta: Sebelas Maret University Press dan PS Harapan, 1995), terj.; “Kenangan dan Renungan tentang Revolusi Indonesia”, dalam Denyut Nadi Revolusi Indonesia (Jakarta: GPU-PS Asia Tenggara LIPI, 1997).

Kahin  mengulas mengenai asal usul nasionalisme di Indonesia. Nasionalisme mulai tumbuh semenjak kedatangan orang Barat (Belanda) zaman VOC, pada permulaan abad ke-16. Pada awalnya mereka untuk berdagang, kemudian memonopoli perdagangan, dan selanjutnya mereka menancapkan kekuasaan politiknya. Pada abad ke-18 pemerintah Hindia Belanda membangun kekuasaannya dengan melaksanakan kebijakan monopolistik di bidang ekonomi, yang berbentuk cultuurstelsel. Kebijakan itu menyengsarakan rakyat.

Pada awal abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda mulai memperhatikan pendidikan pada rakyat Indonesia. Oleh karena itu mereka mulai menyediakan fasilitas pendidikan untuk orang Indonesia, terutama kaum ningrat.  Dengan pendidikan tersebut muncul cikal bakal kelas yang berpendidikan. Dengan pendidikan mereka kemudian menjadi lebih sadar akan posisi mereka di tengah-tengah rakyat yang terbelenggu penjajahan. Mereka semakin sadar politik.

Karim, M Rusli. Lahir tanggal 21 November 1952 di Lahat, Sumatra Utara. Ia pernah kuliah di Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, (1974-1977); lalu meraih sarjana di IKIP Negeri, Yogyakarta, tahun 1979; tahun 1995 menggondol MA di Universitas Kebangsaan Malaysia; ia sempat melanjutkan ke jenjang doktor namun tidak selesai, ia menghadap-Nya.

Ia produktif menulis artikel dan buku, di antara lain: HMI MPO: dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1997).

Buku ini mengulas mengenai sejarah kontemporer HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Indonesia – Majelis Penyelamat Organisasi). Organisasi mahasiswa ini, termasuk Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaenis, menolak kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengharuskan setiap organisasi masyarakat menggunakan asas Pancasila. Patut diingat, sejak HMI didirikan tahun 1947 (5 Februari) telah menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Dalam organisasi HMI pada awalnya golongan mayoritas menolak asas Pancasila ketika akan diberlakukan pada tahun 1982. Dalam kongresnya yang ke-15 di Medan ditegaskan bahwa dasar HMI tetap Islam. Namun, pada perkembangan selanjutnya PB HMI akan mengubahnya menjadi berasas Pancasila. Lalu PB HMI melalui Rapat Majelis Pekerja Kongres (MPK) II di Ciloto, 2-6 April 1985, yang antara lain mengamanatkan PB HMI untuk membuat Tafsir Asas Organisi HMI agar disampaikan pada Rapat III dan sidang Pleno IV PB HMI. Saat inilah pasal 5 Anggaran Dasar HMI diubah menjadi berasaskan Pancasila. Hasil ketetapan MPK itu tidak dikuatkan melalui kongres yang akan diadakan di Padang, tapi sudah dilempar ke pers di Yogyakarta, bahwa HMI menerima asas Pancasila.

Banyak protes yang ditujukan kepada PB HMI dengan sikapnya tersebut. Oleh PB HMI dijawabnya, dengan menutup cabang Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Mereka yang menolak asas Pancasila mendirikan HMI MPO. Mengenai kapan HMI MPO lahir tidak ada tanggal yang pasti. Menurut Buku Putih HMI MPO lahir pada tanggal 15 Maret 1986 di Jakarta.

Kartodirdjo, Sartono. Lahir 15 Februari 1921 di Wonogiri, Jawa Tengah. Hilandsch Inlandsche School (HIS) di Wonogiri (1927-1934), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Solo, Sarjana Pertama Sejarah Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia, UI (1956), Master of Art dari  Yale University, Amerika Serikat (1964), dan doktor sejarah dari Universiteit Amsterdam, Holland, Belanda (1966), dengan disertasi berjudul “The Peasent’s Revolt of Banten in 1888: Its Condition, Cour and Sequel: A case study of social movements in Indonesia” .

Ia menjadi guru besar Fakultas Sastra UI dan UGM; ahli riset senior pada Institute of South East Asian Studies (ISEAS), Singapura.

Beberapa karya tulisnya antara lain: Karya sejarah sosialnya Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta:P Jaya, 1984 ); Protest Movement in Rural Java (1973); Pemikiran dan Perkembangan Historiografi: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982); Ratu Adil (Jakarta: SH, ); Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional;  dan Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), masih banyak karya tulis yang lainnya.

Ia adalah peletak dasar sejarah Indonesia dalam perspektif Indonesia, untuk mengubah pandangan sejarah colonialist- oriented. Sejarah model lama tersebut bercorak kolonialistik yang berperan utama adalah orang-orang Belanda, sementara pribumi hanya figuran. Oleh karena itu, agar bangsa ini memiliki kesadaran sejarah yang mengakar pada kekuatan bangsa sendiri, maka perlu ada suatu perspektif Indonesia. Pemikirannya itu terutama tertuang dalam bukunya yang berjudul Pemikiran dan Perkembangan Historiografi: Suatu Alternatif.

Namun, buku pegangan untuk penulisan sejarah diterbitkan pada tahun 1990-an, yakni Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Buku yang ditulis oleh ahli sejarah Indonesia ini berisi mengenai ilmu-ilmu sosial dan humaniora, seperti politik, ekonomi, antropologi, psikologi dsb. sebagai ilmu bantu sejarah. Dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial karya sejarah yang dihasilkan akan lebih mendalam, dan tidak seperti sejarah konvensional yang hanya menitikberatkan pada politik.

Sementara karya sejarah sosialnya sendiri dengan judul Pemberontakan Petani Banten 1888.

Sebelum pemberontakan meletus di Cilegon Haji Wasid melakukan kontak dengan H Tubagus Ismail dan para pemimpin pemberontak terkemuka lainnya. Mereka memutuskan bahwa pemberontakan harus dimulai di Cilegon pada hari Senin 9 Juli 1888, dan disusul serangan terhadap Serang. Setelah musyawarah terakhir dengan H Tubagus Ismail dan H Ishak di saneja pada malam hari Minggu, haji Wasid pergi ke utara untuk melakukan persiapan di distrik Bojonegoro. Pada dini hari mereka bergerak ke Cilegon. Mereka menyerang para pejabat Belanda serta para pembantunya yang pribumi.

Dari Serang Bupati, Kontrolir dan Letnan van der Star sebagai pimpinan pasukan menuju Cilegon untuk memadamkan pemberontakan. Sebelum sampai ke tempat tujuan di Toyomerto mereka bertemu dengan kaum pemberontak, setelah kaum pemberontak menolak menyerah akhirnya diserang pasukan dan beberapa kaum pemberontak tewas. Setelah penumpasan itu semangat kaum pemberontak melemah.

Katoppo, Artides. (dkk.) Lahir 14 Maret 1938 di Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara. Ilmu Hukum dan Ilmu pengetahuan Kemasyarakatan UI; Havana University Center for International Affairs (1979-1975). Wartawan dan dosen Ilmu Jurnalistik FIS UI.

Karyanya: Menyingkap Kabut Halim 1965 (Jakarta: SH, 2000).

Buku ini mengisahkan mengenai gerakan 1 Oktober 1965, khususnya yang berkaitan dengan pangkalan pangkalan udara Halim Perdanakusuma. Kisah ini membuka fakta baru berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Selama Presiden Sukarno di PAU Halim pada tanggal 1 Oktober itu ia berada di Markas Koops, didampingi Laksdya Omar Dani. Presiden Sukarno tidak berkumpul dengan DN Aidit, Sjam, Pono, Bono, Letkol Inf. Untung, Kol.Inf. latief, Mayor Udara Sujono dan para pimpinan G 30 S lainnya.

Pada pukul 10.00 WIB Brigjen Supardjo tiba-tiba menemui Presiden Sukarno untuyk meminta restunya untuk memberi dukungan terhadap G 30 S, namun presidden menolak permintaan itu. Lalu Presiden Sukarno pindah ke kediaman Komodor Udara Susanto, dan Presiden memanggil Dr. Leimena, Waperdam II Sutardio, Jakgung, Men/Pangal laksda Laut RE Martadinata, Men/Pangak, Inspektur Jend. Polisi Sutjipoto Yudodihardjo, dan para pejabat lain, untuk mengadakan pembicaraan.

Sementara Aidit, Kusno, Iskandar Subekti, dan Bono disembunyikan di rumah Sersan Udara Suwardi oleh mayor Udara Sujono di komplek PPP dan PAU Jakarta yang ada di kawasan  PAU Halim, sedangkan Sjam, Pono, Brigjen Suparjo, Kol. Inf. Latief, Letkol Udara heru Atmojo, mayor Udara Sujono, mayor Inf. Sukirno dan Mayor Inf. Bambang Supeno berada di Central Komando I, yang menggunakan gedung penas, di Jalan Jakarta Bypass.

Di selatan PAU Halim, terdapat dua lokasi yang berbeda tapi menggunakan nama Lubang Buaya. 1, lapangan Lubang Buaya yang tahun 1964 digunakan sebagai Dropping Zone (DZ) demontrasi dalam terjun payung pada HUT XIX ABRI, terletak di luar pagar Ring I PAU Halim, termasuk kawasan PAU Halim, dan 2, desan Lubang Buaya, yang sekarang dijadikan Museum Pancasila Sakti, yang terletak di luar kawasan dan tanggung jawab PAU Halim. Tempat ini menjadi tempat latihan dan basis pasukan G 30 S.

Untuk melaksanakan aksi mereka mencuri senjata dan juga menggunakan kendaraan yang di simpan di gudang.

Lalu, untuk menghilangkan saling curiga di antara angkatan bersenjata, maka Presiden Sukarno, melalui siaran RRI pukul 01.00 tanggal 4 Oktober 1965 menyampaikan amanat, yang isinya antara lain: pertama, ada beberapa kesalahpahaman yang dapat menimbulkan pertentangan antara pihak-pihak dalam angkatan bersenjata. Untuk menghilangkan keragu-raguan masyarakat serta untuk membina kesatuan dan persatuan nasional, diumumkan bahwa tuduhan terhadap AURI tentang tersangkutnya dalam G 30 S adalah tidak benar. Dua, kepergian Presiden ke PAU Halim tanggal 1 Oktober 1965 adalah atas kehendak sendiri, agar apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, beliau dapat diterbangkan ke tempat yang lebih aman. Ketiga, harus waspada jangan sampai AURI dan AD dapat diadu domba. Keempat, diperintahkan agar semua anggota angkatan bersenjata bersatu padu dengan keselamatan negara dan revolusinya.

Keesing, Elisabeth. Ia banyak menulis di antaranya: Betapa Besar Pun Sebuah Jangkar: Hidup, Suratan dan karya Kartini, (Jakarta: Djambatan, 1999), terjemahan.

Buku Betapa Besar Pun ini mengungkap kehidupan dari seorang Kartini, berdasarkan surat-surat yang terkumpul. Kartini sebagai seorang permpuan memiliki gagasan-gagasan yang maju pada masa itu di antaranya, yakni ia ingin membebaskan kaum perempuan dari penindasan dari suatu keadaan budaya sendiri dan kolonialisme. Ia berusaha mendidik anak-anak perempuan uantuk dapat menjadi mandiri dengan belajar di sekolah.

K.H., Ramadhan. Lahir 16 Maret 1927 di Bandung-meninggal 16 Maret 2006. Pernah belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School), juga di ITB hanya sebentar dan Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) tak selesai. Pada tahun 1952 ia diundang Stichting voor Culturele Samenwerking (SICUSA/ lembaga kerjasama budaya) yang didirikan pemerintah Belanda, ia belajar juga bahasa Spanyol. Pada tahun 1952 ia berangkat ke Spanyol bermukim di El Saler, Valensia. Ia menerjemahkan karya-karya Lorca.

 Ia lebih banyak belajar secara otodidak dalam tulis menulis, terutama yang berkaitan dengan sastra, berupa puisi, cerita pendek dan novel, seperti Royan Revolusi, Ladang Perminus dsb. Namun, di samping sebagai sastrawan ia pun banyak menulis biografi berbagai tokoh, yang atas karya-karyanya itu pada tahun 2001 ia diangkat sebagai Anggota Kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).

Karya-karya biografinya antara lain: A.E. Kawilarang; Untuk Sang Merah Putih (1986); Soeharto: Pikiran, Ucapan, Tindakan Saya (1988); Bang Ali: Demi Jakarta (1991); Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Kopkamtib (1995), dan banyak lagi yang lainnya.

Buku Soeharto adalah otobiografi yang dituliskan Ramadhan. Ia mengisahkan perjalanan hidup sang tokoh sendiri, dari sejak lahir sampai buku itu dituliskan. Informasi yang berkaitan dengan peristiwa sejarah Indonesia masa perjuangan dapat dikonfrontasi dengan informasi dari pihak lain atau tokoh lain yang hidup sezaman dengannya.

Khuluq, Lathiful. Lahir di Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Mendapat gelar sarjana dari Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada 1991; Persiapan kuliah di luar negeri 1993-1994 di Bali; master dari The Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada dan mendapatkan gelar doktor pada lembaga yang sama . Ia mengajar pada Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga. Ia banyak meneliti dan menulis tentang sejarah.

Karya-karyanya, antara lain “Sejarah Islam versi Orientalis” dalam Pengalaman Belajar di Kanada (1997); Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: LkiS, 2009).

Buku Lathiful berisi kajian mengenai pemikiran keagamaan dan aktivitas KH. Hasyim Asy’ari ( 1871-1947), seorang pendiri Nahdlatul Ulama. Bagaimana Kiai Hasyim berjuang pada zaman penjajahan baik dalam organisasi maupun dengan pena dan lisannya.

Muhammad Hasyim lahir 14 Februari 1871 di desa Gadang, Jombang. Ayahnya bernama Asy;ari sebagai pendiri pesantren Keras di Jombang, dan kekeknya Kiai Usman, pendiri pesantren Gadang yang terkenal. Istrinya pertama bernama Halimah.

Ia semula belajar di pesantren ayahnya. Pada umur 15 tahun ia mulai mengembara ke berbagai pesantren di jawa. Di antaranya ia belajar di Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo). Oleh karena kia terkesan akan kecerdasan dan akhlaknya ia meminta menikahi putri kiai. Setelah ia menikah tahun 1891 ketika ia beumur 21 tahun ia dan istrinya pergi menunaikan haji ke Makkah. Setelah kembali ke tanah air, ia pergi lagi ke Makkah untuk belajar selama 7 tahun.

Pemikiran keagamaan KH. Hasyim Asy’ari terbagi dalam: 1. Teologi, sesuai dengan pemikiran tradisional dari imam al-Asy’ari dan al-Maturidi. Bentuk ajarannya menjembatani antara kebebasan berkehendak (free will) dan fatalism. Teologi Ay’ari memadukan yang berdasar akal dan wahyu dalam menyelesaikan persoalan teologi untuk menyelematkan teologi Islam dari ancaman Hellenisme. 2. Ahlusunnah wal jamaah, yakni ulama dalam bidang tafsir al-Qur’an, sunah rasul dan fiqh yang tunduk kepada tradisional dan sahabat. Mereka mengikuti empat madzhab, Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Ajaran ini diterapkan dalam Nahdlatul Ulama sebagai pengikut, penjaga, dan penyebar jalan ahlusunnah wal jamaah. 3. Tasawuf. Pemikiran Kiai Hasyim tentang sufi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan berbeda dengan sufisme yang menyimpang. Ia mendasarkan pemikiran sufi murni yang diformulasikan oleh al-Junaidi dan al-Gazali. 4. Fiqh. Ia menyatakan bahwa mengikuti satu dari empat madzhab Sunni adalah penting. Sebab ulama madzhab ini memiliki integritas dalam menjaga keaslian ajaran yang diwariskan dari generasi sebelumnya.

Kumar, Ann. Sejarawan yang menyelesaikan studi sejarah di Melbourne University dan meraih gelar Ph.D. di Australia National University, Australia, dimana ia menjabat sebagai professor di Centre for Asian Studies and Histories, Faculty of Asian Studies, College of Asia and the Pacific dan Dekan Faculty of Asian Studies, serta mendapat penghargaan dari pemerintah Australia, Centenary Medal dan dari Nordic Institute of Asian Studies  1997.

Karyanya: Surapati, Man and Legend: A Study of The Babad Traditions (1976); The Diary of Javanese Muslim: Religions, Politics and the Pesantren 1883-1886 (1985); Java and Modern Europe: Ambiguous Encounter (1996); Illuminatins: Writing Traditions of Indonesia (1996); “Historiografi Jawa Mengenai Periode Kolonial Studi Kasus”, dalam Anthony Reid dan David Marr (ed.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya, (Jakarta: Grafiti Press, 1983); dan Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18 (2008), terjemahan.

Buku Prajurit Perempuan Jawa ini mengisahkan tentang para prajurit ‘estri, bagaimana ia menunggang kuda dengan pakaian laki-laki dan dapat menembak salvo dengan tata cara militer. Selain keahlian mereka menggunakan senapan, mereka pun mengikuti perkembangan politik di sekitar kraton, yang dicatat penulis dari catatan buku harian kraton.

Penulis menggambarkan perempuan Indonesia dalam sejarah sebagai perempuan yang tampil ke depan layaknya kaum laki-laki, tidak melulu di belakang dapur.

Koningsveld, P.S. Lahir di Belanda. Sarjana bahasa Arab dan keislaman, Universitas Kerajaan, Leiden, Belanda.

Karyanya: Snouck Hurgronje dan Islam, (Jakarta: Girimukti P, 1989), terjemahan.

Buku ini mengungkap peran Snouck Hurgronje dalam menyokong kolonialisme Belanda di Indonesia. Untuk meneliti Islam Nusantara ia berusaha masuk ke pusat Islam, Makkah. Ia bermukim di sana, selama kurang lebih enam bulan, untuk mengumpulkan informasi mengenai kaum muslim Jawa di kota itu. Ia dibantu Sayyid Usman.

Mengapa Snouck berhasil masuk ke Makkah? Penulis mengungkapkan bahwa Snouck dengan keahliannya dapat mengecoh ulama-ulama Makkah, bahwa ia seorang muslim, dengan nama samaran Abdul Gaffar. Hasil penelitiannya itu, dan di Aceh kemudian, ia gunakan untuk bahan nasehat-nasehat tentang bagaimana menangani kaum muslimin kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam laporan-laporanyang kemudian diterbitkan karyanya The Achehnese tidak disebutkan para informannya yang telah membantu pengumpulan demikian banyak informasi tentang agama dan budaya.

Kunio, Yoshihara. Memperoleh gelar Ph.D. dalam ilmu ekonomi dari Universitas Calipornia, Berkeley, AS. Guru besar ekonomi pada Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Kyoto, Jepang.

Karyanya atara lain: Japanese investement in Southeast Asia, (1978); Sogo Sosha: The Vonguard of the Japanese Ekonomy, (1982); Kapitalisme Semu di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1990); dan Konglomerat Oei Tiong Ham : Kerajaan Bisnis Pertama di Asia Tenggara, (Jakarta: Grafiti, 1991), terj.

Tesis utama Yoshihara Kunio dalam studinya itu adalah bahwa kapitalisme yang berkembang di Asia Tenggara merupakan kapitalisme semu (ersats). Oleh karena itu pula, sesuai dengan lingkungan tempat mereka beroperasi, kebanyakan kaum kapitalis di kawasan ini, lebih merupakan ‘pemburu rente’ ketimbang sebagai kapitalis sejati sebagaimana yang ditemukan di wilayah Eropa sejak abad ke-19 hingga sekarang. Nama julukan mereka, untuk menunjuk sifat hubungannya  dengan kekuasaan, bisa bermacam-macam, seperti kapitalis keraton, kapitalis birokrat ataupun kapiotalis klien. Mereka semua memiliki ciri yang sama, yakni kadar ketergantungan pada kekuasaan yang cukup kental.

Oei Tiong Ham Concern, perusahaan yang berdiri pada pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia, merupakan satu yang tidak termasuk gejala tersebut, sebagaimana dalam Konglomerat Oei Tiong Ham. Ia adalah konglomerat di bidang usaha utama gula di Hindia Belanda.

Kuntowijoyo. Lahir 18 September 1943 di Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studi di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM 1969, ia mengajar pada universitas tersebut. Tahun 1973 ia mendapat tugas belajar di Universitas Connecticut, USA dan setahun kemudian ia meraih gelar MA; sementara gelar Ph.D. dalam studi sejarah diperolehnya dari Universitas Columbia pada 1980, dengan disertasi berjudul “Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940”.

Di samping sebagai sejarawan, ia pun dikenal sebagai sastrawan dan budayawan. Karyanya di antaranya: Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1994); Budaya dan Masyarakat (1987); Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991); Radikalisasi Petani (1994), Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiarawacana, 1994); dan Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995).

Karya fiksinya berupa cerpen yang berjudul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga memperoleh hadiah pertama dari majalah Sastra tahun 1968, dan banyak karya-karya lain baik novel maupun cerpen-cerpennya.

Dalam Dinamika Sejarah… penulis mengatakan bahwa, berbeda dengan agama lain, Islam sampai ke kepulauan Indonesia dengan cara elastis. Sebagai contoh, bentuk masjid-masjid pertama di Indonesia menyerupai arsitektur lokal, yakni warisan dari agama Hindu. Hal ini berbeda dengan Kristen misalnya, yang membangun gereja di sini dengan arsitektur Barat. Kasus ini, menurut penulis, memperlihatkan bahwa Islam (dari segi budaya) sangat toleran dengan budaya lokal yang ada. Juga semua unsur budaya dapat diambil dalam Islam, seperti terpengaruh arsitektur India, Mediterania dan sebagainya. Dengan demikian budaya Islam memiliki banyak varian.

Kurasawa, Aiko. Lahir di Osaka, Jepang. Ia lulus dari Universits Tokyo, dengan skripsi sarjana berjudul “Pemberontakan Anti-Jepang tentara Peta di Belitar pada Tahun 1944”, dan sejak itu ia terus mempelajari sejarah Indonesia masa pendudukan Jepang. Tahun 1972 ia pertama kali datang ke Indonesia sebagai mahasiswa pascasarjana Universitas Tokyo, dan belajar selama satu setengah tahun. Pada tahun 1976 ia melanjutkan studi di Universitas Cornell, AS. Setelah kuliah dua tahun, ia melakukan penelitian lapangan dan kearsipan di Indonesia, Belanda dan Jepang untuk membuat disertasi . Ia mendapat gelar Ph.D. pada tahun 1987. Ia mengajar tahun 1981 di Universitas Setsunan, Tokyo Jepang, lalu ia ditugaskan sebagai peneliti di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta tahun 1991. Pada tahun 1993 ia kembali ke Jepang dan mengajar di School of International Departement Universitas Nagoya, Jepang. Kini sebagai guru besar sejarah di program Pascasarjana Universitas Nagoya, Jepang.

Karyanya: Mobilitas dan Kontrol: Studi tentang perubahan Sosial di pedesaan Jawa 1942-1945 (Jakarta: Grasindo, 1993), terj.

Buku Mobilitas dan Kontrol ini mengungkap tentang masa pendudukan Jepang di Indonesia, terutama di pulau Jawa selama tahun 1942 – 1945. Selama tahun itu Jepang mengeksploitasi masyarakat pribumi untuk mendapatkan sumberdaya ekonomi dan manusia guna menyokong operasi-operasi militer Jepang. Dengan kebijakan itu Jepang mengontrol produksi dan distribusi panen dan bahan komoditas untuk kepentingan pasukan militer.

Semua kebijakan yang diterapkan Jepang itu merupakan perpaduan antara control dan mobilitas, yang mengakobatkan kegoncangan pada masyarakat pribumi, baik secara social-ekonomi maupun psikologis.

Kutoyo, Sutrisno. Lahir 27 Februari 1930 di Kendal, Jawa Tengah. Pendidikan HIS (1936-1942), SMA dan sekolah guru di Semarang (1948-1951). Lalu kursus BI (1953-1956) dan BII ilmu sejarah (1957-1959) di Jakarta. Pernah menjadi guru, dosen sejarah di IKIP Muhammadiyah di Jakarta (1959-1968).

Karya-karyanya: Sri Sultan Hamengku Buwono IX; KH. Mas Mansur; Mr. M Yamin; KH. Hasan Arief; dan Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Peryarikatan Muhammadiyah, (Jakarta: BP, 1998).

Buku ini mengisahkan perjuangan KH. A Dahlan bermula di Yogyakarta, dari zaman Belanda, zaman Jepang dan zaman revolusi kemerdekaan Indonesia. Juga ditulis mengenai pengaruh penilaian-penilaian dari tokoh pembaru Islam, seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh.

Korver, APE. Lahir 1937 di Jatiroto, Jawa Timur. Ia mendapat pendidikan sejarah pada Universiteit van Amstredam. Setelah menyelesaikan studinya, sejak 1969 ia bekerja pada almamaternya sebagai dosen dan peneliti, sampai 1977 pada Instituut voor Moderne Aziatische Geschiedenis, dan pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universiteit van Amstredam. Ia meneliti tentang berbagai gerakan emansipasi di negeri Belanda selama abad ke-19 dan ke-20.

Karyanya: “The Samin Movement and Millenarism” dalam Bijdragen tot de Taal-Landen Volkenkunde (Jld. 132, tahun 1976); dan Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil? (Jakarta: Grafiti, 1985), terjemahan.

Buku ini mengulas mengenai gerakan politik Sarekat Islam, yang didirikan tahun 1912. Sarekat Islam menjadi gerakan politik yang besar di Indonesia sebelum PD II. Pada masa itu gerakan  Sarekat Islam paling dinamis. Namun, sampai tahun 1915 kegairahan masa mulai memudar, cabang-cabang di daerah bertambah sedikit dan masalah keuangan mulai tak teratasi. Setelah tahun itu sebagai sejarah kemunduran dan hilang pengaruh serta mulai muncul konflik internal.

Perselisihan pertama muncul dalam partai ini tahun 1916 ketika itu pemimpin SI cabang Jawa Timur dan Sumatra Selatan akan memisahkan diri dari bagian yang lain. Upaya itu digagalkan pengurus besar SI, tahun 1921 kaum kiri yang telah bergabung dengan PKI, yang terbentuk tahun 1920, dikeluarkan dari keanggotaan SI. Antara tahun 1921 sampai Perang Dunia II semakin lemah ditambah dengan perginya para pemimpin yang penting, seperti Abdul Moeis, Tjokroaminoto (meninggal 1934), dan Agoes Salim dipecat.

Pada masa kemunduran SI muncul gerakan Indonesia baru, seperti PNI Soekarno. SI tahun 1930-an berubah nama menjadi PSII.

 

L

van Langenberg, Michael. Ia mendapat B.A. dan Ph.D. dari University of Sydney dengan disertasi berjudul “National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli, 1942-1950”, dan menjadi lektor senior untuk studi Malaysia dan Indonesia di University of Sydney

Karyanya: “Nort Sumatra Under Dutch Colonial Rule: Aspects of Structural Change”, dalam Review of Indonesian and Malayan Affairs; “Nort Sumatra 1942-1945: The Onset of a National revolution”, dalam Southeast Asia Under Japanese Occupation, disunting oleh Alfred McCoy (1980); “Class and Etnic Conflict in Indonesia’s Decolonialization Process: A Study of East Sumatra”, dalam Indonesia (1982); “Sumatra Timur: Mewadahi Bangsa Indonesia dalam Sebuah Karesidenan di Sumatra”, dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti, 1989), terjemahan.

Dalam karyanya penulis mencatat bahwa susunan golongan di Sumatra Timur pada zaman penjajahan sangat komples, dan daerah yang satu dengan dengan lainnya berlainan. Dalam struktur sosial terdapat kaum elite penguasa yang merupakan penguasa kolonial, yang terdiri dari beberapa lapisan. Pertama orang Eropa, yaitu para pejabat kolonial, para administrator perkebunan, dan para pengusaha; lalu keluarga penguasa keenam kesultanan Melayu, Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Kotapinang, dan Siak; lalu ketiga, yakni keluarga para penguasa kepangeranan Melayu yang kecil, para raja Simalungun dan dan Karo, para ahli Indonesia berpendidikan Barat, seperti dokter, pengacara, pegawai negeri senior, dan para pedagang kayu bangsa Cina, Indonesia dan India. Para ahli dan pedagang Indonesia kebanyakan datang dari luar Sumatra Selatan.

Akhir tahun 1950 kebanyakan lembaga penting untuk stabilitas susunan masyarakat kolonial Sumatra Timur sangat dikurangi fungsinya. Kaum elite pribumi berdasarkan keturunan tidak lagi memiliki arti politis yang besar. Revolusi telah banyak membawa perubahan pada tatanan masyarakat.

van Leur, JC. Ia belajar di Universitas Leidden, Belanda. Tesisnya berjudul “Eenige beschouwingen becreffende den ouden Aziatischen handel” (Leiden, 1934). Ketika di Indonesia ia bertugas sebagai controler di Tulungagung, pejabat Algemeene secretarie di Bogor, kemudian menjadi perwira Angkatan Laut Belanda, dan ia meninggal dalam pertempuran di Laut Jawa.

Karyanya: Indonesia Trade and Society; Abad ke-18 sebagai Kategori dalam Penulisan Sejarah di Indonesia? (Jakarta: Bhratara, 1973), terj.

Dalam tulisannya Abad ke-18 sebagai.. van Leur menyanggah Godee yang mengatakan, bahwa sejarah kompeni pada abad ke-18 merupakan refleksi dari sejarah negeri Belanda, yang pada saat itu, muncul sebagai suatu kekuatan yang menentukan di wilayah Eropa. Ia menulis bahwa abad ke-18 sama dengan abad ke-17, VOC bukan menjadi suatu kekuatan perkembangan  sejarah di Asia. Kerajaan-kerajaan seperti Iran, India dan Cina yang masih menjadi kekuatan yang menentukan di Asia. Pada abad ke-19 lah Eropa memperlihatkan keunggulannya dengan terbentuknya sistem produksi massal dan politik kolonial ditujukan untuk mencari pasaran untuk produksi juga bahan-bahan bakunya.

Jika diuji dari beberapa angka yang berkaitan dengan ekspor dan impornya dan babak perekonomiannya, jalannya sejarah Indonesia tidak sejalan dengan sejarah kompeni Belanda. Jalannya sesuai dengan sejarah Asia pada umumnya. Tampak pula satu kesatuan yang bersambung dalam keadaan kebudayaan Asia yang berlangsung dari abad ke-17, melalui abad ke-18 menuju abad ke-19.  Hal ini memperkuat bahwa kategori abad ke-18 tidak dapat dipakai sebagai alat untuk menyusun kenyataan-kenyataan dalam berbagai wilayah sejarah ini.

Lapian, A.B. Lahir 1 September 1929 di Tegal, Jawa Tengah- meninggal 19 Juli 2011 di Jakarta. Kuliah Fak. Teknik jurusan Insinyur Sipil UI Bandung (sekarang ITB) (1950-1953); pernah menjadi wartawan di The Indonesian Observer tahun 1954-1957; lalu masuk Jurusan Sejarah Fak. Sastra UI, Jakarta tahun 1956-1961. Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Budaya, UI dan Universitas Sam Ratulangi, Manado. Sejarawan yang menulis berbagai tema sejarah,  terutama sejarah maritim. Ia mendapat penghargaan The Habibie Award 2010.

Di antara karyanya: Pelayaran dan Perniagaan Nusantara: Abad ke-16 dan 17, (Depok: Komunitas Bambu, 2008); Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), dll.

Buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara ini mengulas tentang sejarah yang masih jarang ditulis yakni sejarah pelayaran dan perdagangan ketika tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam, sekitar abad ke-15 hingga abad ke-17. Penduduk kepulauan ini pada abad-abad itu dapat ditelusuri jejaknya melalui buku ini sebagai masyarakat yang telah mengembangkan suatu hubungan jaringan maritim dengan didukung oleh kemajuan teknologi kapal, keahlian navigasi dan enterprising spirit yang besar. Zaman itu disebut juga sebagai “zaman bahari”.

Pada zaman itu perniagaan melalui jalur laut, dari Nusantara ke berbagai negeri atau dari berbagai negeri asing ke kepulauan ini.

Larson, George D. Ia menyelesaikan sarjana ilmu sejarah di University of Oregon (BA); dari University of Hawaii mendapat MA dengan tesis berjudul “Peta: The Early Origins of the Indonesian Army” dan gelar  Ph.D-nya dari Northen Illionis University.

Karyanya: Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Gama Press, 1990), terjemahan.

Buku ini mengulas mengenai peranan kraton Surakarta dan Yogyakarta dalam sejarah dan perkembangan politik Indonesia pada abad ke-20. Dalam masyarakat tradisional Asia Tenggara, kraton merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan politik  dan keagamaan. Larson mencoba menyajikan sejarah politik lokal di Surakarta dalam periode 1900 sampai 1942, ketika kekuasaan Belanda berakhir. Juga dibicarakan tentang peranan golongan elit Surakarta dalam pergerakan kebangsaan Indonesia. Dari studi ini diketahui bahwa Surakarta lebih kaya daripada Yogyakarta pada akhir zaman penjajahan.

Dikatakan bahwa dorongan utama kegiatan politik di Surakarta antara periode itu adalah kuatnya kekesalan di kalangan sebagian besar orang Jawa terhadap usaha Belanda itu. Pendiriannya adalah usaha perbaikan dan modernisasi harus berarti otonomi politik. Konflik yang berlarut-larut antara bangsa Jawa dan Belanda menghasilkan suatu tragedi. Usaha Belanda untuk mengekang respons politik dari kraton Solo akhirnya membawa keruntuhannya, dan segala konsekwensi yang sangat besar pada zaman revolusi dan sesudahnya berpangkal pada keruntuhan itu.

Lebra, Joyce C. Seorang peneliti yang mengkhususkan diri pada perkembangan di Asia Tenggara, pada periode pendudukan Jepang. Ia adalah dosen sejarah Jepang dan India di University of Colorado Boulder, AS.

Karya-karyanya yang bercorak ilmiah telah banyak diterbitkan di Asia dan AS. Di antaranya: Tentara Gemblengan Jepang, (Jakarta: SH, 1988), terjemahan.

