Judul asli : The History of The Quranic Text: from Revelation to Compilation
Penulis : Prof. Dr. M.M. Al-A’zami
Penerjemah : Sohirin Solihin dkk.
Penerbit : Gema Insani,Jakarta, 2005
Tebal : xxxviii+ 414 hlm.
SEJARAH TEKS AL-QUR’AN:
Upaya Menolak Wacana Qur’an Orientalis
Edward W. Said adalah pengritik yang gigih terhadap orientalisme. Kegigihannya dibuktikan dengan mengkaji berbagai karya para orientalis yang hasilnya kemudian menjadi buku Orientalisme. Buku itu telah berhasil membongkar orientalisme secara mendasar. Namun, kehadiran buku itu, kata Amien Rais suatu kali, belumlah meruntuhkan sendi-sendi orientalisme secara keseluruhan.
Memang telah banyak sarjana muslim dan para islamisis tampil menjelaskan tentang Islam yang diselewengkan dan dilecehkan, tetapi lagi-lagi tak mampu menembus mereka. Seakan-akan pembelaan mereka membentur dinding hegemoni Barat yang kuat. Namun, sedikit demi sedikit mulai terkuak kebenaran dan modus mereka. Adalah Prof. MM. Al-A’zami dengan kapasitas keilmuan Islam yang handal dan wawasan Baratnya ia menulis buku Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasi.
Ketika sedang menulis karyanya ia mendapati sebuah artikel, yang katanya “yang ditulis oleh seseorang yang namanya tak pernah saya dengar sebelumnya.” Artikel itu mengangkat mengenai asal usul keaslian dan integritas Al-Qur’an, yang dikatakan oleh penulisnya bahwa “Al-Qur’an ada dalam lingkaranperubahan…” Penulisnya Toby Lester. Kendati Lester tidak pernah belajar Islam secara khusus, hanya dari pengalaman sebagai wartawan, hal itu tidak menghalanginya untuk membuat perdebatan. Pendapatnya itu, kata A’zami, memberi isyarat pada pihak lain bahwa pendekatannya semata-mata akademik dan jujur. (h. 2)
Seperti kebanyakan orientalis Barat tidak menyurutkan mereka untuk mengatakan sesuatu mengenai Islam di luar kapasitas keilmuan mereka. Di samping itu juga banyak karya orientalis lahir dari kebencian mereka terhadap Islam, sehingga tidak dapat diharapkan muncul gambaran Islam yang utuh dan benar, sebagaimana yang terlihat dari beberapa pernyataan mereka yang dikutip A’zami.
A’zami yang pernah mendapat penghargaan Raja Faisal Award, mencurahkan studinya tentang kompilasi Al-Qur’an dan mengkritisi karya-karya para orientalis tentang Al-Qura’an. Namun, dalam bukunya ini ia juga mengulas mengenai kompilasi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai perbandingan — tentunya untuk menguji otentisitas wahyu (kitab) dari tiga tradisi agama samawi di hadapan standar ilmiah. Ia juga berusaha menolak keilmuan orientalis yang mereka klaim sendiri sebagaibernilai akademik. Padahal yang sesungguhnya karya mereka banyak kebohongan dan prasangka negatif.
