ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Corruption has appeared throughout the land and sea by [reason of] what the hands of people have earned so He may let them taste part of [the consequence of] what they have done that perhaps they will return [to righteousness].” (QS Ar-Ruum: 41)
Abad modern saat ini dengan ditandai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat di satu sisi menimbulkan kemudahan bagi manusia, namun di sisi lainnya mengidap bahaya yang cukup mengerikan, yakni krisis lingkungan. Krisis lingkungan timbul akibat aktivitas manusia yang tak terkendali dalam mengeksploitasi sumber daya alam, terutama oleh negara-negara industri maju. Bahkan untuk memenuhi keserakahannya mereka melakukan kolonisasi dan imperialisasi di negara-negara berkembang, seperti di Asia dan Afrika. Bahkan mereka memperbudak penduduknya untuk mendapatkan tenaga murah.
Dari situlah akar kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam dimulai.
Padahal sumber daya alam, menurut para pakar, suatu saat akan habis. Oleh karena itu saat ini banyak muncul wacana tentang energi alternatif yang ramah lingkungan. Adalah suatu kemestian bagi manusia untuk mencari alternatif dan menggunakan sumber daya lain.
Jika manusia tetap pada pola lama dalam memanfaatkan sumber daya alam, maka krisis lingkungan akan terus mengancam kehidupan manusia dan makhluk lain di planet bumi ini, seperti terjadinya pemanasan global, erosi, cuaca tak menentu dan sebagainya. Semua itu adalah ancaman serius akibat dari ulah manusia sendiri.
Krisis lingkungan yang sudah kita rasakan dan demikian parah tidak akan terjadi apabila manusia bersikap ramah terhadap lingkungan. Oleh karena itu manusia harus menyadari bahwa tindakannya, yang tidak memperhatikan keseimbangan alam dapat merugikan mereka sendiri. Hal itu harus dihentikan oleh manusia sendiri, dengan tidak mengeksploitasi secara membabibuta atas sumber-sumber daya alam, dan juga yang cukup penting adalah manusia tidak melakukan pemborosan dalam penggunaannya. Bila aktivitas manusia yang merusak itu terus berlanjut, dan terus tanpa batas, maka alam akan merana dan yang akan menanggung malapetaka adalah generasi manusia yang akan datang.
Kita harus menyadari keberadaan kita, dan mengubah sikap kita terhadap alam. Yang semula kita ingin menguasai dan mengeksploitasinya berubah kepada sikap yang positif, yakni bagaimana melestarikan alam dengan cinta. Sebab, tanpa perubahan perilaku semacam itu terhadap alam di mana manusia hidup, kehidupan makhluk secara umum di planet ini pun akan terancam.
* * *
Sang Pencipta alam ini, Allah swt. telah memberi peringatan pada manusia atas perbuatannya yang merusak alam, yang pada akhirnya akan menimbulkan bencana alam. Dan manusia akan terkena dampaknya juga.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) ”. (QS Ruum: 41)
Alam, dalam pandangan Islam, dikenal sebagai ayat kauniah atau tanda ciptaan. Karena itu, “alam”, kata Hassan Hanafi, “adalah jalan menuju pengetahuan tentang Tu-han. Ia dapat membawa manusia menuju Tuhan. Semua fenomena adalah tanda dari manifestasi Tuhan, dari Dia dan kembali kepada-Nya. Kata ayah seperti yang muncul dalam Al-Qur’an memiliki arti ayat dan fenomena dan tanda alamiah merupakan perkataan dari Tuhan. Keduanya merupakan bukti dari kehadiran-Nya.” (hlm. 71)
Jika kita bertanya, apa sebab utama terjadinya krisis lingkungan yang membuat hidup manusia modern saat ini cemas, akan nasibnya kini dan di masa depan? Quraish Shihab mencoba menjawabnya dalam pandangan Al-Qur’an. “Sebab utama dari sebagian besar dari kerusakan dan pencemaran lingkungan dapat dikembalikan pada pemborosan dan foya-foya. Di mana-mana terdengar tentang keterbatasan sumber daya alam. Dalam pandangan Al-Qur’an keterbatasan tersebut tidak akan terjadi jika foya-foya dan pemborosan tidak terjadi”. (2001, hlm. 280) Bahkan Allah menyuruh manusia untuk tidak melakukan kerusakan.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-‘Araf: 56)
Karena itu, manusia modern harus mempertimbangkan tradisi Timur dan khususnya Islam, yang kaya kearifan tentang bagaimana pandangannya terhadap alam. “Hanya tradisi yang dapat mengubah manusia dari peranannya sebagai perampok bumi menjadi ‘khalifah di bumi’ (khalifah fil ardi), untuk memakai istilah Islam,” kata Sayyed Husein Nasr, (hlm. 248)
Tidak ada alasan lagi bagi umat manusia jika mereka ingin hidup damai di muka bumi. Yakni dengan mencoba memahami dan bersikap arif terhadap alam ini. Dan sikap arif tersebut dapat ditemukan dalam tradisi-tradisi lama, terutama Islam. Wallahu a’lam bissawwab. a
Depok, 16 Sept. 2008
lu’ay