“Kami berpegang pada asas bahwa segenap manusia diciptakan sama, dan bahwa manusia diberkati oleh penciptanya dengan beberapa hak asasi yang tak boleh diganggu gugat, di antaranya adalah Hak untuk Hidup, Hak untuk Bebas, dan Hak untuk mengejar kebahagiaan. Untuk menjamin semua hak itu, pemerintahan yang dibentuk di antara manusia, memperoleh kekuasaan yang sah atas persetujuan pihak yang diperintah. Dan apabila sesuatu bentuk pemerintah menjadi penghalang bagi hak-hak tadi, maka adalah hak rakyat untuk mengubah atau menghapuskan pemerintahan itu, dan membentuk pemerintahan baru.”
24-4-2024
The American Constitution is about the rights of the people
"We adhere to the principle that all humans are created equal, and that humans are blessed by their creator with several inviolable human rights, including the Right to Life, the Right to Freedom, and the Right to pursue happiness. To guarantee all these rights, the government established among humans, obtains legal power with the consent of the governed. And if any form of government becomes an obstacle to these rights, then it is the people's right to change or abolish that government, and form a new government."
Para sejarawan melihat bahwa di antara pemimpin Bani Umayah Umar bin Abdul Aziz adalah yang terbaik disejajarkan dengan Khulafaurasyidun dalam kepemimpinan, adanya keadilan dan kesejahteraan. Walaupun ia hanya berkuasa tidak lama, dua tahun setengah.
Umar bin Abdul Aziz lahir di kota Hilwan ketika ayahnya bertugas sebagai gubernur di Mesir (65-86 H). Ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abul Ash bin Umayah bin Abd Syams dan ibunya Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Umar bin Abdul Aziz sudah hapal al-Qur’an sejak kecil.
Sewaktu kecil ia sering berkunjung ke rumah paman ibunya, Abdullah bin Umar bin Khattab. Setiap kembali dari sana ia berkata, ia ingin seperti kakeknya itu. Ibunya menjawab, bahwa ia akan hidup seperti kakeknya, seorang ulama yang warak.
Beberapa waktu kemudian ia dikirim ayahnya untuk belajar di Madinah sehingga ia menjadi seorang faqih dan menjadi perawi hadits. Ia juga mempelajari kesusastraan dan nash syair. Kemudian ia menjadi seorang ulama yang dalam ilmunya, sehingga dikatakan: para ulama jika bersama Umar bin Abdul Aziz berubah posisi menjadi murid.
Ia selanjutnya menetap di kota Madinah sampai ayahnya meninggal dunia dan Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah. Lalu khalifah mengutus seseorang kepada Umar bin Abdul Aziz untuk datang ke Damaskus. Ia lalu tinggal di Damaskus hingga al-Walid menjadi khalifah pada tahun 86 H. Atas kecakapannya al-Walid memandang bahwa ia layak menjadi gubenur, maka kemudian khalifah mengangkat Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah. Ia menjadi gubernur Madinah selama tujuh tahun. Selama ia bertugas ia menjadi figur teladan dalam kewara’an dan ketakwaan. Hal itu diriwayatkan Anas bin Malik, bahwasanya ia berkata: “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang imam sesudah Rasulullah yang menyerupai shalat Rasulullah selain seorang pemuda ini, yakni Umar bin Abdul Aziz, yang saat itu bertugas sebgai gubernur Madinah.
Ketika tugas di Madinah langkah pertama yang ia lakukan adalah, membentuk Dewan Penasehat yang beranggota sepuluh ulama berpengaruh di kota itu. Di dalam dewan itu ia bersama mereka mendiskusikan berbagai permasalahan penting, yang berkaitan masalah agama, rakyat dan pemerintahan.
Namun walaupun begitu Umar masih menampakkan sebagai orang yang tampak membanggakan asal usulnya, dalam sebagian sikapnya. Dikatakan, bisa jadi hal itu karena ia masih dalam usia muda. Tapi ketika waktu berjalan dan usianya semakin bertambah dan tanggung jawab pemerintahan semakin berat ia menjadi orang zuhud terhadap dunia dan hiasannya.