Buku ini mengungkap mengenai tentara bentukan Jepang, di beberapa negara di Asia, di antaranya di India, Indocina, Filipina, Birma dan Indonesia. Berbeda dengan Belanda, Jepang sebagai penjajah telah mengajarkan kepada bangsa Indonesia bagaimana membangun tentara. Seperti Peta, ketika zaman kemerdekaan mereka menggelorakan nasionalisme dengan ikut berjuang.

Legge, John D. Lahir tahun 1921. Ia meraih gelar Ph.D. dari University of Oxford, Inggris, pada 1953, dan menjadi dosen di University of Western Australia (1946-1960) dan profesor sejarah pada Monash University, Australia (1960-1977), dan ia menjadi Dekan Fakultas Sastra pada universitas yang sama (1978-1986). Di samping itu ia juga Ketua Center of Monash University (1964-1986) dan Direktur Singapore Institut of Southeast Asian Studies (1969-1970).

Beberapa karya tulisnya antara lain: Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir (1993) terjemahan dari Intellectuals and Nasionalism in Indonesia: A Study of following recruited by Sutan Sjahrir in occupation Jakarta  (1988); Central Authority and Regional Authority in Indonesia; dan Sukarno: A Political Biography. Buku ini diterjemahkan dengan judul Sukarno, Sebuah Biografi Politik (Jakarta: SH, 1996).

Mengungkap tentang kehidupan Soekarno sejak kecil hingga ia tersingkir dari kancah politik Indonesia. Lebih khusus buku ini mengulas perjalanan politik Soekarno. Soekarno adalah seorang orator yang ulung dalam menggugah rakyat. Di suatu saat ia menjadi seorang demokrat, namun di penghujung kekuasaaanya ia berbalik arah, menjadi cenderung diktator.

Leirissa, RZ. Lahir tahun 1938. Sarjana jurusan sejarah Fakultas Sastra; MA dalam ilmu sejarah dari University of Hawaii, AS; doktor ilmu sejarah dari Universitas Indonesia (UI). Juga guru besar ilmu sejarah Fakultas Sastra, UI, dan Ketua Program Studi ilmu sejarah, Program Pasca Sarjana, UI.

Karyanya: Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan Laut Seram Awal Abad ke-19, (Jakarta: B Pustaka, 1996); bersama Kuntowijoyo dan M Soenjata Kartadarmadja, (peny.), Sejarah Sosial: Kota Kupang Daerah Nusatenggara Timur 1945-1980, (Jakarta: Depdikbud, Dir. Sej & Nilai Tradisional, 1983/1984); PRRI/ Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, (Jakarta: Grafiti, 1996); Minahasa di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: SH, 1991).

Peristiwa tentang Merah Putih di Minahasa tampaknya banyak diilhami oleh pemikiran Dr. Ratulangi mengenai kebangsaan. Suratnya yang awal Januari 1946 di Tondano, bisa jadi, mempengaruhi kelompok Taula dan Lapian, sejak tanggal 4 Februari. Ratulangi menekankan pentingnya partisipasi pemuda dalam tentara nasional sebagai upaya pembentukan kekuatan, namun bersamaan dengan itu ia juga menekannkan diplomasi untuk mencapai kemerdekaan.

Kebijakan yang diambil Ratulangi sesuai dengan apa yang dipimpin oleh Syahrir.

Lev, Daniel S. lahir di Youngstown, Ohio, 23 Oktober 1933 –meninggal di Seattle, Washington,AS, 29 Juli 2006 adalah salah seorang Indonesianis dan profesor ilmu politik paling terkemuka dengan perhatian khusus pada Indonesia, khususnya pada masa pembentukan Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno pada 1957-1959. Prof. Lev banyak berjasa mendidik para ahli hukum dan politik Indonesia.

Daniel Lev bersama istrinya, Arlene, datang ke Indonesia pada usia 20-an tahun dengan menumpang sebuah kapal barang Denmark dalam perjalanan yang memakan 28 hari. Mereka tinggal di sana selama tiga tahun. Kefasihannya berbahasa Indonesia  menyebabkan ia diterima banyak orang dan bahkan dianggap sebagai anggota keluarga sendiri.

Sekembalinya ke Amerika Serikat, Dan Lev menempuh studi pasca-sarjananya dan memperoleh gelar MA dan Ph.D.nya dari Universitas Cornell. Ia kemudian mengajar di Universitas California, Berkeley selama lima tahun. Namun karena pandangan-pandangannya yang menentang perang Vietnam, Lev terpaksa meninggalkan Berkeley karena tampaknya ia tidak mungkin mendapatkan jabatan sebagai profesor penuh di universitas itu. Ia pun pindah ke Universitas Washington di Seattle karena administratur universitas tersebut saat itu lebih liberal, sampai memasuki masa emeritasi pada 1999.

Karyanya: “Judicial Unification in Post-Colonial Indonesia”, dalam Indonesia (1973); Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1986), terj.; Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan (1990); Legal Aid in Indonesia (1987); Pengantar dalam Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural oleh T. Mulya Lubis (1986).

Walaupun buku Peradilan Agama Islam ini tidak dimaksudkan oleh penulisnya sebagai studi sejarah peradilan Islam, namun dalam pembahasan awal menyinggung informasi mengenai sejarah perkembangan peradilan agama Islam pada masa kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang. Pada masa Belanda terjadi konflik antara umat Islam dengan pemerintah kolonial berkaitan dengan kewenangan lembaga Islam, yakni Pengadilan Agama. Umat Islam menginginkan Pengadilan Agama memiliki kewenangan memutuskan masalah waris, sementara pemerintah kolonial Belanda pada Landraad (Pengadilan Negeri). Ketika muncul masalah tersebut para hakim Islam berkumpul di Solo, dan tebentuklah Perhimoenan Pengoeloe dan Pegawainya (PPDP), yang diketuai oleh Kiai Adnan.

Di buku ini dikutip diskusi pimpinan PPDP Kiai Adnan dengan GF. Pijper. PPDP menegaskan bahwa banyak keputusan landraad yang jelas-jelas bertentangan dengan Hukum Islam.

Lohanda, Mona. Lahir, 4 November 1947 di Tangerang, Banten. Sarjana Muda Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (UI) tahun 1968; Departement of History, School of Oriental and African Studies University of London tahun 1994. Sejarawan spesialisasi mempelajari mengenai Jakarta. Dosen Fakultas Ilmu Budaya  Universitas Indonesia; Peneliti Utama dan Arsiparis Arsip Nasional RI.

Karyanya: Sejarah Para Pembesar Batavia, (Jakarta: Djambatan, 1996); “Studi Minoritas dalam Spektrum Sejarah Indonesia”, dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Denys Lombard (Jakarta:EFEO-PPAN-YOI, 1999); The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942, (Jakarta: Djambatan, 2001).

Penulis melaui Sejarah Para Pembesar Batavia buku ini memberikan gambaran tentang sejarah politik, sejarah pembesar atau yang di Batavia pada masa dahulu disebut sebagai “orang pangkat-pangkat”. Penulis juga menyodorkan mengenai berbagai berbagai data asal-usul kehidupan sosial-budaya “orang pangkat-pangkat” itu.

Jakarta memang sebagai kota sejak lama telah didiami oleh penduduk dari banyak etnis.

Lombard, Denys. Lahir 4 Februari 1938 di Marseille,  Prancis Selatan dan meninggal 1998. Ia mengajar sejarah Asia Tenggara di Universitas Paris. Ia membimbing sejumlah mahasiswa Indonesia maupun Prancis, dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial tentang Indonesia, terutama bidang sejarah.

Karya-karyanya: Ia banyak menghasilkan buku dan sejumlah artikel seperti terekam dalam buku Panggung Sejarah, Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, (Jakarta: EFEO-PPAN-YOI, 1999), editor Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Karya yang sudah diterjemahkan dari bahasa Prancis antara lain, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 (Jakarta: BPustaka, 1991); Nusa Jawa: Silang Budaya,3 jld. (Jakarta: Gramedia, 1996).

Buku Nusa Jawa terdiri tiga jilid, membahas mengenai sejarah Pulau Jawa secara keseluruhan sambil menganalisis unsur-unsur yang menopang kebudayaannya. Dalam penulisannya Denys mengikuti aliran yang berkembang di Prancis, madzhab Annales, namun untuk sejarah Jawa pendekatan tersebut sebagai sesuatu yang baru. Budaya dianalogikan semacam struktur tanah yang memiliki lapisan, dari yang tampak di permukaan sampai yang terpendam dalam sejarah. Pada setiap lapisan budaya diuraikan sejarah perkembangannya. Pada buku pertama, dibahas pengaruh budaya Barat, terutama melalui kolonialisme negara-negara Eropa; kedua, unsur budaya yang terbentuk sebagai dampak dari kedatangan agama Islam di Nusantara dan hubungan dengan dunia Cina; ketiga, unsur budaya yang dipengaruhi kebudayaan India,  sebagai zaman Hindu-Budha.

Di Nusantara, terutama Pulau Jawa, selama puluhan abad telah terjadi persilangan budaya, yakni peradaban India, Islam, Cina dan Eropa.

Lubis, Abu Bakar. Lahir 1923 di Kotapraja, dan menempuh pendidikan HIS, MULO, AMS dan Ida Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran). Ia ikut berbagai kegiatan persiapan proklamasi, mendirikan dan menjadi wartawan surat kabar “Berita Indonesia”. Pernah menjadi staf biro perjuangan, Kementerian Pertahanan, staf wapres M. Hatta di Bukit Tinggi. Setelah mengenyam pengalaman berbagai jabatan di lingkungan Departemen Luar Negeri, lalu ia diangkat menjadi duta besar di Bulgaria (1972-1975), dan di Cekolowakia (1978-1979).

Karyanya: Kilas Balik Revolusi, Kenangan, Pelaku dan Saksi, (Jakarta: UI Press, 1992).

Buku ini merupakan rekaman pengalaman dan penilaian penulis pribadi terhadap revolusi kkemerdekaan Indonesia, yang diikutinya sebagai pelaku dan juga saksi. Dengan pengalaman baik di dalam negeri maupun di luar negeri pada masa revolusi. Juga buku ini memberikan gambaran mengenai adanya ketrerkaitan antara perjuangan fisik dan perjuangan melalui diplomasi.

Dalam Agresi Belanda 1

Antara bulan Mei dan Juni 1947 Republik mendapat tekanan dari pihak Belanda dan akhirnya memberikan ultimatum pada 27 mei 1947 kepada Republik Indonesia. Penolakan Republik atas ultimatum itu menjadi alasan Belanda melakukan serangan militernya pada tanggal 21 Juli 1947. Tindakan itu mereka sebut sebagai “tindakan kepolisian” (politionele actie).

Keuangan Belanda yang sangat parah aksi militer yang dilakukannya diarahkan ke wilayah yang secara ekonomi menguntungkan, daerah perkebunan, di Jawa barat, Jawa Timur, Sumatra Timur dan Palembang. Dengan menguasai perkebunan-perkebunan itu mereka mengharapkan hasilnya dapat dijual di pasaran dunia dan mereka selanjutnya dapat menjalankan produksinya.

Namun Belanda tak menyangka reaksi dunia atas tindakannya itu seperti Amerika dan Inggris. India dan Australia mengajukan masalah Indonesia ke siding Dewan Keamanan PBB, yang kemudian keluar resolusi yang memerintahkan kedua belah pihak untuk menghentikan perang  pada tanggal 4 Agustus 1947. Lalu dibentuklah suatu komisi yang terdiri konsul-konsul asing di Jakarta dan selanjutnya dibentuk Komisi jasa-Jasa baik, yang terdiri dari tiga negara, dipilih oleh Indonesia (Australia), oleh Belanda (Belgia) dan kedua negara ini Amerika, tanggal 24 Agustus 1947.

Dengan demikian masalah Indonesia menjadi masalah internasional dan bukan hanya masalah antara Indonesia dan Belanda, dan kedudukan Indonesia dan Belanda sejajar sebagai dua negara yang bersengketa. Rencana mereka untuk menyerang ke Yogya batal. Hal itu mengecewakan pihak kolonial Belanda di Jakarta, yakni van Mook dan Jenderal Spoor.

Strategi pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir menjadikan konflik Indonesia-Belanda menjadi masalah internasional berhasil dan menjadi perhatian dunia. Pada tanggal 14 Agustus 1947 Syahrir dalam pidatonya di PBB dapat meyakinkan bahwa Indonesia berhak menjadi bangsa yang merdeka. Pidato Syahrir itu banyak menimbulkan simpati atas perjuangan bangsa Indonesia. Sementara pihak Belanda mendapatkan kesan sebagai penjajah yang licik, keras kepala dan kolot dan ingin mengembalikan kekuasaan penjajahannya di Indonesia dengan alasan-alasan hukum.

Lubis, Mochtar. Lahir 7 Mei 1922 di Padang, Sumatra Barat. Ia masuk HIS, Sekolah Ekonomi, Kayutanam, Sumatra Barat, Jefferson Fellowship, East-West Center, University of Hawaii, AS. Pernah menjadi Dir. Jend. Press Foundation of Asia (Manila); Associate Editor Wordpaper di Boston untuk Asia Tenggara; Penanggung jawab majalah Horison (Jakarta); Pemimpin Redaksi harian Indonesia Raya, dsb. Ia banyak mengikuti berbagai kegiatan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Ia berprofesi wartawan dan sastrawan. Sejarah yang ia tulis diramu dalam bentuk karya sastra, novel. Karyanya: Senja di Jakarta; Harimau-Harimau; Jalan Tak Ada Ujung; dan Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia (Jakarta: YOI, 1992); Manusia Indonesia (Jakarta: G Agung, ); Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru (Jakarta: YOI, 2008), dsb.

Sebagai wartawan ia banyak menulis mengenai masa, baik Orde Lama maupun Orde Baru. Catatan-catatannya itu dikumpulkan dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya, (Jakarta: YOI, 1997) disunting Atmakusumah dan Sri Rumiati Atmakusumah.

Buku ini terdiri dari beberapa seri yang memuat tajuk-tajuk Mochtar Lubis  di harian Indonesia Raya. Dengan tajuk-tajuknya ia banyak mengeritik kebijakan pemerintah atau perilaku para elit Indonesia, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Tajuk-tajuk ini “memotret” keadaan sosial, politik dan budaya  pada masa itu.

Lubis, Nabilah. Lahir di Mesir. Dosen Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Karya: Menyingkap Intisari Segala Rahasia Karangan Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makasari (Bandung: Mizan, 1996).

Buku ini mengisahkan perjalanan hidup Syekh Yusuf dan pada abad ke-17, serta mengungkap karangannya. Berkaitan dengan sumber sejarah, penulis mencatat, berasal dari catatan harian kerajaan Goa-Tallo atau Kronik Goa dan Tallo, dan sumber lain berupa lontara, naskah-naskah, dan berbagai kumpulan hukum adat. Mengenai asal usul kehidupannya banyak diliputi legenda, yang sulit dipastikan.

Syekh Yusuf dibesarkan di istana Sultan Alauddin karena ia diangkat anak. Ia dibesarkan dengan anak perempuan Sultan. Umur 15 tahun putri Siti Daeng jatuh cinta padanya, namun ketika Yusuf mau melamarnya dengan bantuan Gallarang Mangasa ia ditolak, karena bukan keturunan bangsawan. Raja mengajarkan syarat bagi calon suami putrinya, yaitu berilmu, kaya dan berani. Yusuf akhirnya menikah dengan putri itu. Namun kemudian ia pergi ke tanah suci, Makkah. Ia singgah di Banten, Aceh, dan Yaman. Ia mendapat gelar Taj al-Khalwati, setelah ia lulus dan mencapai wusul, yakni tingkat tertinggi dalam tasawuf.

Setelah berkelana di Timur Tengah, ia kembali ke tanah air dan ke Goa, tetapi di Goa terjadi perang antara Hasanuddin dengan Belanda. Goa kalah lalu mereka melakukan perjanjian Bungaya, yang ditandatangani oleh hasanuddin dan Speelman tanggal 18 Nopember 1667. Syekh Yusuf merantau ke Banten.

Di Banten ketika Sultan Ageng Tirtayasa menjadi raja ia dingkat sebagai mufti. Pada masa itu terjadi perang antara Banten dan kompeni, tapi banten kalah. Sultan ditangkap dan akhirnya Syekh Yusuf ditahan, lalu ia dibuang ke Seilon. Namun, ia dianggap senbagai ancaman Belanda, dan ia dibuang lagi ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.

Di samping riwayat Syekh Yusuf, karangan-karangannya dan pemikirannya diulas dalam buku ini. Pemikiran tokoh itu yang tertuang dalam tulisan berjudul Zubdat Al-Asrar. Kajian atas pemikirannya itu menggunakan filologi.

Lubis, Nina Herlina. Lahir 9 September 1956 di Bandung. Lulusan Jurusan sejarah Universitas Sumatera Utara di Medan tahun 1978, sebelumnya ia belajar di ITB tak diselesaikannya. Program sarjana sejarah diselesaikannya di Universitas Padjajaran  Bandung, 1964. S2 Bidang studi sejarah di UGM Yogyakarta, 1990 dengan tesis berjudul “Bupati RAA Martanagara: Studi Kasus Elite Birokrasi Pribumi di Kabupaten Bandung (1893-1918)”. Lalu ia melanjutkan ke tingkat doktor dengan disertasi “Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1942)” tahun 1997 di UGM, Yogyakarta. Ia pun menjadi pengajar di almamaternya di Jurusan Sejarah Fak. Sastra dan di Fak. Pascasarjana, Universitas Padjajaran, Bandung.

Karyanya antara lain: Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda, (Bandung: Humaniora UP, 2000); Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama dan Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2003).

Buku Tradisi dan.. membahas mengenai sejarah dan tradisi Sunda, di antaranya kehidupan Prabu Siliwangi, RAA Mantanagara, Pangeran Aria Suriaatmaja, tentang historiografi sunda, Sosio-Budaya Sunda, wanita Sunda dan sebagainya. Tentang Bupati Bandung 1893-1918, RAA Martanagara. Dikisahkan pada 7 april 1893 Bupati Bandung, Raden Adipati Kusumadilaga meninggal. Namun, anaknya yang diharapkan sebagaio penerus masih kecil, yakni Raden Muharam. Lalu, dua bulan kemudian pada 27 Juni 1893, RAA Martanagara diangkat menjadi Bupati Bandung ke-10.

Pengangkatan bupati baru tersebut menimbulkan konflik dengan para bangsawan bandung lainnya, hingga lebih jauh terjadi percobaan pembunuhan, namun gagal. Penulis mencatat, peristiwa tersebut “terjadi karena sekelompok bangsawan Bandung terlibat dalam percobaan pembunuhan tersebut merasa tidak enak hati diperintah pleh bupati yang tidak ber-“darah” Bandung”. Bupati bukan putra daerah dan selain itu terdapat kepentingan tertentu (vested interes).   

Lukas, Anton E. Lahir tahun 1946 di Melbourne, Australia. Ia melakukan penelitian dan mengajar di Indonesia tahun 1970-1976, kemudian ia mendapat beasiswa post-doctoral dari Departement of History, Mendapat M.A.dalam soal Asia dari University of Hawaii pada tahun 1972 dan Ph.D. dari Australian National University pada tahun 1981. Ia mengajar mengenai Indonesia di School of Social Sciences, Flinders University, Australia Selatan. Tahun 1985 diperbantukan pada Pusat Latihan dan Penelitian Ilmu Sosial (PLPIIS) di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang selama 1 tahun.

Karya-karyanya: “Social Revolution in Pemalang, Central java, 1945”, Indonesia 24 (Oktober 1977); “Masalah wawancara dengan informan Pelaku Sejarah di Jawa”, dalam Koentjaraningrat dan Donald Emmerson (editor) Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat, (1982); dan “Jago, Kyai Guru: Tree Life Histories from tegal”, dalam Other Javas Away from the Kraton (1983); ia juga menyunting monografi Local Opposition and Under Ground rsistence to the Japanese in Java, 1942-1945, Monash University Central for Southeast Asian Studies, (1986); Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, (1989);  “Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Sosial atau Pemberontakan?”, dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti, 1989), terjemahan.

Lucas dalam Peristiwa Tiga Daerah mengungkap pemimpin revolusi aliran kiri di Tiga Daerah, mengapa mereka memiliki pengaruh yang sangat penting di awal revolusi. Kelompok pertama, yaitu veteran pemberontakan komunis 26 eks Digulis, termasuk di dalamnya pemimpin Barisan Pelopor, Badan Pekerja di Tegal dan Brebes, AMRI Slawi, dan Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah (GBP3D). Kedua, kelompok sosialis yang berpengaruh di Tegal dan Brebes ikut mengaktifkan KNI sebagai wakil pemerintahan sesudah proklamasi dan berusaha mempengaruhi sikap pangreh praja ke arah yang lebih mendukung republik yang baru. Di antara kelompok sosialis ini ada saluran ke tingkat nasional melalui dua tokoh asal Tegal, Supeno (anggota BP KNIP) dan Subagyio Mangunraharjo. Ketiga, yang menguasai GBP3D ialah PKI bawah tanah.

Selain kaum kiri, ada elemen Islam. Golongan agama di Pekalongan terpecah, antara Islam nasionalis dan Islam Muhammadiyah. Tokoh Islam nasionalis KH. Abu Suja’i dan Islam Muhammadiyah KH. Iskandar Idris. Islam nasionalis dan kaum kiri saling bereaksi pada waktu itu.

Juga militer di Pekalongan merupakan patokan keempat dalam melihat revolusi local pada waktu itu. Selain faktor ekonomi dan politik, revolusi di pekalongan dapat dilihat dari faktor kebudayaan. Patokan kelima, yakni persepsi, kesadaran atau perasaan gejolak revolusi ini telah mempersatukan veteran 26, santri, rakyat dan pemuda dengan para lenggoang dan pemimpin Islam nasionalis.

Luth, Thohir. Lahir 7 Agustus 1954 di Solor Timur, NTT. Meraih sarjana di Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang tahun 1982; merai gelar M.Ag. dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 1991. Tahun 1986 ia menjadi dosen di Universitas Brawijaya, Malang.

Karyanya antara lain: Sosiologi Dakwah, (1989); M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: GIP, 1999).

Dalam buku ini, M Natsir, ditulis sebagai politisi, pemikir dan da’i yang termasuk pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia  (DDII). Sebagai politisi ia termasuk politisi yang lurus dan menjunjung moralitas dalam setiap perannya; ia termasuk pemikir Islam yang karya-karya tulisnya tersebar, yang disegani kawan maupun lawan; dalam medan dakwah ia termasuk ulama yang gigih memperjuangkan Islam, baik dengan lisan, tulisan maupun perilaku.

Buku ini menyoroti peran M. Natsir dalam dakwah Islam, baik di Indonesia maupun di dunia Islam. Ketika didalam negeri pada masa Orde Baru ia dicekal karena termasuk pendukung Petisi 50, sementara Malaysia memberinya penghargaan dengan gelar Docor Honoraris Causa.

M

Ma’arif, A. Syafii. Lahir 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Pernah belajar di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau (1953) dan Yogyakarta (1956), FKIP Universitas Cokroaminoto Surakarta hingga sarjana muda (1964). Tamat FKIS IKIP Yogyakarta (1968), belajar sejarah pada Northern Illinois  University (1973), dan memperoleh gelar M.A. dalam ilmu sejarah pada Ohio University, Athens, Amerika Serikat (1980). Ph.D. dalam pemikiran Islam diperolehnya dari The University of Chicago, Chocago, Amerika Serikat (Desember 1982), dengan disertasi berjudul “Islam as the Basis of State: A Study of Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia”.

Ia pernah menjadi pengajar di FPIPS IKIP, IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dan selama menjadi dosen dan selama belajar di Amerika Serikat banyak menghadiri seminar dan simposium dalam dan luar negeri. Banyak menulis di jurnal, majalah dan surat kabar.  Tahun 2003 ia mendirikan Maarif Institut for Culture and Humanity; Ramon Magsaysay Award tahun 2008; dan The Habibie Award 2010.

Buku-bukunya di antaranya: Gerakan Komunis di Vietnam; Mengapa Vietnam Seluruhnya Jatuh ke Tangan Komunis?; Orientalisme dan Humanisme Sekuler (bersama M. Amien Rais); berasal dari disertasinya Islam dan Masalah Kenegaraan (1996); Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994).

Buku Islam dan Masalah Kenegaraan ini merekam perkembangan Islam di Indonesia, terutama pada masa awal republik ini berdiri setelah mencapai kemerdekaan pada 1945. Pada masa itu terjadi perdebatan antar golongan tentang dasar negara bagi Indonesia. Golongan Islam -modernis dan sayap pesantren- menuntut pelaksanaan syariat dalam kehidupan sosial-politik sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Namun, dengan perasaan tidak puas menerima juga pencoretan perkataan syariat dari muqadimah dan Pasal 29 UUD 1945 pada tangga 18 Agustus 1945 demi keutuhan sebuah negara.

Pada Pemilihan Umum pertama tahun 1955 di Indonesia, walaupun partai-partai Islam terpecah dalam menghadapi pemilihan umum itu, namun mereka masih satu cita-cita dalam memperjuangkan dasar negara Islam bagi Indonesia yang baru merdeka. Dalam Pemilihan Umum itu tidak ada partai yang lolos sebagai pemenang, baik kubu Islam maupun nasionalis, namun pada perdebatan dalam Majelis Konstituante begitu keras dan belum menghasilkan keputusan (November 1957-Juni 1959). Ketika perdebatan dalam Majelis Konstituante itu beleum selesai, Soekarno mengintervensi dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dengan dekritnya Soekarno membubarkan majelis itu dan kembali kepada UUD 1945.

Maharyono. Lahir pada 6 Juni 1939 di Cirebon, Jawa Barat. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil. Sekarang ia bertempat tinggal di Cirebon, Jl. Karang Anyar No. 23. Ia menulis Semuanya Untuk Cirebon: Kisah Heroik Pasukan Kancil Merah dan Palagan Mandala,(Jakarta: Grasindo, 2003).

Buku ini mengisahkan mengenai perjuangan “Kancil Merah”, nama samaran pasukan TNI AD, seksi III, Kompi II, Batalion Roekman pada masa  agresi militer Belanda I.

Di satu sisi pasukan kancil merah melawan Belanda, namun di sisi lain mereka pun berjuang menumpas gerombolan DI/ TII, di daerah Cirebon Utara sampai perbatasan Indramayu. Juga untuk mengenang perjuangan para gerilyawan di desa mandala, maka dibangun monumen perjuangan palagan Desa Mandala, tahun 1951.

Buku ini mengungkap kisah perjuangan di sekitar wilayah Cirebon, yang belum terungkap selama ini.

‘Malley, William JO. Lahir 21 Agustus 1944 di Philadelpia, Pennsylvania, AS. Ia memperoleh BA dari Michigan State University dan MA serta Ph.D. dari Universitas Cornell, AS. Ia melakukan penelitian di Indonesia dalam tahun 1974-1975, 1981, 1985 khususnya di Sumatra Utara, Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak tahun 1979 ia tinggal di Australia dan mengajar di Australian National university, Australia.

Karyanya: “Depresi Besar” dalam Gejolak Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1986).

Dalam tulisannya penulis mencatat, pada masa depresi hebat para pemimpin gerakan nasionalis, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Iwa Kusumasumantri dikirim ke pembuangan dan partai-partai seperti PNI, Partindo dan Pendidikan dikekang. Namun ada partai dan kaum nasionalis yang koperatif dapat meneruskan kegiatan mereka.

Pada masa depresi hampir tidak ada orang di wilayah kepulauan Indonesia yang terhindar dari dampak depresi. Petani di Aceh, Lombok dan halmahera menderita, para pedagang terpengaruh, dan orang-orang tua menggadaikan harta benda mereka untuk bertahan hidup. Anak-anak sekolah terpaksa tidak  bersekolah. Depresi besar ini dirasakan oleh semua orang indonesia. Pengalaman demikian tidak akan dapat mereka lupakan.

Mangunwijaya. YB. Lahir di Ambarawa, Jawa Tengah. Ia menyelesaikan studi di Instutut Filsafat dan Teologi Seminarium Matius Sancti Fauli, Yogyakarta 1959; lalu mengikuti studi di Rheindisch-Westfaelische Hoschule, Jerman Barat tahun 1966; Dosen Sejarah Pemukiman dan Bangunan pada Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta; Penasehat ahli Keuskupan Agung Semarang. Dikenal sebagai tokoh agama, budayawan dan kolumnis.

Ia banyak menulis, fiksi dan non-fiksi: Burung-Burung Manyar; Ragawidya (1975); Fisika Bangunan; “Dilema Sutan Syahrir: Antara Pemikir dan Politikus”dalam Taufik Abdullah dkk., Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1994).

Penulis mengulas mengenai Syahrir. Ia memiliki jiwa yang tenang. Ia  adalah seorang nasionalis yang cinta pada bangsanya. Di samping berjuang di dunia politik ia juga seorang pemikir, yang menuliskan buah pikirannya. Mangunwijaya mencatat bahwa ia adalah seorang humanis, warga dunia baru yang menerapkan jiwa universalnya secara nyata pada perjuangan nasional bangsanya. Dan Syahrir telah melampaui batas nasionalismenya.

Mani, Shri PRS. Lahir Februari 1915 di India. Ia menyelesaikan sarjana Muda pada fakultas Hukum Universitas Madras, India. Ia mengawali karirnya sebagai perwira penerangan tentara India, dalam jurnalistik, dan diplomatik. Ia menjadi koresponden perang di Indonesia untuk Free Press Journal of Bombay (India), juga juga untuk kantor berita Antara, pada masa Perang Dunia II.

Karyanya: Jejak Repolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah (Jakarta: Grafiti, 1989), terj.

Buku ini adalah kesaksian seorang India ketika bertugas di Indonesia. Dalam buku ini ia mencatat bahwa ketika itu Belanda melakukan serangan kembali. Hatta menyusun memorandum yang disetujui oleh Sukarno dan Agus Salim. Surat itu dititipkan kepada penulis untuk disampaikan kepada Nehru. Dalam surat itu mereka memohon bantuan Nehru untuk menolong keadaan mereka guna melanjutkan perjuangan dan mempercayakan pada kecakapan Nehru untuk menggerakan opini dunia internasional.

Nehru menaggapi persoalan Indonesia dengan antusias. Ia memberikan bantuan berupa dukungan diplomatik dan materi. Nehru memberikan bantuanuntuk Republik Indonesia tanpa memikirkan balasan dari Indonesia. Lalu pada minggu ketiga bulan Januari 1949 di New Delhi diadakan Konferensi Sembilan Belas Bangsa yang dipimpin oleh Nehru. Konferensi itu diadakan atas permintaan PM Birma, Thakin Nu. Konferensi itu diadakan guna membantu kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda.

Mansur. Lahir di Semarang. Mendapat S1 dari IAIN Walisongo, dan S2 dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pekerjaan sebagai dosen tetap pada Fakultas tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga (STAIN Salatiga), lalu Lektor, dan mengajar di Daru Ulum Islamic Centre Ungaran.

Karya antara lain: Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah (Global Pustaka Utama); Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa (Yogyakarta: P Pelajar, 2004).

Penulis membahas mengenai Sarekat Islam sebagai suatu gerakan nasional. Gerakan SI menyebar ke seantero Nusantara, dan mulai terpecah ketika muncul SI Merah di Semarang yang komunis. Tokoh- tokoh SI, seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, dan A Muis adalah tokoh nasionalis-religius. Para tokoh itu peduli terhadap pendidikan bangsa.

Matanasi, Petrik. Ia menulis KNIL: Bom Waktu Tinggalan Belanda, (Yogyakarta: Medpress, 2007).

Buku ini menceritakan tentang KNIL (Koninklijk Nerderlandsch Indisch Leger), sebagai serdadu bayaran untuk mempertahankan kolonialisme Belanda di tanah jajahan, Indonesia. Ia dijadikan sebagai alat pertahanan untuk kekuasaan Hindia Belanda. Pada awalnya pasukan KNIL dibentuk oleh van den Bosch, dan dikonsentrasikan di pulau Jawa, namun karena kebutuhan, rekrutmen pun diambil dari luar pulau Jawa, serta mereka ditempatkan pula di luar pulau Jawa.

Buku ini mengisahkan suka duka para serdadu KNIL di berbagai wilayah Indonesia.

Mattulada. Lahir 15 November 1928 di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sarjana dari Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin tahun 1964, kemudian post graduate di Rijks Universiteit, dan ia menerima gelar doktor antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1975, dengan disertasi: “Latoa, Satu lukisan Analisis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis” (UI, 1975). Dekan Fak. Sastra Universitas Hasanuddin, Dir. Stadium Generale dan Direktur Pusat latihan ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin.

Karyanya: Menyusuri Jejak kehadiran Makassar dalam Sejarah (1977); “Kahar Muzakkar: Profil Patriot Pemberontak” dalam Taufik Abdullah dkk., Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1994).

Mattulada mengisahkan tentang mengapa Kahar Muzakkar memberontak. Kahar lahir di Distrik Ponrang, kab. Luwu, Sulawesi Selatan. Ia sekolah pada Standard-School Muhammadiyah di Palopo, selama empat tahun. Lalu ia melanjutkan sekolahnya di perguruan Islam (Kweek-scool Muhammadiyah) di Solo, dari tahun 1938-1941. Ia tidak menamatkannya, karena ia menikah, dan ia kembali ke Palopo.

Ketika di Palopo ia aktif dalam gerakan kepanduan Hizbul Waton. Pekerjaan ini ia lakukan sampai Jepang mendarat di Sulawesi. Ia sempat bekerja sebagai pegawai Nippon Dohabu. Karena pekerjaannya itu ia sering pulang pergi Makassar-Palopo. Saat itulah ia dituduh membuat permusuhan-permusuhan di kalangan bangsawan di Luwu, yang feodalistik. Ia dihukum adat ripaoppangitana, bahwa negeri tidak menyukainya. Pada Mei 1943 ia meninggalkan Suawesi Selatan menuju pulau Jawa, dan bersama keluarganya ia menetap di Solo.