Dalam buku ini penulis melihat ada empat pintu gerbang yang digunakan mereka dalam menyerang Al-Qur’an. Pertama, menghujat penulisan dan kompilasinya. Pihak mereka mempertanyakan, mengapa jika Al-Qur’an telah ditulis sejak zaman nabi Muhammad saw. Umar merasa khawatir dengan kematian para penghapal (huffaz) Qur’an? Hal ini, sanggahnya, tentang hukum persaksian. (h. 339) Pintu gerbang kedua, masuknya serangan terhadap Al-Qur’an melalui perubahan secara besar-besaran studi keislaman menggunakan peristilahan orang Barat. Penulis menunjuk karya Joseph Schackt, Introduction to Islamic Law. Susunan dalam karya ini sengaja diperkenalkan ia hendak mengubah hukum Islam pada hukum Romawi yang tidak berkaitan sama sekali. (h. 340)
Pintu gerbang ketiga dalam menyerang Al-Qur’an, sebagai perulangan tuduhan yang diarahkan kepada Islam, yang dikatakan, hanya merupakan pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen. “Doktrin Islam secara umum, bahkan ketokohan Muhammad, dibangun di atas prototipe kependetaan agama Yahudi, ” kata Wansbrought, seperti dikutip penulis. Dan terakhir, mereka hendak memalsukan Al-Qur’an itu sendiri. Nama orientalis lain, seperti Flugel ingin mengubah teks-teks Al-Qur’an berbahasa Arab namun gagal, karena tidak diterima oleh kaum muslimin. Lalu Regis Blachere menerjemahkan Al-Qur’an ke bahasa Prancis dengan menyisipkan dua ayat palsu khayalannya. (h. 343-4)
Itulah karya kritis A’zami dalam menolak wacana tentang Qur’an dari para orientalis. Dan jika dirunut ke belakang sejak orang-orang Barat melakukan penjajahan, sejak saat itu pula banyak orientalis melakukan penyelewengan dengan berusaha mengaburkan sumber-sumber Islam. Hanya saja pada saat ini mereka lebih spesifik dalam kajiannya, terutama yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Dan di akhir tulisannya –untuk mengingatkan para sarjana muslim– A’zami mengutip Ibnu Sirin (w. 110 H), “Ilmu ini [mengenai agama] menjelma atau merupakan keimanan, dari itu, berhati-hatilah dari siapa anda belajar ilmu itu.”
Memang, tidak semua sarjana Barat berpandangan negatif terhadap Islam, di antaranya seperti Animarie Scimmel, John L Esposito, dan lain sebagainya. Mereka ini menulis Islam sesuai dengan persepsi kaum muslim. Jadi mereka bersikap netral, obyektif dan jujur.
Buku ini diberi izin langsung untuk diterjemahkan dari penulisnya melalui Prof. Kemal Hasan dari UIIMMalaysia. Hasil terjemahan karya ini diteliti oleh pembaca ahli Prof. Ali Mustafa Yakub. Jadi, kita tidakusah ragu untuk membaca buku ini baik yang berkaitan dengan redaksinya maupuin isinya. Juga buku ini sangat penting sebagai refrensi mengenai kajian Al-Quran dan perbandingannya dengan kitab-kitab lain.
Depok, 2006
Lu’ay
_______________________________________________________________________________________
Judul asli : Who Speaks for Islam?
Penulis : John L. Esposito & Dalia Mogahed
Penerjemah : Eva Y. Nukman
Penerbit : Mizan,Bandung, 2008
Tebal : 252 hlm.
SAATNYA MUSLIM BICARA!
Opini umat Muslim tentang Islam, Barat, Kekerasan, HAM,
dan Isu-Isu Kontemporer lainnya.
Mungkin Anda sudah pernah membaca berbagai ulasan pers dan analisis sarjana Barat mengenai Islam dan umat Muslim yang negatif.Namun, sebenarnya suara mereka itu mewakili siapa? Sebab yang sering terjadi adalah ulasan dan analisis mereka hanya berdasarkan asumsi bukan suara umat Muslim sendiri yang tersebar di berbagai benua dengan berbagai bangsa, bahasa, tradisi dan madzhab.
Pers dan para pengamat Barat menganggap bahwa umat Muslim itu monolitik yakni dengan ungkapan, Islam itu Arab dan Arab pasti Islam. Mereka hanya melihat bahwa Islam itu identik dengan orang Arab, dan mereka sepertinya sulit untuk membedakan antara keduanya. Maka, kehadiran buku Saatnya Muslim Bicara! yang ditulis oleh Prof. John L. Esposito,seorang pakar di bidang kajian Islam yang dikenal simpatik terhadap Muslim dan Dalia Mogahed, Direktur Eksekutif Gallup Center untuk kajian Muslim, sangatlah tepat untuk menjernihkan opini Barat tentang Islam dan kaum Muslim selama ini, terutama setelah peristiwa serangan WTC 11 September 2001 diNew York danWasingthonDC. Amerika Serikat.