Ketika khalifah al-Walid akan memecat saudaranya, Sulaiman, dalam posisi putra mahkota digantikan oleh putranya sendiri para tokoh terkemuka menyepakatinya, baik terpaksa atau tidak, tapi Umar menolak agar Sulaiman tidak dipecat sebagai putra mahkota. Ia berani menentang khalifah dan tidak takut dari murka khalifah. Ia mempertahankan sikap dan pendiriannya walau khalifah hendak membunuhnya, andai yang hadir tidak mencegahnya. Akhirnya hukumannya hanya sebatas diusir dari Madinah.
Setelah kekhalifahan jatuh kepada Sulaiman lalu Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai putra mahkota dibukukan dan dikukuhkan di Dir Sam’an, satu daerah di Hamsh, Suriah.
Ketika masih kecil kening Umar bin Abdul Aziz terluka karena jatuh dari hewan tunggangannya. Kemudian ayahnya menyapu darah yang keluar dan ia berkata: Jika engkau adalah orang yang luka keningnya dari bani Umayah, sungguh engkau orang beruntung. Mendiang ayah Umar sangat terpengaruh dengan kata-kata Umar bin Khattab, yang mengatakan: Di antara anak turunanku akan ada seorang yang mempunyai bekas luka pada bagian mukanya yang akan memenuhi dunia dengan keadilan.
***
Ketika Sulaiman meninggal dunia kemudian Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah. Salim as-Sidi menemuinya. Lalu Umar bertanya padanya:
“Apakah jabatan yang kupegang membahagiakanmu atau menydihkanmu?”
“Itu membahagiakanku bagi orang-orang, tetapi menyedihkanku bagimu,” jawab Sidi.
“Sesungguhnya aku takut jabatan ini mencelakakan diriku.”
“Betapa bagusnya sikapmu jika demikian halnya. Sesungguhnya aku menhkhawatirkan engkau andai engkau tidak merasa takut dengan jabatan tersebut,” kata Sidi lagi.
”Nasihatilah aku,” kata Umar.
“Ayah kita, Adam, telah keluar dari surga karena satu kesalahan,” kata Sidi.
Saat Umar bin Abdul Aziz dibaiat sebagai khalifah ia membacakan sumpah atas nama dirinya. Ia bekata: “Demi Allah! Jabatan ini –sama sekali—tidak pernah aku minta dari Allah.” Kemudian saat kendaraan khusus untuk khalifah tiba, ia meolak dan berkata: “Kemarikanlah baghal (betina) kepunyaanku oleh kalian!” Ketika para pemelihara hewan tunggangan datang menemuinya untuk menanyakan makanan hewan –hewan tersebut, ia menjawab: “Aku telah mengirimkannya ke kota-kota besar di Syam untuk dijual kepada orang yang berminat dan uangnya aku jadikan sebagai harta kekayaan Allah. Bagiku cukup baghal kepunyaanku yang berwarna kelabu.”
***
Umar bin Abdul Aziz banyak melakukan perbaikan (reformasi). Beberapa kebijakannya dalam bidang agama, di antaranya. Ia menghidupkan ajaran al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw, sebagaimana pada zaman moyangnya, Umar bin Khattab, untuk mengembalikan kemuliaan agama dalam berbagai aspek kehidupan dan menggunakannya untuk mewarnai kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ia bekerjasama dengan para ulama di zamannya, di antaranya, Hasan al-Basri dan Sulaiman bin Umar. Ia berdiskusi dengan mereka dan meminta fatwa dan mengajak mereka untuk mengajar rakyat mengenai hukum syariat, setia mengikuti perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya. Ia kemudian menerapkannya secara serius dan sistematis.
Kebijakannya yang lain, ia berinisiatif mengadakan kodifikasi hadits yang sebelumnya tidak ada. Sebab, ia khawatir hadits-hadits akan lenyap dan hadits-hadits palsu akan muncul. Untuk usaha kondifikasi itu ia memerintahkan seluruh wali negeri dan ulama hadits untuk mencatat semua hadits. Semua hadits yang diperoleh dari berbagai negeri ia percayakan kepada ulama besar Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri untuk dikumpulkan dan ditulis. Umar sendiri ikut mendiskusikan hadits-hadits yang terkumpul dan ia menyeleksi hadits, palsu atau tidak.