Memasuki zaman proklamasi ia terppanggil untuk berjuang. Orang-orang yang berasal dari Sulawesi dikumpulkan, semula di jawa, lalu bergabung dengan para tahanan yang dilepas untuk membentuk TRI di Sulawesi. Ketika pemberontakan Andi Aziz dapat dipadamkan ia ke Jakarta dan lalu kembali ke Sulawesi. Setiba di Makassar tanggal 22 Juni 1950 ia langsung menghadap Panglima Komando Tentara dan Teritorial Indonesia Timur (KTTIT) Kol. Kawilarang. Kolonel memerintahkan Kahar masuk ke pedalaman Sulawesi menemui pasukan gerilya.

Untuk menertibkan pasukan-pasukan itu ia mengeluarkan kebijakan untuk anggota-anggota pasukan gerilya secara perorangan menjadi TNI, bagi yang memenuhi syarat.

Namun kebijakan Panglima KTTIT itu ditolak oleh para pemimpin KGSS. Mereka malah mengusulkan agar anggota KGSS diterima di tentara dengan formasi resimen yang dipimpin Kahar muzakkar. Usul itu ditolak kolonel kawilarang. Tidak ada titik temu. Letkol Kahar Muzakkar meletakan pangkatnya di depan Kolonel. Tahun 1951 belum juga ada titik temu. Rencana peresmian tanggal 18 Agustus 1951 membentuk CTN Hasanuddin gagal, karena Kahar memerintahkan pasukannya pergi ke hutan Sulawesi Selatan.

Tanggal 7 Agustus 1953 Kahar Muzakkar mengumumkan bahwa Sulawesi menjadi bagian Republik Islam Indonesia, di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Ia terus melakukan pemberontakan di Suawesi Selatan-Tenggara selama 15 tahun.

Ia pandai memikat hati rakyat untuk bergabung, sehingga gerakannya bertahan lama. Ia menambahkan nama depannya dengan Ahmad. Kemudian ia diisolasi. Operasi kilat dipimpin oleh Brigjen M Yusuf. Akhirnya ia dapat dilumpuhkan, dan ia sendiri tewas ditembus peluru 3 Februari 1965. Kahar Muzakkar semula seorang pejuang, tidak puas, dam kemudian ia menjadi pemberontak.

Maxwell, John. Lahir 1946 di Melbourne, Australia. Ia meraih gelar MA  dari Universitas Australia.

Karyanya: Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, (Jakarta: Grafiti, 2005), terj.

Buku ini mengisahkan mengenai Gie sebagai seorang aktivis muda dan pemikir. Sebagai aktivis ia melakukan gerakan perlawanan terhadap rezim yang berkuasa. Ia termasuk angkatan 66. Terutama pada masa “Demokrasi Terpimpin” ia dan para aktivis menyuarakan perlawanan politik. Pada masa akhir Orde Lama  Sukarno telah menjadi penguasa otoriter.

Ketika Orde Lama tumbang, ia mengkritisi kekuasaan Orde Baru yang baru muncul. Ternyata panguasa baru ini pun melakukan apa yang dilakukan pendahulunya, berkuasa secara otoriter. Bukan hanya itu, para pejabat pada rezim ini hidup mewah, sementara rakyat hidup melarat.  Juga terjdi korupsi yang merajalela. Gerakan muda dimana ia termasuk di dalamnya selalu mengingatkan para penguasa.

Gie tidak hanya sebagai aktivis yang menyuarakan sikap kritis dengan demo atau pamplet, namun ia juga menulis keprihatinannya di media massa.

McVey, Ruth T. Research Associate, Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, Ithaca, New York. Ia banyak membahas mengenai gerakan komunis di Indonesia.

Karyanya: The Rise of Indonesian Communism, (Ithaca: Cornell University Press, 1965); “Pesona Revolusi: Sejarah dan Aksi dalam Sebuah Naskah Komunis Indonesia” dalam Anthony Reid dan David Marr (ed.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya, (Jakarta: Grafiti Press, 1983);  “Sumber-Sumber Soviet untuk Sejarah Indonesia” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.)  Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995); Kemunculan Komunisme Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), terj.

Dalam tulisannya “Sumber-Sumber Soviet.. ” McVey membahas mengenai sumber-sumber yang tersedia di Soviet (Rusia) untuk historiografi Indonesia. Sumber-sumber tersebut ada yang ditulis oleh kaum revolusioner Indonesia dan orang Rusia sendiri atau asing. Dikatakan, dalam masa pembuangan dari Hindia Belanda pda tahun 1922 Tan Malaka bertolak ke Belanda, lalu ke Rusia guna menghadiri kongres keempat Komintern pada bulan November tahun itu juga. Setelah rapat selesai, Komintern memintanya untuk menulis sebuah buku yang melukiskan tentang situasi sejarah, ekonomi, dan politik Indonesia. Ia diminta menuliskan fakta-fakta, sedangkan yang menuliskan analisisnya orang Rusia. Selain Tan Malaka banyak pemimpin komunis Indonesia selama dalam pembuanganya di Uni Soviet menulis sejumlah artikel.

Moedjanto, G. Lahir 7 juni 1938 di Sleman, Yogyakarta. Ia meraih sarjana pendidikan Jurusan Sejarah di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta tahun 1963; lalu master diraih dari Mobash University, Melbourne, Australia tahun 1978. Ia mengajar sejak 1960 di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang sejarah Indonesia; dekan Fak. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta.

Karyanya: Konsep Kekuasaan Jawa (Yogyakarta: Kanisius, 1987); Indonesia Abad XX (Yogyakarta: Kanisius, 1988); The Concept of Power in Javanese Culture (Yogyakarta: GMU Press, 1990).

Buku Indonesia Abad XX ini mengulas tentang sejarah Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan. Penjajahan Belanda berakhir tahun 1942, dan Jepang datang pada sekitar 9 Maret 1942 sampai 1945. Masa pendudukan Jepang memang singkat, namun penderitaan yang dialami rakyat sangat berat. Namun begitu, menjadi masaknya perjuangan Indonesia dan peninggalan lain, sukarelawan pembela tanah air (PETA). Para prajurit ini kelak akan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Ketika akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat, hal itu memberi peluang kepada para pejuang Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, ternyata setelah bangsa Indonesia  menyatakan merdeka Belanda ingin kembali menjajah Indonesia, karena itu, bangsa Indonesia  masih harus berjuang kembali melawan para serdadu Belanda.

Moertono, Soemarsaid. Lahir 21 Januari 1922 di Srengat, Blitar dan meninggal 23 April 1987. Meraih sarjana sosial politik dari Fakultas HESP UGM, Yogyakarta; meraih gelar MA dari Departement History, Cornell University, AS, dengan tesis berjudul State and Statecraft in Old Java (Universitas Cornell, 1964). Ia menjadi pengajar di IIP, Departemen Dalam Negeri; pernah mengajar di IKIP Malang dan Universitas Brawijaya, Malang; Fak. Sospol dan Fakultas Sastra dan Budaya, UGM, Yogyakarta; Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, jakarta; Reijk Universiteit Leiden, belanda dan Universitas California di Santa Cruz, AS.

Karyanya antara lain: Budi dan Kekuasaan (Jakarta: IIP, 1976); Mc. Iver, Negara Modern, (Jakarta: 1962),terjemahan; Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: (Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI-VIX),( Jakarta: YOI, 1985).

Buku ini mengulas tentang kedudukan raja pada zaman Mataram II. Pada masa itu kekuasaan raja sangat mutlak, dan rakyat harus tunduk dan patuh kepadanya tanpa syarat. Namun, di sisi lain kedudukan raja sangat rapuh, sebab para bupati, sebagai perpanjangan kekuasaannya mempunyai pososi sangat otonom.

Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dituntut  berlaku adil, bijak dan dermawan serta mampu menjaga ketertiban dan keamanan negara. Pada masa itu struktur pemerintahan kerajaan masih sangat sederhana.

Morris, Eric Eigene. Ia mendapat B.A. dalam ilmu politik dan sejarah dari Baylor University dan M.A. dalam studi Asia Tenggara dari Yale University dan telah mendapat Ph.D. Ia melakukan kerja lapangan untuk disertasinya, di Indonesia, dari Desember 1974 hingga Juli 1977. Sejak tahun 1979 bekerja di kantor Komisaris Tinggi PBB untuk di Jakarta, Jeneva, dan terakhir di Bangkok, Thailand.

Karyanya antara lain: “Aceh: Revolusi Sosial dan Pandangan Islam”, dalam Pergolakan daerah pada Awal kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti, 1989) terjemahan.

Penulis mengulas bahwa kaum revolusioner Aceh pada mulanya setia pada Republik, namun kemudian setelah revolusi kesetiaan itu luntur, dan bahkan menentang pemerintah pusat. Untuk berkomunikasi dengan pusat mereka tidak menguasai bahasa kolonial dan tidak memiliki pengalaman yang sama serta pengertian yang terkandung di dalam bahasa tersebut, maka kaum sosial revolusioner tidak dapat melakukan pendekatan-pendekatan yang enak dan efektif di Jakarta pasca-revolusi. Lebih jauh lagi, mereka mulai berpikir tentang bagaiman menjadikan negara pasca-revolusi suatu negara yang akan berlandaskan pada Islam. Namun, Indonesia tidak akan menjadi negara Islam.

Mereka putus asa dalam mencapai citat-cita itu, maka pada tahun 1953 kaum revolusioner Aceh kembali ke pegunungan untuk memberontak terhadap pemerintah pusat, yang mereka anggap sekuler.

Mrazek, Rudolf. Lahir 18 Juni 1942 di Praha, Cekoslovakia. Adalah ahli sejarah Asia Tenggara, khususnya Indonesia yang mengajar pada Departemen Sejarah Universitas Michigan, Ann Arbor, AS.

Karyanya antara lain: Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia diterjemahkan Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (Jakarta: YOI, 1996); Engieers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (Jakarta: YOI, 2006).

Mrazek dalam buku Sjahrir ini mengisahkan perjalanan hidup Syahrir. Syahrir lahir 5 Maret 1909 di Padang Panjang.  Ketika ia kecil keluarganya pindah ke Jambi, lalu ke Medan. Tahun 1915 ia belajar di ELS (Europesche Largere School/ Sekolah Rendah Eropa); tahun 1923 ia lulus MULO (Sekolah Dasar Lanjutan); tahun 1927 ia sekolah AMS di Bandung, tahun 1929 awal Mei ia lulus,  dan setelah ia menengok kampung halamannya ia kemudian bertolak ke negeri Belanda.

Di negeri itu ia belajar di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam. Tahun 1931 ia kembali ke pulau Jawa. Di Batavia ia mengambil alih kepemimpinan golongan muda dan menjadi ketua dewan redaksi majalah pergerakan Daulat Ra’jat, yang berisi tentang pendidikan. Dari Batavia ia bergerak ke Bandung. Seperti telah direncanakan kongres pertama PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) diselenggarakan di Bandung antara 23-26 Juni 1932.  Ia menjadi ketuanya.

PNI memiliki Daulat Ra’jat untuk menyebarkan pikiran Syahrir dan Hatta. Seperti yang pernah dipelajari Hatta dan Syahrir di negeri Belanda, bahwa pendidikan menyatakan diri sebagai gerakan yang sesuai pada kaum proletar Indonesia. Untuk mengenalkan Marx Daulat Ra’jat memuat secara bersambung Das Kapital. Hatta memberikan komentar-komentar pikiran-pikiran Marx.

Ketika itu 1932 ada beberapa majalah pendidikan dan pro-pendidikan: Banteng Rakyat di Yogyakarta,      Daulat Ra’jat di batavia, Api Ra’jat di Surabaya, Marhaen dan Kedaulatan Ra’jat di Bandung.

Walaupun Dewan Hindia mengalami bahwa pendidikan bukan merupakan bahaya, yang langsung, tetapi ia sebagai bahaya laten yang harus ditangani. Pada 25 Februari 1934 polisi menangkap anggota Pendidikan Bandung, juga di Batavia. Hatta dan Syahrir di Cipinang. Kemudian pada tahun 1934-1935 Syahrir di Cipinang, dan 28 Januari 1935 ia bersama Hatta, Bondan dan Burhanuddin dibawa ke Digul. Dari Boven Digul Hatta dan Syahrir dibuang ke Banda Naira (1936-1941). Ketika Jepang mendarat di Ambon  dan mereka dari Banda Naira bertolak ke Jawa.

Di zaman kemerdekaan Sukarno mengatakan bahwa revolusi belum berakhir. Dengan begitu, maka kawan seperjuangan yang tidak sejalan dengan pikirannya tahun 1962 (12 Februari) ditangkap dan dipenjarakan, termasuk Syahrir. Tahun 1963 (bulan April) ia sakit di Rumah Sakit Militer Jakarta, dan ia sempat berbicara dengan Soejatmoko. Pada saat sakit berikutnya ia diberi izin oleh Presiden untuk berobat ke luar negeri, tapi tidak ke Belanda. Pilihan jatuh ke Swiss.

Pada 9 April 1966 Syahrir meninmggal di rumah sakit di Zurich. Ketika sakit ia sempat mengetahui berita tentang peristiwa Gerakan 30 September dari televisi di Jerman. Jenazahnya kemudian dibawa ke Indonesia.

Muhammad, Syhril. Lahir 9 Agustus 1965 di Busna, Maluku Utara. Lulus sarjana di FKIP Universitas Khairun, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan tahun 1990, dan S2 dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta tahun 2004, dengan tesis berjudul “Kesultanan Ternate 1866-1942”. Saat ini ia menjadi Sekretaris Jurusan Pend. Ilmu Pengetahuan Sosial pada Fak. Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Khairun, Ternate.

Karyanya: Kesultanan Ternate: Sejarah Sosial Ekonomi dan Politik, (Yogyakarta: Ombak, 2004).

Buku ini mengulas tentang sejarah Kesultanan Ternate pada abad ke-18. Kesultanan ini didirikan pada pertengahan abad ke-15. Sultannya yang pertama adalah Zainal Abidin, yang memerintah antara 1486-1500 M. Antara tahun 1599-1606 adalah periode yang menentukan dalam sejarah Ternate. Selama masa itu Ternate tidak hanya menghadapi Portugis dan Spanyol, namun ia pun harus melawan Inggris dan Belanda. Bangsa-bangsa itu, terutama Belanda  ingin memonopoli perdagangan.

Pengaruh kolonialisme Belanda cukup kuat. Belanda melaksanakan penataan kembali perekonomian  dengan cara-cara modern. Usaha penataan itu berlangsung antara abad ke-19 sampai awal abad ke-20 di Kesultanan Ternate, yaitu: 1. Pemi- sahan keuangan negara dengan keuangan pribadi dan keluarga, 2. Penghematan dan efesiensi, dan 3. Pengelolaan sumber-sumber keuangan negara secara modern. Dan secara struktur sosial masyarakat Kesultanan Ternate terbagi atas tiga golongan: pertama, bangsawan dan keluarga; kedua, rakyat biasa, yang disebut bala; dan ketiga, para hamba sahaya.

Mukhlis. Meraih sarjana sejarah dari UGM. Dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Karyanya: “Batara Gowa: Mesianisme Dalam Gerakan Sosial di Tanah Makassar” dalam Ibrahim Alfian (ed. dkk.)  Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, ( Yogyakarta: GM Press, 1992).

Penulis mengulas mengenai gerakan sosial, Batara Gowa, di Makassar yang terjadi pada tahun 1777.  Banyak gerakan sosial yang terjadi di daerah itu.  Gerakan-gerakan pemberontakan itu muncul sejak kehadiran pemerintahan asing, baik semasa kompeni maupun saat pemerintahan Hindia Belanda. Gerakan gerakan itu muncul sebagai bentuk keresahan masyarakat akibat adanya budaya Barat yang semakin menguat.

Gerakan sosial itu berakar dari mitos. Pemerintah kolonial kemudian menciptakan mitos tandingan, saat J Tideman diangkat menjadi Controleeur bij het Binnenlandsch Bestuur di Takalar. Takalah dan daerah sekitarnya sebagai basis gerakan-gerakan Batara Gowa. Dengan cara demikian kolonial dapat menjinakkan tokoh-tokohnya di Takalar. Hal ini mengandung makna, kata penulis, bahwa gerakan-gerakan sosial, yang ideologi politiknya bersumber dari mitos, tidak dapat dipadamkan dengan kekuatan fisik, namun dengan kekuatan yang sama yakni dengan kontra mitos.

Mulyanto, RI, (dkk.).

Karya bersama: Biografi Pujangga Rangga-warsita, (Jakarta: Dep. Pend. dan Keb, 1990).

Karya ini mengisahkan tentang Ranggawarsita dan karya-karyanya sebagai pujangga. Ia keturunan R. Ng Yasadipura I dan R. Ng Yasadipura II, dan dari garis keturunan ibu, yakni RT. Sujanapura I dan RT. Sujanapura II. Jika dirunut ia keturunan sampai ke Sultan hadiwijaya, raja Pajang.

Ketika kecil ia diberi nama Bagus Burhan, yang lahir 10 Dulkaidah, tahun Be 1728/ 15 Maret 1802 di kampung Yasadipuran, Surakarta. Saat usia masih 12 tahun ia belajar (nyantri) kepada Kanjeng Kyai Imam Besari, di Pondok gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Kanjeng Kyai adalah putra menantu Sinuhun Paku Buwana IV, dan teman seperguruan RT Sastranegara.

Sebagai pujangga Ranggawarsita telah menulis banyak karya, yang ditulis sendiri: Babad Itih, Babon Serat Pustakaraja Purwa, Serat Hidayatjati, Serat Mardawa Lagu, Serat Paramasastra dsb.

N

Nakamura, Mitsuo. Lahir pada 1933 di Manchuria, Cina. Berasal dari keluarga Jepang. Ia profesor antropologi pada Chiba University, Jepang. Tahun 1947 kembali ke Jepang dan ia mengikuti kuliah di University of Tokyo hingga mendapat BA dalam filsafat Barat 1960, lalu MA dalam anthropologi 1965, dan ke Cornell University, AS, menggeluti tentang Indonesia pada tahun 1976. Peneliti tamu di Dept. Anthropology and Social and Political Change, ANU, Australia 1978-1981; 1978-1982 sebagai ilmuwan tamu pada Dept. Anthropolog, Cambridge, AS.

Karya tulisnya: “The Radical Traditionalism of Nahdlatul Ulama di Indonesia”, dalam Southeast Asian Studies (Kyoto University, 1981); disertasinya diterjemahkan Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (Yogyakarta: GM University Press, 1983).

Buku Bulan Sabit ini adalah hasil studi Nakamura dengan pendekatan historis dan etnologis, dari tahun 1900 sampai 1970. Yang ia teliti mengenai gerakan Muhammadiyah di Kotagede. Ia menulis, “Pandangan saya tentang Islam di Jawa pada umumnya dan tentang Muhammadiyah pada khususnya berubah drastis melalui pengalaman lapangan saya. Sebelum penelitian lapangan, saya berpikir bahwa Islam di Jawa adalah agama yang sedang tenggelam; orang-orang Islam Jawa secara politis terpecah belah, ekonominya beku, ideologinya konservatif dan kebudayaannya pudar di samping beberapa kekuatannya; Islam sebagai agama hanya menyangkut sebagian kecil penduduk Jawa, satu golongan khusus disebut ‘santri’ dalam literatur ilmu sosial belakangan ini. Hubungan pribadi dengan Islam dan orang-orang Islam melalui penelitian lapangan telah mengubah pandangan saya: Islam di Jawa bukan agama yang pudar tetapi suatu keyakinan yang hidup dan sangat penting yang memberikan pedoman etika dan inspirasi estetika; islamisasi di Jawa bukan peristiwa sejarah yang paripurna tetapi suatu proses yang terus berlangsung; Muhammadiyah menunjukkan sebagian proses berlanjutnya islamisasi…” (h. xi-xii).

Nagazumi, Akira. Lahir di Tokyo 20 Januari 1929 -10 Juli 1987. Menyelesai sarjananya dengan skripsi mengenai Jan Pieters zoon Coen di Hindia Beloanda pada Universitas Tokyo, dan ia meraih Ph.D. di Universitas Cornell pada tahun 1967 dengan disertasi “The Origin and Earlier Years of the Budi Utomo, 1908-1918”.

Karyanya antara lain: Indonesia Minzoku- ishikino Keisei (Pembentukan Konsep Nasionalisme Indonesia yang Menyeluruh), 1980; ed. Pemberontakan Indonesia di Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: YOI, 1988), ter. dan Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908 – 1918, (Jakarta: Grafiti, 1989).

Dalam buku Bangkitnya yang sudah diterjemahkan penulis mengulas mengenai sejarah berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 oleh para siswa STOVIA, yang terinspirasi oleh gagasan Wahidin Sudirohusodo. Bagaimana peran politiknya dalam sejarah pergerakan Indonesia? Budi Utomo sebagai sebuah gerakan nasional Indonesia.

Berdirinya  Budi Utomo juga dijadikan sebagai simbol Hari Kebangkitan Nasional. Namun, tidak semua sepakat, seperti Prof. Harsja W. Bakhtiar yang berpendapat, bahwa hari lahirnya Budi Utomo tidak dapat dijadikan dasar Hari Kebangkitan Nasional, sebab Budi Utomo masih terbatas hanya untuk menaikan taraf hidup orang Jawa dan Madura, dan bukan untuk bangsa Indonesia keseluruhan. Memang Budi Utomo masih bersifat kedaerahan.

Naquib al-Attas, Syed. Lahir 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Ia dikenal sebagai filosof dan sejarawan khusus sejarah Islam di ranah Melayu. Pada tahun 1957 ia belajar di Universitas Malaya, Malaysia, dua tahun, kemudian ia melanjutkan studi di Institut     of Islamic Studies, McGill University, Canada  (1959-1962), dan meraih master dengan tesis “Raniri and the Wujudiyah of the Century Acheh”, serta doktor dari School of Oriental and African Studies, University of London (1963-1965), dengan disertasi “The Mysticism of Hamzah Fansuri” (diterbitkan 1970). Dosen di berbagai universitas Malaysia dan Barat, Universitas Temple (1976-1977) dan Universitas Ohio (1980-1982). Ia mendirikan ISTAC (Internatinal Institute of Islamic Thought and Civilisation) 27 Februari 1987.

Karyanya antara lain: Islam dan Sekulaisme, (Bandung: Pustaka, 1981), terj; dalam Ziauddin Sardar, Wajah-wajah Islam, (Bandung: Mizan, 1992), terj. dan Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990), terj.

Dalam buku Islam dalam Sejarah ini ia mengulas mengenai peranan Islam dalam sejarah Asia Tenggara dan khususnya dalam sejarah kepulauan Melayu-Indonesia. Ia menyatakan bahwa sebelum kedatangan Islam ke wilayah ini masyareakat menganut agama Hindu dan Budha, namun kedua agama itu telah bercampur baur dengan kepercayaan yang telah lama ada sebelumnya. Agama itu dipertahankan hanya oleh golongan raja-raja dan bangsawan, sedangkan rakyat jelatanya mengambil sikap tidak peduli. Agama tersebut hanya merupakan perbuatan suatu lapisan tipis tatanan masyarakat. (h. 29)

Tidak seperti banyak sarjana Barat, terutama Belanda yang mengecilkan peranan Islam, penulis mengatakan bahwa dengan datangnya Islam di kepulauan Melayu-Indonesia menyibakan alam kegelapan. Islam menyalakan zaman baru dalam sejarah kepulauan ini. Sebagai alat komunikasi, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dengan serapan dari bahasa Arab dan juga Parsi. Bahasa Melayu menjadi pengantar kesustraan filsafat Islam, mengungguli bahasa Jawa.

Ketika proses islamisasi sedang berlangsung di kepulauan ini imperialisme Barat, pada abad keenam belas dan tujuh belas, melambatkan proses islamisasi tersebut. Namun, jika ditinjau hanya pada kebudayaannya pengaruh Barat itu sebagai kelanjutan dari proses islamisasi dalam tradisi rasionalisme di kepulauan Melayu-Indonesia. Dasar-dasar  filsafatnya dahulu telah ditanamkan oleh agama Islam.

Nasution, Abdul Haris. Lahir 3 Desember 1918 di Kampung Hutapungkut, Tapanuli. Masuk HIS (Hollandsch Inlandsche School) pada pagi hari dan pesantren sore hari. Ia menamatkan HIS tahun 1932 dan HIK ( Hoogere Inlandsche Kweekschool) tahun 1935 di Yogyakarta, serta AMS-B Jakarta 1938. Ia pernah menjabat sebagai Panglima Siliwangi (1946-1948), KSAD (1949-1952 dan 1956-1963), Menteri koordinator Kertahanan dan Keamanan/ KASAB (1963-1966), Ketua MPRS (1966-1972).

Karya-karyanya: Memenuhi Panggilan Tugas, 8 Jld.(Jakarta: Masagung, 1987); dll.

AH Nasution dalam bukunya jilid ke-6 menuturkan mengenai peristiwa Gerakan 30 September. G 30 S diorganisir oleh tokoh-tokoh PKI, seperti Untung, Supardjo, DN Aidit dll. Mereka merekrut beberapa orang di AD, AU, lembaga-lembaga , unsur sipil dsb untuk bergabung. Mereka mendekati Sukarno dan memberikan informasi yang memojokkan beberapa pimpinan AD. Apa yang dilakukan PKI telah diketahui oleh Presiden Sukarno, namun ia tidak berbuat apa-apa, malah dengan diamnya itu seakan-akan ia mendukung PKI.

Berbeda tanggapan dengan peristiwa Madiun 1948 ketika itu Sukarno mengutuk tindakan PKI.

Menurut Nas, jika mereka berhasil menguasai AD dengan menghabisi para jenderal, maka kekuatan berada di tangan mereka, dan untuk selanjutnya Untung cs memimpin Republik ini. Taktik mereka adalah pertama menguasai militer sebagai landasan untuk meraih kekuasaan politik.

Nasution, Adnan Buyung. Lahir pada 20 Juli 1934 di Jakarta. Meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia (1964). Ia merintis dan memimpin Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) 1970, yang kemudian berada di bawah naungan Yayasan LBHI 1981. Setelah meraih gelar doktor dari Rijksuniversiteit, Utrecht, Belanda. Ia menjabat kembali sebagai ketua LBHI 1993.

Karyanya antara lain: Bantuan Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1981); Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Jakarta: Grafiti, 2001) terj.

Buku Aspirasi adalah terjemahan dari disertasi penulisnya. Buku ini mengungkap bagaimana perdebatan dalam Konstituante berlangsung mengenai pemerintahan konstitusional pada era Demokrasi Terpimpin. Mereka bersidanmg sejak tanggal 10 November 1956 sampai 2 Juni 1959 untuk menyusun undang-undang dasar yang definitif untuk negara Republik Indonesia. Selama persidangan sebagian besar anggota Konstituante memperdebatkan dan menuntut  adanya batasan jukum terhadap kekuasaan pemerintah, pertanggungjawban pemerintah, demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Nilai-nilai yang diperdebatkan itu bersifat universal, dan karena itu berlaku pula untuk bangsa Indonesia.

Dalam sidang itu terdapat tiga kelompok ideologis untuk menjadi dasar negara, yakni: pertama, Pancasila dengan lima sila dengan rumusan yang agak berbeda dengan yang terdapat pada pembukaan UUD sementara 1945 1949, 1950, kedua Islam, diusulkan kelompok Islam, dan ketiga, Sosial-Ekonomi, struktur ekonomi berdasarkan kekeluargaan.

Terjadi perdebatan yang keras di antara anggota Konstituante, sehingga sulit mengambil keputusan. Ketika kerja mereka belum selesai Presiden dengan dukungan Angkatan Darat mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Dengan dekrit itu Konstituante menjadi bubar sebelum tugasnya selesai.

Natalie, Mobinie Keshesh. Ia mendapat doktor dari Cornell University dengan disertasi “The Hadrami Awakening Community and Identity in the Netherlands East Indies 1900-1942” (Ithaca: Cornell Un. Press, 1999).

Karya ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Hadrami Awakening, Kebangkitan Hadrami di Indonesia (Jakarta: Akbar, 2007).

Natalie melaui penelitiannya mengungkapkan bagaimana awal kaum Hadhrami datang , berkembang dan bangkit di Indonesia. Mereka ikut terlibat dalam membangun negeri Indonesia, dengan berbagai jalur, politik, pers dan keilmuan dan sebagainya.

Navis, Ali Akbar. Lahir 17 november 1924 di Padang Panjang, Sumatra Barat. Sekolah di INS Kayutanam, dan selanjutnya otodidak. Ia mulai menulis tahun 1950, dan di antaranya pernah dimuat di majalah Kisah asuhan HB. Jassin. Di majalah itu cerita pendeknya berjudul “Robohnya Surau Kami”. Pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Sumatra Barat dan dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Ia dikenal sebagai sastrawan.

Karyanya: Robohnya Surau Kami (1956); Biang Lala (1963); Hujan Panas (1964), novel; Kemarau (1967); Saraswati (1975); Alam Terkembang Jadi Guru (Jakarta: Grafiti, 1984).

Buku Alam Terkembang ini mengulas mengenai adat dan kebudayaan Minangkabau, namun juga di dalamnya diceritakan tentang sejarah Minangkabau. Ditulis asal-usul Minangkabau dari zaman pra-sejarah, zaman penjajahan hingga muncul gerakan pembaruan (politik) di Minangkabau. Mengenai kebudayaan Minang, seperti tambo, yang mengandung arti kisah yang disampaikan secara lisan oleh tukang cerita (tukang kaba), yang diucapkan oleh juru pidato pada upacara adat, dan hal-hal lain yang menyangkut adat dan kebudayaan Minangkabau.

Nazwar, Akhria. Lahir 12 April 1957 di Cimahi, Jawa Barat. Belajar di  PGAN 4 tahun Kodya Bukittinggi tahun 1970 – 1974; menyelesaikan PGAN 6 tahun Pondok Pinang, Jakarta tahun 1976; menyelesaikan studi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), tahun 1982. Pernah menjadi wartawan majalah umum Ekonomis tahun 1983.

Karyanya: Syekh Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, (Jakarta: P Panjimas, 1983).

Buku ini mengisahkan riwayat hidup Syekh Ahmad Khatib yang lahir 6 Dzulhijjah 1276 H/ 26 Mei 1860 di Kota Gadang. Mengenai waktu kelahiran Sang tokoh beberapa penulis berselisih sekitar 4 tahun. Ia berasal dari keluarga ulama terpandang. Secara pribadi ia memiliki watak keras, kemauan keras, jujur, berani dan cerdas. Ia pergi ke kota Makkah, di kota itu ia belajar dan akhirnya menetap di sana. Dengan ketinggian ilmunya ia mengajar dan diangkat menjadi Imam Masjidil Haram. Banyak muridnya menjadi pembaru di Nusantara, seperti Syekh Muhammad Jamil Jambek, KH. Ahmad Dahlan, H Amrullah Ahmad, Syekh Hasyim Asy’ari, H Agus Salim dsb.

Syekh Khatib yang bermadzhab Syafi’i semula dididik dalam  tarekat Naqsabandiyah, namun setelah ia menuntut ilmu di Makkah berubah, ia menentang praktek tarekat di negerinya. Sebagai ilmuwan ia banyak menulis buku, mulai tentang Fiqh, Ushul Fiqh, Sejarah, Ilmu Falak, Berhitung, Tasawuf dan sebagainya.

van Niel, Robert. Lahir tahun 1922. Prof. Emeritus pada University of Hawaii, Honolulu, memperoleh gelar Ph.D dari Cornell University 1954. Disertasinya yang diterbitkan berjudul The Emegence of the Modern Indonesia Elite (1960), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ia banyak menulis untuk jurnal-jurnal international dan aktif mengikuti berbagai seminar, konferensi, dsb. Pernah mengajar ilmu sejarah di Russell sage College di University of Hawaii, Manoa, Hawaii sejak 1965, menjadi dekan Universitas Sains Malaysia, Penang (1971-1973).

Karyanya: Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya,19); Sistem Tanam Paksa di Jawa, (Jakarta: LP3ES, 2003), terjemahan.

Buku Sistem Tanam Paksa ini mengulas mengenai sejarah tanam paksa di pulau Jawa, yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda dari tahun 1830 sampai 1870. Kegiatan tentang Sistem Tanam Paksa oleh van Niel ini memperlihatkan bahwa “pulau Jawa dapat menghasilkan beberapa komoditas pertanian tertentu dengan cara-cara cukup murah untuk bisa bersaing di pasar dunia”. (h. 289) Hal itu menjadi daya tarik untuk penanaman modal bagi para pengusaha di Jawa dan luar Jawa. Tetapi, bagi pengusaha yang berpangkalan di pulau Jawa yang paling menyadari dan mengenal cara yang diapakai oleh pemerintah sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan modal.

Pertumbuhan modal di bidang pertanian di pulau Jawa berasal dari para pengusaha yang bekerjasama dengan para pegawai sipil dan dan kantor-kantor perwakilan dagang. Jalan yang mereka rintis pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 berkembang menjadi sebuah jalan penanaman modal yang lebih luas. Langkah tersebut dimungkinkan berkembang berkaitan dengan adanya tenaga kerja murah dan ekonomi pedesaan.

Sistem tanam paksa ini, kata penulis, membawa pengaruh terhadap perkembangan ekonomi Jawa pada masa selanjutnya, dan lebih jauh memungkinkan Jawa terlibat ke dalam sistem ekonomi pasar.

Noer, Deliar. Lahir 1926 di Medan, Sumatra Utara. Ia menyelesaikan Sarjana Muda pada Fakultas Sosial-Ekonomi- Politik Universitas Nasional, Jakarta; MA dan Ph.D. di bidang ilmu politik diperoleh dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, antara tahun 1960 dan 1963.

Selama 1963-1965 ia menjadi dosen Universitas Sumatera Utara, Medan, dosen dan rektor IKIP Jakarta tahun 1967-1974 dan dosen Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (UI). Tahun 1972 diangkat menjadi guru besar IKIP Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial UI. Ia juga dosen sejarah dan politik pada School of Modern Asian Studies, Universitas Griffith, Brisbane, Australia. Pernah menjadi visiting Fellow pada Australian Nasional University, Canbera.

Buku-bukunya di antaranya: Administration of Islam in Indonesia (1978), Partai-Partai Islam di Pentas Nasional, (Bandung:Mizan ); Muhammad Hatta, Biografi Politik, (Jakarta: LP3ES, 1990); Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa, (Bandung: Mizan, 1996); Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa (Bandung: mizan, 2001); Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1994), terjemahan dari The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942 (1973).