Kedua penulis tersebut menulis berdasarkan data dari lembaga riset raksasa Gallup World Poll, yang memakan waktu bertahun-tahun, antara 2001 sampai 2007. Gallupmelakukan puluhan ribu wawancara, tatap muka satu jam, terhadap warga yang tinggal di lebih dari 35 negara berpenduduk mayoritas Muslim. Sampel mewakili tua dan muda, berpendidikan dan buta huruf, perempuan dan laki-laki, dan dari perkotaan maupun pedesaan. Dengan metode pencuplikan (sampling) acak yang digunakanGallup, secara statistik hasilnya absah dengan margin kesalahan antara plus 3 atau minus 3 poin. Secara keseluruhan,Gallup melakukan survey terhadap sampel yang mewakili lebih dari 90 % kaum Muslim dunia yang jumlahnya 1,3 miliar. Ini membuatnya kajian terbesar dan paling mencakup yang pernah dilakukan terhadap kaum Muslim kontemporer.
Setelah mengumpulkan data berlimpah yang mewakili pandangan mayoritas kaum Muslim,Gallupmencermati data itu untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang diajukan banyak orang, di antaranya: Mengapa terjadi gelombang anti-Amerika di dunia Muslim? Siapa para ekstrimis itu? Apakah kaum Muslim menginginkan demokrasi, dan bila ya, demokrasi macam apa? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh perempuan Muslim? Dan masih banyak lagi berbagai pertanyaan. Dengan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan itu, buku ini sebenarnya membiarkan data yang terkumpul memberikan jawabannya.
Dari jawaban-jawaban yang ditemukan bahwa kaum Muslim membenci Barat dan terutama Amerika bukan karena demokrasi, kebebasan, budaya, nilai dan kemajuan teknologi Barat, namun lebih kepada kebijakannya politik luar negeri; kaum Muslim tidak mendukung kekerasan; kaum Muslim pun menginginkan demokrasi, tetapi demokrasi yang tidak persis sama dengan Barat; perempuan Muslim juga menginginkan persamaan hak. Dengan berbagai jawaban yang dikemukakan tersebut menepis anggapan umum di Barat, terutama ulasan pers dan para pakar Barat, dan sekaligus suara kaum Muslim tersebut menambah wawasan baru.
Wawasan baru bagi masyarakat dunia yang ditulis dalam buku ini menolak mitos yang didengung-dengungkan oleh pers Barat dan para pakar seperti Bernard Lewis dan Samuel Huntington, bahwa akan terjadi perbenturan peradaban antara Muslim dan Barat. Sebagai contoh kasus, ketikasuratkabarDenmarkpertama kali menyebarkan tentang karikatur nabi Muhammad yang di kepalanya terdapat bom, dan diikuti olehsuratkabar lainnya di Eropa, umat Islam di berbagai belahan dunia protes dan menunjukkan kemarahan. Di sini timbul pertanyaan, apakah memang kaum Muslim tidak mengerti tentang kebebasan berpendapat, ataukah ini sebagai benturan peradaban/ budaya?
