Makna Jihad
Islam, berarti damai, dan penyerahan diri secara tentram dengan sepenuhnya terhadap kehendak Allah—tanpa perlawanan. Ajarannya yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits, tidak terdapat ajaran untuk melakukan kekerasan untuk mengancam masyarakat. Nabi Muhammad SAW adalah teladan terbaik, dan bersama para sahabatnya, bagaimana Islam dipraktekkan. Dalam berdakwah, beliau tidak melakukan pemaksaan. Dan dalam banyak hal beliau menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat secara bijaksana. Dalam keluarga beliau mempraktekkan kasih dan sayang. Hal ini dapat kita baca dengan jelas dalam sejarah kehidupannya, yang banyak ditulis sejarawan.
Secara ideal Islam mengutamakan kedamaian. Namun, umat Islam tidak tinggal diam jika dianiaya dan diusir dari kampung halamannya. Saat inilah diperintahkan untuk melawan musuh yang dhalim, tetapi bila musuh telah kalah, tidak dibenarkan melampaui batas. Seperti merusak tempat ibadah atau menganiaya musuh, membunuh ibu-ibu dan kanak-kanak dsb. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. ”(QS 2: 190) Inilah perintah berperang yang disebut qital.
Tetapi kata jihad, mempunyai makna beragam, bergantung pada konteksnya. Terjemahan ke dalam bahasa Inggris menjadi holy war (perang suci) adalah reduksi dari maknanya yang luas. Demikian menurut Ensiklopedia Al-Quran: “Istilah jihad dalam berbagai bentuknya terulang 41 kali dalam Al-Quran. Jihad berasal dari kata juhd dan jahd, berarti kekuatan, kemampuan, kesulitan, dan kelelahan… Kata jihad yang mengandung pengertian berjuang di jalan Allah, ditemukan pada 33 ayat. 13 kali dalam bentuk fiil madi, 5 kali kali dalam bentuk fiil mudhari, 7 kali dalam bnetuk amr (perintah), 4 kali dalam bentuk masdar, dan 4 kali dalam bentuk isim fiil. Jihad mengandung pengertian yang luas, yakni perjuangan secara total yang meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya perang fisik atau mengangkat senjata terhadap para pembangkang atau terhadap musuh (At-Taubah 9: 73 dan At-Tahrim 66: 9).
Perintah berjihad dengan menggunakan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia disebutkan pula dalam Al-Hajj 22: 78 “[Dan berjuanglah untuk Allah dengan sungguh-sungguh.]” Hal ini bahwa jihad merupakan puncak segala aktivitas.”1
Pengertian yang demikian luas tidak dapat direduksi hanya dengan arti perang, dan apalagi dengan melawan musuh yang tidak jelas. Padahal, perang dalam Islam telah diatur syariah. Dan tidak untuk melakukan perusakan atau penjajahan seperti banyak dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, dan belakangan Amerika.
Macam -macam Makna Jihad
Dari pengertian yang dikutip di atas, kata jihad mengandung banyak pengertian, tidak hanya dipahami dalam arti perjuangan fisik (perang). Pengertian ini hanya bagian kecil dari perang yang lebih besar. Sebagaimana kata Nabi SAW:
“Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yaitu melawan hawa nafsu”
Berjihad melawan musuh yang nyata (secara fisik) lebih mudah daripada berperang dengan musuh yang tidak tampak. Setan, adalah musuh manusia yang tidak tampak oleh mata (ghaib), yang sejak awal adanya manusia hingga akhir zaman (kiamat) akan selalu menggoda, merayu dan mengajak manusia ke jalan yang sesat, seperi dalam Al-Quran (Al-A’raf: 16-17)
Setan mengganggu orang yang lengah dari mengingat Allah (dzikir). Bila ia ingat, setan akan menjauh. Dan setan akan mendekat kembali jika ia lengah, dan begitu seterusnya. Ini pun termasuk jihad.
Pengertiannya tidak terbatas hanya melawan musuh dengan senjata dan hawa nafsu. Namun, masih ada pengertian yang lain, yaitu memberantas kebodohan, kemiskinan, penyakit dan sebagainya. Jadi, berjihad sesuai dengan peran masing-masing, sebagai dokter, ilmuwan , pendidik, pedagang, petani atau dai.2 Menghindarkan diri dari jebakan lingkaran korupsi, juga –bisa jadi–termasuk jihad. Memang jihad harus kita fokuskan pada masalah real bangsa ini, dan masa depannya.