Buku Gerakan Modern Islam merekam berbagai gerakan kaum modernis di Indonesia pada awal abad ke-20, mulai dari kemunculan Sarekat Islam, Muhammadiyah, al-Irsyad dan sebagainya. Gerakan-gerakan yang muncul itu disatukan oleh satu tujuan yakni agar pribumi meningkat derajatnya dalam masyarakat kolonial. Kebanyakan mereka bergerak di bidang pendidikan.

Kajian ini hanya mengulas kelompok modernis. Namun, untuk saat ini, oleh kebanyakan pengamat, buku itu sudah cukup klasik berkaitan dengan kajian realitas Islam di Indonesia.

Noorduyn, J. Adalah sarjana sastra yang meneliti mengenai Sulawesi Selatan. Ia belajar bahasa Indonesia juga Bugis di Rijksuniversiteit Leiden, 1945 -1952. Tahun 1953 ia menulis berdasarkan Lontara berjudul “Ten Boeginees Geschiftje over Arung Singkang” (BKI, jld. 109). Pernah bekerja sebagai linguist dari The Netherlands Bible Society di Jawa barat, 1955-1961; bekerja di KITLV di Leiden tahun 1962-1964; tahun 1965 menjadi research fellow pada Rijksuniversiteit Leiden dan sek. Institut itu. Tahun 1971 ia singgah di Makassar dan mengunjungi daerah Wajo.

Karyanya antara lain: Islamisasi Makassar (Jakarta: Bhratara, 1972), terj. S Gunawan; ia menyumbang “Asal Mula Historiografi di  Sulawesi Selatan” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.)  Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995).

Penulis mengungkap mengenai masuk dan berkembangnya Islam di Makassar, Sulawesi Selatan. Yang membawa Islam ke wilayah ini adalah para saudagar Muslim Melayu, yang menetap di Makassar dan tempat-tempat lainnya di Sulawesi Baratdaya. Mengenai waktu datangnya Islam ke wilayah ini antara tahun 1603 sampai 1607 M. Pada tahun 1607 sudah diadakan shalat Jumat pertama. Pada tahun-tahun berikutnya Karang Tallo mengirimkan ekspedisi-ekspedisi terhadap kerajaan Bugis, di utara, dan mereka mengakui persenjataan Makassar, dan akibat itu mereka masuk agama Islam.

Nordholt, Henk Schulte. Ia belajar sejarah di Free University, Amsterdam lulus 1980, dan memperoleh gelar doktor dalam ilmu-ilmu sosial pada universitas yang sama tahun 1988 dengan disertasi tentang sejarah sistem politik di Bali; Guru besar sejarah Asia Tenggara di Universitas Erasmus, Belanda; Kepala Penelitian di KITLV, yang mengkoordinir berbagai penelitian yang melibatkan peneliti Belanda maupun Indonesia, antara lain, program Renegotiating boundaries: Acces agency and indentity in post-Soeharto Indonesia dan Indonesia masa transisi. Bidang perhatiannya mencakup sejarah politik Bali, kekerasan politik, antropologi kolonialisme, dan politik kontemporer Indonesia.

Karyanya: The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940, (Bali: KITLV dan Larasan, 2006), terj.; menyumbang tulisan bersama “Memikirkan Ulang Historiografi Indonesia” dan sebagai editor bersama Bambmbang Purwanto dan Ratna Saptari, Perspektif Baru: Penulisan Sejarah Indinesia, (Jakarta: YOI-KITLV-Pustaka Larasan, 2008)

Buku The Spell of Power ini mengkaji sejarah politik Bali, dan dengan itu dapat dipahami bagaimana Bali masa kini. Juga karya ini merupakan hasil kajian antropologi historis mengenai tatanan politik di Bali antara tahun 1650 sampai 1940, yang fokusnya pada satu kerajaan Mengwi, di Bali bagian selatan. Kajian ini mencakup periode yang panjang, berusaha menelusuri berbagai pergolakan dan transisi yang terjadi selama kurang lebih tiga abad.

Penulis pun menyinggung mengenai hasil kajian para peneliti yang telah lalu, mengenai masyarakat Bali, seperti Clifford Geert.

Notosusanto, Nugroho. Lahir 15 Januari 1931 di Rembang dan meninggal di Jakarta 3 Januari 1985. Lulus Fak. Sastra UI tahun 1960, dan memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra bidang sejarah dari UI 1977. Banyak menulis sastra dan sejarah militer. Pernah menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan (193) dan Rektor UI.

Karyanya antara lain: Menerjemahkan Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press, 19); Rasa Sayange (1961), Hijau Tanahku, Hijau Bajuku (1961); karya ilmiah, Editor Sej. Nasional Indonesia (6 jilid); Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang; The National Struggle and Indonesian Armed Forces; Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (1978); Pertempuran Surabaya, (Jakarta: Lemb. Sej. Hankam. 1968) “Sudirman: Panglima yang Menepati Janjinya” dalam Taufik Abdullah dkk., Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1994).

Penulis dalam Pertempuran Surabaya mengungkap tentang Pertempuran Surabaya. Bung Karno, bung hatta, dan Bung Amir Syarifuddin berangkat ke surabaya untuk menghentikan perang terhadap tentara Indonesia. Lalu Bung Karno mengadakan persetujuan dengan Mayjen. Hawthorn, yang juga pergi ke Surabaya, untuk berunding. Saat itu Inggris hanya diizinkan menduduki dua wilayah, pelabuhan dan kamp RAPWI, dan selebihnya dikuasai Indonesia.

Persetujuan terjadi 3 Oktober. Saat itu timbul insiden antara pasukan Indonesia dengan kompi “D” dari dari batalion 6/Maharatta. Brigjen Mallaby dengan perwiranya dan orang Indonesia “contact Bureau” mendatangi tempat itu untuk menyelesaikan persengketaan. Namun, tak berhasil. Justru kompi maharatta kembali menembaki pihak Indonesia. Mallaby tertembak.

Pertempuran Surabaya timbul dari insiden itu. Pimpinan tentara Inggris tanpa berunding dengan Bung Karno mengeluarkan maklumat, bahwa semua orang Indonesia harus menyerahkan senjata dan mengangkat tangan, pada 10 November 1945. Tak seorang pun ada yang mematuhi maklumat itu, maka Inggris memulai serangannya.

Nursam, M. Lahir 1975 di Tolo, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Meraih sarjana sejarah dari Universitas Gajah Mada (UGM),  tahun 2000. Ia banyak menulis di berbagai media massa Indonesia.

Karyanya: Pergumulan Seorang Intelektual: Biografi Soedjatmoko, (Jakarta: Gramedia, 2005); Membuka Masa Depan, Biografi Sartono Kartodirdjo, (Jakarta: Gm, ).

Buku biografi Soedjatmoko ini merekam perjalanan hidup seorang Soedjatmoko dari masa kelahiran, ketika ayahnya yang seorang dokter bertugas di Sumatra Barat. Pada masa Pendudukan Jepang ia sempat kuliah, namun tak selesai karena ditangkap Jepang akibat aktivitasnya dalam gerakan mahasiswa. Ia banyak membaca buku karya pemikir Barat, Islam, mistik, kebudayaan dan sebagainya.

Ketika masih muda ia sudah menjadi diplomat, dan bertugas sebagai Duta Besar di Amerika Serikat. Ketika itulah ia membentuk dirinya menjadi pemikir generalis, sebagaimana dapat dibaca pada karya-karya tulisnya. Ia menjadi pemikir Indonesia yang perannya di dunia internasional cukup intens, dan terakhir ia pernah menjadi Rektor Universitas PBB di Jepang. Pengembaraan intelektualnya berakhir ketika ia memberikan ceramah di UGM, Yogyakarta. Ia kembali ke haribaan-Nya.

 

O

Ong Hok Ham. Lahir di Surabaya, 1 Mei 1937- . Hoogere Burger School (HBS) Surabaya, Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (UI) tahun 1968, Pascasarjana Universitas Indonesia, dan  pada tahun 1975 ia memperoleh gelar doktor dari Yale University, Amerika Serikat, dengan disertasi berjudul “The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the 19th Century”. Ia menjadi dosen sejarah di Fakultas Sastra UI (1975-1989).

Sebagai sejarawan ia banyak mengikuti seminar dan menulis di berbagai media massa yang berkaitan dengan sejarah, di antaranya: Skripsinya di Fakultas Sastra UI dalam bidang sejarah diterbitkan dengan judul Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1987); Negara dan Rakyat (Jakarta: S Harapan, 1983).  ”Brototodiningrat Affair” dalam Ruth McVey (ed.), Southeast Asia in Transition, yang diterbitkan untuk mengenang Prof. H.J. Benda;The Thugs, The Curtain Thief and The Suger Lord, (Jakarta: Metafor Publishing, 2003);  ”Sukarno: Mitos atau Realitas” dalam Taufik Abdullah dkk., Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1994); Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong  (Jakarta: Kompas, 2002).

Buku Runtuhnya Hindia Belanda mengulas mengenai berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia. Belanda menyerah kepada Jepang pada bulan Maret 1942. Itulah masa akhir dari kekuasaanh Belanda Indonesia. Proses keruntuhannya terlihat ketika di tahun 1920 sampai 1940-an muncul berbagai gerakan nasionalisme Indonesia modern. Munculnya Jepang di Indonesia menambah cepatnya proses kehancuran kekuasaan penjajah Belanda di Indonesia.

Juga penulis menguraikan proses tersebut dengan menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dalam negeri maupun faktor yang terjadi di dunia internasional, dan tidak luput pula situasi politik di negeri Belanda.

Ongodharma-Untoro,  Hariyanti. Adalah pengajar tetap di Departemen Arkeologi, Fak. Sastra Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI), dan pengajar pada D3 Pariwisata, serta Fakultas Sastra UI; ia mendapat gelar MA antropologi di program Pascasarjana UI dan program doktor ditempuh pada bidang yang sama. Ia menekuni arkeologi-lingkungan dan arkeologi-ekonomi. Juga menulis beberapa karya ilmiah hasil penelitian.

Karya: Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: KotaKita, 2006).

Penulis melalui karya ini merekonstruksi mengenai kota Banten, sebagai kota pelabuhan. Banten pada masa lalu sebagai suatu Kesultanan Islam terkemuka di pulau Jawa pada abad ke-15 -18. Sebagai kota pelabuhan Banten banyak disinggahi para pendatang dari berbagai bangsa, Inggris, Belanda, Portugis, Denmark, Cina, India, Abesinia. Mesir dan Turki.

Buku ini hasil penelitian arkeologi, dan sejarah. Berdasarkan data artefak dan ekofak, dapat ditentukan bahwa hasil kebudayaan Banten terwujud karena terciptanya interaksi yang dinamis antara manusia (penduduknya) dengan lingkungan fisik sekelilingnya. Bahkan tingkat kepandaian memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya telah pula dikembangkan, sehingga melahirkan budaya tersebut. Kebesaran dan masa keemasan Kesultanan Banten tercermin dari peninggalan yang terrekam dalam data arkeologi. (h. 201).

P

Pane, Sanusi. Lahir 14 November 1905 di Muara Sipongi, Sumatra Utara dan meninggal di Jakarta 2 Januari 1968. Setelah lulus Kweekschool Jakarta (1925), ia pernah kuliah di Sekolah Hakim Tinggi. Ia pernah mengajar di Kweekschool Gunung Sahari, Jakarta, HIK Lembang, HIK Gubernemen Bandung, dan Sekolah Menengah Perguruan Rakyat Jakarta. Ia adalah seorang pujangga dan mempunyai perhatian pada sejarah Indonesia.

Karyanya:Sejarah Indonesia,(Jakarta: B Pustaka, 1950) dan Indonesia Sepanjang Masa.

Buku karya Sanusi membahas mengenai sejarah Indonesia, yang diawali dengan zaman sebelum datangnya Hindu, zaman Hindu-Indonesia, munculnya kerajaan-kerajaan Islam, datangnya kompeni dan zaman pemerintah Belanda.

Parlindungan, Mangaradja Onggang. Ahli Bom tarik/ Let. Kol AD/ pensiunan.

Karyanya: Pongkinangongolan Sinambela Gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab hambali di Tanah Batak 1816-1833, (Yogyakarta: LkiS, 2007), terbitan ulang 1964.

Buku Tuanku Rao ini mengisahkan mengenai sejarah penyebaran Islam di wilayah Batak. Penyebarnya adalah di antaranya Tuanku Rao. Mereka menyebarkan agama Islam dengan kekerasan (pedang) kepada bangsa Batak. Sebelumnya, sudah selama tiga abad, mereka menolak Islam yang disebarkan oleh para pedagang dengan jalan damai, di Singkil, Barus, Sarkam, Teluk Sibolga, Singkuang, natal, Labuan Bilik  dan Tanjungbalai. Proses islamisasi yang dilakukan oleh Tuanku Rao bersama Tentara Bonjol menjadikan pendudukTanah Batak bagian selatan memeluk agama Islam pada 1816 M.

Setelah Tuanku Bonjol menyebarkan agama Islam di tanah Batak, dan kemudian datang Tuanku Lelo dengan pasukannya menyerbu Toba. Ia membumihanguskan rumah-rumah mereka. Sementara wanita-wanitanya dibawa sebagai rampasan perang. Akibat ulah Tuanku Lelo, Bonjol. Tuanku Renceh dan Tuanku Rao dibenci dan namanya menjadi tercemar di masyarakat Batak. (Informasi ini dapat dibandingkan dengan Hamka, Dari Perbendaharaan Lama)

Peeters, Jeroen. Menerima gelar doktor dari Rijksuniversiteit Leiden, Belanda.

Semula karya ini adalah disertasi di Rijksuniversiteit Leiden, Belanda, tahun 1994 yang diterjemahkan menjadi Kaum Tua-Kaum Muda: Perubahan Religius di Palembang, (Jakarta: INIS, 1997).

Buku ini mengulas mengenai perkembangan Islam di Palembang, terutama berkaitan dengan kaum tua-kaum muda. Penulis mengutip HJ. Benda tentang dikotomi pedesaan-perkotaan. Jika pada abad ke-19 menyaksikan munculnya peradaban pedesaan yang statis, ortodoks-konservatif, namun abad ke-20 menyaksikan perkembangan Islam perkotaan yang reformis dan dinamis. Akibat perkembangan ini kaum ortodoks-konservatif merasa terancam, maka pada tahun 1926 didirikanlah Nahdlatul Ulama (NU). Muhammadiyah berbasis di perkotaan, dan NU berakar di pedesaan.

Menurut penulis, pada kasus Palembang dikotomi pedesaan-perkotaan menjadi kabur. Di karesidenan Palembang, NU adalah organisasi yang lahir di kota, di mana para anggotanya direkrut dari kelompok orang kota yang dominan. Di Palembang, pengikut kaum  pembaru tetap terbatas pada pendatang baru danm ditambah beberapa “pembangkang” pribumi dari Lampung 4 Ulu.

Pigeaud, TH. Lahir pada 1899 di Leipzig, Jerman Barat dan pakar sastra Jawa kuno ini meninggal di Zeist, Belanda pada tahun 1988. Menempuh pendidikan di Universitas Leiden, hingga meraih doktor dengan disertasi tentang Tantu Panggelaran pada tahun 1924.

Setelah itu ia ditugasi untuk meneliti bahasa di berbagai daerah di Indonesia, dengan tugas pokok menyusun kamus Jawa-Belanda. Untuk itu ia bermukim di Surakarta selama 1926-1931, dilanjutkan di Yogyakarta sampai 1946, dan menghasilkan Kamus Jawa-Belanda (1938). Sepuluh tahun kemudian disusul dengan Kamus Belanda- Jawa. Ia juga banyak menulis tentang bahasa, sastra, dan sejarah Jawa yang dipublikasikan dalam majalah Djawa. Selain kedua karya besarnya tadi, ia pun menulis sejumlah buku, antara lain Jaavanse Volksvertoningen (1938), Literature of Java (4 jilid, 1967-1980), Java in the Fourteenth Century (5 jilid, 1960-1963). Bersama HJ de Graaf menulis buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa (Grafiti- KITLV: Jakarta, 2001), terjmahan.

Buku Kerajaan Islam Pertama yang ditulis bersama de Graaf ini mengulas tentang kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di pulau Jawa pada abad ke 15-16. Di antara kerajaan itu ialah Demak. Periode ini ketika kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan keruntuhan.

Pijper, GF. Lahir 1893 di Netherland. Belajar theologi, sastra Timur (bahasa Semit, terutama Arab), Melayu, Jawa, Sunda di Universitas Leiden, Netherland 1911), dan mendapat gelar doktor dari Universitas Leiden dengan disertasi Het Boek der Duizend Vragen (1924). Pengalaman kerja: ia pernah dikirim ke Indonesia sebagai ahli bahasa daerah di Indonesia dan ditemppatkan di Kantoor voor Indonesische Zaken sebagai penasehat Pemerintah Belanda (1925), diangkat guru besar  di Faculteit der Letteren di Jakarta (1940); ditawan Jepang 1942-1945, diangkat guru besar di Jakarta; dosen tamu di Universiteit van Amesterdam tahun 1951 ; diangkat guru besar  dan mengajar bahasa Arab, Islam, Semitologi Umum, bahasa Siria (1953-1963); pensiun 1963.

Karyanya, antara lain: Fragmenta Islamica (1934); Netherland en de Islam (1955); Beberapa Studi tentang sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 (Jakarta: UI Press, 1984) diterjemahkan oleh Tudjimah dan Yessy Angusdin.

Dalam karyanya ini Beberapa Studi di antaranya membahas tentang reformasi Islam di Indonesia, tokoh-tokohnya Ahmad Surkati dengan al-Irsyad, A. Hassan, HM Basuni Imron, Agus Salim dan sebagainya.

Poeze, Harry A. Ia belajar Ilmu Politik di University of Amsterdam, lulus tahun 1972; memperoleh Ph.D. dalam Ilmu-Ilmu Sosial dari Universitas Amsterdam, Belanda, dengan disertasi  tentang biografi Tan Malaka. Peneliti di KITLV dan direktur KITLV Press. Bidang penelitiannya mencakup perkembangan dunia politik Indonesia sejak tahun 1900 sampai revolusi Indonesia.

Karyanya antara lain: Tan Malaka; “Memuliakan, Mengutuk, dan Mengangkat Kembali Pahlawan Nasional: Kasus Tan Malaka” dalam Henk Schulte Nordholt, (ed. Dkk.)  Perspektif Baru: Penulisan Sejarah Indinesia, (Jakarta: YOI-KITLV-Pustaka Larasan, 2008)

Ia menulis tentang biografi Tan Malaka. Tan Malaka adalah pejuang yang gigih dan juga pemikir Marxis. Pada awal zaman revolusi pernah satu jalan dengan Soekarno, namun kemudian berpisah jalan. Tan Malaka menggerakan Persatoean Perjoeangan yang menentang perjanjian dengan Belanda. Bung Karno dengan cerdik dapat meyakinkan kekuatan-kekuatan politik untuk mendukung perundingan pada Maret 1946. Gerakan Tan Malaka menghilang dan ia dipenjarakan atas alasan yang tidak jelas.  Ia mendekam hingga bulan September 1948.

Setelah itu pandangan politiknya semakin mengeras. Ia menulis artikel untuk menyuarakan pandangannya dalam surat kabar. Ia mengecam keras pemimpin politik Republik Indonesia.  Ia juga menulis otobiografinya, yang berisi pernyataan politik dan pamflet politik.

Setelah dibebaskan dari penjara pada tanggal 7 November 1948  Tan Malaka mendirikan Partai Murba. Namun, partai itu tidak mendapat kesempatan berkembang. Belanda menyerang kembali Indonesia.

Pada tanggal 21 Februari 1949 ia ditangkap di lereng gunung Wilis, dekat Kediri, Jawa Timur. Ia dieksekusi mati setelah divonis oleh pengadilan militer semu. Makamnya sampai sekarang belum ditemukan.

Pringgodigdo, AK. Pelaku sejarah pada masa kemerdekaan.

Karyanya: Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1994 ).

Buku ini mengisahkan mengenai pergerakan Indonesia sejak tahun 1908 sampai 1942 di pulau Jawa. Diawali dengan berdirinya perkumpulan Budi Utomo pada 20  Mei 1908 dan para tokoh pendirinya, lalu Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 di Solo, dan seterusnya bermunculan berbagai perkumpulan baik bernuansa etnik, nasionalis maupun Islam dan sebagainya. Semua itu bergerak untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah.

Puar, Yusuf Abdullah. Lahir 31 Agustus 1917 di Medan. Pendidikan MULO tahun 1938, Junior Cambridge dan madrasah Tawalib Islam. Penulis free lane juga memiliki jabatan di pemerintah, 1970 pensiun Dep. Penerangan Ria; anggota KNIP 1946; anggota DPR Sum. Utara, dan mendampingi Gub. Sumatra Mr. T Moh Hasan. Ke Jakarta 1954. Juga pernah menjadi Pem. Redaksi majalah Panji Masyarakat, Gema Islam dan Harian Abadi.

Karyanya: Jenderal Sudirman Patriot Teladan, (Yogya, Yayasan PB Soedirman, Jakarta Antara, 1981)

Buku ini mengisahkan kehidupan Sudirman, yang lahir di Rembang, Purbalingga, 24 Jam 1916. Ia masuk HIS tahun 1930 dan tahun 1935 lulus MULO di Cilacap. Sejak awal ia senang pada kepanduan Hizbul Waton, dan terus berlanjut hingga akhirnya ia menjadi pemimpin gerilya, seorang jenderal yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.

Biografi ini diawali sejak kelahiran sampai Jenderal Sudirman wafat di Yogyakarta.

Purwanto, Bambang. Ia memndapat gelar MA di bidang Southeast Asian Studies di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London, tahun 1989, dan memperoleh Ph.D. dalam bidang sejarah pada universitas yang sama tahun 1992. Kini ia Guru besar pada Jurusan Sejarah dan Wakil bid. Akademik Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.

Karyanya: bersama Asvi W Adam Menggugat Historiografi Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2005); Gagalnya Historiografi Indonesia? (Yogyakarta: Ombak, 2006);  Menjadi editor bersama Henk Schulte  Nordholt dan Ratna Saptari dan menulis “Menulis kehidupan sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Indonesia”  dalam Perspektif Baru: Penulisan Sejarah Indinesia, (Jakarta: YOI-KITLV-Pustaka Larasan, 2008); “Dimensi Ekonomi Lokal dalam Sejarah Indonesia” dalam Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global,(Yogyakarta: Ombak, 2010).

Ia menulis dalam “Menulis Kehidupan Sehari-hari…” bahwa dalam prespektif baru, sejarawan tidak hanya bergantung pada sumber-sumber formal, namun berbagai sumber simbolik semisal patung lukisan, karikatur dan ruang dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Tulisan sejarah tidak hanya berarti hasil konstruksi atas masa lalu, namun juga dianggap sebagai refleksi kesadaran intelektual atau budaya, yang dapat dimanfaatkan sekaligus senagai sumber sejarah. Oleh karena itu beberapa elemen yang berkaitan dengan orang kebanyakan di Jakarta misalnya gubuk reot, ruang tempat tinggal, dan coretan serta gambar yang terdapat di tembok-tembok sekitar mereka, sebagai refleksi simbolik dari kenyataan sosial kehidupan mereka sehari-hari yang dapat digunakan sebagai sumber sejarah.

Lanjutnya ia mengatakan, “tidak berlebihan dikatakan bahwa coretan, gambar, dan tindakan menulis sejarah sendiri oleh masyarakat miskin kota merupakan simbol dari perlawanan orang kebanyakan terhadap sebuh rezim dominan, baik sejarawan Indonesia maupun penguasa formal yng tidak pernah mengakui keberadaan orang kebanyakan dan kehidupan sehari-hari secara historis. Berkaitan dengan itu, upaya untuk mengembangkan sejarah masyarakat, sejarah orang kebanyakan, dan sejarah kehidupan sehari-hari dalam kerangka sejarah sosial oleh sejarawan Indonesia sangat relevan bagi perkembangan historiogrfi Indonesia di masa depan.”

 

Q

al-Qurtuby, Sumanto. Lahir 10 Juli 1975 desa Manggis, Batang, Jawa Tengah. Lulus Fak. Syari’ah IAIN Walisongo tahun 1999; master sosiologi agama dari Universitas Satya Wacana pada 2003 dengan tesis “Peranan Cina dalam Proses Penyebaran Islam di Jawa Abad XV dan XVI”.

Ia banyak menulis tentang masalah agama, di antaranya: KH. MA. Sahal Mahfudz Era Baru Fiqh Indonesia,(Yogyakarta: 1999); Kritik Nalar Fiqh NU, (Jakarta: 2000), dll.

Buku Peranan Cina dalam.. ini menyingkap tentang peranan kaum Tionghoa dalam proses penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Kaum Tionghoa yang memainkan peran dalam sejarah islamisasi di Jawa pada awalnya kebanyakan datang dari Kanton, Chuang Chau, Chang-Chou dan Yunan.

 

R

Railon, Francois. Lahir 7 Mei 1947 di Paris. Ia sebagai staf peneliti pada Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis (CNRS). Ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu sosial Asia Selatan dan Timur dari Universite de Paris. Tahun 1972-1974 ia mengajar bahasa Prancis di ITB dan TNI, Bandung, di samping aktif sebagai konsultan hubungan bilateral Indonesia-Prancis. Ia menerima Jeanne Cuisinier 1983 untuk bukunya Mahasiswa Indonesia dan Orde Baru. Ia banyak menulis dalam berbagai jurnal ilmiah, mengenai Islam, politik, dan golongan menengah Indonesia.

Karyanya: Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, (Jakarta: LP3ES, 1985), terjemahan.

Buku ini mengulas mengenai situasi akhir Orde Lama yang dipimpin Presiden soekarno. Orde Lama di mata mahasiswa semakin melenceng, maka mahasiswa Indonesia protes dengan melakukan demontrasi. Bekerjasama dengan kelompok militer yang mengambilalih kekuasaan, dan mahasiswa tak hanya sebagai kekuatan politik fisik dan masal, namun juga intelektual dan ideologis. Penilaian-penilaian mereka tertuang dalam Mahasiswa Indonesia, sebuah mingguan.

Dalam mingguan itu mereka menyuarakan rasionalisasi dan modernisasi kehidupan bernegara. Mahasiswa mempunyai andil untuk tampilnya pemerintah Orde Baru.

Rahim, Husni. Lahir 23 Maret 1946 di Pagaralam, Sumatra Selatan. Lulus Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun 1972; dekan IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 1994; ia pernah mengikuti post graduate Course of Islamic Studies di Rijks Universiteit, Leiden, Belanda (1983-1964), penelitian tentang penghulu dalam masyarakat Palembang abad ke-19 dan ke-20 di Belanda (1991-1992)

Karyanya: “Kesultanan Palembang Menghadapi Belanda serta Masuk dan berkembangnya Islam di daerah Palembang”, dalam Jurnal Sejarah, No 3, 1993; “Politik Islam Belanda di Palembang”, dalam Jurnal Intizar, No 2, 1993; “Madrasah Negeri Sebagai Madrasah Percontohan”, dalam jurnal Madrasah, No 1, 1996; Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, (Jakarta: Logos, 1998).

Dalam buku Sistem Otoritas.. ini penulis mengulas mengenai sistem otoritas dan administrasi Islam di Palembang pada masa kolonial Belanda. Studi ini berusaha mengungkap corak dan dinamika hubungan antara komunitas Islam, pemegang otoritas keagamaan, dan pemegang kekuasaan politik. Sementara fokusnya pada peranan penghulu dalam masyarakat Palembang di masa kesultanan dan di masa kolonial.

Rasyad, Aminuddin. Lahir 1933 di Padangpanjang, Sumatra Barat. Ia menamatkan sarjana bidang pendidikan dan psikologi di Fak. Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 1966; kemudian mengikuti Post Graduate dalam bidang  Filsafat dan Sejarah Islam tahun 1973-1975; sejak 1976 menjadi anggota Survey dan research IAIN Jakarta; Dekan FIP IKIP Muhammadiyah jakarta dan dosen FISIP Muhammadiyah jakarta, dan banyak jabatan lainnya. Ia banyak melakukan penelitian dan menulis.

Karyanya: “Rahmah El Yunusiyyah: Kartini Perguruan Islam” dalam Taufik Abdullah dkk., Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1994).

Penulis mengisahkan sang tokoh sebagai pejuang pendidikan bagi kaum perempuan. Rahmah lahir pada 29 desember 1900 di Padangpanjang. Ia pendiri Perguruan Diniyah Putri Padangpanjang, yang muridnya tersebar di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura,dan kepulauan Anambas.

Secara formal pendidikan awalnya tidak tinggi, namun ia belajar pada tokoh semisal Dr. HA Karim Amrullah, Syekh Abdul Hamid dan Syekh Zainuddin Labay dan ulama-ulama lainnya. Selanjutnya ia belajar sendiri.

Dengan tekad dan dasar pendidikan agama Islam yang kuat Rahmah berjuang untuk kaumnya. Ia bercita-cita mengangkat derajat kaum perempuan melalui pendidikan. Pada 1 November 1923  didirikanlah Madrasatu lil Banat atau yang dikanal dengan Perguruan Diniyah Putri Padangpanjang. Ia terus berjuang membina sekolah yang didirikannya. Ia fengan kaum penjajah memilih jalan non kooperatif, karena itu ia menolak bantuan dari pemerintah Belanda. Begitupun ketika zaman pendudukan Jepang ia menentang kehadiran Jepang.

Dalam bidang politik ia tidak mau melibatkan perguruan, sebab menurutnya bila itu dilakukan berbahaya bagi kelangsungan perguruan tersebut. Pilihan politik biarlah urusan masing-masing individu. Namun, ketika memasuki zaman revolusi kemerdekaan ia juag ikut dalam perjuangan.

Sekplah yang didirkannya mendapat perhatian dari dunia Islam, seperti dari Al-Azhar di Mesir. Pada tahun 1955 Rektor Al-Azhar mengunjungi perguruan ini, dan ia sangat tertarik dan kagum terhadap perjuangan Rahmah. Ia ingin mengambil model Perguruan Diniyah Putri untuk di Al-Azhar, yakni Kuliyatul Banat. Negara-negara lain di Timur Tengah pun tertarik untuk mencontoh perguruan itu. Dari dalam negeri juga perguruan ini mendapat perhatian dari pemerintah.

Atas perjuangan Rahmah El Yunusiyyah dalam pendidikan putri, maka pada tahun 1956 ia diundang ke Al-Azhar dan ia diberi gelar kehormatan Syeikhah. Ia yang pertama kali yang mendapat gelar itu dari kaum perempuan.

Reid, Anthony. Lahir tahun 1939 di Selandia Baru. Belajar sejarah pada Victoria University of Wellington dan Cambridge University, tempat ia mendapat gelar Ph.D. tahun 1965. Tahun 1965-1970 ia mengajar di Universitas Malaya di Kuala Lumpur; sejak 1970 ia menetap di ANU di Canbera, Australia, sebagai Profesor Southeast Asian History pada Research School of Polities Studies;ada tahun 1980-1981 ia mengajar di Ujung Pandang sebagai tenaga Ahli Utama di Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial; pernah mengajar tahun 1973-1974 di Yale University, AS; juga di Asia Research Institute, Nasional University of Singaore.

Karyanya: The Contest for North Sumatra (1969); The Indonesia National Revolution (1974); Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra (PSH); sebagai penyunting dengan D. Marr, Dari Raja Ali Haji hingga Hamka (Jakarta: Grafiti,); Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di Bawah Angin ( 2 jld.)(Jakarta: YOI, 1992); Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 2004), terj.; Asal Usul konflik Aceh: Dari Perebutan pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19(Jakarta: YOI, 2005), terj.

Buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga yang ditulis Reid ini mengulas mengenai sejarah Asia Tenggara, dan tentu saja meliputi wilayah Indonesia. Dengan metode pendekatan, menurut Onghokham, yang dikenal dengan sejarah total, yakni sejarah peradaban meliputi semua aspek kehidupan yang tidak hanya politik, sebagaimana sejarah konvensional.

Juga buku ini memiliki keragaman dan keluasan informasi, mulai dari hal yang bersifat fisik sampai ke non-fisik. Seperti, soal “Pola Pertanian”, di Jawa yang memiliki penduduk dan tanah yang subur untuk persawahan, yang terdapat di sepanjang pantai utara; dan soal, “Sirih dan Tembakau”, sirih dan pinang asli berasal dari kawasan Asia Tenggara, serta kapur dari bahan kerang. Ketiga bahan itu jika dikunyah maka akan menghasilkan liur merah dan diludahkan ke luar.

Era perniagaan diulas di kawasan Asia Tenggara, peran kerajaan-kerajaan dan para pedagang asing dari Eropa, Arab, India dan Cina yang mencari lada, pala, kayu manis dan rempah-rempah lainnya dan sebagainya.

Resink, Gertudes Johan (GJ). Lahir 1911 di Yogyakarta dan meninggal tahun 1997 di Jakarta. Ia masuk Sekolah Hukum Batavia tahun 1930, di bawah asuhan para guru besar ia belajar berbagai sistem hukum di Indonesia, dan perbandingan hukum. Tahun 1936 ia lulus, dan 1940 ia bekerja di sekretariat jen. Gub. Jenderal di Buitenzog (Bogor). Tahun 1947 ia menggantikan Prof. Logemann dalam hukum tatanegara Indonesia pada Fakultas Hukum dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia; tahun 1950 ia menggantikan Dr. W.Ph. Coolhaas sebagai gurubesar sejarah diplomasi dan modern Indonesia; dan tahun 1962-1963 ia sebagai asisten peneliti pada School of Oriental dan African Studies di London.

Karyanya antara lain: Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, (Jakarta: Djambatan, 1987 ); “Arti Sejarah Hukum Internasional di Indonesia” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.)  Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995).

Dalam bukunya Raja dan Kerajaan itu penulis mengulas bahwa pada masa penjajahan Belanda di Nusantara terdapat kerajaan-kerajaan Islam, yang jika dilihat dari segi hukum, berdaulat. Kerajaan-kerajaan itu tidak termasuk dalam pemerintahan jajahan Hindia Belanda, seperti kerajaan-kerajaan di Nusantara di antaranya Aceh, Goa dan  sebagainya. Beberapa kerajaan itu adalah sebagai negara merdeka sebelum ditaklukkan oleh penjajah dan dimasukan ke dalam wilayah kekuasaannya. Sebagai contoh Aceh baru ditaklukkan tahun 1912 dan begitu juga kerajaan-kerajaan lain..