Dalam bidang sosial politik Umar bin Abdul Aziz menerapkan prinsip politik menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Jika para penguasa Umayah sebelumnya menjalankan politik kekerasan terhadap lawan-lawan politiknya, mengejar keturunan Ali bin Abi Thalib dan Hasyim serta menumpas gerakan kaum Khawarij, maka Umar bersikap lunak. Menurutnya, Bani Umayah tidak memiliki keistimewaan dibandingkan dengan saudaranya sesama muslim. Kecuali jika kaum Khawarij melakukan kerusuhan dan kerusakan.
Untuk menegakkan keadilan dan kebenaran ia mengirim para utusan ke berbagai wilayah untuk melihat langsung bagaimana kerja para gubernur. Jika ia melihat amil dan gubernur tidak taat menjalankan agamanya dan bertindak zalim, maka Umar langsung memecatnya.
Dalam bidang ekonomi ia melindungi berbagai kepentingan rakyat dan meningkatkan kemakmuran mereka. Ia mengurangi beban pajak yang dipungut dari kaum Nasrani, menghentikan jizyah (pajak) dari umat Islam, membuat aturan berkaitan timbangan dan takaran, membasmi cukai dan kerja paksa, memperbaiki tanah pertanian, irigasi, penggalian sumur-sumur, pembangunan jalan, menyediakan pondok bagi musafir, dan menyantuni fakir-miskin.
Ia juga menghilangkan kebiasaan sebelumnya mencaci Ali bin Abi Thalib dalam setiap khutbah Jumat, yang dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pendiri dinasti Umayah, walau pada dasarnya ia hormat terhadap Ali. Tapi nafsu poliitknya untuk melakukan itu. Umar mengganti cacian itu dengan firman Allah Swt dalam Al-Qur’an.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS An Nahl: 90)
Sikap zuhud Umar bin Abdul Aziz sampai pada tingkat bahwa ia lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Diriwayatkan ketika itu istrinya, Fatimah binti Abdul Malik, memiliki permata mewah pemberian ayahnya. Umar berkata kepadanya: Pilihlah satu di antara dua, engaku bersedia mengembalikan permata itu ke baitul mal atau aku ceraikan karena aku tidak suka perhiasan tersebut ada serumah bersamaku. Istrinya menjawab: Tidak, aku memilih menjadi pendampingmu apa adanya. Kemudian Umar menyerahkan perhiasan itu ke baitul mal.
Umar pun tidak mau menggunakan harta negara untuk keperluan pribadi. Ketika malam ia masih bekerja anaknya datang ke kantornya untuk urusan keluarga. Ia segera mematikan lampu, sehingga mereka berbicara dalam gelap. Anaknya bertanya mengapa lampu dimatikan. Umar menjawab, bahwa yang dibicarakan anaknya urusan keluarga, sedangkan minyak lampu kantor dibeli dengan uang negara.
Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz walaupun hanya sekitar dua tahun setengah namun sebagai pemerintahan terbaik selama Bani Umayah berkuasa, sehingga para sejarawan menyejajarkan dan sebagai pelengkap masa para Khulafaurrasyidun. Umar bin Abdul Aziz wafat pada bulan Rajab tahun 101 H. Dikemukakan oleh Al-Mas’udi (w 346 H), bahwa makam para penguasa Umayah sesudah Abasiyah berdiri dibongkar, kecuali makam Umar bin Abdul Aziz yang tetap dihormati.
”Keindahan tulisan adalah kefasihan tangan dan keluwesan pikiran.” Ali bin Abi Thalib*
Kaum muslim tidak mengenal istilah ‘seni untuk seni’. Sebab, semua aktivitas muslim itu nilainya ibadah, termasuk berkesenian.
Ketika kaum muslim kekuasaannya semakin melebar, melampaui kawasan Arab, mereka bersentuhan dengan budaya lain, Persia, Romawi dan wilayah lainnya, maka wawasan seni mereka pun semakin luas. Namun demikian mereka menghindari seni pahat dan gambar makhluk hidup. Sebab, dalam pandangan mereka seni semacam itu mirip dengan para penyembah berhala.
Yang banyak mereka kembangkan adalah seni arsitektur, dekorasi, kubah dan tiang. Mereka menyerap dari kebudayaan lain tapi kemudian disesuaikan dengan nilai-nilai Islami.