GallupWorld Poll menyuguhkan data yang bermanfaat untuk memeriksa realitas dari penyebeb kemarahan kaum Muslim yang tersebar luas. Sebagaimana yang telah kita lihat, keluhan utama di kalangan umat Muslim adalah bahwa Barat menyamakan Islam dengan terorisme. Karikatur itu tidak mengolok-olok teroris seperti Osamah bin Laden atau Abu Musa Al-Zarqawi, namun sebaliknya malah memilih melecehkan Nabi Muhammad yang mulia, yang bagi kaum Muslim merupakan sumber teladan dan nilai-nilai dalam kehidupan, dalam cara yang terlihat sebagai serangan langsung terhadap Islam dan menistakan keyakinan itu. (h. 182)
Data Gallupmenunjukkan, yang ternyata berbeda dengan pandangan kebanyakan masyarakat Barat selama ini, bahwa kaum Muslim menunjukkan kekaguman terhadap kemerdekaan dan kebebasan berpendapat di Barat. Di buku ini ditulis, “Masalah inti dari “benturan” atau “perang budaya” ini bukanlah demokrasi dan kebebasan berpendapat, melainkan iman, identitas, respek (atau tiadanya respek), dan penghinaan publik”. Dan mengutip perkataan Rabi Agung Prancis, Joseph Sitruk, di Associated Press di tengah kontroversi karikatur tersebut: “Tidak ada yang kita peroleh dari meremehkan agama, menghinanya, dan membuat karikatur tentang tokoh-tokoh agama. Hal itu menandakan tiadanya ketulusan dan respek.” Dan lebih lanjut ia mengatakan bahwa kebebasan berpendapat “bukanlah tanpa batas”. (ibid)
Dari data Galluptersebut ditemukan, bahwa ketika kepada kaum Muslim ditanyakan, apa yang menjadi kekaguman mereka terhadap Barat? Jawabannnya adalah demokrasi, kebebasan berpendapat dan kemajuan teknologi. Namun, pertanyaan yang sama diajukan kepada orang-orang di Amerika, atau Barat, mereka banyak yang menjawab tidak ada yang mereka kagumi dari dunia Islam, dan hanya tahu sedikit tentang dunia Islam. Hal ini menunjukkan bahwa kaum Muslim dalam melihat sesuatu secara rasional dan jernih, berbeda dengan saudaranya di Barat yang mengidap Islamofobia.
Buku ini amat penting dibaca untuk mengubah persepsi yang keliru mengenai kaum Muslim dan Islam, terutama bagi pemegang kebijakan, peneliti, mahasiswa atau pun masyarakat umum yang berminat pada kajian Islam dan Barat. Dan buku ini dapat menjadi semacam ‘jembatan dialog’ untuk saling memahami antara umat Muslim dan Barat.
Semangat buku ini semangat penyelidikan ilmiah, dan mendorong pembaca untuk mempertanyakan dan menantang apa yang mereka pelajari, sebagaimana Albert Einstein, “Hal yang terpenting adalah tidak berhenti bertanya”. Dan ia pun mengatakan, “Kita harus mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi, dan bukan mencari apa yang menurut kita sebaiknya terjadi”. Bukankah untuk mencari kebenaran sebaiknya kita terus bertanya?
Depok, 3 – 12- 2008
Lu’ay
Peminat sejarah
______________________________________________________________________________________
Judul : Kontekstualisasi Ijtihad dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
Penulis : Dr. Kh. Ahmad Mukri Aji, MA.
Editor : Nur Rohim Yunus, LLM
Penerbit : Pustaka Pena Ilahi, 2010
Tebal : xvi + 320 halaman
IJTIHAD SEBAGAI SOLUSI UMAT
Buku ini membahas mengenai ijtihad dalam wacana hukum Islam, terutama dalam konteks Indonesia. Tentang ijtihad dapat dirunut dalam sejarah umat Islam. Umat Islam dalam sejarahnya menjadi maju karena ijtihad para ulama berkembang. Hasil pemikiran mereka menjadi penggerak kemajuan umat Islam hingga umat Islam mencapai puncak peradaban yang gemilang. Namun, ketika pintu ijtihad tertutup pada sekitar abad ke-10 dan gerakan intelektual Islam terhenti, maka umat Islam mengalami kemunduran. Mereka terus berkutat dalam kejumudan. Mereka merasa cukup hanya pada pemikiran yang telah ada dan mapan, dan tidak melakukan terobosan.