Dengan demikian jika selama ini ada yang meyakini bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun, maka itu hanyalah mitos yang tidak dapat dipertahankan lagi. Sebab ketika Cornelis de Hotman mendarat di Nusantara (Banten) mereka tidak langsung menjajah dengan menaklukan kerajan-kerajaan yang merdeka saat itu. Setelah kerajaan-kerajaan itu satu persatu ditaklukkan maka mereka mulai melebarkan kekuasaan dan kemudian membangun pemerintahan kolonial.

Ricklefs, MC. Pernah mengajar di School of Oriental dan African Studies di London dan Monash University dan juga menjadi Direktur Sekolah Penelitian tentang Kajian Asia dan Pasifik.

Karyanya: ”Islamisasi di Jawa: Abad ke-14 hingga ke-18” dalam Ahmad Ibrahim, (ed. dkk.) Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989), terj.; Sejarah Indonesia Modern  1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2004).

Penulis mengawali buku ini dengan periode kedatangan Islam ke Indonesia. Dikatakan bahwa proses itu sangat penting namun juga paling tidak jelas. Memang untuk mendapatkan sumber yang valid berkaitan dengan kapan datangnya Islam ke Indoesia, karena itu tampaknya masalah tersebut masih menjadi perdebatan, di antara sejarawan.

Dari proses kedatangan Islam dan perkembangannya serta munculnya negara-negara baru Islam pada abad ke-15 dan ke-16; periode hegemoni VOC sekitar tahun 1630-1800; pembentukan pemerintah Hindia Belanda sebagai negara jajahan tahun 1800-1900; dan munculnya konsepsi mengenai Indonesia antara tahun 1900-1942; runtuhnya negara jajahan dan digantikan dengan pendudukan Jepang sekitar tahun 1042-1945; zaman kemerdekaan, Orde Lama dan berakhirnya rezim Orde Baru hingga timbulnya era reformasi.

Roeder, OG. Adalah wartawan yang bekerja di kawasan Asia Tenggara.

Karyanya: Soeharto, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), terj.

Buku ini mengisahkan kehidupan Suharto. Ditulis bahwa, Suharto belum berarti apa-apa bagi kebanyakan orang Indonesia dan dunia sebelum tanggal 1 Oktober 1965. Pada malam sebelum peristiwa itu ia menjenguk anaknya yang sakit di rumah sakit pusat Angkatan Darat. Ia melihat gelagat ada ketidakberesan terhadap keamanan negara, lalu ia bertindak dan para perwira menyetujuinya. Ia mengambil alih pimpinan di lapangan. Ia kontak semua panglima di Jakarta, Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Kepolisian. Ia curiga terhdap pimpinan Angkatan Udara terlibat. Kemudian ia bicara dengan Jenderal Kemal Idris, diminta kirim pasukan ke Jakarta. RPKAD pimpinan Kol. Sarwo Edi bergerak ke Cililitan dekat pangkalan udara Halim.

Malam jam 18.30 ia memerintahkan perebutan kembali radio RI dan Kantor Pusat Telekom, di Medan Merdeka.

Informasi dalam buku biografi ini dapat dikonfrontasikan dengan buku biografi yang lain.

Roem, Mohamad. Lahir tahun 1908 di Parakan, Kedu, Jawa Tengah. Ia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Rechts Hogeschool Jakarta tahun 1939; pernah menjadi pengacara tahun 1940-1967; menjadi delegasi perundingan Linggarjati, ketua delegasi Roem-Royen; wakil Perdana Menteri; Rektor Universitas Islam Sumatra Utara tahun 1953-1956; Anggota Dewan Eksekutif muktamar al-Alam Islami.

Karyanya: Bunga Rampai dari Sejarah (1972); Polygami, monogamy dan Peradilan Agama; “Memimpin adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim” dalam Taufik Abdullah dkk., Manusia Dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1994).

Penulis mengisahkan mengenai Agus Salim. Ia mendapat pendidikan Belanda dan juga dari ayahnya, Sutan Salim. Ia tamat HBS tahun 1898. Setamat HBS ia bekerja pada konsulat Belanda di Jedah, antara tahun 1906-1911. Ketika di kota itulah ia belajar bahasa Arab dan mempelajari Islam secara mendalam.

Agus Salim bukan saja seorang orator, namun ia juga penulis yang penanya tajam. Pada tahun 1925 ia ditawari untuk menjadi pemimpin Hindia Baru, dan ia menerima dengan syarat, bahwa ia menulis penuh kebebasan. Ia bertugas mengisi tajuk rencana dan mimbar Jum’at. Namun, setelah beberapa lama kemudian, karena kritik-kritiknya yang tajam kepada pemerintah Belanda tidak sejalan dengan pemiliknya. Mereka meminta kepada Agus Salim untuk mengurangi kritiknya. Dengan permintaan itu, ia langsung meletakkan jabatan sebagai pemimpin redaktur harian itu.

Ia mendidik anak-anaknya sendiri. Anak-anaknya tidak disekolahkan di sekolah formal seperti anak-anak seusianya. Anak-anaknya mendapatkan pelajaran bahasa asing, seperti Belanda, Inggris, Prancis dsb. Mereka dari kecil sudah mampu berbicara bahasa itu.

Dalam berpolitik Agus Salim mempunyai pendirian non-kooperatif. Begitupun dengan kebudayaan Barat. Ketika ia pada tahun 1925 diminta menjadi penasehat Jong Islamiten Bond (JIB) oleh Samsulrijal. Ia melontarkan pikirannya bahwa umat Islam tidak boleh mengikuti kebudayaan Barat. Ia ingin umat Islam mampu melepaskan diri dari pengaruh budaya Barat. Agar umat Islam berpegang teguh pada ajaran Islam, sehingga mampu berdiri tegak dan menjadi tuan di negeri sendiri.

Romein, Jan. Lahir di Rotterdam, 30 Oktober 1893 – meninggal 12 Juli 1962 M. Mulanya ia mengambil studi teologi, tapi kemudian ia mendalami sejarah di Fakultas Sastra Universitas Leiden. Ia banyak menimba ilmu sejarah dari Fruin dan Huizinga. Kewibawaannya sebagai sejarawan dapat disejajarkan dengan keduanya. Pada 1924 ia berhasil meraih gelar doktor dengan pujian (cum laude) berkat disertasinya “Dostojewskij in de Westersche Kritiek” (Dostoyevski dalam Kritik Barat). Tahun 1936 ia diangkat menjadi guru besar sejarah di Amesterdam, dan pada tahun 1945 ia menambahkan Sejarah Modern dan Teori Sejarah ke dalam mata kuliah yang diajarkannya. Atas undangan pemerintah Indonesia, 1951—1952 sebagai guru besar tamu di Univeritas Gajah Mada, Yogyakarta.

Karya-karya tulisnya beragam, mulai filsafat, psikologi dan sastra dengan selera tinggi. Semuanya mencapai 356 buah. Ketika di Indonesia hasil ceramahnya dibukukan In de ban van Prambanan, yang diterjemahkan menjadi Dalam Pesona Prambanan: Indonesia di Tengah Gejolak Dunia (1989); “Arti Metode Perbandingan dalam Historiografi Indonesia” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.) Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995).

Penulis membahas mengenai metode perbandingan dalam historiografi Indonesia. Metode perbandingan amat berguna, khusus nya pokok-pokok luas seperti penelitian berbagai kebudayaan atau jika seseorang misalnya bwerusaha mencari segi-segi persamaan dalam keadaan-keadaan yang mengarah kepada perang atau revolusi. Teknik semacam ini di kalangan sejarawan Sudah cukup diterima sebagaimana di bidang ilmu-ilmu sosial lainnya.

Namun, faktor waktu tidak boleh dilupakan. Sejarawan yang membandingklan dua proses sejarah harus bertanya pada dirinya,  berapa waktu oleh peristiwa tang satu dan berapa lama oleh yang lain. Bagaimana terjadinya dan sampai seberapa jauh perbedaan jangka waktu ini mempengaruhi hasil akhir.

Rosidi, Ajip. Lahir 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Cirebon Jawa Barat. Ia adalah seorang otodidak. Ia telah menulis dalam majalah-majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta sejak tahun 1952. Ia banyak menghasilkan karya sastra dan juga menelaah karya sastra, berupa sejarah dan kritik sastra. Ia pernah menjadi ketua Dewan Kesenia Jakarta 1973-1981, ketua Ikatan Penerbit Indonesia 1973-1979, Dirut Penerbit PT Dunia Pustaka Jaya 1971-1981, dan pernah menjadi dosen sejarah sastra Indonesia di Universitas Pajajaran. Terakhir sebagai guru besar tamu (visiting professor) pada Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas bahasa-bahasa Asing Osaka, 1981-2003), Kyoto Sangyo Daigaku  (Universitas Industri Kyoto) dan Tenri Daigaku (Universitas Tenri).

Sebagai pengarang, ia tergolong kepada para pengarang yang muncul dan berkembang dalam periode 1953-1960. Oleh HB Jassin, Ajip digolongkan sebagai salah seorang angkatan 66.

Karya-karya fiksi dan non-fiksi, di antaranya: Anak Tanah Air (Jakarta: GM, ); Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Binacipta, 1991); Hidup Tanpa Ijazah, Yang terekam dalam Kenangan (Otobiografi, 2008); Puisi Indonesia Modern (Jakarta: P Jaya, 2008); dan Safrudin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986);M. Natsir, Sebuah Biografi (Jakarta: GMP, 1990) .

Ajip Rosidi dalam M. Natsir, Sebuah Biografi menulis. M Natsir yang lahir 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, mula-mula belajar di HIS dan sorenya mengaji, ayahnya sebagai pegawai kecil, Idris Sutan Saripado dan ibunya Khadijah. Tamat dari HIS ia masuk MULO. Setelah menamatkan MULO di Padang M Natsir melanjutkan pendidikannya di AMS (algemene middlbare school) setingkat sekolah menengah di Bandung. Di kota Bandung ia tinggal di Gang Pakgade dekat Pasar Baru dan Babatan. Yang tinggal di gang itu bukan hanya Sunda, ada Palembang, Jawa dan Keling. Tak  ada orang Cina, mereka tinggal di sekitar Pecinan.

Fachoeddin al-Khairi mula-mula sering menghadiri pengajian Persatuan Islam dan sering berkunjung ke rumah Tuan Hassan.  Lalu Fachroeddin mengajak temannya, M Natsir ke rumah Tuan Hassan untuk bertanya dan berdiskusi soal-soal agama. Mereka berdua sekolah Belanda belajar bahasa Barat namun berminat untuk mempelajari agama Islam, berbeda dengan kebanyakan temannya. Juga M Natsir belajar bahasa Arab kepada Tuan Hassan.

Pada bulan Januari 1929 dalam rapat umum Jong Islamiten Bond (JIB) yang diadakan di sekolah Persatuan Islam, Fachroeddin al-Khairi terpilih sebagai ketua JIB cabang Bandung dan M Natsir sebagai wakilnya. JIB ini didirikan atas respon pemuda Islam terhadap organisasi pemuda yang ada dan atas saran Kiai Agus Salim, yang didirikan oleh Wiwoho, Sjamsuridjal dan kawan-kawan. Dengan aktivitasnya itu keduanya semakin sering datang ke kediaman Tuan Hassan.

Bulan Maret 1929 didirikan Komite oleh kaum Muslim untuk menentukan sikap yang berkaitan dengan berbagai cemoohan, serangan, tuduhan dan celaan dari orang-orang yang membenci Islam. Serangan kebencian itu dilakukan dengan lisan dan tulisan, melalui mimbar gereja, ceramah, pelajaran di sekolah atau tulisan-tulisan di koran, majalah dan buku-buku agar kaum pribumi membenci Islam dan umatnya. Untuk mereka Komite menerbitkan Pembela Islam. Majalah Pembela Islam diterbitkan pertama kali pada bulan Oktober 1929. Majalah ini terbit sampai nomor 71.

Ketika M Natsir akhirnya lulus dari AMS Bandung ia mendapat beasiswa dan ia bisa melanjutkan pendikan ke Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Belanda, tapi ia lebih memilih untuk mengelola Pembela Islam. Tulisan-tulisannya tentang Islam banyak di muat di dalamnya, selain kolom Soal-Jawab A Hassan tentang masalah fiqh.

Karya Ajip Rosidi ini terdiri tiga jilid. Pada jilid pertama mengisahkan tentang M Natsir hingga menjelang kedatangan Jepang dan polemiknya dengan Soekarno. Tulisan-tulisan M Natsir yang dimuat dalam Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat kemudian dikumpulkan dalam buku Capita Selekta.

Roosa, John. Ia memperoleh gelar Ph.D. dari Universitas Wisconsin, Medison, AS dengan disertasi berjudul “Nationalism, Communism, Islam in Hyderabad State, India”. Kini sebagai Asisten Profesor di Jurusan Sejarah Uiversity of British Columbia, Vancouver, Kanada.

Karyanya: Bersama Hilmar Farid dan Ayu Ratih, ia menyunting buku Tahun yang tak pernah Berakhir, (Jakarta: Elsam, 2006); ia menulis bersama Ayu Ratih “Sejarah Lisan di Indonesia dan kajian Subyektivitas” dalam Henk Schulte  Nordholt (ed. Dkk.) Perspektif Baru: Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: YOI-KITLV-Pustaka Larasan, 2008); Dalih Pembunuhan Massal (Jakarta: Hasta Mitra,  2008), terj.

Dalih Pembunuhan Massal adalah karya hasil penelitian John Roosa mengenai Gerakan 30 September (G 30 S). Ia sengaja tidak menambahkan singkatan PKI di belakang G 30 S. Sebab mustahil menimpakan aksi pada peristiwa itu kepada sebuah organisasi partai yang beranggotakan kurang lebih tiga juta orang. Apakah mereka semua terlibat? Ataukah hanya oknum elit PKI? Atau oknum elit PKI bekerjasama dengan orang-orang tertentu di AD? Semuanya belum jelas betul. Penulis ingin menjernihkan tentang G 30 S dengan hasil penelitian ilmiah, bukan dengan doktrin yang selama ini dijejalkan oleh rezim Orde Baru, yang berdalih bahwa PKI yang menjadi dalang dalam peristiwa nahas tersebut.

Penulis mencatat, jika pasukan Suharto dalam menanggapi G 30 S setimpal, seharusnya mereka hanya menangkap dua belas orang  anggota Politbiro PKI yang terlibat, dan begitu juga tokoh-tokoh militer dan sipil yang terlibat dalam G 30 S. Namun, Angkatan Darat memburu setiap anggota PKI dan organisasi masyarakat yang terkait dengannya. Hal itu memperlihatkan bahwa tanggapan AD itu tidak ditetapkan kebutuhannya untuk menumpas G 30 S saja.

Bagi Suharto nama-nama para organisator G 30 S tidaklah penting. Dia dan para perwira AD kliknya mulai membasmi PKI empat hari setelah kejadian, dan bahkan sebelum mereka mendapatkan bukti bahwa PKI yang memimpin G 30 S. Tak masalah mereka tidak menemukan bukti nama-nama orang yang terlibat. Bukti dapat direkayasa oleh AD. Dengan begitu, G 30 S merupakan dalih yang tepat utuk melakukan rencana yang telah ada sebelumnya untuk merebut kekuasaan.

G 30 S tahun 1965-1966 adalah tragedi dalam sejarah Indonesia modern. Dalam peristiwa itu tidak hanya terjadi pembunuhan massal yang diorganisasi oleh Angkatan Darat, namun naiknya para pembunuh, yang memandang wajar mereka melakukan kekejian untuk mengelola tata pemerintahan. Penekanan karya ini pada peristiwa 1 Oktober 1965 dan lanjutannya, bukan hanya tentang siapa yang terlibat.

Rush, James R. Menerima gelar Ph.D. dari Yale University, AS. Ia menjabat sebagai pimpinan Morse College dan dosen.

Karyanya: Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1861-1910, (Yogyakarta: Matabangsa, 2000), terj.

Penulis mengungkap mengenai peredaran opium di pulau Jawa, selama kolonialisme Belanda. Perdagangan opium di bawah monopoli pemerintah kolonial Belanda, dan dijalankan oleh elit Cina di pulau Jawa, melalui pengutipan pajak yang disebut perbandaran. Dengan adanya peredaran opium terjadilah hubungan-hubungan, seperti diuraikan penulis, di antara golongan masyarakat Cina dan Jawa, juga antara elit Cina dengan penguasa bandar dan pemerintah Belanda.

Perbandaran opium runtuh setelah pemerintah Belanda biro pengelolaan opium yang disebut Regi.

 

S

Sagimun MD (Mulus Dumadi). Lahir 21 Februari 1924 di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Tahun 1953 ia mendapat hadiah sayembara nasional dalam penulisan tentang koperasi dengan judul Indonesia Berkoperasi. Ia belajar menulis otodidak. Banyak menulis buku mengenai tokoh, sejarah dan cerita rakyat.

Karyanya: Pahlawan Nasional Sultan Hasanudin: Ayam Jantan dari Ufuk Timur, (Jakarta: BP, 2001).

Buku ini mengisahkan Sultan Hasanudin dari kehidupan awal hingga ia menjadi raja Gowa XVI, berjuang melawan VOC, bertempur memperebutkan Benteng Sombaupu. Sultan Muhammad Said Tumenangari  Papambatunna memerintah kerajaan Gowa tahun 1639-1653. Ketika raja mangkat, ia mengamanatkan kepada anaknya yang dikenal dengan nama Sultan Hasanudin. Ia menjadi raja Gowa XVI. Ketika Hasanuddin naik tahta kerajaan Gowa dalam puncak kejayaan dan kebesarannya.

Saksono, Widji. Kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun 1960. Skripsinya kemudian diterbitkan dengan judul, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, (Bandung: Mizan, 1996).

Buku ini mengulas mengenai asal usul tokoh Wali Songo, aktivitas dakwah dan termasuk legenda mengenai mereka. Dengan sumber rujukan cukup yang luas, yakni bahasa Arab, Inggris, Belanda, Indonesia serta Jawa, menjadikan buku ini sangat menarik berkaitan dengan sejarah Wali Songo.

Wali Songo berperan mengembangkan Islam di pulau Jawa, sampai kemudian muncul kerajaan Islam pertama Demak pada akhir abad ke-15 M. Kota ini menjadi pusat pengembangan Islam. Raja pertamanya Raden  Patah, yang diangkat oleh para Wali di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta.

Salam, Solichin. Lahir 17 Oktober 1933 di Kudus, Jawa Tengah. Profesi sebagai pengarang dan wartawan. Pernah mengikuti kuliah di Jurusan Sejarah Fak. Sastra, Universitas Indonesia (1961-1963). Ia pernah mengikuti pendidikan jurnalistik tingkat editors pada International Advenced Course of Journalism di Berlin, Jerman Barat (1970), dan latihan kepemimpinan pada The University of Philipines di Manila (1969). Ia menulis berbagai masalah, mulai sos-pol, sejarah, kebudayaan, profil dan keagamaan.

Karya tulisnya antara lain: Wali Songo (1960); Lukisan Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (1962); Butir-butir Mutiara Hikmah (Jakarta: Kuning Emas, 1988), dsb.

Buku Wali Songo mengisahkan tentang Wali Songo, yang diperkirakan, hidup pada abad ke-15. Mereka adalah para pendakwah islam di pulau Jawa. Mereka hidup saat yang berbeda, ada selisih waktu. Mereka melakukan dakwah dengan metode yang berbeda-beda, seperti Sunan Kalijaga melalui seni. Namun, sejarah Wali Songo tampaknya masih diliputi legenda dan para peneliti belum dapat menulis sejarahnya secara jernih. Sampai saat ini belum ada sumber sejarah yang valid yang ditemukan berkaitan dengan sejarah Wali Songo, termasuk karya ini seperti disinggung penulisnya.

Salim, Islam. Lahir 14 juli 1923 di Jakarta. Lulus Colloqium Doctum VI, di bidang kemiliteran ia mengikuti pendidikan Boei Giyugun Kyoikutai, kursus Atase Militer I Kementerian pertahanan RI, dan SSKAD (kursus C) V A. Ia pernah menjadi perwira Peta; ikut membangun BKR; pernah ditawan Belanda; beberapa jabatan pernah dipegangnya, di antaranya 1949 menjadi Anggota Central Joint Board (Delegasi RI).

Karyanya: Terobosan PDRI dan Peranan TNI: Dalam Perjuangan Politik dan Militer Kemerdekaan RI, (Jakarta: SH, 1995).

Buku ini mengungkap mengenai terbentuknya dan makna dari Pemerintah Darurat RI di dalam rangka perang kemerdekaan, antara tahun 195-1949. Di bawah pimpinan PDRI yang didukung oleh Jenderal Sudirman, bangsa Indonesia dapat berjuang secara gerilya, di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Bali.

Pembentukan Pemerintah Darurat RI di sumatra Tengah dimungkinkan berkat persiapan yang seksama berdasarkan memorandum Mayor Daan Jahya, staf Divisi Siliwangi pada Maret 1948, yang ditujukan kepada PM/ Menteri Pertahanan RI M. Hatta, dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya agresi Belanda II.

Peranan PDRI: pertama, memberi legitimasi kepada RI sebagai bangsa merdeka, 17 Agustus 1945; kedua, menjadi pusat komunikasi dengan luar negeri; ketiga, menjadi sumber inspirasi bagi perang gerilya.

Sapija, M. Karyanya Kisah Perjuangan Pattimura, (Jakarta: Lappenas, 1984).

Buku ini mengisahkan perjuangan Pattimura. Pada tahun 1825 di kepulauan maluku perlawanan menentang kaum penjajah yang dipimpin oleh Pattimura, yang dimulai tanggal 5 Mei 1817 sampai 16 Desember 1817. Motivasi kaum penjajah adalah untuk menguasai rempah-rempah yang terdapat di kepulauan Maluku.

Kaum penjajah bangsa Barat lebih tertarik dengan daerah rempah-rempah ini yang terdapat di Indonesia bagian timur. Mereka berbondong-bondong membangun benteng, maka kita akan menyaksikan berbagai benteng peninggalan mereka.

Scherer, Savitri Prastiti. Lahir tahun 1945 di Jakarta. Ia menempuh studi pada Asian Studies di ANU meraih gelar BA, dan diploma Perpustakaan dari Library Assosiation of Australia; gelar MA di bidang sejarah dari Cornell Departement of Modern Languages dan Sousteast Asia Project, Cornell University; Ph.D. dari ANU dan Commonwealth Post-Graduate Research Awards.

Ia banyak menulis artikel dan karyanya: Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, (Jakarta: SH, 1985), terjemahan.

Dalam buku ini penulis menganalisis pemikiran tiga tokoh nsionalis Soewardi, Soetomo dan Tjipto. Ketiga tokoh tersebut mempengaruhi pemimpin-pemimpin nasionalis dari Jawa yang datang kemudian. Mereka memiliki peranan dalam mengemukakan dan menyebarkan pandangan-pandangan Baru yang berkaitan dengan lingkungan mereka. Pandangan-pandangan mereka berkembang sebagai akibat dari pengaruh kebudayaan Eropa (Barat).

Beberapa tokoh yang datang kemudian yang terpengaruh pemikiran mereka, di antaranya, Soekarno, Hatta, dan Syahrir.

Setyanto, Agus. Lahir 21 April 1958 di Kudus, Jawa Tengah. Lulus Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang tahun 1984, menjadi guru di SMA Hasyim Asy’ari (1984-1987), dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Bengkulu; kuliah di Fak. Pascasarjana Jurusan Humaniora, Program studi ilmu sejarah, UGM 1996 dengan tesis “Elite Pribumi Bengkulu pada Abad XIX.”

Karyanya antara lain:  Pemberontakan Petani Bengkulu 1807,( Dikti, 1998/1999); Posisi Wanita dalam Historiografi Tradisional Bengkulu (Dikti, 2000/ 2001); Elite Pribumi Bengkulu: Perspektif Sejjarah Abad ke-19 (Jakarta: B Pustaka, 2001), dll. Ia dikenal sebagai budayawan, sejarawan dan seniman.

Elite Pribumi Bengkulu menceritakan tentang para kepala pribumi yang berstatus sebagai kepala adat di wilayah komunitas masing-masing. Elite pribumi Bengkulu terbagi dalam, kelompok Sungai Lemau, Sillebar, Sungai Hitam, dan Muko-muko untuk upaya melestarikan kekuasaan tradisionalnya, para kepala pribumi Bengkulu berusaha mempertahankan sistem sosial dan tradisi yang telah berlalu. Sistem pewarisan gelar dan jabatan, serta membina sistem kekerabatan melalui perkawinan antar elite pribumi, juga sebagai strategi politiknya. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, porsi kekuasaan tradisionalnya bergantung pada garis kebijakan sistem politik kolonial.

Schrieke BJO. Lahir 18 September 1890 di Zandvoort, Belanda -12 Sept. 1945 di London. Tahun 1909 ia belajar sastra Hindia (Indonesia) di Leiden, dan tahun 1916 ia memperoleh gelar atas disertasi “Het Book van Bonang” (Utrect, 1916). Setelah promosinya ia berangkat ke Hindia belanda, dan ia ditempatkan di Kantor untuk Urusan Pribumi (Bureau voor Inlandse Zaken); dari taun 1920-1923 ia menjaadi penasehat untuk urusan pribumi dan Arab; tahun 1924 ia diangkat menjadi profesor Ilmu bangsa-bangsa san sosiologi di Rechtshogeschool Batavia.  Ia juga menghabiskan waktu di Yogyakarta dan Solo untuk belajar praktek bahasa Jawa.

Setelah terjadi pemberontakan komunis di pantai Sumatra Barat pada Januari 1927 ia ditugaskan untuk meneliti di tempat tersebut, dan tahun 1929-1934 ia menjadi direktur pendidikan.

Beberapa karyanya telah diterbitkan, antara lain: “Islam, Adat dan Komunisme di Pesisir Barat Sumatra” dalam Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989).

Penulis mengulas mengenai Islam, adat dan komunisme yang berkembang di wilayah Sumatra barat. Guru-guru agama termasuk kaum muda, semisal haji rasul, Syekh Djambek, dan H Abdullah Ahmad menentang komunisme. H Ahmad pernah ditantang berdebat di depan umum oleh H Muhammad Nur Ibrahm sebelum menjadi buronan. Tahun 1946 Syekh Djambek meminta berbicara di depan umum untuk menentang komunisme. Mereka berusaha membersihkan komunisme. Haji Rasul, karena pandangannya yang anti-komunis, dicaci-maki di berbagai surat kabar komunis, seperti Njala dan dalam rapat-rapat komunis, semisal  di Payakumbuh. Ia juga dipersalahkan atas dibuangnya Hiji Darus Batuah.

Kaum muda menentang komunisme. Sudah sejak tahun 1924 Persatuan Guru Agama Islam, perkumpulan guru-guru agama modernis, menentang komunisme dan bahwa doktrin itu tidak sejalan dengan Islam.

Sen, Tan Ta. Setelah lulus dari Nanyang University tahun 1960, ia melanjutkan studi ke Universitas Indonesia (UI), Jakarta, mendapat sarjana (Drs.) Bahasa Indonesia, dan meraih gelar Ph. D. dalam bidang sejarah tahun 1965. Tahun 1965, setelah menyelesaikan studi di Indonesia, ia mengajar sebagai dosen senior di Ngee Ann College; Peneliti di Institute of Southeast Asian Studies; asisten profesor di Nanyang University, Singapura; pernah  menjadi Kepala Southeast Asian Studies Nanyang University (1977-1978). Juga ia sebagai Presiden International Zheng He Society dan Dir. Cengo Cultural Museum, Malaka; dan kolektor barang antik, terlibat aktif dalam konservasi dan pelestarian kota-kota serta bangunan kuno, khususnya di Singapura dan Malaka. Ia menguasai bahasa Sangsekerta, Arab, Melayu, Indonesia, Jawa, Batak, Belanda, Inggris dan China.

Banyak menerbitkan buku dan artikel, di antaranya: Cheng Ho: Penyebar Islam dari Cina ke Nusantara, (Jakarta: Kompas, 2010), terj.

Buku Cheng Ho ini mengisahkan tentang sejarah pelayaran laksamana Cheng Ho, atau dalam bahasa Mandarin Zheng Ze. Ia adalah laksamana laut pada masa Dinasti Ming (1368-1644), yang selama 27 tahun (1405-1433) telah memimpin sebanyak tujuh pelayaran ke wilayah selatan dan mengunjungi bangak negeri. Jejak pelayaran Cheng Ho, ditulis oleh Ma Huan, yang mengikuti tiga dari tujuh pelayaran itu. Ia mencatat banyak hal dan menyusunnya dalam bentuk kronik.

Cheng Ho dalam pelayarannya itu telah lima kali mengunjungi kawasan Nusantara, singgah di pulau Sumatra dan pulau Jawa. Lokasi yang dikunjunginya, antara lain Samudra Pasei (Aceh), Palembang, konon Semarang, dan Cirebon. Misi yang dibawa Cheng Ho tidak hanya memamerkan kekuatan militer kekaisaran Ming, namun ia memperlihatkan keluhuran kebudayaan China, membina hubungan dengan negara-negara di wilayah selatan, yang sempat terputus, dan ia berpern penting dalam menyebarkan agama Islam di berbagai wilayah yang dikunjunginya itu.

Ia adalah tokoh yang lahir pada tahun 1371 di distrik Kunyang, Provinsi Yunnan, wilayah Tiongkok yang telah lama didiami oleh bangsa China pemeluk Islam. Cheng Ho semula sebagai seorang budak, namun lambat laun karena berhasil menarik tuannya ia menanjak menjadi pejabat tinggi di istana. Lalu karena prestasinya ia diberi tanggung jawab untuk memimpin pelayaran.

Penulis mencatat, jejak yang ditinggalkan Cheng Ho di kawasan Nusantara, khusus berkaitan dengan proses akulturasi orang Cina di Jawa pada abd ke-15 dan abad ke-16, memperlihatkan dua tahap yang berbeda. Gelombang pertama, Islam yang telah mengalami sinisasi diperkenalkan ke Jawa oleh Cheng Ho dan orang-orang China Muslim bermadzhab Hanafi pada awal dan pertengahan abad ke-15. Kedua, penetrasi Sino-Islam di Jawa diprakarsai oleh generasi kedua China Muslim bermadzhab Hanafi pada periode setelah Cheng Ho sejak pertengahan abad ke-15 sampai abad ke-16. Juga, komunitas-komunitas China Muslim di pulau Jawa mengalami perubahan struktural secara drastis dari segi kependudukan dan budaya akibat dari jalinan perkawinan di antara orang-orang China lajang yang lahir di China dengan perempuan pribumi Jawa. (h. 345)

Sewang, Ahmad M. Lahir 11 Agustut 1952 di Pambuang, Polmas, Sulawsi Barat. Tahun 1980 lulus sarjana pada Fakultas Adab IAIN Alauddin, Makassar; tahun 1990 mendapat gelar MA dan 1997 meraih doktor dalam bidang Sejarah dan Peradaban Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Tahun 1993-1994 mengikuti penelitian di Univewrsitas Leiden, Belanda atas kerja sama INIS. Ia menjabat Direktur Prog. Pascasarjana IAIN Alauddin, juga mengajar di berbagai perguruan Tinggi, di Universitas Muhammadiyah, Univesitas Negeri Makassar dan Universitas Muslim Makassar.

Beberapa karya tulisnya: Peranan Islam dalam Pergerakan KRIS Muda di Sulwesi Selatan; Hubungan Agama dan Negara: Pemikiran Politik Buya Hamka; Pre-Islam the Kingdom of Gowa; Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII, (Jakarta: YOI, 2005).

Penulis dalam buku Islamisasi Kerajaan Gowa ini menguraikan tentang sejarah masuk dan tersebarnya Islam di kerajaan Gowa dan kemudian Sulawesi Selatan. Kehadiran Islam di wilayah ini yang akhirnya menjadikan Islam sebagai agama yang dianut secara mayoritas oleh penduduk. Proses islamisasi tersebut terjadi pada abad ke-16-17. Penerimaan Islam yang diperkirakan melalui interksi sosial antara para pedagang dan penduduk setempat. Proses itu melalui dua tempat, yakni pertama, interaksi sosial berlangsung di wilayah kerajaan Gowa sejak abad ke-16, dan kedua proses itu terjadi pula di luar kerajaan Gowa.

Namun, proses penerimaan Islam secara resmi dan dapat dibuktikan melalui sumber-sumber tertulis, seperti dalam Lontara Bilang, tahun 1605 M, yakni setelah Raja Gowa dan Tallo menerima Islam.

Penulis mengutif Nooduyn, bahwa proses islamisasi di kerajaan Gowa melalui tiga tahap; pertama, saat kedatangan Islam, ketika para pedagang Melayu mendatangi daerah ini akhir abad ke-15-16; dua, tahap penerimaan Islam, ketika Islam diterima secara resmi oleh Raja Gowa dan Tallo serta beberapa elit kerajaan; ketiga, penyebaran Islam, setelah Islam resmi menjadi agama kerajaan dan mulai disebarluaskan ke masyarakat.

Shahab, Alwi. Lahir di Jakarta 31-8-1936 dan meninggal 17 September 2020. Ia wartawan pernah bekerja di Arabian Press dan wartawan seniaor Republika. Ia banyak menulis tentak sosial budaya dan sejarah. Di antara tulisannya: Saudagar Baghdad dari Betawi (2004), Batavia Kota Banjir (2009), Batavia Kota Hantu (2010), Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia, (Jakarta: Rep, 2013)

Buku Waktu Belanda… penulis berkisah tentang zaman kompeni Belanda. Berbagai hal masa itu ditulis dengan bahasa popular dan semacam kisah pendek sejarah.

Asal usul nama Batavia setelah ditelusuri ternyata berasal dari kata-kata Belanda mabuk, “Batavia…Batavia…” Jenderal Coen beberapakali mencoba menggantinya tetapi tidak juga berhasil. Sebab, pemegang saham kongsi dagang Belanda di Netherland lebih memilih nama Batavia daripada usul JP. Coen. Nama Batavia sebagai nama kota bertahan hingga tahun 1942. (Jepang 1942-1945)

Di Sunda Kelapa VOC membangun benteng. Tahun 1618 diserang para prajurit Pangeran Jayakarta. Akibat penyerangan itu VOC kewalahan dan Jan Pieterszoon Coen melarikan diri. Ia meminta bantuan Pos Belanda di Ambon.