Dari zaman Nabi Saw, para sahabat, Umayah dan Abasi hingga Andalusia, seni yang berkembang adalah arabesque, yang diterapkan pada arsitektur, dekorasi, kaligrafi, perencanaan kota, sastra dan lainnya. (Hasan, jl. 3)
Prinsip pertama, adalah pengingkaran atas alam yang hukumnya tentu adalah perkembangan, atau gerakan melalui tahap-tahap pertumbuhan berurutan yang berakhir pada kematangan, yang di luar cakupannya segala sesuatu tampak tidak relevan dengan proses alam yang besangkutan. Sebagaimana pandangan Islam dimulai dengan pengingkaran “tidak ada Tuhan selain Allah”, begitu juga pola-pola universal seni Islam, bahasa, pemikiran dan gaya dimulai dengan pengingkaran atas alam sebagai ukuran dan norma, sebagai perwujudan, tempat atau pembawa keagungan.
Prinsip kedua, yang menjadi dasar arabesque adalah pengulangan, dan ketiga, simetri. Alam tidak bersifat pengulangan dan simetris. Daun-daun dari pohon yang sama mungkin tampak sama, namun setiap daun berbeda dari daun-daun lainnya. Begitu juga dengan simerti. Keempat, adalah prinsip momentum atau gerakan dari pola yang diulangi ke pola selanjutnya secara ad infinitum—diciptakan. Sebagai contoh, sederetan batu-batu atau tenunan dari benang atau jerami bersifat pengulangan dan simetris, tetapi tidak mempunyai momentum.
Arabesque menata elemen-elemen atau pola-pola yang diulangi secara simetris sehingga menimbulkan gerak, menarik orang yang melihat dari satu unit dalam desain ke unit yang lain, membentangkan jalan yang, ditinjau dari sifat desain itu sendiri, tidak akan pernah sampai pada kesimpulan natural. Dalam gambaran grafis pada dinding, karpet, miniatur, atau papan –kayu atau bangunan-batu, arabesque tampak berlanjut terus melewati batas-batas natural obyek tersebut.
Kaligrafi Islam
Bangsa Arab sebagai bangsa penyair, bahasa lisan lebih utama. Yang bisa baca tulis masa itu hanya orang tertentu. Ketika wahyu al-Qur’an diturunkan kepada mereka akhirnya memaksa mereka untuk belajar membaca dan menulis. Kemampuan itu dibutuhkan untuk mendokumentasikan wahyu, yang ditulis pada berbagai media tulis.
Tuisan Arab sendiri terus berkembang dari bentuk sederhana hingga mencapai kesempurnaan dan keindahannya, seperti kita saksikan saat ini.
“Kaligrafi tulisan Arab adalah puncak seni Islam. Ia adalah seni ganda. Pertama, ia merupakan arabesque yang tampak. Ia terdiri dari garis lentur yang oleh kaligrafer bisa dibuat berombak, direntangkan, dibengkokkan, dimiringkan, dibentuk menjadi desain yang kaku, patah-patah, bersiku-siku atau kursif, dihiasi dan diberi hiasan bunga menjadi pola-pola geometris atau yang lainnya, dengan menjadikan penulisan arabesque seindah dekorasi lain yang mana pun. Kedua, kaligrafi mempunyai isi diskursif. Kata-kata yang disalin-tulis menyajikan sesuatu secara langsung pada pemikiran di samping apa yang disuguhkan pada indera. Ini biasanya berupa ayat al-Qur’an atau hadits Nabi. Menampakkan kalam Allah secara indah adalah raison d’etre dan tujuan tertinggi seni.” (Faruqi, h. 85)
Seni kaligrafi di Indonesia
Seni kaligrafi yang berkembang di Indonesia sendiri, di antaranya, pertama, kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang telah ditentukan, atau disebut juga “kaligrafi murni”. Model ini banyak digunakan pada karya naskah, baik teks al-Qur’an atau tulisan Arab -Jawi. Sedangkan yang kedua, “lukisan kaligrafi”, yang tidak mengikuti kaidah resmi kaligrafi. Yang kedua ini biasa diterapkan pada karya lukisan. (Sirajuddin ar., h. 9)
Cibinong, 24-2-2024
Sumber: Ibrahim Hasan (2013); al-Faruqi (1992); Sirajuddin Ar. (1988)
*The beauty of writing is the eloquence of the hand and the flexibility of the mind.