Terhentinya ijtihad itu karena umat Islam telah merasa puas dengan kejayaan masa lalu dan lebih-lebih ditambah faktor luar, seperti serangan dari kekuatan tentara Monggol yang meluluhlantakan dinasti Abbasiyah pada 1258 M. Lengkaplah alasan untuk tidak melakukan ijtihad sebagai gerakan intelektual Islam dalam menjawab persoalan yang tidak terdapat dalam dua sumber utama Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw.
Namun, bagi pemikir Muslim tercerahkan dalih semacam itu tidak berlaku, maka tampillah para ulama dengan kegairahan intelektual pada abad ke-19 untuk menjawab tantangan zaman yang terus berkembang, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan di anak benua India seperti Muhammad Iqbal, untuk menyebut beberapa nama. Mereka menyuarakan bahwa umat Islam harus berpikir rasional dan tidak terjatuh dalam taqlid buta dan khurafat. Oleh karena itu umat Islam harus menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam.
Untuk menghidupkan tradisi intelektual Islam, maka umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Disinilah peran ulama dibutuhkan untuk menggali kedua sumber tersebut prinsip-prinsip hukum Islam. Berusaha dan berpikir secara sungguh-sungguh untuk mencapai hukum syar’i itulah yang disebut dengan istilah “ijtihad”. Bagi umat Islam ijtihad adalah sebagai pedoman dalam menjawab berbagai persoalan yang belum ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw dan belum pernah ada pada masa Nabi Muhammad Saw. Tantangan modernitas kini sangat membutuhkan peran ulama untuk menghasilkan pemikiran hukum Islam sebagai pedoman masyarakat dalam menjawab berbagai permasalahan yang muncul.
Buku ini mengulas persoalan tersebut. Yang menarik, penulis berusaha membahas mengenai ijtihad secara kontekstual dan khususnya dalam pemikiran hukum Islam di Indonesia. Penulis mengambil contoh ijtihad sahabat Umar bin Khattab, di antaranya bahwa ketika umat Islam telah kuat maka membujuk hati (muallafatu qulubuhum) tidak perlu lagi, bagi peminum khamer di zaman Rasulullah Saw dari 40 kali cambuk ditambah menjadi 80 kali, dan pencuri pada musim kelaparan tidak dipotong tangan. (h. 127-181)
Dalam konteks Indonesia penulis menguraikan pengaruh ijtihad Umar bin Khattab terhadap perundangan negara RI, yakni dalam Undang –Undang Perkawinan No I tahun 1974 dan dalam program Keluarga Berencana (KB). Di dalam UU Perkawinan terdapat pengaturan mengenai pembatasan umur, pencatatan nikah dan pengaturan masalah cerai, dan di dalam program KB terdapat pengaturan mengenai kelahiran. Adanya pengaruh ijtihad Umar bin Khattab dalam Undang-undang tentang perkawinan dan KB tersebut berkaitan dengan kemaslahatan bagi manusia. Kemaslahatan bagi manusia tersebut adalah merupakan hasil pemikiran yang pernah dilontarkan oleh Umar bin Khattab. Dengan demikian, menurut penulis, pada kedua hal tersebut di atas adanya pengaruh ijtihad sahabat Umar bin Khattab.
Inilah di antaranya pengaruh ijtihad Umar bin Khattab dalam konteks Indonesia.
Buku yang ditulis oleh dosen Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini penting bagi sarjana yang berkecimpung dalam dunia hukum dan bagi masyarakat secara umum untuk menambah wawasan pemikiran hukum Islam, terutama tentang ijtihad. Walaupun buku ini sudah baik, namun ada hal teknis yang perlu ditambahkan, yakni indeks nama dan istilah pada halaman belakang.