Apakah Aksi Terorisme Termasuk Jihad?
Paraulama sepakat bahwa terorisme bukan jihad. Dan jihad tidak sama dengan terorisme, seperti pengertiannya yang telah disinggung di awal. Sedangkan terorisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: “Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).”3 Ia juga sebagai ideologi yang tidak terdapat dalam ajaran Islam. Tentu saja oknum-oknum yang melakukan aksi-aksi kekerasan semacam itu bukan khas umat Islam, tetapi ada pada setiap agama di dunia. Inilah bentuk penyelewengan yang mengatasnamakan agama. Di lain pihak, Islamphobia pun bisa menimbulkan teror bagi penganutnya.
Dr. Yusuf Qordhawy, ulama yang produktif menulis dan berdakwah, dalam suatu konferensi tingkat tinggi Islam-Kristen di Roma, Oktober 2001 mengatakan: “…dengan tegas kita menolak terorisme, yang membuat kesusahan masyarakat, dan membunuh para sipil tak berdosa. Tetapi perlu dicamkan, bahwa kita sama sekali tidak menyebut teroris kepada mereka yang mempertahankan tanah leluhur dan kehormatannya. Sangat tidak adil dan merupakan kezhaliman, apabila menuduh mereka dengan teroris. Bahkan, perlawanan mereka merupakan suatu kewajiban.”4
Dapat kita pahami apa yang dinyatakan Qordhawy, bahwa mempertahankan tanah air dan kehormatan adalah sesuatu yang lain, bukan merupakan aksi terorisme. Ia membuat garis yang tegas antara apa yang disebut jihad dan terorisme. Hal demikian berbeda dengan apa yang ditulis oleh media Barat. Ulama kita memandang persoalan itu secara obyektif, tetapi pers Barat penuh bias dan prasangka, serta tidak adil, terutama yang berkaitan dengan Islam.
Sebagai contoh kasus, ketika terjadi serangkaian bom di Omagh, Irlandia Utara, Agustus 1998, dan Real IRA sebagai kelompok yang bertanggung jawab. Pers Barat tidak membawa-bawa agama kelompok ini. Namun, ketika kantor-kantor kedutaan Amerika hancur karena bom pada saat yang sama, media menyebutnya sebagai serangan teroris “Islam”. “Artinya, dalam kasus Islam, media menyamakan aksi kekerasan dengan sebuah agama; tepatnya, mereka menyamakan peradaban Islam dengan teroris,” kata Akbar S. Ahmed.5
Bias negatif Barat tersebut tidak akan muncul bila Barat, terutama media Amerika, memandang Islam secara obyektif, dan tidak melakukan standar ganda.
Qordhawy juga mencoba memberi solusi, bahwa, “Langkah pertama yang kita ambil dalam perang melawan terorisme adalah membetulkan pemikiran dan pemahaman yang salah serta sesat. Bukan dengan kekerasan, kecuali pada tahap-tahap tertentu. Karena kekerasan tersebut akan menambah keteguhan sikap mereka. Oleh karena itu, saatnya para pemikir, dai dan para pendidik untuk bertindak dan berbuat. Meluruskan pemikiran-pemikiran yang menyeleweng dan membetulkan perilaku-perilaku yang salah.”6
Kasus Terorisme Indonesia
Persoalan terorisme di Indonesia dipandang oleh sementara kalangan (pemerintah) tidak jauh berbeda dengan kaca mata pers Barat (atau mungkin kepentingan Barat?) Para teroris (pelaku bom bunuh diri) yang kebetulan beragama Islam dan konon pernah “nyantri”, adalah biang keladinya. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa yang perlu diawasi institusi pesantrennya. Karena, pesantren (tertentu–diduga) telah mengajarkan tentang kekerasan (ekstrimisme). Atau jelasnya, institusi itu telah memproduksi teroris. Inilah pandangan yang hanya dengan praduga, naif dan salah kaprah yang harus kita tolak!