Sutan Takdir dikenal sebagai budayawan, sastrawan dan ahli bahasa Indonesia, dan beragam perhatiannya sebagaimana dapat dilihat dari banyak karya tulisnya.
Ia dibesarkan dalam keluarga terpandang keturunan Kesultanan Indrapura dari garis ibunya. Ia lahir pada 11 Februari 1908 di Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara dan meninggal 17 Juli 1994 di Jakarta. Ayahnya bernama Raden Alisyahbana seorang guru dan ibunya Puti Samiah.
Ia belajar di HIS Bengkulu tahun 1921, lalu ia pindah ke Kweekschool di Bukitinggi tahun 1925. Setelah itu ia melanjutkan belajar ke Hogere Kweek School (HKS) di Bandung 1928, Kursus Hoofdacte 1933, Rechts Hoge School 1942, Litterkundige (Literaire) Hoge School 1942, dan ia mendapat gelar doktor dalam bahasa dan sastra Indonesia dari Fak. Sastra Universitas Indonesia tahun 1979.
Ia semula bekerja sebagai guru HIS di Palembang tahun 1928-1939; Pemimpin Redaksi Pandji Poestaka dan redaktur kepala Balai Pustaka tahun 1930-1942; Penerbit dan pemimpin redaksi Poedjangga Baroe 1933-1942; Pemimpin Redaksi Konfrontasi 1955-1956, Peneliti tamu pada Univesitas Bonn dan Koln, dan banyak lagi. Ia juga menjadi guru besar bahasa Indonesia Universitas Nasional (Rektor sejak 1968), Universitas Malaya, Kuala Lumpur tahun 1963-1968, dan berbagai universitas lainnya.
Karya tulis STA beragam sastra, bahasa, budaya, filsafat di antaranya: Antropologi Baru 1966, Revolusi Masyarakat Kebudayaan Indonesia 1966, Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Malaysia 1977, Layar Terkembang (novel), dan lainnya.
***
STA pernah mengusulkan wilayah yang disebut Asia Tenggara diberi nama Bumantara, sebagai gabungan dari kata Bumi dan antara. Sebab bangsa yang menempati wilayah itu merupakan satu kesatuan dan kelompok bangsa-bangsa yang berbeda dari bangsa Cina di timur dan bangsa India di barat. Usul itu ia ucapkan dalam Konferensi Pengarang ASEAN. Sionil Jose, sastrawan Filipina, meminta STA untuk menuliskannya lebih luas lagi.
Di sisi lain penduduk Asia Tenggara ada persamaan dalam bahasa yang berbeda-beda dan juga dalam budayanya yang berbeda-beda terdapat persamaannya.
Dalam lapangan ekonomi kawasan Asia Tenggara banyak penduduk mengembangakan dan menggantungkan hidup dari pertanian, dengan menanam padi. Hal ini berkaitan dengan iklim tropis yang bergantian antara musim hujan dan kemarau.
Berkaitan dengan kepercayaan penduduk Asia Tenggara menanggap agama sangat penting. Agama bangsa-bangsa Asia Tenggara sebelum dipengaruhi kebudayaan India adalah bersifat dinamisme dan animisme, yakni dalam bentuk menyembah roh nenek moyang, yang dilukiskan dalam mitologi.
Dalam suatu konferensi di Kuala Lumpur (1965) ia mengatakan bahwa bangsa-bangsa Asia Tenggara atau bangsa-bangsa Melayu adalah bangsa-bangsa yang penuh vitalitas, jiwa petualangan, yang selalu bergerak dan berani mengarungi lautan, yang didesak oleh kegelisahan yang tak dapat ditahannya. Dataran kaya dan subur Asia Tenggara ditinggalkannya dan mereka membuat kapal untuk melakukan petualangan yang seolah di kaki langit ada surga menanti, sebagaimana terlukis dalam mitos-mitos mereka.
Mereka belajar, dan memiliki bakat dan kepandaian yang luar biasa, sebab dalam hal susunan masyarakat dalam hal kepercayaan, mitologi, dan upacara keagamaan, bangsa Bumantara ini mempunyai suatu keistimewaan, yaitu menciptakan kebesaran, keagungan, dan keindahan, sebagaimana penulis tentang Asia Tenggara, menuliskan berbagai karya itu dari berbagai tempat di Asia Tenggara.