Dari bantuan itu ia mendapat 16 kapal dengan seribu serdadu. Dengan pasukan besar itu Coen membumihanguskan bandar Sunda Kelapa dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Ketika VOC bangkrut, mulailah penjajahan Hindia Belanda yang sempat diselingi Prancis (1808-1811), Inggris (1811-1816) setelah itu dikembalikan kepada Belanda.

Shiddiqi, Nourouzaman. Guru besar sejarah Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan Dir. program Pascasarjana Sunan Kalijaga.

Karyanya: Tamaddun Muslim (Jakarta: BBintang, 1986); Fiqh Indonesia (Yogyakarta: P Pelajar, ); Jeram-Jeram Peradaban (Yogyakarta: P Pelajar, 1996), tulisannya, “Islam pada Masa Pendudukan Jepang: Sebuah tinjauan tentang peranan Ulama dan Pergerakan Muslim Indonesia” dalam Muin Umar (editor, dkk.), Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985); Menguak Sejarah Muslim (Yogyakarta: PLP2M, 1984).

Penulis mengatakan bahwa berbeda dengan politik Belanda yang memusuhi ulama,  Jepang berusaha mendekati ulama dan bahkan mereka hendak dijadikan alat penetrasi ke alam kehidupan bangsa Indonesia. Snouck memberi nasehat kepada pemerintah kolonial Belanda bahwa gerakan perlawanan rakyat yang dipimpin ulama harus dihadapi dengan kekuatan senjata. Namun, Jepang berbeda, untuk merebut hati bangsa Indonesia ia mendekati ulama.

Di samping itu, pada masa pendudukan Jepang terjadi perdamaian, setidaknya dalam taktik dan strategi perjuangan, antara kaum bertahan (ulama yang berpegang pada pemahaman lama) dan kaum maju (ulama yang berpikiran maju, mengembangkan ijtihad). Memang pada lahirnya perdamaian tersebut atas inisiatif Jepang, namun sesungguhnya mereka telah menyadari bahwa perbedaan hanyalah masalah furu’, sedangkan pada masalah ushul mereka bersepakat.

Shihab, Alwi. Lahir 19 Agustus 1946 di Sulawesi Selatan. Gelar sarjananya dalam bidang Aqidah-Filsafat ia peroleh dari IAIN Ujung Pandang tahun 1986; master dari Universitas Al-Azhar, Mesir; gelar doktor filsafat dari Ain Syams, Mesir tahun 1990 dan doktor kedua dari Universitas Temple, AS, tahun 1995, dengan disertasi mengenai Muhammadiyah. Tahun 1995-1996 ia mengambil program pascadoktoral pada Pusat Studi-studi Agama Dunia (The Centre for Study of World Religion), Universitas Harvard. Tahun 1996 ia mulai menjadi pengajar tentang agama Islam di Hartford Seminary.

Karya-karyanya: Islam Inkusif, (Bandung: Mizan, 1997); Islam Sufistik, (Bandung: Mizan, 2001);  Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).

Buku Membendung Arus menampilkan gerakan Muhammadiyah dalam upayanya membendung arus Kristenisasi yang disokong oleh kebijakan kolonial pemerintah Belanda. Peran yang dimainkan perkumpulan pembaru itu sangat penting bagi perkembangan umat Islam di Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan dan sosial. Dalam kedua bidang tersebut umat Islam sangat tertinggal, sehingga perlu penguatan.

Di samping itu diungkap pula bahwa sejak awal berdirinya Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan tidak sejalan dengan gerakan pembaruan Wahhabiyah di Arab Saudi, terutama berkaitan dengan tasawuf. Muhammadiyah, melalui pendirinya KH. Ahmad Dahlan, lebih moderat pandangannya terhadap tasawuf.

Shiraishi, Takashi. Lahir di Jepang 1950. Tamat dari Universitas Tokyo pada tahun 1972, ia kemudian meraih gelar Ph.D. dari Universitas Cornell, 1986. Ia kini menjadi guru besar Sejarah dan Studi Asia pada Universitas Cornell dan guru besar Studi Asia Tenggara pada Center for Souteast Asian Studies (ISEAS), Universitas Kyoto.

Karya-karyanya antara lain: An Age in Motion: Populer Radicalism in Java, 1912-1926 (1990), diterjemahkan menjadi Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926 (Jakarta: PU Grafiti,1997).

Buku yang diangkat dari disertasi ini mengulas kemunculan pergerakan rakyat Indonesia pada awal abad XX. Gerakan rakyat tersebut tampil dalam bentuk seperti surat kabar dan jurnal, rapat umum, serikat buruh, pemberontakan, karya-karya sastra serta lagu-lagu. Hal itu sebagai awal kemunculan gerakan nasionalis Indonesia.

Dalam periode ini tampil tokoh-tokoh, seperti Marko Kartodikromo, Tjipto Mangun Koesoemo, dan Haji Misbach.

Simatupang, TB. Lahir 28 Januari 1920 di Sdikalang, Sumatra Utara. Ia  adalah seorang prajurit dan pelaku sejarah. Ia belajar  HIS di Pematangsiantar tahun 1934; MULO Tarutung tahun 1937; AMS Jakarta tahun 1940; Koninklijke Militaire Academie (KMA) bandung tahun 1942; dan ia mendapat Doctor Honoraris Causa dari Universitas Tuba, AS tahun 1969.

Ia menulis Laporan dari Banaran (Kisah Seorang Panglima Prajurit sebelum Perang kemerdekaan), (Jakarta: SH, 1980)

Buku otobiografi seorang pelaku sejarah sebagai panglima prajurit dengan judul Banaran. Banaran adalah sebuah dukuh, di desa Banjarsari, Kapanewon Samigaluh, Kab. Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia berkisah bahwa pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda bersiap mengempur dan menghancurkan RI, yang menurut perhitungan Belanda, RI telah lumpuh. Mereka mendaratkan pasukan-pasukan dari udara di lapangan terbang Maguo, juga di ibukota Yogyakarta.

Sementara Jenderal Sudirman beserta pasukannya menyingkir ke luar kota, dan mereka disambut oleh rakyat di desa-desa dengan hangat. Di desa-desa itu dijadikan pangkalan selama beberapa bulan untuk melawan pasukan-pasukan Belanda.

Banyak pengalaman lain penulis torehkan dalam buku ini, seperti perundingan-perundingan dsb.

Simbolon, Parakitri T. Lulus tahun 1972 dari Fisipol UGM, Yogyakarta; tahun 1974 ia mengikuti program Stagiaire di Institut International d’Administration Publique (IIAP), Paris, Prancis sampai 1975. Sepulangnya ia menjadi wartawan. Tahun 1986-1991 ia meneruskan studinya di Vrije Universiteit te Amstrdam, Belanda, dalam bidang sosiologi ekonomi (niet westerse sosiologie), tesisnya berjudul “Prosess of Urban Etnicity in VOC’s Batavia” lalu ia melanjutkan lagi ke tingkat doctoral pada universitas yang sama.

Ia menulis sastra berupa novel dan drama, karya sejarahnya antara lain: Menjadi Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2006).

Buku ini berkisah menganai terbentuknya Indonesia, dari zaman kerajaan-kerajaan hingga zaman VOC, pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga kebangkitan nasional. Pembahasan terkonsentrasi di wilayah pulau Jawa. Dikatakan oleh Taufik Abdullah, bahwa sebagai sejarah Indonesia buku ini hanya menyinggung peristiwa di pulau Jawa, sementara di wilayah lain luput dari perhatian.

Siregar, Amir Effendi. Menulis Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti, (Jakarta: Karya Unipress, 1983).

Buku ini merekam mengenai sejarah pers mahasiswa Indonesia, sejak zaman penjajahan hingga Orde Baru, terutama tahun 1966-1978. Penulis periode itu menjadi dua periode, antara tahun 1966-1971/74 dengan nama penerbitan yaitu: Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, dan Mimbar Demokrasi dan periode 1971/74-1980 yakni Salemba, Gelora Mahasiswa dan Kampus. Dua periode itu ada perbedaan, yang pertama sistem politik yang berlaku masih terbuka, sedangkan yang selanjutnya yang brrlaku sistem politik otoriter.

Pers mahasiswa pada periode Orde Lama seperti, Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, dan Mimbar Demokrasi termasuk pers umum, karena tidak di bawah institusi perguruan tinggi, dan pada periode Orde Baru pers mahasiswa yang terbit kampus. Pers mahasiswa yang terbit di zaman Orde Lama sebagai pers perjuangan untuk meruntuhkan kekuasaan dan memiliki kebebasan yang luas, sedangkan yang terbit di kampus bergantung  pada institusinya, karena itu terbatas.

Slametmulyana, Benediktus. Lahir 20 Maret 1921 di Pakem, Yogyakarta. Ia belajar di Fak. Sastra UGM, Yogyakarta 3 tahun, lalu lulus Fak. Sastra UI tahun 1952; meraih gelar doktor bidang bidang Bahasa dan Sastra Timur pada Universitas Katolik Leuven, Belgia, dengan disertasi “Poezie in Indonesie”. Pernah menjadi anggota Tentara Pelajar; dosen dan dekan Fakultas sastra UI (1966-1969), guru besar tetap Fak. Sastra UI, juga peneliti dan penulis buku terutama tentang Majapahit.

Karyanya: Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2009).

Buku ini mengungkap mengenai runtuhnya kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit muncul sekitar 1319 M. Kerajaan Majapahit menjadi kerajaan besar hasil jerih payah patih Gajah Mada. Namun, ketika ia mangkat pada tahun 1364 M, kerajaan Majapahit mulai suram dan kebesarannya mulai pudar. Prabu Hayam Wuruk dan para patih tidak mampu mengangkat kegemilangan kerajaan Majapahit.

Akhirnya kerajaan Majapahit benar-benar runtuh. Sementara kerajaan itu runtuh, di lain tempat muncul negara baru dengan kekuatan baru, negara Islam Demak.

Menurut penulis, beberapa orang Wali Songo berasal dari Cina, seperti Bong Swi Hoo adalah sama dengan Sunan Ampel. Ia menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapiten Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinanya lahirlah Bonang, dan masih banyak kisah yang lainnya.

Sementara kata Asvi Warman Adam, kelemahan Slametmulyana adalah ia hanya menyandarkan kesimpulannya pada buku yang ditulis MO Parlindungan. Ia tidak memeriksa sendiri naskah-naskah yang berasal dari klenteng Sam Po Kong di Semarang. Dengan melakukan penelitian langsung terhadap sumber bahasa Cina, baik yang di Nusantara maupun di Cina, periode penyebaran Islam di Jawa sekitar abad ke-15 sampai ke-16 dapat dijelaskan dengan baik.

Smith, Edward Cecil. Lahir 30 September 1910 di Vaiden, Mississippi, AS. Ia mendapat BA dari Bertany College di linsborg, kansas tahun 1961, memperoleh gelar MA dari Universitas stanford tahun 1966 dan ia menerima Ph.D. dari School of Journalism, Universitas Iowa, AS. Pernah bekerja sebagai korps diplomatik di Indonesia tahun 1957-1958, dan ia terjun ke dunia jurnalistik.

Karyanya: Sejarah Pemberedelan Pers di Indonesia (Jakarta: Grafiripers, 1986), terj.

Penulis membahas mengenai sejarah pemberedelan pers di Indonesia. Pada tahun 1712 ketika ada rencana menerbitkan surat kabar di Batavia, pemerintah kompeni melarangnya, khawatir saingan dagang VOC memperoleh keuntungan dari koran itu. Tiga puluh tahun kemudian mingguan Belanda mendapat izin pemerintah. Kemudian pada zaman Hindia Belanda beberapa surat kabr muncul dan bertahan seperti Java Bode. Tahun 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melayoe, untuk pembaca Cina dan diterbitkan Belanda.

Ketika nasionalisme Indonesia mulai berkembang para tokoh ahli pidato.

Zaman revolusi pers Indonsia diterbitkan di wilayah yang diduduki Belanda dan daerah yang dikuasai Republik. Di wilayah musuh pers Indonesia disensor ketat. Sampai zaman kemerdekaan pers Indonesia terus berkembang. Ada yang bertahan dan tumbuh di tengah tekanan penguasa dan keadaan. Beberapa wartawan pada masa revolusi di antaranya, BM Diah, Adam Malik, Mochtar Lubis, dan sebagainya.

Soedjatmoko. Lahir 10 Januari 1922 di Sawahlunto, dan meninggal di Yogyakarta 21 Desember 1989. Ia menyelesaikan ELS di Surabaya dan kemudian Hoogere Burger School (HBS) tahun 1936, dan ia masuk kedokteran pada tahun 1940 di Jakarta. Pada tahun inilah ia ikut pergerakan hingga akhirnya dipenjara oleh pemerintah kolonial Jepang. Keluar dari penjara ia mengasingkan diri di Solo dan ia banyak membaca buku-buku pemikir Barat, mistik Islam, kejawen dan berbagai agama dunia.

Soedjatmoko pernah menjabat sebagai Duta besar RI untuk Amerika Serikat (1968-1971), Penasehat Ahli Bidang Sosial Budaya pada BAPENAS di Jakarta (1971-1980), dan Rektor Universitas PBB di Tokyo sejak 1980. Memperoleh gelar Doctor Honoraris Causa dari Cedar Chrest University (Doctor of Laws, 1969) dan Yale University (Doctor of Humanities, 1970) di AS, dari University Sains di Penang (Doctor Persuratan, 1982), dan ia juga menjadi anggota Club of Roma dan anggota kehormatan American Academy of Arts and Science.

Ia adalah seorang pemikir yang memiliki perhatian pada banyak hal, mulai dari politik, agama, sastra, kebudayaan dsb.

Karya tulisnya tersebar di dalam dan di luar negeri, di antaranya: Etika Pembebasan (Jakarta: LP3ES, 1988) ; Dimensi Manusia dalam Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1990) ; dan  ia mengedit bersama Mohammad Ali, Resink, dan Kahin buku berjudul An Introduction to Indonesian Historiography yang terbit tahun 1965. Buku itu diterjemahkan dengan judul Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995).

Buku ini kumpulan tulisan para pakar sejarah Indonesia, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam pengantarnya Soedjatmoko mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan penting dalam studi sejarah Indonesia. Hal itu terjadi disebabkan tersedianya bahan baru dan penggunaan metode penelitian baru. Lebih lanjut ia mengatakan, “Pertama, penemuan historigrafi Bugis-Makasar sebagai sumber sejarah asli yang penting. Kedua, beberapa negara baru, antara lain Uni Soviet [Rusia]  dan Jepang, telah mulai mengadakan penelitian tentang sejarah Indonesia. Di samping itu, penggunaan metode-metode ilmu pengetahuan sosial terhadap sejarah Indonesia telah menghasilkan perkembangan pendekatan interdisipliner yang ternyata sangat bermanfaat”.

Buku ini berusaha menyediakan sumber-sumber sejarah Indonesia dari berbagai jalur.

Soekiman, Djoko. Lahir 193 di Jombang. Ia menjadi dosen di Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, sejak 1963. Sebelumnya menjadi asisten RJ. Katamsi dalam mata kuliah Sejarah Seni Rupa Barat dan Timur di Fakultas Sastra UGM dan Akademi Senirupa Indonesia (sekarang ISI /Institut Senirupa Indonesia). Lulus Baccalaaeeat Ilmu Sejarah tahun 1957, dan Doctoral Sejarah tahun 1963 di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. 1987 belajar di Faculteit der Kunstesghicdenis en Archaeologie, Rijks Universiteit Delft, 1989 program Pascasarjana UGM, dan menyelesaikan doktor tahun 1996.

Karyanya antara lain: Kebudayaan Indis ( Yogyakarta: Bentang, 2000).

Buku ini mengulas tentang kebudayaan indis sebagai suatu rangkaian kebudayaan Indonesia yang bersambung sebagai produk kelompok masyarakat yang menghuni Nusantara, khususnya Jawa, pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20 ini.

Di samping pada masa penjajahan Belanda terjadi ketidakadilan, juga terjadi suatu proses pembentukan kehidupan yang khas, yakni kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya Indis, penulis mencatat, merupakan perpaduan antara budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur, khususnya di Jawa.

Soekmono, R. Lahir 14 Juli 1922 di Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah. Lulus sarjana Fak. Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1953; doktor dri Fak. Sastra Universitas Indonesia, dosen dan Fak. Sastra UI, Kepala Dinas Purbakala, Jakarta dan dosen Arkeologi pada Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.

Karyanya antara lain: Sejarah Kebudayaan Indonesia (3 jilid) (Yogyakarta: Kanisius, 1973), “Arkeologi dan Sejarah Indonesia” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.)  Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995).

Buku Sejarah Kebudayaan Indonesia Soekmono membahas mengenai sejarah kebudayaan di Indonesia mulai dari zaman pra-sejarah, lalu dilanjutkan ke zaman Budha dan Hindu serta zaman kerajaan-kerajaan, juga masa kedatangan Islam.

Soeroto, Soeri. Lahir 5 Mei 1928 di Kutoarjo, Jawa Tengah. Ia memperoleh Sarjana muda ilmu sejarah di Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 1956; MA dalam sejarah Eropa di Claremont Graduate School, Claremont, california, AS tahun 1961 dan kemudian gelar sarjana dalam sejarah Indonesia dari UGM tahun 1972.  Adalah staf USAID/ RD di Indonesia sejak 1980. Sebelumnya staf Pusat Penelitian dan Studi Pedsesaan dan Kawasan, UGM (1976-1980); pengajar jurusan sejarah, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, UGM (1957-1980).

Karyanya: bersama William Frederick (ed.), Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: LP3ES, 2005).

Buku ini berisi tentang berbagai informasi dan pandangan mengenai sejarah Indonesia pada masa sebelum dan sesudah revolusi Indonesia, serta sumber-sumber sejarah Indonesia. Buku ini dapat mengantarkan peneliti dan peminat sejarah kepada sejarah Indonesia.

Soetan, Mohamad Noor Angkat. Lahir 21 Maret 1915 di Padang. Masuk Eerste Hollands Landse School tahun 1923, Mulo Padang tahun 1932. Pernah menjadi angota Laskar rakyat Jakarta Raya di Karawang 1946, mengungsi ke Yogyakarta; tahun 1951 bekerja di Kementerian Agama di Jakarta, 1960 dan pindah ke Dept. Luar negeri 1967.

Karyanya: Generasi Soekarno-Hatta, (Jakarta: UI Press & Lemb. Studi Pemb (LSP), 1990).

Buku ini mengungkap perjuangan nasional Indonesia sekitar 1927 sampai kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Generasi Soekarno-Hatta melahirkan gerakan nasionalisme Indonesia. Gerakan itulah yang akhirnya membawa bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan.

Hasil nyata dari letupan-letupan pemikiran gerakan nasionalis, tahun 1927 (4 Juli) berdirilah PNI di bandung, disusul partai-partai lain. Di lain tempat, di negeri Belanda pemuda-pemuda Indonesia mendirikan Indische Vereeniging tahun 1908, beberapa bulan setelah BO, dan tahun 1922 Indische Vereeniging diganti dengan Indonesische Vereeniging, dengan penerbitan Indonesia Merdeka.

Steenbrink, Karel. Lahir pada 1942 di Breda, Belanda. Belajar di Universitas Katolik Nejmegen, dengan disertasi yang  diterjemahkan Pesantren, Madrasah dan  Sekolah (Jakarta: LP3ES,1986). Ia pernah mengajar di IAIN Jakarta dan Yogyakarta antara tahun 1981-1988 dalam rangka kerja sama Indonesia dan Belanda, dan diundang sebagai Visiting Professor di McGill University, Canada, pada tahun 1992-1993. Kini ia bekerja di Innteruniversitair Instituut voor Missiologie en Oecumenica (IIMO), lembaga penelitian di Universitas Utrecht, Belanda.

Karya-karyanya antara lain: Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19 (Jakarta: B Bintang, 19) ; Pesantren, Madrasah dan Sekolah, (LP3ES, Jkt. ) Terj.; Mencari Tuhan dalam Kacamata Barat, (Yogyakarta: S Kalijaga, 1980) ; Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia 1596-1942 (Bandung: Mizan, 1996), terj.

Buku Kawan dalam Pertikaian mengungkap bagaimana persepsi kolonial Belanda terhadap umat Islam Indonesia, kebijakan para tokoh kolonial, dan sepak terjang para misionaris Kristen serta reaksi Indonesia atas kedatangan Kristen. Hubungan yang kelam antara Islam dan Kristen dalam lembaran sejarah dapat menjadi pelajaran di masa depan, sebagaimana ditulis pada bab akhir. Buku ini ditulis dengan sumber-sumber primer, buku dan berbagai dokumentasi lainnya.

Stuers, Cora Vreede-de. Kuliah di Fakultas Sastra Universitas Paris, Prancis dengan disertasi tentang sejarah perempuan Indonesia, disertasi diajukan tahun 1957.

Karyanya: Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, (Depok: Kom. Bambu, 2008), terj.

Buku ini mengisahkan, gerakan perempuan Indonesia tahun 1900 muncul bersama gerakan nasional. Gerakan perempuan ini terus berkembang, di antara tokohnya adalah Kartini, putri Bupati Jepara. Ia meninggalkan banyak surat dan publikasi. Karya-karyanya menjadi inspirasi bagi gerakan perempuan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Tulisan-tulisannya diterbitkan oleh Abendanon dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht).

Subagio, Ilham Notodidjojo (IN). Lahir 5 Juli 1924 di Blitar. Pernah kuliah di Fak. Sastra, Jurusan Sastra Nusantara (Jawa)  tingk. III. Ia menulis sejak zaman Jepang di Pandji Poestaka (Balai Pustaka), awal revolusi di banyak penerbitan di berbagai kota, tahun 1946 menjadi wartawan Antara di kantor pusat Yogya; tahun 1958 menjadi Kepala perpustakaan dan Dok. Antara, Jakarta. Sebagai wartawan ia banyak menulis, di antaranya buku biografi sejumlah tokoh.

Karyanya antara lain: KH. Mas Mansyur: Pembawa Islam di Indonesia, (Jakarta: G Agung, 1982).

Biografi ini menceritakan KH Mas Mansur dari kelahiran 25 Juni 1896 di Kampung Baru, Surabaya. Ia lahir dari keluarga kiai. Berbeda dengan kebanyakan kiai, ia memilih beraktifitas di perkumpulan Muhammadiyah, masa zaman pendudukan Jepang, saat-saat menjelang proklamasi hingga hari akhir.

Dalam kongres Muhammadiyah ke-29 ia terpilih kembali menjadi ketuanya.

Sukmawati, Camilia. Lahir 15 Mei 1965 di Jakarta. Pendidikan dasar di Jakarta, SMP-SMA di Sukabumi. Tamat dari Fakultas Sastra UI tahun 1989. Sempat mengajar di SMA, TK dan universitas swasta di Jakarta.

Perkenalan dengan dunia jurnalistik dimulai sejak bergabung sebagai sebagai local staff pada haria Jepang Manichi Shimbun, sebelum bergabung dengan majalah Tiras, dan terakhir harian Yomiuri Shimbun.

Karyanya: Fa Ido Ma, Ma Ido, DA Dimara: Lintas Perjuangan Putra Papua (Jakarta: PT Sakaprint, 2000).

Buku ini berisi biografi seorang pelaku sejarah Papua, DA Dimara. Di mana ia berjasa terhadap Republik Indonesia, ia bersama masyarakat Papua berjuang melawan kolonial Belanda dan juga Jepang. Ia adalah tokoh nasionalis.

Sulistyo, Hermawan. Lahir 4 Juli 1957 di Ngawi, Jawa Timur. Pernah belajar di Jurusan Fisika Murni FIPIA UI (tidak tamat), Sarjana jurusan Ilmu politik FISIP UI tahun 1983; MA bidang Sejarah Asia Tenggara dan Asia Timur dari Ohio University, Athens, Ohio, AS; Ph.D. dari perguruan tinggi yang sama. Ia staf peneliti PPW LIPI; dosen di FIP Universitas Nasional         Jakarta. Ia banyak menerjemahkan dan menulis.

Karyanya: “Biografi Politik Adam Malik, dari Kiri ke Kanan” dalam Prisma (Edisi khusus 20 tahun Prisma) 1971-1991; Palu Arit di Ladang Tebu: sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan(Jombang-Kediri 1965-1966), (Jakrtra: KPG, 2000).

Buku ini mengulas mengenai kekacauan sosial-politik  dan ekonomi pada masa akhir Orde Lama. Pada masa ini terjadi tragedi kemanusiaan antara tahun 1965-1966, dengan begitu cepat dan sistematis. Penulis mengungkap, pada tingkat pelaku pembantaian di lapangan tidak terdapat struktur jaringan yang ketat, dan bahkan cenderung longgar. Ketika berlangsung peristiwa tersebut pelakunya melibatkan mayoritas komponen bangsa dalam proses tindak kekerasan politik dan politik kekerasan kala itu, bahkan ada yang hanya memanfaatkan momentum  saja.

Ditanyakan, adakah pola sistematis yang mendorong para pelaku pembantaian di lapangan melakukan tindakan kekerasan yang berupa penghilangan hak hidup di luar jalur hukum? Jika dirunut, munculnya proses eksekusi langsung dan sewenang terhadap kaum komunis yang merupakan nilai-nilai kemanusiaan pada pertengahan tahun 1960-an berakar pada ketegangan sosial-politik pada masa sebelumnya.

Sumalyo, Yulianto. Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.

Karyanya: “Ujung Pandang: Perkembangan Kota dan Arsitektur pada Akhir Abad 17 Hingga Awal Abad 20” dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Denys Lombard (Jakarta:EFEO-PPAN-YOI, 1999).

Penulis mengulas mengenai kota dan arsitekturnya. Pada zaman Belanda kerajaan Goa-Tallo tahun 1669 di bawah kekuasaan Sultan Hasanuddin dapat dihancurkan Belanda. Penyerbuan tersebut di bawah pimpinan Admiral Speelman dan kemudian Belanda memilih Benteng Ujung Pandang sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan militer. Setelah dirombak benteng itu diberinama Rotterdam. Pemukiman kolonial Belanda pada abad 17 yang dibangun di Ujung Pandang berpola sama dengan zaman Pertengahan.

Penghuni kawasan ini campuran, terdiri orang-orang Tionghoa peranakan, penduduk beragama Kristen, dan kampung Melayu.

Sumardjan, Selo. Lahir pada tanggal 23 Mei 1915 di Yogyakarta. Tahun 1956-1959 belajar di Cornell University, AS, dan memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang sosiologi  dengan disertasi berjudul “Social Changes in Yogyakarta”. Sejak tahun 1960 ia menjadi Guru besar sosiologi di Universitas Indonesia (UI), SESKO.AD, SESKO.AL, LEMHANAS, dan pernah menjabat dekan Fak. Ilmu-ilmu Sosial UI tahun 1968-1973, Ketua Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) di Jakarta, dan berbagai jabatan pernah dijalaninya.

Karyanya antara lain: Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), terj.

Buku ini mengulas mengenai perubahan sosial di Yogyakarta. Studi ini terutama memusatkan pada perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga politik di Yogyakarta, masa penjajahan Belanda tahun 1755-1942, pendudukan Jepang tahun 1942-1945, dan masa perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia. Perubahan-perubahan itu dalam tata pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dari tingkat atas sampai ke tingkat bawah, pedesaan, yang dilaksanakan oleh Sultan.

Juga perubahan yang serupa itu terjadi pada lembaga-lembaga ekonomi dan pendidikan, serta sistem kelas dalam masyarakat.

Sumarkidjo, Atmadji. Lahir tahun 1952. Tamat pendidikan jurnalistik di Sekolah Tinggi Publistik (STP) Jakarta, dan S2 bidang manajemen dari Technological University of the Philipines, Manila. Ia memulai karir sebagai wartawan HU Sinar Harapan tahun 1979, dan juga Red. Pelaksana Suara Pembaruan.

Ia aktif menulis di antara karyanya: Sejarah Divisi Siliwangi; Mendung di atas Istana Merdeka (Jakarta: SH, 2000).

Buku ini memeahas tentang suatu gerakan yang dibentuk oleh (beberapa tokoh) Partai Komunis Indonesia (PKI), bernama Biro Khusus. Organisasi ini bersifat rahasia, hanya beberapa pimpinan PKI yang terlibat. Penulis mengutif perkataan Kol. Soegondo, bahwa pada tahun 1963-an DN Aidit ingin melaksanakan cita-citanya, di antaranya: 1. Membentuk Biro Khusus pada akhir November 1964, dan melepaskan pembinaan para anggota TNI – AD dari daerah (CDB) kepada badan itu; 2. Ia berhasil membentuk Dewan harian Politbiro, terdiri DN Aidit, Lukman, Sudisman, dan Nyoto, dengan demikian organisasi lebih efektif dan rahasia; 3. Ketika Presiden Sukarno sakit , Aidit sudah memikirkan mengenai suatu periode pasca-Sukarno, dan 4. Dengan adanya konfrontasi dengan Malaysia, kekuatan inti TNI dikirim ke perbatasan dengan Malaysia, sementara di “halaman belakang” sangat lemah.

Juga disebutkan, mengenai ide melaksanakan kudeta baru mulai muncul di benak Aidit ketika Presiden Sukarno sakit dan adanya isyu Dewan Djendral, sekitar Juli 1965. Mengenai hal itu, Aidit dan Syam menyimpannya dengan amat rahasia. Syam Komaruzaman adalah otak dan pelaksana sebagai kepala Biro Khusus, yang bertanggung jawab kepada Ketua Umum Dipa Nusantara (DN) Aidit.

Suminto, H. Akib. Lahir 16 Agustus 1934 di Sedayu, Surabaya. Lulus dari Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 1968, studi Pascasarjana 1975, dan Post Graduate Course of Islamic Studies di Leiden, Belanda  tahun 1979. Memperoleh gelar doktor dari IAIN Syarif hidayatullah tahun 1984 dengan disertasi “Politik Islam Hindia Belanda”. Ia menjadi dosen di almamaternya, Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta (1973-1978), ia pun berdakwah di berbagai negara.

Karyanya: Problematika Dakwah (Jakarta: Tintamas, 1973); Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986).

Buku Politik Islam Hindia Belanda ini mengungkap masalah kebijaksanaan politik pemerintah Hindia Belanda tentang Islam pada masa kolonialisme. Untuk mempertahankan kekuasaannya pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai cara, di antaranya ide politik Islam dari tokoh kolonialis-orientalis Snouck Hurgronje. Ia banyak meneliti tentang penduduk pribumi dan setelah ia berpengalaman di Makah dan di Aceh, ia memberikan nasehat-nasehat terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Yang semula penjajah selalu berdasar rasa takut dan tidak ikut campur dalam melihat Islam. Dengan penerapan Politik Islam di mana  Snouck Hurgronje sebagai peletak dasar, maka pemerintah Hindia Belanda memiliki pola bagaimana menangani Islam. Terhadap urusan ibadah pemerintah kolonial bersikap netral, namun dalam masalah politik umat Islam harus dijaga dan dijauhkan. Para penasehat bekerja di Kantoor voor Inlandsche zaken yang bertugas memberikan nasehat kepada Gubernur Jenderal urusan pribumi.

Suraputra, D Sidik. Lahir 8 April 1935 di Jakarta. Sarjana diperoleh dari Fak. Hukum Universitas Indonesia (UI) tamat tahun 1961, da ia melanjutkannya di International Relations Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda dan di Universitas Leiden, Belanda dalam Hukum Internasional; doktor ilmu hukum dari UI dengan disertasi “Republik Indonesia Sebagai Subyek Hukum Internasional: dari Proklamasi sampai Perjanjian Linggarjati”, di Fak. Hukum UI. Lektor kepala dan pengajar Hukum Internasional pada Fak. Hukum UI, dan ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi lain.

Karyanya antara lain: Revolusi dan Hukum Internasional, (Jakarta: UI-Press, 1991).

Karya ini membahas mengenai revolusi Indonesia ditinjau dari Ilmu Hukum Internasional. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam revolusi Indonesia yang melibatkan hubungan dengan Belanda dan tentara sekutu merupakan peristiwa-peristiwa internasional yang mempunyai aspek-aspek hukum internasional. Peristiwa-peristiwa yang diulas dalam buku ini mulai dari proklamasi kemerdekaan sampai Perjanjian Linggarjati.

Dalam hukum internasional negara memiuliki ciri-ciri umum, sebagaimana termuat dalam pasal I Konvensi Montevideo tahun 1933, tentang Hak dan Kewajiban Negara, sebagai berikut: ”Negara sebagai subyek hukum internasional harus mempunyai persyaratan: (a) wilayah yang tetap, (b) penduduk yang permanen, (c) pemerintahan, dan (d) kemampuan melakukan hubungan internasional”. Jika unsur yang keempat sebagai termaktub di atas tidak ada, maka kualifikasi negara sebagai subyek hukum internasional akan menjadi musnah, sehingga statusnya dapat berupa negara koloni atau sebagai negara bagian dari suatu negara federal. Bagi suatu negara hubungan internasional menjadi penting untuk berhubungan atau mendapat pengakuan dari negara lain.

Suratmito, Lilie. Lahir 18 Mei 1950 di Kudus, Jawa Tengah. Ia menyelesaikan S1 di Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya, UI dan dalam Bidanga Lingustik Terapan di Rijkuniversiteit, Leiden, dengan tesis “Lezen,beholpen door hissteren en de liksikake Retente in het Laren Nederland als Vriemde Tall”; tahun 2006  ia menyelesaikan doktor pada Program Pascasarjana UI dengan disertasi tentang VOC. Ia menjadi pengajar di almamaternya dan Lektor Kepala dan pernah menjadi Kepala Prog. Studi Belanda FIB UI (1995-1999 dan 1999-2001). Ia banyak melakukan kegiatan dan penelitian dsb.

Karyanya: Makna Sosio Historis Batu Nisan VOC di Batavia (Jakarta: W Widya Sastra, 2008).