Ada yang bertanya, mengapa kalau soal terorisme mereka berkesimpulan bahwa pesantrenlah (sebagai almamater) yang harus diawasi, dan bahkan perlu direvisi kurikulumnya, tapi tidak soal korupsi? Bila banyak koruptor di negeri ini adalah lulusan perguruan tinggi, apakah institusi yang melahirkannya yang perlu diawasi? Kebijakan ini—bila dilaksanakan—tentu tidak adil. Sebab, kebijakan yang benar hanya akan melihat pada oknumnya (individu). Dan memang perlu diluruskan juga, bila ada pengajaran Islam yang tidak tepat atau menyeleweng.
Jadi, untuk membunuh sang tikus bukan lumbungnya yang kita hancurkan! Sebab, lumbungnya pasti banyak dibutuhkan orang.
Mengawasi pesantren, karena ada para pelaku yang pernah nyantri adalah suatu tindakan konyol. Sebab, pesantren di Indonesia telah mempunyai sejarah yang panjang, dan selama itu pula, pesantren tidak pernah melahirkan para teroris! Justru dari pesantren banyak tokoh Islam muncul yang ikut berjasa membangun negeri ini, di awal kemerdekaan. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa tidak boleh buta pada sejarah bangsa sendiri, terutama sejarah pesantren!
Saya kira akan lebih baik bila para pengambil keputusan (pemerintah) dalam mencari penyelesaian soal terorisme di Indonesia, tidak memojokkan pesantren. Tetapi bagaimana pendidikan keagamaan Islam di Indonesia, khususnya di pesantren, agar ditingkatkan kualitasnya lebih baik. Dan lebih jauh, segala aspek yang menyangkut kemajuan pendidikan Islam diperbarui, atau sistemnya diperbarui. Sebab, dengan pengetahuan Islam yang memadai seseorang lebih mungkin untuk tidak terjerumus ke jalan yang sesat.
Peran agama di abad modern ini, tidak semakin surut, namun justru semakin berkembang dan diperhitungkan. Peranannya diperhitungan untuk membimbing manusia menuju abad baru yang penuh tantangan. Agama adalah tempat kembali ketika manusia mengalami kegersangan spiritualitas.
Renungan
Aksi terorisme bukanlah jihad. Jihad mempunyai makna yang luas. Jihad yang berarti perang hanyalah satu makna dari sekian makna yang cukup luas. Perang dalam Islam, tidak begitu saja dilaksanakan tanpa memperhatikan syariah. Jadi, seseorang atau sekelompok orang tidak bisa mengklaim dirinya berjihad, kalau tindakannya adalah berupa terorisme. Memang kata Sardar, “Jihad harus dipahami dalam makna spiritualnya secara utuh dalam rangka perjuangan mewujudkan perdamaian dan keadilan sebagai realitas yang hidup bagi semua orang, di manapun mereka berada.”7
Ia menggugah umat muslim untuk berjihad, dan tidak mengubah syariah menjadi fosil, yang berpotensi mematikan peradaban Islam. Oleh karena itu, lebih lanjut ia mengatakan, “Rekonstruksi peradaban muslim dimulai dengan membebaskan syariat dari cengkraman yang mematikan ini dan memberinya status yang layak dalam lingkup peradaban muslim, yakni sebagai metodologi pemecahan-masalah yang dinamis, yang menyentuh segenap aspek aktivitas manusia.”8
Sementara John L. Esposito berpesan pada masyarakat Barat, dengan mengingatkan: ”Tantangan kita adalah untuk memahami sejarah dan realitas dunia Islam. Jawaban untuk citra modernitas kita bahwa Islam itu mengancam, adalah menyadari keragaman dan banyaknya wajah Islam. Ini mengurangi resiko menciptakan nujuman yang bakal terbukti yang meramalkan pertempuran Barat lawan Islam radikal atau benturan peradaban…”9
Dan kita semua, tidak akan pernah hidup damai, jika kita tidak menahan nafsu berperang atau melakukan kerusakan di muka bumi ini. Perdamaian dunia yang kita harapkan hanya akan menjadi ilusi, bila hari ini, dan di masa-masa mendatang, kita tidak saling menahan diri dan saling memahami dengan dialog, atau menyadari bahwa kita beragam. Bahwa kita tidak diciptakan seragam dalam agama, budaya, ras, dan bahasa atau pikiran, perasaan dan angan-angan. Waallahu a’lam.
Depok, 16 – 12- 2005
luay-peminat buku
Sumber Acuan