***
Datangnya agama Hindu dengan munculnya kebudayaan Hindu di Indonesia membawa suatu warna kebudayaan yang berbeda, yakni budaya feodal, yang masyarakatnya tersusun bertingkat-tingkat menurut nilai-nilai yang diutamakan oleh golongan yang berbeda berdasarkan keturunan. “Dalam susunan masyarakat yang hirarkis itu kefeodalan merupakan kekuasaan politik. Betapa rendahnya pandangan terhadap usaha ekonomi jelas dari susunan hirarki kasta, yang memberi tempat kepada kaum kerajinan, petani dan saudagar, yaitu kaum yang produktif dan kreatif dalam ekonomi, kedudukan yang ketiga dan keempat, yaitu sebagai waisya dan sudra.
Kedatangan Islam ke negeri ini mengubah keadaan itu sepenuhnya, oleh karena kebudayaan Islam-Arab itu lahir dari suasana yang lain sekali, yaitu suasana kebudayaan Semit, yang telah mendapat pengaruh yang kuat dari kebudayaan Yunani, yang amat mementingkan makna hidup di dunia, kerasionalan dan penyelidikan alam”.
Dari lapisan perkembangan kebudayaan pra Hindu, dan Hindu tidak dapat diharapkan etos ekonomi bagi pembangunan ekonomi sekarang. Demikian pun Islam yang dibawa para pedagang dari India dan tanah Arab ke Indonesia adalah bukan berasal dari zaman keemasan Islam, tapi Islam dan kebudayaan Islam yang telah dipengaruhi aliran mistik, yang menganggap kehidupan di dunia sebagai semata-mata untuk kehidupan akhirat. Juga hukum yang berkembang yang telah beku dan tertutupnya pintu ijtihad. “Tetapi meskipun demikian, dalam penjelmaan agama Islam dan kebudayaan Islam di Indonesia masih kelihatan pengaruh etos ekonominya, yang berbeda sekali dari etos ekonomi masyarakat dan kebudayaan Indonesia-Hindu ”.
***
Sutan Takdir Alisyahbana melakukan polemik kebudayaan untuk mencari tentang apa dan bagaimana kebudayaan Indonesia itu dengan para pemikir lain, di antaranya Sanusi Pane, Dr. Purbatjaraka, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir dan Ki Hadjar Dewantara. Hasil polemik itu lalu dikumpulkan oleh Akhdiat K Mihardja, dalam pengantarnya ia mengatakan:
“Sisa-sisa susunan masyarakat feodal masih besar pengaruhnya atas kehidupan jiwa dan kebudayaan bangsa kita. Di dalam susunan masyarakat feodal, kehidupan ekonomi, sosial, dan politik semata-mata dikuasai oleh suatu kelas yang hanya kecil jumlahnya, akan tetapi sangat besar kekuasaannya, ia kelas absolut dan sewenang-wenang, atas kerugian rakyat jelata yang merupakan kelas yang jauh lebih besar jumlahnya tapi merana dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Di dalam keadaan demikian, maka jiwanya menjadi mati “mati” statis dan tidak ada harapan yang dicita-citakannya selain dari pembebasan di balik kubur atau mencari-cari sekedar obat “pelipur lara” di alam macam-macam ketakhayulan dan mistik yang sederhana. Sebaliknya kelas yang berkuasa mempertahankan kedudukannya dengan jalan mengadakan bermacam-macam peraturan yang lambat laun menjadi adat dan kebiasaan”. (1948)
STA dalam polemiknya menyatakan: “Hanya satu jalan yang terbuka bagi bangsa kita untuk maju ke depan, yaitu: lepas dari bedwelming filsafat India yang menimbulkan jiwa yang nerimo. Bukan harmoni dengan alam, bukan melebur aku dalam jiwa alam harus menjadi tujuan.
Bangsa kita harus mengambil levenshoulding baru: menguasai alam, berjuang dengan alam. Tujuan itu dapat dikejar dengan menghidupkan Islam yang nuchter atau dengan levenshoulding Islam (semietisch).” (h. 110)
Tentang semboyan lepas dari India ini ia akan menerangkan lebih lanjut.