Buku ini mengulas mengenai sejarah batu nisan di zaman VOC di Batavia. Berdasarkan batu nisan yang dikenali itulah diinterpretasi mengenai komunitas masyarakat (Kristen) di masa VOC di Batavia. Juga deapat dikenal mengenai struktur sosialnya. Penulis mencatat, ada perbedaan antara lambang heroldik golongan bangsawan dan nopnj-bangsawan. Perbedaan tersebut berdasarkan keturunan. Budaya menggunakan lambang heraldik di Batavia adalah merupakan warisan budaya masyarakat Belanda di Eropa. Yang menentukan penggunaan atau pelarangan lambang tersebut adalah  Tuan-tuan XVII melalui pemerintah VOC di Batavia.

Dari data ikonik dan verbal pada batu nisan dapat direkontrstruksi struktur sosial masyarakat Batavia pada saat itu.

Suroyo, AM Djuliati. Lahir 18 Februari 1937 di Cirebon, Jawa Barat. Lulus dari Fakultas Sastra Jurusan Sejarah UGM, tahun 1969; ia menyelesaikam program doktor di Pascasarjana Jurusan Humaniora-Sejarah UGM  Yogyakarta tahun 1989. Juga ia sebagai Staf pengajar Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang; Pembantu Dekan III/ Kemahasiswaan di fakultas sastra UNDIP (1978-1981); Ketua MSI cabang Jawa Tengah (1997-2000), dsb.

Karyanya: Eksploitasi Kolonial Abad XIX (Kerja wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890) (Yogyakarta: Tarawang, 2000).

Dalam buku ini diulas mengenai kerja-wajib pada masa kolonial Belanda, terutama pada masa Tanam Paksa, yang mengalami peningkatan sangat besar sebagai akibat pemanfaatan sistem kerja wajib oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengembangkan ekonomi ekspor dan prasarana penunjang lainnya. Pemanfaatan kerja-wajib merupakan pilihan terbaik bagi pemerintah kolonial, baik secara ekonomis maupun sosial, dan tenaga kerja masih dalam ikatan komunal dan feoudal.

Kerja wajib sebagai pajak kerja wajib, yang bersifat elastis ini, menjadi lebih besar daripada pajak yangpada masa kolonial dibandingkan dengan dengan masa prakolonial. Sistem pemungutan pajak pada masa prakolonial belum efesien tetapi pada masa kolonial lebih efesien dengan birokrasi  yang sentralistik, sehingga merata dan menghasilkan standar tertentu. Dibanding dengan pajak uang pajak tenaga kerja lebih berat.

Dalam pelaksanaan kerja-wajib pemerintah kolonial memanfaatkan para kepala pribumi (bupati dan para bawahannya), mengingat keberadaan kerja-wajib berasal dari hubungan feoudalistik antara rakyat (petani) dan  kepala mereka (patuh).

Suryadinata, Leo. Lahir di Jakarta. Ia memperoleh gelar BA dari Nanyang University (1962), sarjana sejarah dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1965), MA dari Monash University (1970) dan Ohio (1972, serta Ph.D. (doktor) dari American University (1975). Ia pernah mengajar di AS, bekerja di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapore, dan menjadi Senior Lecturer dalam Jurusan Ilmu Politik pada Universitas Nasional Singapura (UNS).

Ia banyak meneliti tentang etnik Tionghoa, di antara karyanya: Peranakan Chinese Politics in Java 1971-42 (1976, 1981); The Chinese Minority in Indonesia: Seven Papers (1978); Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China (1978); Eminent Indonesian Chinese: Biografikal Scketchs (1978, 1981); Political Thinking of the Indonesian Chinese 1900-1977 (1979), dan buku Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China kemudian diterjemahkn menjadi Dilema Minoritas Tionghoa (1984, 1986); Mencari Identitas: dari Tjoe San sampai Yap Thiam Hien, (Jakarta: LP3ES, 1990); Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: Kompas,).

Dalam bukunya Dilema Minoritas Tionghoa ia sebagai ‘orang dalam’ melihat minoritas Tionghoa, yang menurut Dr. Ong, dalam dua aspek, yaitu masalah minoritas yang merupakan masalah bagi Indonesia dan masalah Indonesia yang dihadapi oleh minoritas. Penulis mengulas minoritas Tionghoa dalam percaturan politik Indonesia yang berubah-ubah, sejak zaman sebelum Perang Dunia II hingga tahun 1975, namun untuk perkembangan setelah tahun itu ia menuliskannya dalam Tambahan.

Suryanegara, Ahmad Mansyur. Lahir 28 Maret 1935. Ia sebagai pengajar Jurusan Sejarah Fak. Sastra Universitas Padjajaran Bandung sejak 1964, Universitas Islam Bandung, IAIN Sunan Gunungjati, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bandung (STIEB). Selain memberikan ceramah keislamaman di berbagai masjid, seminar dan lokakarya, juga berkiprah dalam organisasi kemasyarakatan, seperti ICMI Orwil Jawa Barat dan anggota MSI.

Karyanya antara lain: Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,1996 ); Api Sejarah 1 & 2.

Dalam bukunya Menemukan Sejarah ia mengatakan bahwa Islam di Indonesia mempunyai peran dalam membinabudaya bangsa, dan jika dikatakan Islam tidak memiliki peran, maka anggapan demikian sebagai warisan politik penulisan sejarah kolonial Belanda.

Dalam buku ini ditulis tema-tema yang berkaitan dengan sejarah Islam di Indonesia, di antaranya: sekitar historiografi Islam, teori tentang masuknya Islam ke Nusantara, masa perlawanan bersenjata, masa kesadaran kebangkitan nasional, dan peranan umat Islam dalam mempertahankan kemerdekaan RI.

Suryawan, I Ngurah. Lulus Sarjana Antropologi Fakultas sastra Universitas Udayana tahun 2006, dengan skripsi berjudul “Bertutur di balik Senyap: Studi Antropologi Kekerasan Pembantian Massal Tragedi 1965 di Bali”. Ia mengfokuskan studi politik kebudayaan dan kekerasan di Bali.

Karyanya: Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal 1965 di Bali, ( Yogyakarta: Galangpres, 2007)

Buku ini mengisahkan mengenai tragedi pembantaian di pulau Dewata. Penulis menggali informasi mengenai peristiwa itu dari para saksi di beberapa desa. Menjelang 1 Oktober 1965 terjadi ketegangan antara massa PKI dan PNI. Ketegangan-ketegangan yang sebelumnya sudah meninggi, ketika tersiar berita di radio tentang peristiwa 1 Oktober 1965 massa anti-PKI semakin marah.

Mereka mengejar dan menangkap para anggota PKI. Orang-orang PKI dihabisi tanpa ampun oleh para anggota PNI dan Anshor, dan  alat negara menjadi beking mereka.

Suryo, Djoko. Lahir 30 Desember 1939 di Pekalongan, Jawa Tengah. Lulus dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM tahun 1970; ia melanjutkan studi ke Monash University, Australia, pada jurusan sejarah hingga ia memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1983.  Ia juga sebagai staf peneliti P3PK, dosen, Ketua Jurusan sejarah Fak. Sastra Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, dan Ketua Divisi studi pedesaan PAU-Studi Sosial pada universitas yang sama.

Karyanya: Bersama Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1991); “Kisah Senapati-Ki Ageng Mangir dalam Historiografi Babad” dalam Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta: GM Prss, 1992); “Konsep Manunggaling Kaulo Gusti dalam Pandangan Budaya Jawa”, (Yogyakarta: Lemb. Javanologi, 1995); Sejarah Sosial Pedesaan Karesidenan Semarang 1830-1900 (Yogyakarta: PAU-Studi Sosial, 1999).

Buku Sejarah Perkebunan yang ditulis besama ini mengulas mengenai sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia, dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perekonomian kolonial. Sistem perkebunan yang dibawa pemerintah kolonial pada dasarnya adalah sistem perkebunan Eropa (European plantation), yang berbeda dengan sitem kebun (garden sistem) yang telah berlaku di negara-negara berkembang pada masa pra-kolonial. Sistem perkebunan tersebut membawa dampak perubahan terhadap kehidupan masyarakat tanah jajahan.

Untuk mengetahui tahapan perubahan tersebut, dalam buku ini dibahas periode-periode, mencakup periode VOC sampai zaman pemerintahan Hindia Belanda, dan termasuk sistem tanam paksa antara tahun 1830-1870 atau disebut Cultuurstelsel. Ide sistem tanam paksa tersebut dicetuskan oleh van den Bosch. Setelah periode itu, meliputi periode 1870 sampai 1942, ketika berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda, dan dilanjutkan dengan periode zaman Jepang, 1942-1945. Juga dibahas masa revolusi kemerdekaan.

Suryomihardjo, Abdurrachman. Lahir 19 September 1929 di Tegal, Jawa Tengah. Ia menamatkan sarjana sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1961. Pernah menjadi guru Taman Siswa Jakarta (1952-1964); mengajar di Fakultas sastra UI matakuliah sejarah pergerakan nasional dan historiografi (1961-1980). Menjadi staf peneliti Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Indonesia (LEKNAS)- LIPI Jakarta. Ikutserta dalam berbagai kegiatan penelitian, survei, konferensi ilmiah dan seminar di dalam dan di uar negeri, terutama dalam bidang sejarah.

Karyanya di antaranya: Sejarah Kota Jakarta; Sejarah Nasional Indonesia jilid V; Budi Oetomo (SH); Pembinaan Bangsa dan Masalah Historiografi, (Jakarta: Idayu, 1979); Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta: SH, 1986).

Dalam buku Ki Hajar Dewantara dan penulis mengisahkan tokoh pendidik Ki Hajar Dewantara dan perkembangan Taman Siswanya. Penulis menggali apa yang diajarkan oleh sang tokoh dan menimbang relevansinya untuk generasi masa kini. Juga mengenai pentingnya Taman Siswa sebagai institusi pendidikan yang mendidik bangsa menuju alam kemerdekaan.

Susilowati, Endang. (Ed.) Sejarah Maritim Indonesia I, Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia hingga Abad ke-17, (Semarang: Jeda, 2007)

Buku hasil penelitian sebuah tim ini mengungkap mengenai sejarah bahari bangsa Indonesia sejak zaman pra-sejarah hingga abad ke-17. Di dalamnya terbagi dalam beberapa bab. Di antaranya tentang penulisan sejarah maritim Indonesia; geografi, ekologi dan kegiatan awal maritim di Indonesia; pasang surut kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa sampai Maluku; kota-kota Maritim di pantai utara Jawa; ekspansi ekonomi dan jaringan antar daerah; komunikasi lintas budaya maritim.

Dibanding dengan sejarah politik atau sosial, sejarah maritim di Indonesia belum banyak dijamah. Karya tersebut dapat menggugah kesadaran bangsa ini bahwa Indonesia adalah negara maritim, sehingga tergerak untuk mengeksplorasi kekayaan alamnya.

Sutomo (Bung Tomo). Terlibat dalam pertempuran 10 November, Surabaya.

Karyanya: Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian dan Pergulatan Seorang Aktor Sejarah, (Jakarta: Visimedia, 2008).

Buku ini merupakan catatan seorang pejuang Bung Tomo sendiri pada masa perjuangan kemerdekaan di Surabaya, yang pernah diterbitkan tahun 1951. Buku ini merekam bagaimana sang aktor membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia dalam melawan penjajah Belanda ketika itu.

Bagi generasi sekarang dengan membaca tulisan Bung Tomo ini akan membuka kembali kenangan suka duka perjuangan untuk membela tanah air pada masa itu, 10 November 1945.

Suwarno, PJ. Sejarawan dari Universitas Sanatadharma, Yogyakarta.

Karyanya: Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta Tahun 1942-1974: Sebuah tinjauan Historis (Yogyakarta: Kanisius, 1994).

Buku ini mengisahkan mengenai peranan Hamengku Buwono IX dan perkembangan sistem birokrasi pemerintahan Ngayogyakarta Hadiningrat. Waktu yang dibahas sejak zaman Jepang, Kemerdekaan, Revolusi, Orde Lama sampai awal Orde Baru.

Suyono, RP.  Lahir 9 Desember 1932 di Pasuruan. Ia seorang pencinta sejarah. Ia mempunya banyak koleksi buku sejarah kuno.

Karyanya: Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial: Penelusuran Kepustakaan Sejarah, (Jakarta: Grasindo, 2005).

Bukunya ini yang bersumber dari naskah-naskah bahasa Belanda mengungkap mengenai berbagai hal selama zaman penjajahan di Nusantara, mulai Portugis, Belanda dan Jepang. Kaum pribumi sebagai bangsa terjajah diperlakukan sangat rendah, siapapun penjajah itu.

Syaifullah. Lahir 10 Februari 1960 di Surabaya. Sarjana lulusan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; meraih gelar master dalam ilmu Studi Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 1996; sejak tahun 1991 menjadi dosen di Fakultas ilmu Sosial dan ilmu politik Universitas Bengkulu; juga menjabat koordinator di Pusat Penelitian Islam dan Pemberdayaan masyarakat pada universitas yang sama sejak 1996.

Karyanya: Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, (Jakarta: Grafiti, 1997)

Karya ini membahas mengenai periode tertentu dalam sejarah Muhammadiyah . Studi ini terfokus pada perilaku politik Muhammadiyah dalam percaturan politik di Indonesia, mulai akhir pendudukan Jepang sampai akhir Demokrasi Liberal (1945-1959), serta mengenai corak pemikiran politik Muhammadiyah.

Syamsuddin, Nazaruddin. IaLahir 15 November 1944. Ia menyelesaikan kuliah dalam ilmu politik di Fisip Universitas Indonesia pada 1970, memperoleh gelar M.A. dari Universitas Monash, Melbourne, Australia. Di universitas yang sama ia meraih Ph.D. dengan disertasi berjudul “The Acehnese Rebellian of 1953-1962”. Ia pernah menjadi lektor pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Fisip UI.

Karyanya antara lain: Pemberontakan Kaum Republik Kasus di Aceh, (Jakarta: Grafiti, 1990) terjemahan.

Dalam buku ini penulis mengulas tentang berbagai pergolakan yang terjadi di Aceh, antara tahun 1953-1962 di bawah bendera Darul Islam pimpinan Daud Beureueh. Mengapa terjadi gejolak daerah? Penulis menjelaskan latar belakang terjadinya konflik, di antaranya: faktor-faktor regional dan religius, cita-cita mendirikan negara Islam, pertentangan kepentingan di lingkungan kaum pemberontak itu sendiri, serta hubungan gerakan ini dengan gerakan lain di luar daerah.

Buku ini melihat persoalan itu dari perspektif daerah, dan bukan pada tingkat nasional.

Syamsudin. Terakhir ia adalah May. Jenderal Purnawirawan.

Bukunya yang ia tulis: Mengapa G 30 S/ PKI Gagal? (Suatu Analisis) (Jakarta: YOI, 2005).

Buku ini adalah tulisan pengalaman pribadi pada peristiwa September 1965. Penulis sebagai militer menjelaskan mengenai sebab-sebab kegagalan pemberontakan PKI dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebab, selama Orde Baru yang selalu dikatakan kegagalan PKI karena “kesaktian Pancasila”.

Penulis menyoroti tentang kegagalan PKI pada saat kup berlangsung, dengan analisis menggunakan pendekatan leadership dan manajemen militer. Juga disertai dengan referensi yang relavan dengan masalah.

T

Tanzil, Hazil. (Ketua panitia) Seratus Tahun Haji Agus Salim, (Jakartra: SH, 1996).

Buku ini berisi tentang kisah hidup H Agus Salim, dari masa kelahiran hingga ia menjadi tokoh pergerakan nasional dan seorang diplomat ulung; kenang-kenangan dari para sahabat; dan kumpulan karangan Agus Salim yang tersebar mengenai berbagai masalah, seperti politik, sosial, budaya dan agama.

Teeuw, Andries. Lahir di kota Gorinchem, Belanda 12 Agustus 1921. Ia memperoleh gelar doktor sastra di Universitas Utrecht dengan disertasi “Bhomakawya” (1946), dan kemudian ia berangkat ke Indonesia, antara lain untuk mengajar bahasa Indonesia pada kursus guru di Jakarta. Bahan kuliahnya diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul Voltooid Voorspel (1950). Sebagai guru besar dalam bahasa dan Sastra Melayu serta Indonesia di Universitas Leiden sejak 1955, ia tetap menaruh minat pada sastra Indonesia baru, seperti pada bukunya berjudul Modern Indonesia Literature (1967). Menerima gelar Doktor Honoraris Causa (Dr. HC) dari Universitas Indonesia (UI) 1975.

Karya-karyanya: Tergantung Pada Kata, Sastra Baru Indonesia (1980); Membaca dan Menilai Sastra, (1983); dan Sastra Indonesia Modern, (Jakarta: P Jaya, 1989), terj.; Citra Manusia Indonesia (dalam karya sastra Pramudya A Toer), (1997), dan sebagainya.

Sebagai sarjana sastra ia banyak menulis mengenai sastra, terutama mengenai sastra Indonesia. Namun, dua jilid bukunya merekam sejarah sastra Indonesia, jilid pertama termasuk tentang Pujangga Baru dan jilid kedua sejarah sastra Indonesia modern angkatan 45 tahun 1945 sampai angkatan 66 dan seterusnya. Pada setiap angkatan terdapat tokoh sastrawan dan genre sastranya.

A Teeuw memulai dengan membahas, kapan sastra Indonesia modern lahir. Sastra Indonesia modern lahir pada sekitar tahun 1920. Ketika itulah para pemuda Indonesia menyatakan perasaan dan ide yang berbeda dari masyarakat setempat sebelumnya yang tradisional dan mulai dalam bentuk sastra yang menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan. Tetapi, di bidang keruhanian dan kebudayaan garis pemisah samar, dan kita malah melihat seorang pelopor kesusastraan modern Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, yang pemikiran dan bahasanya kuat dipengaruhi asing (Barat) di Malaka dan Singapura di permulaan abad kesembilan belas.

Ia katakan, tidak mungkin memisahkan antara kesusastraan sebelum perang di Indonesia dari perkembangan-perkembangan sesudah perang, sebagaimana menelaah peristiwa-peristiwa politik pada 17 Agustus 1945 dan sesudahnya tanpa tanpa memberikan perhatian terhadap perkembangan nasionalisme Indonesia tahun antara 1908 sampai 1945. Ciri khusus perkembangan kesusastraan ini sebagian sejalan dengan gerakan nasionalis, sekaligus mencerminkan dan menyuarakan berbagai masalah dan kejayaan gerakan ini. Ini tidak berarti setiap yang ditulis berhubungan langsung dengan perjuangan untuk memperoleh kebebasan politik. Oleh karena itu menelaah zaman ini secara keseluruhan dan memasukkan semua hasil penulisan sebelum perang sebagai bagian penting dari kesustraan Indonesia modern.

“Kriteria utama untuk mengannggap tahun 1920 sebagai titik permulaan bahwa ketika itulah untuk pertama kali ditulis kesusastraan yang ternyata harus diletakkan dalam satu rangka dasar yang bersifat Indonesia,”kata Teeuw. Ini bukan berarti pada mulanya bahwa Indonesia telah dilihat sebagai cita-cita politik yang jelas, atau bahwa konsep bahasa Indonesia, dalam perbandingan dengan bahasa-bahasa daerah, secara sadar ketika itu terwujud dalam pikiran para penulis itu. Tetapi ketika mereka mulai mencari cara untuk menyatakan perasaan dan ide mereka sebagai reaksi dan pengaruh Barat (Belanda) maka mulailah mereka menuju jalan ke arah konsep bahasa Indonesia.

Tahun 1908 Budi Utomo bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Melayu, lalu Sarekat Islam 1911 gerakan massa yang modern dan yang pertama di Indonesia, lalu muncul Jong Java, dan Jong Sumatrnen Bond. Orang Sumatralah yang dididik di Jawa yang melakukan kegiatan sastra untuk menyatakan pikiran, perasaan dan cita-cita baru yang mengalir dalam diri mereka. Yang mula-mula adalah pemuda Sumatra, Muhammad Yamin.

Thosibo, Anwar. Lahir 26 November 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia meraih Sarjana Muda ilmu arkeologi di Universitas Hasanuddin (1977-1980); pada tahun 1981, terpilih mengikuti program kerja sama Indonesia-Belanda dalam pengembangan Ilmu-ilmu sosial (LIPI) di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Yogyakarta, dan ia menyelesaikan sarjananya tahun 1984; lalu gelar Master humaniora (M.Hum) dalam Ilmu sejarag diperoleh dari Fak. Pascasarjana UGM, Yogyakarta, tahun 1993; sejak 1999-2002 menempuh program doktor bidang seni rupa dan desain Program pascasarjana ITB, Bandung. Ia menjadi dosen pada fak. Sastra Universitas Hasanuddin, makassar, sejak 1986.

Karyanya: Historiografi Perbudakan: Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad XIX (Magelang: Indonesiatera, 2002).

Buku ini mengulas tentang sejarah perbudakan di Sulawesi Selatan pada abad ke-19.   Di kawasan itu dikenal sistem kasuwiang, yang memiliki kemiripsn kategori dengan perbudakan, namun tidak sama persis. Kata ini diambil dari kepercayaan asli yang menunjuk pada perbuatan yang dijalani oleh seorang manusia dlam usahanya mendekatkan diri kepada Tuhannya. Lalu pengertian ini digunakan oleh sejarawan istana untuk menjelaskan pembentukan suatu lembaga sosial kuno (kasuwiang salapang) pada masa awal berdirinya kerajaan Makassar. Pada proses selanjutnya, pengertian tersebut dikokohkan dalam tradisi turun-temurun sebagai persembahan atau kerja wajib yang diberikan oleh penduduk kepada penguasanya dalam bentuk hasil usaha dan tenaga kerja.

Struktur politik yang berlaku memperlihatkan bahwa dari tingkat anak suku sampai kerajaan menguasai masyarakat. Kekuasaan raja, karaeng, matoa, atau puang terletak pada kemampuannya memberikan perlindungan pada para pengikutnya. Namun sebaliknya, kesempatan dan keamanan seseorang dapat diperoleh melalui keterikatannya dengan seorang karaeng yang kuat untuk memberikan perlindungan. Oleh karena  perlindungan tak terbatas, karaeng menuntut kesetiaan kepada para pengikutnya, sesuai peraturan yang menjadi tradisi.

Hubungan otoritas itu kemudian melembaga dalam stratifikasi sosial masyarakat dalam bentuk lapisan penguasa, lapisan orang merdeka, dan lapisan budak atau ata. Lpisan budak terbentuk, lapisan di atasnya gagal menyesuaikan dengan tradisi yang ada, terutama bagi mereka yang melakukan makar terhadap penguasa dan melanggar tabu-tabu tradisional, juga bagi mereka yang tak mampu melunasi hutang dan menjdi tawanan perang.

Tjandrasasmita, Uka. Lahir 8 Oktober 1930 di Subang-Kuningan, Jawa Barat. Ia menempuh studi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuno tahun 1960. Ia menjadi dosen tidak tetap pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1960-1999), Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gajah Mada (1960-1999) dan Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah (1963-1999).  

Beberapa karyanya di antaranya, “The Introduction of Islam and Growth of Muslim Cities in Indonesian Archipelago” dalam (Haryati Soebadio dkk) Dynamics of Indonesian History, Penelitian Arkeologi Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, (Kudus: Menara Kudus, 2000); dan Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia (Dari Abad XIII-XVIII) (Kudus: Menara Kudus, 2000); Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009) dan banyak lagi.

Buku Pertumbuhan dan.. mengungkap pertumbuhan dan perkembangan berbagai aspek kota Muslim dari abad ke-13 sampai abad ke-18 di Indonesia. Dibahas bagaimana kedatangan para pembawa Islam hingga tumbuh kota-kota di pesisir mulai dari ujung Nusantara Samudra Pasai hingga ke wilayah timur.  Banyak aspek dari kota-kota Muslim dapat kita lihat, mulai tentang birokrasi kerajaan, struktur sosial, pasar dan tempat-tempat peribadatan.

Toer, Pramudya Ananta. Lahir 6 Februari 1925 Blora, Jawa Tengah. Taman Siswa (1942-194), sekolah Stenografi (1944-1945), Sekolah Tinggi Islam Jakarta tahun 1945. Ia pernah bekerja di kantor Berita Jepang Domei (1942-1945), anggota Resimen 6 Divisi Siliwangi (1946-Juli 1947-1949, ditahan pemerintah Belanda dan dipenjara di Bukit Duri, Jakarta), Redaktur Balai Pustaka 1950-1951, pimpinan Literray dan Feature Agency Duta 1951-54, red. Bagian Penerbitan The Voice of Free Indonesia 1954, angota pimpinan Pusat Lekra 1958, Ketua delegasi dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasjkent, Uni Soviet 1958, anggota Dewan Ketua komite perdamaian Indonesia 1959, Red. Ruang Kebudayaan “Lentera” Harian Rakyat (1962-1965); dosen Fakultas Sastra Universitas Res Publica, Jakarta, dosen Akademi Jurnalistik Dr. A Rivai, Jakarta; Pernah ditahan di Jakarta dan dipindah ke pulau Buru, bebas 1979, menerima penghargaan Ramon Magsaysay (Filipina, 1995). Sastrawan yang menulis karya sejarah.

Karya-karyanya: Fiksi, Perburuan (novel 1950), Keluarga Gerilya (novel 1950); Subuh (kumpulan cerpen 1950); Percikan Revolusi (kump. Cerpen 1950); Bukan Pasar Malam (novel 1951); Cerita dari Blora (1952); Cerita dari Jakarta (kump. Cerpen 1957); tetralogi Bumi Manusia (1980); Anak Semua Bangsa (1980); Jejak Langkah (1985); Rumah KacaArus Balik (1995); non-fiksi, Sang Pemula (Jakarta: Hasta Mitra, 1985 ), dsb.

Penulis dalam Sang Pemula mengisahkan peran RM Tirtoadisurjo, yang lahir tahun 1875 dan meninggal 17 Agustus 1918, sebagai tokoh pers Indonesia, yang menulis karya jurnalistik dan fiksi. Dalam dunia jurnalistik ia banyak mengungkap mengenai kaum pribumi pada masa pemerintah kolonial Belanda. Di bawah kekuasaan kolonial kehidupan kaum pribumi sangat menderita, sehingga ia ungkapkan dalam tulisan-tulisannya. Dengan tulisan – tulisannya itu diharapkan akan tumbuh kesadaran pada kaum pribumi untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dalam buku ini ditampilkan pula karya fiksinya, berupa cerita pendek.

Tobing, KML. Karyanya: Perjuangan Politik Bangsa Indonesia, Linggarjati (Jakarta: G Agung, 1986).

Buku ini mengisahkan tentang persetujuan Linggarjati antara pemerintah Belanda dan Indonesia, pada 11 dan 12 Nopember 1946 di Linggarjati, Cirebon. Dalam perundingan itu hadir Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Persetujuan itu ditandatangani (sementara) tanggal 15 Nopember 1946 di istana Rijswijk (Istana Negara) dan 25 Maret 1947 ditandatangani (definitif) juga di Rijswijk.

Namun, perjuangan itu tidak menimbulkan kegembiraan yang lama, sebab fihak belanda melakukan tindakan-tindakan yang merusak, 16 Nopember 1946 Bogor diduduki, dan KNIL di bawah perintah Leeneman mengadakan penahanan-penahanan di kalangan rakyat.

Tsuchiya, Kenji. Lembaga Studi-studi Asia Tenggara, universitas Kyoto, Jepang.

Karyanya: Gerakan Taman Siswa, (Kyoto: SAS, 1976) terj.

Karya ini membahas mengenai institusi Taman Siswa yang berdiri pada bulan Juli 1922 di Yogyakarta, Jawa Tengah.  Ketika Taman Siswa muncul di Indonesia sedang bangkit nasionalisme. Taman Siswa menjadi benteng perlawanan yang gigih terhadap pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1930-an. Pada tahun itu Taman Siswa sudah mendirikan banyak cabang di pulau Jawa dan pulau-pulau lain.

Taman Siswa sangat mandiri dalam menjalankan gerakannya. Ia menolak campur tangan pemerintah dalam menjalankan falsafah pendidikannya. Di antara banyak usahanya Taman Siswa dalam menentang terhadap pemerintah Belanda, yang paling menonjol ialah perlawanan terhadap Wilde Scholen Ordonantie (peraturan pemerintah mengenai sekolah-sekolah liar). Dalam gerakan ini Taman Siswa didukung oleh para pemimpin dan organisasi-organisasi nasionalis Indonesia. Pendirinya, Raden Mas Soewardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) menjadi masyhur, dan dalam tahun 1945 ia sempat menjadi Menteri Pendidikan pada kabinet pertama RI.

Ide-ide dasar didirikannya Taman Siswa KI Hajar Dewantara ucapkan dalam pidatonya di sekolah Adi Darma. Di antaranya, 1. Mendidik generasi muda kita bukan saja untuk mengembangkan jiwa raga mereka akan tetapi juga mengembangkan kebudayaan nasional kita. 2. Mengembangkan jiwa raga anak-anak bukan berdasar jenis pendidikan Barat untuk menjadi pegawai pemerintah kolonial, 3. Kita mesti mengembangkan sistem pendidikan nasional kita sendiri, di man bangsa kia bisa belajar tentang semangat kemerdekaan dan menangkap rasa solidaritas nasional, 4. Dalam mengadakan sistem pendidikan nasional kita mesti mempertimbangkan kembali pendidikan asrama dan pondok pesantren dari zaman dahulu kala di waktu bangsa kita masih menikmati kemerdekaannya, dan 5. Jenis pendidikan nasional semacam ini adalah sama dengan ide-ide pendidikan yang digagas oleh Montessari/ Tagore, yang menekankan kebebasan anak-anak.

Dalam kongresnya yang pertama, penulis mencatat, yang diadakan di yogyakarta, pada 6-15 Agustul 1930, menghasilkan: 1. Menerima baik alasan-alasan berdirinya Taman Siswa, 2. Mengumumkan prinsip-prinsip pedoman pendidikan Taman Siswa, danj 3. Memilih anggota-anggota Hoofdraad.

Tudjimah. Lahir 7 Desember 1922 di Yogyakarta. Lulus Neutrale MULO Yogyakarta 1938; HIK Muhammadiyah tahun 1942; Lulus sarjana Muda Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta tahun 1950; Fakultas Sastra UI 1953; memperdalam bahasa Arab di Kairo 1953-1955; dan memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dari Universitas Indonesia (UI) dengan disertasi “Asror Al-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa l-Rohman” (1960). Guru besar dalam bahasa Arab dan Sejarah Islam di Fakultas Sastra UI (1963 sampai sekarang).

Karyanya: Menerjemahkan karya Thaha Hussyn, Al-Ayyam (Masa Muda di Mesir (1964); Syekh Yusuf Makasar: Riwayat dan Ajarannya, (Jakarta: UI Press, 2005).

Buku ini mengisahkan Syekh Yusuf Makasar, seorang mistikus dari Sulawesi Selatan pada abad ke-17. Ia bertolak ke pulau Jawa, lalu ke Makkah dan kembali ke Banten. Di Banten ia memiliki banyak murid. Pada masa Sultan Ageng itu pula ia bersama muridnya melawan kompeni. Sultan menyerah, Syekh Yusuf dapat lolos, namun akhirnya ia menyerah. Kemudian ia dibuang ke Selon dan selanjutnya ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Di daerah buangan ia mempunyai banyak murid. Ia pun banyak menulis kitab.

 

U

Usman, A Rani. Lahir 31 Desember 1963 di Ulee Ateueng, Simpang Ulim, Aceh Timur. Pada tahun 1986 ia belajar pada Fakultas dakwah IAIN Ar-Raniry mulai 1991, lalu melanjutkan S2 di Universitas Padjajaran; tahun 2000 ia mengambil program doktor.

Karyanya: Sejarah Peradaban Aceh,( Jakarta: YOI, 2003); Etnis Cina Perantauan di Aceh, (Jakarta: YOI. 2009).

Buku Sejarah Peradaban Aceh ini mengungkap mengenai sejarah Aceh, struktur masyarakat dan peradabannya. Penulis mencatat dalam buku ini paling tidak menampilkan sembilan tahap perkembangan peradaban Aceh dalam kurun waktu sekitar lima abad. Pertama, masa perlawanan terhadap kekuatan Portugis tahun 1509. Lalu perlawanan terhadap Belanda dan Jepang 1942 memunculkan babak kedua, yakni kehancuran peradaban Aceh; diikuti babak ketiga, keterlibatan Aceh dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia; keempat,  yakni penghancuran peradaban ketika terjadi konflik fisik antara ulama dan uleebalang (bangsawan) pada awal tahun 1946, yang dikenal dengan perang cumbok; kelima, penghancuran peradaban karena pemberontakan Darul Islam; keenam, ketika terjadi pemberontakan G 30 September tahun 1965; ketujuh, diawali dengan lahirnya GAM; kedelapan, diikuti dengan pemberlakuan kebijakan daerah operasi militer (DOM), balasan pemerintah pusat atas aksi GAM; dan terakhir, antara lain ditandai dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan terhadap kaum intelektual, politisi dan ulama Aceh.

Umar, Muin. Lahir 14 Oktober 1932 di Blangpidie, Aceh. Lulus sarjana dari Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tahun 1963; tahun 1969 mendapat certificate non-degree dari Islamic Studies, Leiden. Pernah menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, antara 1976-1981; wakil rektor I bid. Akademik merangkap Direktur pelaksana Studi Purna Sarjana dosen-dosen se-Indonesia di Yogyakarta, dan sejak 1987 sebagai rektor.

Karyanya: Sejarah Arab Sebelum Islam; Orientalisme dan Studi tentang Islam; Historiografi Islam (Jakarta: Rajawali p, 19), dan Editor, dkk. Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan, (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985). Ia sendiri menyumbang tulisan berjudul, “Historiografi Islam di Indonesia: kemungkinan Studi Pertumbuhan dan Perkembangannya”.

Dalam tulisannya ini penulis mengajak sejarawan untuk memikirkan suatu historiografi Islam di Indonesia. Sebab selama ini yang ada baru historiografi Islam secara umum, namun yang khusus Indonesia belum terlahir. Karena itu ia hanya menampilkan kemungkinan kerangka historiogarfi Islam di Indonesia.

 

V

Veer, Paul Van’t. Lahir 1922 dan meninggal 1979. Sejak tahun 1945 menjadi wartawan di Indonesia, New York dan Amsterdam. Ia dikenal sebagai wartawan politik yang memiliki minat terhadap sejarah dan sastra.