Depok, 18-12-2010
Lu’ay
Pencinta buku
__________________________________________________________________________________________
Judul : Dalih Pembunuhan Massal
Penulis : John Roosa
Penerjemah : Hesri Setiawan
Editor : Ayu Ratih dan Hilmar Farid
Penerbit : Hasta Mitra
Tebal : xvii + 392
MENGUNGKAP GERAKAN 30 SEPTEMBER
Penulis memperoleh gelar Ph.D. dari Universitas Wisconsin, Medison, AS dengan disertasi berjudul “Nationalism, Communism, Islam in Hyderabad State, India”. Kini sebagai Asisten Profesor di Jurusan Sejarah Uiversity of British Columbia, Vancouver, Kanada.
Dalih Pembunuhan Massal adalah karya hasil penelitian John Roosa mengenai Gerakan 30 September (G 30 S). Ia sengaja tidak menambahkan singkatan PKI di belakang G 30 S. Sebab mustahil menimpakan aksi pada peristiwa itu kepada sebuah organisasi partai yang beranggotakan kurang lebih tiga juta orang. Apakah mereka semua terlibat? Ataukah hanya oknum elit PKI? Atau oknum elit PKI bekerjasama dengan orang-orang tertentu di AD? Semuanya belum jelas betul. Penulis ingin menjernihkan tentang G 30 S dengan hasil penelitian ilmiah, bukan dengan doktrin yang selama ini dijejalkan oleh rezim Orde Baru, yang berdalih bahwa PKI yang menjadi dalang dalam peristiwa nahas tersebut.
Menurut penulis, “Buku ini ditulis berdasarkan anggapan bahwa anggota-anggota PKI sebenarnya manusia, bukan setan, dan memiliki karakter moral yang tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang-orang lain di Indonesia.” Dengan asumsi tersebut penulis belum mengambil kesimpulan apapun mengenai peristiwa G 30 S ketika menulis karyanya, dan ia sebagai sejarawan menghindari hal itu.
Penulis mencatat, jika pasukan Suharto dalam menanggapi G 30 S setimpal, seharusnya mereka hanya menangkap dua belas orang anggota Politbiro PKI yang terlibat, dan begitu juga tokoh-tokoh militer dan sipil yang terlibat dalam G 30 S. Namun, Angkatan Darat memburu setiap anggota PKI dan organisasi masyarakat yang terkait dengannya. Hal itu memperlihatkan bahwa tanggapan AD itu tidak ditetapkan kebutuhannya untuk menumpas G 30 S saja.
Bagi Suharto nama-nama para organisator G 30 S tidaklah penting. Dia dan para perwira AD kliknya mulai membasmi PKI empat hari setelah kejadian, dan bahkan sebelum mereka mendapatkan bukti bahwa PKI yang memimpin G 30 S. Tak masalah mereka tidak menemukan bukti nama-nama orang yang terlibat. Bukti dapat direkayasa oleh AD. Dengan begitu, G 30 S merupakan dalih yang tepat utuk melakukan rencana yang telah ada sebelumnya untuk merebut kekuasaan.
G 30 S tahun 1965-1966 adalah tragedi dalam sejarah Indonesia modern. Dalam peristiwa itu tidak hanya terjadi pembunuhan massal yang diorganisasi oleh Angkatan Darat, namun naiknya para pembunuh, yang memandang wajar mereka melakukan kekejian untuk mengelola tata pemerintahan. Penekanan karya ini pada peristiwa 1 Oktober 1965 dan lanjutannya, bukan hanya tentang siapa yang terlibat.
Buku ini mengungkap hal baru mengenai peristiwa 1 Oktober 1965 atau yang sering disebut G 30 S dan mengoreksi informasi yang selama ini masyarakat Indonesia terima tentng peristiwa itu, karena itu buku ini penting dibaca oleh sejarawan dan masyarakat umum yang berminat pada karya sejarah. Karya ini ditulis bukan hanya berdasarkan data teks, namun juga sumber lisan dari para pelaku yang terlibat.
lu’ay
Peminat buku sejarah