Putu Wijaya, dan Proses Kreatifnya

putu wijaya/ wk

Ada orang bisa berpikir cepat. Biasanya para genius.

Ada orang berpikir seumur hidup dan hasilnya tidak ada.

Orang gila malah tidak pernah berpikir, karena ia sudah tahu

bahwa itu tidak ada gunanya.”    Putu Wijaya

Lahir di Tabanan, Bali, tahun 1944, yang hidup dalam tradisi Bali, yang semula ia diharapkan ayahnya menjadi dokter, tapi ia lebih suka memilih menjadi penulis. Ia suka membaca, mulai dari karya Karl May, karya sastra terjemahan Saroyan, kisah Mahabarata dan Ramayana, komik, juga nonton film, wayang dan pertunjukan sandiwara.

Tulisan pertamanya berupa cerita pendek dimuat di harian Suluh Indonesia ketika ia masih Sekolah Menengah Pertama.  Selanjutnya ia terus menulis cerita pendek.

Sejak SMA ia sudah berkecimpung dalam dunia teater dalam Badak-nya Anton Chekov. Lalu ia menulis naskah drama dan menyutradarai sendiri. Juga ketika ia menjadi mahasiswa Fak. Hukum Univeritas Gajah Mada Yogyakarta, antara tahun 1962-1969. Ia menulis naskah drama pendek diikutkan dalam sayembara di Yogya dan ia terpilih juara dua atau tiga, ia lupa. Naskah dramanya Bila malam Bertambah Malam dan Dalam Cahaya Bulan ia tulis kembali menjadi novel. Karya pertama menang dalam sayembara IKAPI Bandung.

Ia  menulis beberapa naskah drama. Itu karena kebutuhan, untuk dimainkan grup. Tahun 1967 ia bergabung dengan Rendra. Ia katakan, dalam proses kreatifnya, terpengaruh Rendra. Ia terus berjuang menjadi penulis dan ia banyak menulis naskah drama.

Ketika Putu Wijaya tinggal di Jakarta tahun 1969 ia bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C Noer. Ia hidup dari menulis resensi pertunjukan dan esai-esai yang dimuat di koran, seperti Sinar Harapan, juga ia menulis cerita pendek dimuat di majalah sastra Horison. Kemudian tulisan-tulisannya banyak dimuat di berbagai koran di Jakarta. Ia menulis Telegram, Aduh dan Pabrik. Telegram semula ia tulis sebagai cerita pendek lalu ia kembangkan menjadi novel.

Tahun 1972-1973 ia berkesempatan tinggal dalam masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto, Jepang. Ia datang di situ pada awal musim bunga dan kemudian pergi menjelang musim gugur. Ittoen adalah suatu tempat di lereng bukit. Ketika itu anggotanya 400 orang. Mereka berpakaian hitam-hitam. Mereka generasi kedua, atau ketiga. Kepercayaan mereka, bekerja sama dengan beribadah. Bagi mereka, hidup adalah bekerja. Mereka menyatakan sebagai penganut Buddha, tetapi terpengaruh ajaran Gandhi. Rombongan dramanya “Swaraj” berkeliling menghibur orang tua dan anak-anak.

Di Ittoen semuanya diurus oleh komune. Setiap hari mereka bangun pagi, bekerja, sembahyang, makan bersama dan tidur teratur. Di situ dilarang merokok, bertanya dan harus menahan emosi, dan harus menjalankan perintah pimpinan, semua pertanyaan sudah dijawab almarhum pimpinan dan mereka tinggal melaksanakannya saja. Sewaktu-waktu mereka turun ke dusun untuk membersihkan toilet orang.

Ia pergi ke Jepang semula ingin mempelajari Kabuki. Ia bekerja di ladang sebulan, mengikuti rombongan “Swaraj” 4 bulan. Ia ikut terlibat bekerja, menyiapkan semua keperluan dan ikut main teater. Ia merasa tidak mendapatkan apa-apa. Ia perhatikan semakin lama ia melihat hipokrisi. Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu, dan mematikan emosi. Itu semua hanya ada dalam angan, atau cita-cita. Ia setiap hari menahan dorongan seksual. Di situ ia tulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug dan persiapan novel Lho.

Putu Wijaya kemudian kembali ke Indonesia. Ia malu melihat Jepang yang makmur, tapi terus bekerja. Semangat bekerja orang Jepang merasuki dirinya. Ia selesaikan naskah-naskah itu. Karya Anu mencoba menerjemahkan keburaman kata anu, yang justru menyelamatkan setiap orang Indonesia. Sebab, katanya, jika orang tidak cukup tahu tentang sesuatu, ia cukup katakan anu. Kemudian ia melihat kemiskinan bangsa ini tiba-tiba menjadi kaya sekali.

Tahun 1974-1975 ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika. Setelah selesai mengikuti program itu ia tidak langsung pulang ke Indonesia, tapi ia keliling Eropa. Ia juga ikut main di pertunjukan.

“Saya memilih hal yang kecil-kecil. Yang lucu tapi unik. Yang tak menyakiti orang lain. yang tidak diotak-atik orang lain. Kadangkala saya sengaja menampilkan yang liar untuk meneror orang supaya mau menyangsikan lagi segala sesuatu. Saya memancing dan merangsang, kadangkala menunjukkan pendapat saya secara samar, kemudian mengelak, karena bukan pendapat saya yang penting tapi pendapat orang lain itu.” Putu Wijaya, (h. 168)

gr

Kata A Teeuw, novelnya Stasiun, “ Ini juga sebuah novel pendek yang menarik, yang berhasil menyingkap kekacauan yang tak berpengharapan, tempat kita semua hidup—kekacauan dari kenyataan yang tidak nyata, dan ketidaknyataan yang nyata.” (h. 209)

——

Sumber: Pamusuk Eneste, 1982; A. Teeuw, 1989.

——

Cibinong, 7-3-2023

Iklan

Tentang luaydpk

on history..... "masa kini dan masa lampau akan muncul di masa depan..." ts eliot (the present and the past will appear in the future)
Pos ini dipublikasikan di Tokoh dan tag , , , , , , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s