Karyanya, di antaranya biografi tentang Daendels dan Soekarno. Yang sudah diterjemahkan Perang Aceh (Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje), (Jakarta: Grafiti, 1979), terj.

Veer mengisahkan heroisme rakyat Aceh ketika melawan penjajah Belanda. Dan ia mencoba mengangkat keruwetan proses sejarah di dalam peristiwa itu, juga mengenai pergulatan tokoh-tokohnya yang berlangsung di antara dan pada kedua belah pihak.

Ia menulis bahwa perang Aceh terjadi empat kali, yakni pertama antara tahun 1873; kedua 1874-1880; ketiga 1884-1896 dan perang Aceh keempat 1898-1942. Aceh merupakan wilayah yang terakhir ditaklukan dan yang paling awal bebas dari cengkraman kolonial Belanda. Perang Aceh termasuk perang yang besar.

Veur, Paul van der. Lahir tahun 1921 di Medan dan dibesarkan di Surabaya. Ia memperoleh gelar Ph.D. dari Cornell University, AS. Ia pernah mendapat Fulbright Scholar untuk memberikan kuliah Universitas Airlangga tahun 1980. Ia guru besar bidang Ilmu politik dan menjabat Direktur Southeast Asia Studies di Ohio University, Ohio, AS.

Ia banyak menulis mengenai sejarah politik Indonesia, antara lain karyanya: Kenang-kenangan Dokter Soetomo, (Jakarta: SH, 1984).

Buku ini mengisahkan tentang dr Soetomo, tulisan-tulisannya dan kenangan bersama sahabat. Ia lahir di desa Ngepeh, Nganjuk 30 Juli 1888. Ia masuk sekolah kedokteran STOVIA tanggal 10 Januari 1903, dan ketika menjadi mahasiswa ia mendirikan perkumpulan Budi Utomo bulan Mei 1908. Sekolahnya ia selesaikan 11 April 1911. Kemudian ia bekerja di berbagai tempat, di Lubuk Pakam, Malang, Magetan dan Blora. Ketika bekerja di Rumah Sakit Blora tahun 1917, ia berkenalan dengan EJ de Graaff, janda seorang Belanda, dan ia menikahinya.

Dalam karangan-karangannya ia adalah seorang nasionalis. Namun ia banyak dipengaruhi Hindu-Jawa.

Vlekke, Bernard. Karyanya: Nusantara, Sejarah Indonesia (Jakarta: KPG, Feedom Institute dan B Pustaka, 200), terj.

Buku Vlekke menceritakan sejarah Nusantara. Apa yang disebut Nusantara dalam buku ini hanya wilayah tertentu, dan yang paling banyak dibahas mengenai Pulau Jawa, dan sedikit Sumatra. Banyak bagian dari Indonesia yang tidak mendapat perhatiannya.

 

W

Wardaya, Baskara T. Ia belajar di Marquette University, Milwaukee, AS, tahun 1993-2001. Dari universitas tersebut ia meraih gelar master tahun 1995 dan doktor tahun 2001, dan keduanya di bidang sejarah. Kini ia mengajar dan bertugas sebagai direktur Pascasarjana di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; mengajar di program Pascasarjana UGM dan menjadi konsultan untuk Jesuit Reugee Service (JRC) Asia-Pasifik di Bangkok, juga sebagai direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (PUSdEP) USD; tahun 2004-2005 mendapat beasiswa program post-doctoral fulbright untuk penelitian sejarah di AS.

Karyanya: Indonesia dan Masalah-masalah Pembangunan (Jakarta: 1986, co.ed.); Indonesia dan Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: 2001, ed.); Bung Karno Menggugat: dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S,(Yogyakarta: Galangpress, 2006).

Buku Bung Karno Menggugat ini mengulas tentang Soekarno, ketika zaman perjuangan menentang penjajah Belanda untuk meraih kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Ia sendiri dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka, bersama teman-teman, dipenjara, dibuang dan diasingkan. Setelah perjuangan itu bangsa Indonesia meraih kemerdekaan tahun 1945.

Setelah menyatakan merdeka Indonesia mulai menata dalam berbangsa dan bernegara. Pada masa itu perkembangan politik di indonesia ternyata bukan hanya digerakan oleh faktor dalam negeri, tetapi juga aleh faktor luar negeri, AS. Negara itu memiliki andil terhadap dinamika politik yang terjadi di Indonesia. Puncaknya berujung pada tragedi Gerakan 30 September. Siapa dalang di balik gerakan ini? Sampai kini masih menjadi polemik. Sampai kini belum terjawab dengan pasti, apakah Soekarno, PKI, Letkol Untung, Soeharto atau CIA. Namun, yang jelas pada tahun 1965 itu telah terjadi pembantaian massal yang korbannya, mereka yang diduga kaum komunis, dan tanpa proses pengadilan.

Di akhir bukunya diulas juga mengenai bagimana Soekarno mengakhiri masa kekuasaannya, dan tampilnya Soeharto sebagai penguasa tunggal. Kedua rezim itu sama-sama sebagai penguasa tunggal, hanya yang membedakannya, Seokarno egaliter dan demokratis, namun di masa akhir ia menjadi otoriter. Sementara Soeharto sejak awal menggunakan pendekatan militeristik. Soekarno banyak meninggalkan gagasan-gagasan politik, dengan tulisan, sedangkan Soeharto tidak.

Wie, Thee Kian. Lahir 20 April 1935 di Jakarta. Ia memperoleh gelar doktor dari The University of Wisconsin, Madison, Wisconsin, AS, tahun 1969. Adalah Staf Ahli P2E LIPI. Ia juga menjadi anggota Dewan Riset Nasional dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Fokus penelitiannya yaitu sejarah ekonomi Indonesia modern, industrialisasi dan peran PMA di Asia Timur, khususnya Indonesia.

Karyanya: Plantation Agriculture and Export Growth: An Economic History of East Sumatra 1863-1942 (Jakarta: Nasional Institute of Economic and Social Researcs, 1977); memberi pengantar dalam Anna Weidemann (Peny.) Sejarah Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988), terj.; Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde Baru, (Jakarta: Kompas-Freedom Institute, 2004); (ed.) Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950 sampai 1990-an (Jakarta: Kompas, 2005).

Thee Kian memberi kata pengantar untuk buku Pelaku Berkisah. Pengantarnya cukup panjang tentang sejarah ekonomi Indonesia modern, sejak zaman kemerdekaan ketika Indonesia jatuh miskin akibat perang melawan penjajah Belanda hingga Orde Baru. Pada zaman kemerdekaan banyak pejabat Belanda yang masih bekerja di Indonesia. Ekonomi Indonesia hancur.

Orde Baru mewarisi utang Indonesia yang besar. Berangsur-angsur pulih, namun pada masa Orde Baru korupsi merajalela. Pada masa ini para ekonom mempunyai peran besar untuk arah ekonomi Indonesia selanjutnya.

Wertheim, Willem Frederik. Lahir 16 November 1907 di St Petesburg, Rusia- meninggal 3 November 1998 di Wagening, Belanda. Setelah ia menyelesaikan studi hukum ia tinggal di Belanda antara 1931-1946, termasuk ketika ia ditahan Jepang di Salemba, Jakarta. Di masa kolonial awal mula ia menjadi anggota pengadilan Hindia Belanda, lalu guru besar pada Rechtshogeschool di Batavia. Pada tahun 1946-1972 ia mengajar di Universitas Amsterdam, Belanda, dan mantan Profesor sejarah dan sosiologi Modern Asia Tenggara pada Municipal University of Amstrdam, Belanda.

Karyanya: Indonesian Socieaty in Transition: A Study of Social Change, (Bandung: van Hoeve, 1959);  “Arus Borjuis di Dalam Agama”, dalam Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989); “Pendekatan Sosiologis dalam Historiografi Indonesia” dalam Soedjatmoko (ed.dkk.)  Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia,1995); Gelombang Pasang Emansipasi: Evolusi dan Revolusi yang Diperbarui (Jakarta: Garda Budaya, ISAI DAN KITLV), terj.

Dalam tulisan “Arus Borjuis di Dalam Agama” ini penulis mengulas bahwa pada  awal abad ke-20 lapisan pada masyarakat Indonesia semakin lekat bersentuhan dengan peradaban Eropa. Melalui jalur pendididikan, cara berpikir dan perasaan orang-orang pribumi dipengaruhi oleh hubungannya dengan orang-oraang Barat. Juga melalui literatur Eropa. Dengan hubungan itu maka ada unsur-unsur budaya Eropa yang diserap,  di antaranya individualism, rasionalisme, naturalisme, moral-moral borjuis Barat. Terutama pada kaum ningrat Indonesia yang lebih muda.

Proses akulturasi tersebut terjadi di luar batas-batas Islam. Pada kalangan bangsawan di lingkungan kraton Solo dan Yogyakarta. Meskipun mereka Muslim, namun mereka cenderung menjauhi ketaatan pada syari’at Islam. Situasi seperti tercipta itu didorong oleh sikap pemerintah kolonial Belanda dengan kebijakan-kebijakannya yang cenderung membantu unsur-unsur yang menolak Islam.

Widyosiswoyo, Supartono. Lahir 17 Juli di Demak. Studi di Fak. Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Sejarah dan Budaya, UI, Jakarta tahun 1962; belajar di Sekolah tinggi Ilmu Ekonomi IPWI program Pascasarjana MM. Di Jakarta 1996. Ia mengajar di SMP, SMA Jakarta (1957-1963), juga menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi Jakarta.

Karya tulis: Sejarah Indonesia dan Dunia, (1978); Sejarah Seni Rupa Indonesia I & II; Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Trisakti, 2006).

Buku Sejarah Kebudayaan Indonesia ini mengulas mengenai sejarah kebudayaan Indonesia. Yang dimulai dari zaman pra-sejarah, sebagai zaman yang belum ada tulisan, yang ada berupa artefak. Rentang sejarah Indonesia yang cukup panjang memungkinkan sejarah kebudayaan Indonesia menjadi kaya warna. Lalu ke zaman budaya asli Indonesia, zaman Hidu-buda, di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, pengaruh Islam dan pengaruh budaya Barat dan terus berkembang.

Budaya yang datang menghampiri Nusantara dapat memperkaya budaya yang ada. Sebagai contoh, ketika Islam datang, maka kebudayaan Islam mewarnai budaya Indonesia, semisal dalam kerajaan ada istana, masjid, dan berbagai seni Islam dsb.

Wijayakusuma, M Hembing. Ia lahir di Medan 10 Maret 1940 dan meninggal di Jakarta 8 Agustus 2011, adalah seorang dokter yang lulus dari beberapa perguruan tinggi, di Cina seperti, lulus dari Perguruan Tinggi kedokteran Timur Chinese Acupunture Institute, Hongkong, 1970 dsb.; ia mendapat berbagai penghargaan dari universitas di Korea Selatan, Hongkong, Beijing; telah banyak karyanya diterbitkan yang berkaitan dengan kedokteran, yang berbasis pada pengobatan tradisional Cina.

Karyanya: Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, (Jakarta: PP Obor, 2005).

Hembing dalam bukunya ini mengungkap suatu peristiwa di masa lalu. Ketika VOC datang ke Nusantara, atau tepatnya di pulau Jawa yang berpusat di batavia. Di kota lama ini VOC melakukan pembantaian massal pada tahun 1740, yang diperkirakan menewaskan lebih 10.000 orang Tionghoa. VOC melakukan hal itu karena adanya kecemburuan sosial terhadap etnis Tionghoa.

Pasca tragedi tersebut ternyata etnis Tionghoa dan bumiputra menumbuhkan rasa kebersamaan dan mereka menentang kekejaman yang dilakukan VOC.

Wijayati, Putri Agus. Lahir 16 Agustus 1963 di Madiun, Jawa Timur. Sarjana diraih dari jurusan Sejarah Fak. Sastra Universitas Diponegoro, Semarang pada tahun 1988; ia memperoleh gelar M.Hum. bidang studi Sejarah Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora dari Program pascasarjana UGM, Yogyakarta pada tahun 1998. Ia melakukan penelitian, karyanya dituliskan dalam berbagai jurnal dan media.

Karyanya antara lain: “Pemberontakan Petani di tanah Partikelir Probolinggo 18 Mei 1913” dalam majalah berkala Pascasarjana UGM, jld 4 A, Nov 1998; Tanah dan Sistem Perpajakan: Masa Kolonial Inggris (Yogyakarta: Tarawang, 2001).

Buku Tanah dan Sistem Perpajakan mengulas tentang sistem perpajakan yang diterapkan pemerintah kolonial Inggris terhadap penduduk di Karesidenan Besuki pada abad ke-19. Penulis mencatat ada bentuk perpajakan yang lebih awal dipraktekan Rafles dan pemerintah selanjutnya. Prakteknya melalui penyewaan dan penjualan tanah kepada orang Cina.

Sistem perpajakan kolonial menjelang abad ke-19 dengan cara menyewakan tanah liar kepada orang Cina, dengan bantuan penduduk pribumi, telah berhasil mengolah lahan itu menjadi lahan produktif. Kebijakan ekonomi pemerintah kolonial mulai mempengaruhi struktur ekonomi dan sosial penduduk desa, dengan diperkenalkan bentuk penguasaan tanah baru, yakni bentuk tanah partikelir yang berasal dari penjualan tanah Besuki, Panarukan dan Probolinggo oleh Daendeles. Tak dapat dihindari dalam struktur pedesaan tanah partikelir, penduduk pribumi terikat oleh pola hubungan antara tuan tanah Cina dan menimbulkan dampak buruh bagi penduduk desa, terutama di kabupaten Probolinggo. Hubungan seperti ini cenderung menjadi hubungan eksploitasi terhadap penduduk oleh oleh tuan tanah Cina. Yang paling berat dialami oleh penduduk tampak dalam hal pajak perorangan dan pajak perdagangan domestik sangat tinggi, dan lebih-lebih sisa hail bumi yang dimiliki penduduk harus dijual kepada tuan tanah Cina, tanpa tawar menawar.

Keadaan seperti itu telah menimbulkan ketegangan dan pertentangan antara penduduk dan tuan tanah Cina. Pada puncaknya terjadi pemberontakan penduduk pada tanggal 18 Mei 1813. Semua dampak dari hubungan yang eksploitatif tersebut mempercepat penguasaan kembali tanah   partikelir menjadi tanah negara oleh pemerintah kolonial Inggris.

Williams, Michael C. Ia mendapat gelar B.Sc. dalam hubungan internasional dari University College, London, dan mendapat M.Sc. dalam politik Asia Tenggara dari School of Orintal and African Studies, London, dan ia mendapat Ph.D. dengan disertasi berjudul “Communism, Religion and Revolt in Banten in the Early Twentieth Century” pada University of London. Ia mengajar politik di University of East Anglia, 1978-1980; ia mengepalai riset soal Asia di Sekretariat Internasional Amnesti Internasional; sebagai penulis politik senior BBC untuk Timur Jauh.

Karyanya antara lain: Sickle and Crescent: The Communist Revolt of 1926 in Banten (1982); dan menyumbang tulisan pada New Left Review dan The World Today, The Economist serta Communist Affairs;  “Utang Padi Dibayar Padi, Utang Darah Dibayar Darah”, dalam Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Grafiti, 1989), terjemahan.

Tulisannya mengulas mengenai sejarah Benten masa pergolakan. Banten pada abad ke-19 secara ekonomis dan politis terpencil, sebagai sebuah daerah yang terkenal karena suka memberontak dan semangat keagamaannya. Pimpinan pemberontakan pada tahun 1926 suatu perpaduan yang khas, karena dapat menggabungkan tiga unsur, yakni ulama, kaum komunis lokal, dan jawara.

Mereka bertiga bekerjasama menghadapi musuh bersama, kolonial Belanda. Namun, kegagalan mempertahankan koalisi di tahun 1945-1946 memperlemah kekuatan revolusioner masyarakat dalam melawan Belanda.

Komunis membentuk Dewan Rakyat, yang segera meraih simpati rakyat. Mereka membuat kekacauan. Soekarno-Hatta datang ke banten pada bulan Desember. Soekarno bicara kepada rakyat bahwa pentingnya persatuan nasional dalam perjuangan melawan belanda, dan Hatta mengatakan bahwa Dewan tak berguna dan harus dibubarkan. Dalam penumpasan terhadap Dewan kemudian para pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan. Pada periode selanjutnya masih muncul penentangan-penentangan terhadap pemerintah pusat.

 Y

Yamin, M. Lahir 23 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatra Barat dan meninggal di Jakarta 17 Oktober 1962. Lulus HIS tahun 1918, masuk Sekolah Pertanian di Bogor 1923, AMS Yogya 1927, Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta tahun 1932. Ia pernah menjadi ketua Jong Sumatra Bond (1926-1928), ketua Indonesia Muda (1928), anggota Partindo (1932-1942), Menteri Kehakiman RI (1951), Menteri Dik & Keb (1952-1955). Ketua Dewan Pengawas LKBN Antara (1961-1962), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962).

Ia banyak menulis karya sastra dan sejarah. Di antara karyanya: Sejarah Peperangan Diponegoro, (Jakarta: B Pustaka, 1998).

Buku ini mengisahkan mengenai perang Diponegoro, antara tahun 1825-1830. Berawal deari tanah yang dipatok untuk merintis jalan atasperintah Danureja, namun ia menolak. Pihak kolonial membalas dengan senapan, maka Diponegoro pun melawan. Terjadilah perang. Ketika perang belum usai ia diajak berunding, tetapi akhirnya pangeran ditangkap dan dibuang ke Makassar.

Yuanzhi, Kong. Kuliah di jurusan Bahasa dan Kebudayaan Indonesia Universitas Peking, China; studi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1964-1965); meneliti di Universitas Leiden, Belanda (1985-1986).

Karyanya: Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri perjalanan Muhibah di Nusantara (Penyunting HM Hembing Wijayakusuma), (Jakarta: PP Obor, 2005).

Buku ini mengungkap pelayaran Cheng Ho dari negeri China sampai ke kepulauan di Indonesia, cerita rakyat Indonesia mengenai Cheng Ho, dan yang menarik buku ini disertai juga peta perjalanan laut Cheng Ho. Buku ini adalah hasil penelitiannya baik di China, Indonesia maupun di Belanda.

Dibandingkan dengan para pelaut Eropa, Cheng Ho memiliki armada yang besar dengan awak kapal yang banyak sekitar 27. 000 lebih, dan beberapa kali pelayaran.

Yuliyanto, Sumalyo. Dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulaesi Selatan

Karyanya: “Ujung Pandang: Perkembangan Kota dan Arsitektur pada Akhir Abad 17 Hingga Awal Abad 20”, dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Denys Lombard (Jakarta:EFEO-PPAN-YOI, 1999).

Penulis mendeskripsikan mengenai sejarah perkembangan kota dan arsitekturnya. Pada zaman kolonial Belanda kerajaan Goa-Tallo tahun 1669 dapat dihancurkan Belanda di bawah pimpinan Admiral Speelman. Kemudian Belanda memilih benteng Ujung Pandang sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan Militer. Setelah dirombak benteng itu diberi nama Rotterdam. Pemukiman Belanda pada abad 17 yang dibangun di Ujung Pandang berpola sama dengan zaman pertengahan (Eropa).

Penghuni kawasan ini campuran, terdiri orang-orang Tionghoa peranakan, pemeluk agama Kristen, dan kampung Melayu.

Yunus, Abd Rahim. Lahir 12 Februari 1955 di Soppeng, Sulawesi Selatan. Studi Fakultas Adab Jur. Bahasa dan Sastra Arab IAIN Alauddin Ujung Pandang, Sul-Sel lulus tahun 1979. Sejak 1977 mengajar bahasa Arab pada Lembaga Bahasa IAIN Alauddin, dan tahun 1979 ia menjadi pengajar di pesantren INNIM Ujung Pandang; Lalu tahun 1981 menjadi dosen tetap Fak. Tarbiyah IAIN Alauddin di Bau Bau (Buton, Sulawesi Tengah); tahun 1987 ia mengikuti program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan memperoleh gelar MA tahun 1989; tahun 1991-1992 mengikuti studi dan penelitian di Leiden (Belanda), Paris (Prancis), Leuven (Belgia) dan Kairo (Mesir) dalam program INIS.

Karyanya: Sejarah Masuknya Islam di Buton (dkk.); Lembaga Peradilan Agama di Kesultonan Buton; Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, (Jakarta: INIS, 1995).

Buku ini membahas mengenai kedudukan tasawuf di Kesultanan Buton. Islam datang ke wilayah kerajaan Buton pada tahun 948/ 1540 M. Wilayah kekuasaannya meliputi gugusan pulau-pulau di kawasan tenggara jazirah Sulawesi Tengah. Dicatat, bahwa berdasarkan struktur pemerintahan, wilayahnya dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu: Pertama, Pusat pemerintahan bernama kraton. Daerah ini menjadi pusat kekuasaan dan menjadi pusat pengembangan Islam ke daerah-daerah lain yang dikuasainya; kedua, Wilayah kekuasaan di luar kraton/ yang disebut “wilayah kadie”, juga wilayah ini milik golongan penguasa di kraton; ketiga, Kerajaan-kerajaan kecil yang memiliki struktur pemerintahan dan masyarakat sendiri serta berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat.

Tarekat yang dianut masyarakat umumnya adalah tarekat Khalwatiyyah Sammaniyah, serta ajaran al-Ghazali.

Yusuf, Munzirin. (Ed. Dkk). Dosen Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka, 2006).

Buku ini ditulis oleh beberapa penulis, tentang sejarah Islam di beberapa wilayah di Indonesia, mulai dari masa awal menjelang kedatangan Islam, timbulnya kerajaan-kerajaan Islam, sejarah pendidikan, ekonomi dan intelektual, masa perjuangan hingga Islam kontemporer. Data para penulis tidak disertakan di dalamnya.

Z

Zed, Mestika. Lahir 19 September 1955 di Batuampar, Payakumbuh. Dosen jurusan sejarah Universitas Negeri Padang sejak 1982. Ia menyelesaikan sarjana Jurusan Sejarah UGM, Yogyakarta 1980, pernah menjadi ketua MSI cabang Sumatera Barat (1993-2001), melanjutkan S2 sejarah di Vrije Universiteit, Amsterdam 1981-1983, lalu mengambil program penyetaraan di UI (1984), dan meraih gelar doktor sejarah, dengan spesialisasi sejarah sosial dan ekonomi pada jurusan Niet-Westerse Geschiedenis (jurusan sejarah non-barat), Faculteit de Social-Cultuur Wetenschappen (Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya), Vrije Universiteit, Amsterdam 1991.

Karyanya antara lain: Kepialangan, Politik dan Revolusi: Palembang 1900-1950,(Jakarta: LP3ES, 2003).

Zed mengulas mengenai kepialangan, politik dan revolusi di Palembang pada paruh pertama abad ke-20, sebagai sejarah modern. Secara khusus ia mengungkap daerah ekonomi yang cukup penting di Indonesia. Menurut catatan Audrey Kahin, dalam pengantarnya untuk buku ini, setidaknya pertama pengaruh geografis wilayah dan sumber-sumber daya alam yang dimainkan sejarah nasional tingkat lokal, dan kedua keterkaitan antara perdagangan, agama, pendidikan dan politik dalam perjalanan pergerakan nasional Indonesia pada masa akhir kolonial Belanda.

Zuhdi, Susanto. Lahir 4 April 1953 di Banyumas. Lulus Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) Jurusan sejarah tahun 1979, kemudian mengikuti pendidikan sejarah di Vrij Universiteit di Amesterdam dan Rijks Universiteit di Leiden tahun 1988-1991. Ia memperoleh M.Hum. bidang sejarah dari program Pascasarjana UI tahun 1991, dan meraih gelar doktor bidang sejarah UI 1999. Ia mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia jurusan Sejarah, lektor Kepala, lalu tahun 2001 ia menjabat Kepala Dir. Sejarah pada Dep. Keb dan pariwisata, dan pada tahun itu juga ia terpilih sebagai Ketua III Masyarkat Sejarawan Indonesia (MSI).

Karyanya: “Perjanjian Linggarjati dilihat oleh Beberapa Surat Kabar Lokal di Jawa” dalam AB Lapian dan PJ Drooglever, (ed.) Menelusuri Jalur Linggarjati (Jakarta: Grafiti, 1992); Ia menyunting buku bersama Edi Sedyawati, Arung Samudra: Persembahan Sembilan Windu AB Lapian, (Depok: LP UI, 2001); Labu Rape Labu Wana: Sejarah Butun Abad XVII-XVIII,( ); Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa (Jakarta: KPG, 2002).

Bukunya Cilacap, diangkat dari tesis, mengisahkan tentang pelabuhan Cilacap. Cilacap pada mulanya merupakan pelabuhan yang nyaris terlupakan yang ada di kawasan selatan Jawa. Pemerintah Hindia Belanda merombak pelabuhan Cilacap menjadi pelabuhan modern dengan dilengkapi pembangunan jalan kereta api, terutama ketika diberlakukannya Sistem Tanam Paksa (cultuur stelsel) pada tahun 1830 dan UU Agraria (agrarische wet) tahun 1870. Selain karena faktor alam, juga alasan mengembangkan Cilacap adalah sebagai lokasi yang dekat dengan kawasan subur yang menjadi tempat berlakunya tanam paksa, mulai dari daerah Priangan, Cimahi sampai Banyumas.

Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Cilacap pelabuhan modern yang memungkinkan komoditas pertanian laku jual dari daerah itu diekspor ke pasar dunia. Namun, pamor pelabuhan Cilacap tak bertahan lama, karena kalah bersaing dengan pelabuhan di kawasan pantai utara pulau Jawa.

Zuhri, Saifudin. Lahir 1 Oktober 1919 di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah dan wafat di Jakarta 25 Februari 1986. Ia dikenal sebagai ulama dan politikus. Sebagai seorang otodidak ia banyak mempelajari dan mendalami berbagai disiplin ilmu. Pada tahun 1964 diangkat sebagai guru besar dalam bidang dakwah di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di samping itu, ia pernah menjabat Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), anggota DPR, wartawan, Sekjen PBNU, dan sebagai Menteri Agama (1962-1967).

Ia pun banyak menulis, di antaranya: Berangkat dari Pesantren (Jakarta: G Agung, 1987); Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974, 2001); Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1979).

Buku Sejarah Kebangkitan Islam tulisan Kiai Zuhri menguraikan mengenai ulama di dunia Muslim dari abad ke-7 hingga abad ke-19 di Nusantara, dan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Mengenai kedatangan Islam ke Indonesia, penulis mengatakan bahwa, sukar memperoleh kepastian mengenai waktu datangnya Islam ke Indonesia. Namun, penulis yang sempat menghadiri seminar tentang Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia pada (17-20) Maret 1963 di Medan yang dihadiri para ahli seluruh Indonesia mengatakan, bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad 1 Hiriyah (7/8 M) dan langsung dari Arab.

Buku ini tidak hanya membicarakan tentang Islam di pulau Jawa, tetapi juga perkembangan Islam di wilayah lain disinggung, seperti di Maluku, Kalimantan dan Sulawesi.

Profile

Luay,  Belajar sejarah dan pernah menjadi anggota MSI Cab. Yogyakarta.

INDEKS

A

Abduh, Muhammad
Abdullah, Taufik
Abdurachman, Paramita R.
Abeyasekere, Susan
Adam, Asvi Warman
Adam, Cindy
Agung, Ida Anak Agung Gde
Alam, Rudy Harisyah
Alatas, Sayyid Hussein
Alfian
Alfian, Tengku Ibrahim
AlGadri, Hamid
Ali, Muhammad
Alwi, Des
Ambary, Hasan Muarif
Amran, Rusli
Andaya, Leonard Y
Anderson, ROG
Anshari, Endang Saefudin
Anwar, Rosihan
Aqsha, Darul
Ardana, I Ketut
Arroisi, Abdurrahman
Asyri LA, Zul
Atjeh, Aboebakar
Atmakusuma
Azra, Azyumardi

B

Baried, Baroroh
Barton, Greg
Batutah, Ibnu
Baudet, H.
Benda, HJ
Bizawie, Zainal Milal
Blusse, Leonard
Boland, Bernard Johan
Booth, Anne
Braginsky, Vladimir I
Bruinessen, Martin van
Burger, DH

C

Carey, Peter
Chauvel, Richard
Clombijn, Freek
Cribb, Robert Bidson

D

Dahm, Bernhard
Damais, LCh.
Darban, Ahmad Adaby
van Dijck, Cornelis
Djamal, Murni
Djamhari, Saleh A.
Djaya, Tamar
Djayadiningrat, Hoesein
Djuned Poesponegoro, Marwati
Drewes, GWJ
Dunn, Ross E

E

Ekadjati, Edi S

F

Fang, Liaw Yock
Federspiel, Howard M
Feillard, Andree
Feith, Herbert
Firdaus, AN
Foulcher, Keith
Frederick, William H

G

Gajahnata, KH.O
Gonggong, Anhar
Goto, Ken ‘Ichi
de Graaf, Hermanus Johannes
Green, Marshall
Guillot, Claude

H

al-Hadad, al-habib Alawi bin Thahir
Hamid, Abu
Hamka
Hanifah, Abu
Hanna, Willard A.
Harvey, Barbara Silklar
Hatta, Mohammad
Hendriatmo, Anton Setyo
Hisyam, Muhamad
Hoesein, Rushdy
Hooker, Virginia Matheson
Hurgronje, Christiaan Snouck

I

El-Ibrahimi, M Nur
Ingelson, John
Iskandar, Mohammad
Isma’il, Ibnu Qoyim

J

Jackson, Karl D

K

Kahin, Audrey Richey
Kahin, George McT
Karim, M Rusli
Kartodirdjo, Sartono
Katoppo, Artides
Keesing, Elisabeth
K.H., Ramadhan
Khuluq, Lathiful
Kumar, Ann
Koningsveld, P.S
Kunio, Yoshihara
Kuntowijoyo
Kurasawa, Aiko
Kutoyo, Sutrisno
Korver, APE

L

van Langenberg, Michael
van Leur, JC.
Lapian, A.B
Larson, George D
Lebra, Joyce C
Legge, John D
Leirissa, RZ
Lev, Daniel S
Lohanda, Mona
Lubis, Abu Bakar
Lubis, Mochtar
Lubis, Nabilah
Lubis, Nina Herlina
Lukas, Anton E
Luth, Thohir

M

Ma’arif, A. Syafii
Maharyono
‘Malley, William JO
Mangunwijaya. YB
Mani, Shri PRS.
Mansur
Matanasi, Petrik
Mattulada
Maxwell, John
McVey, Ruth T
MD, Sagimun
Moedjanto, G
Moertono, Soemarsaid
Morris, Eric Eigene
Mr’azek, Rudolf
Muhammad, Syhril
Mukhlis
Mulyanto, RI

N

Nakamura, Mitsuo
Nagazumi, Akira
Naquib al-Attas, Syid
Nasution, Abdul Haris
Nasution, Adnan Buyung
Natalie, Mobinie Keshesh
Navis, Ali Akbar
Nazwar, Akhria
van Niel, Robert
Noorduyn, J
Nordholt, Henk Schulte

O

Ong Hok Ham
Ongodharma-Untoro,  Hariyanti

P

Pane, Sanusi
Parlindungan,Mangarj Onggang
Peeters, Jeroen
Pigeaud, TH
Pijper, GF
Poeze, Harry A
Pringgodigdo, AK
Puar, Yusuf Abdulla
Purwanto, Bambang

Q

al-Qurtuby, Sumanto

R

Railon, Francois
Raffles, Thomas
Rahim, Husni
Rasyad, Amiduddin
Reid, Anthony
Resink, Gertudes Johan
Roeder, OG
Roem, Mohamad
Romein, Jan
Rosidi, Ajip
Roosa, John
Rush, James R

S

Sagimun, MD
Scherer, Savitri Prastiti
Saksono, Widji
Salam, Solichin
Setyanto, Agus
Sapija, M
Schrieke BJO
Sen, Tan Ta
Sewang, Ahmad M
Soekiman, Djoko
Shahab, Alwi
Shiddiqi, Nourouzzaman
Shihab, Alwi
Shiraishi, Takashi
Simatupang, TB
Siregar, Amir Effendi
Slametmulyana, Benediktus
Smith, Edward Cecil
Sulistyo, Hermawan
Sumalyo, Yulianto
Sumarkidjo, Atmadji
Sumardjan, Selo
Suminto, H. Akib
Suraputra, D Sidik
Suratmito, Lilie
Suroyo, AM Djuliati
Suryadinata, Leo
Suryanegara, Ahmad Mansyur
Suryawan, I Ngurah
Suryo, Djoko
Suryomihardjo, Abdurrachman
Sutomo (Bung Tomo)
Suwarno, PJ
Suyono, RP
Syaifullah
Syamsuddin, Nazaruddin
Syamsudin

T

Tanzil, Hazil
Teeuw, Andries
Thosibo, Anwar
Tjandrasasmita, Uka
Toer, Pramudya Ananta
Tobing, KML
Tsuchiya, Kenji
Tudjimah

U

Usman, A Rani
Umar, Muin

V

Veer, Paul Van’t
Veur, Paul van der
Vlekke, Bernard

W

Wardaya, Baskara T
Widyosiswoyo, Supartono
Wie, Thee Kian
Wertheim, WF
Wijayakusuma, M Hembing
Wijayati, Putri Agus
Williams, Michael C

Y

Yamin, M
Yuanzhi, Kong
Yunus, Abd Rahim
Yusuf, Munzirin

Z

Zed, Mestika
Zuhdi, Susanto.
Zuhri, Saifudin

___________

Tentang luaydpk

on history..... "masa kini dan masa lampau akan muncul di masa depan..." ts eliot (the present and the past will appear in the future)
Pos ini dipublikasikan di Indonesia, Sejarawan dan tag , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

9 Balasan ke SEJARAWAN DAN KARYANYA

  1. fitriyani berkata:

    Dimana ya tempat menjual buku Cilacap 1930-1942 bangkit dan runtuhnya suatu pelabuhan di Jawa, karangan Susanto Zuhdi?

  2. Chaerul Mundzir berkata:

    Wah luarbiasa postingannya, sangat membantu bibliografi sejarah. sekali lagi thanks

  3. Billynirwan berkata:

    mantap mas….

  4. Dildaar AD berkata:

    masya Allah. keren.

Tinggalkan komentar