Dalam pengukuhan Doctor Honoraris Causa pada 12 Juli 1975 di Universitas Indonesia A Teeuw mengatakan bahwa ia telah berguru kepada orang Indonesia, walaupun secara lahir tidak pernah menjadi gurunya. Yang pertama adalah W.J.S. Poerwadarminta ahli bidang leksikografi yang menjadi teman bekerja dalam perkamusan, dan kedua Prof. Sutan Takdir Alisjahbana yang menjadi pembimbingnya dalam taman bahasa dan sastra Indonesia ketika ia baru tiba di negeri ini. “Saya tidak akan melupakan persahabatan beliau yang membuka rumah, lemari buku dan hatinya bagi saya ketika persahabatan antara orang Indonesia dan Belanda bukanlah sesuatu yang sewajarnya,”kata A Teeuw (1983).
“Kesenjangan kemakmuran antara negara-negara kaya di Utara dan negara-negara miskin di Selatan tampaknya bukan semakin menyempit, tetapi justru semakin melebar. Adalah menjadi kewajiban negara-negara kaya untuk menolong keadaan negara-negara miskin bukan karena alasan-alasan altruistik, tetapi karena tuntutan objektif bahwa baik negara yang di Utara maupun yang di Selatan dalam kenyataannya berada dalam satu perahu planet bumi. Tidak bisa tidak berbagi masalah berat yang dihadapi negara dunia ketiga akhirnya akan melimpah ke dunia kaya. Akan tetapi sayang sekali, seperti dikatakan Prof. Abdus Salam, kesenjangan antara keduanya semakin melebar, “ Making the richer and the poor hungry man’s soul sink lower”. Kesenjangan Utara-Selatan ini jelas akan menjadi agenda jangka panjang umat manusia di masa datang.”
M Amien Rais, akademisi-politisi
9-1-2024
“The prosperity gap between rich countries in the North and poor countries in the South does not appear to be narrowing, but is actually widening. It is the obligation of rich countries to help the situation of poor countries not for altruistic reasons, but because of the objective demand that both countries in the North and those in the South are in fact in the same boat on planet Earth. Can't help but share that the tough problems facing third world countries will eventually spill over into the rich world. However, it's a shame, as said by Prof. Abdus Salam, the gap between the two is widening, "Making the richer and the poor hungry man's soul sink lower". This North-South gap will clearly be a long-term agenda for humanity in the future.”
“Kaum intelegensia tidak dapat bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam negara dan masyarakat. Kaum intelegensia adalah bagian daripada rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Dalam Indonesia yang berdemokrasi, ia ikut serta bertanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa.”
Bung Hatta
2-12-2023
“The intelligentsia cannot be passive, leaving everything to those who happen to occupy leading positions in the state and society. The intelligentsia is part of the people, citizens who have equal rights and obligations. In democratic Indonesia, he shares responsibility for improving the fate of the nation.”
“Syair adalah pembicaraan yang fasih, baligh, yang didasarkan kepada metafora dan deskripsi-deskripsi; yang terbagi kepada pola-pola, bagian-bagian, yang lekat dengan matra, wazn, dan ritma serta setiap bagiannya inependen di dalam tujuan dan maksudnya dibandingkan dengan yang datang sebelum dan sesudahnya; dan yang menggunakan metode-metode yang secara khusus dipakai orang Arab.” (817)
Ibn Khaldun, 1406 m
14-11-2023
“Poetry is eloquent speech, baligh, which is based on metaphors and descriptions; which is divided into patterns, parts, which are attached to dimensions, wazn, and rhythm and each part is independent in its aim and purpose compared to those that come before and after it; and who use methods exclusively used by Arabs.”
Berikut ini puisi Tanah Air Mata* karya Sutardji Calzoum Bachri yang diciptakan tahun 1991 yang menggambarkan perlawanan sosial dari seorang sastrawan atas realitas kehidupan yang dihadapi oleh rakyat.
Tanah Air Mata
tanah airmata tanah tumpah darahku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke mana pun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi air mata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata kami
2-11-2023
sumber: kba
*The following is the poem Tanah Air Mata by Sutardji Calzoum Bachri, which was created in 1991 which describes the social resistance of a writer to the realities of life faced by the people.