Prof. Ali Jum’ah

kmj

Nama lengkapnya Ali Muhammad Jum’ah Abdul Wahhab, yang lahir pada 3 maret 1952 di Bani Suwayf, Mesir. Syekh Ali Jum’ah mulai menghapal al-Qur’an pada umur sepuluh tahun. Ia tidak masuk sekolah agama, tapi Syekh Ali telah membaca dan mempelajari Kutubus Sittah serta mempelajari karya fiqih Imam Maliki sejak lulus sekolah menengah atas. Kemudian ia mengambil gelar BA. di Fakultas Perdagangan, Universitas Ain Syam pada tahun 1973. Setelah lulus dari perguruan tinggi itu Syekh Ali belajar di Universitas Al-Azhar. Ia menyelesaikan kesarjanaannya di Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab pada Universitas Al-Azhar pada tahun 1979.

Lalu Syekh Ali melanjutkan program master bidang Usul Fiqh pada Fakultas Syariah dan Perundang-undangan di Universitas Al-Azhar yang diselesaikan tahun 1985 dengan nilai mumtaz (cumlaude), dan gelar doktor pada Fakultas yang sama pada tahun 1988 dengan nilai summa cumlaude.

Selain belajar di universitas Syekh Ali juga belajar kepada banyak syekh dan ahli di bidang syariah. Di antaranya ia belajar kepada ahli hadits dari Maroko, yaitu Syekh Abdullah bin Siddiq al-Ghumari. Ia menganggap Syekh Ali sebagai mahasiswa yang paling berhasil. Selain itu Syekh Ali belajar kepada banyak syekh yang lainnya, yakni Syekh Abdul Fattah Abu Ghuda, Syekh Muhammad Abu Nur Zuhair, dan sebagainya.

Sebelum diangkat menjadi Mufti Agung Republik Arab Mesir Syekh Ali menjadi rujukan dalam Manahij Fiqhiyah di Universitas Al-Azhar.

Pada tahun 1990-an Syekh Ali mencetuskan kembali tradisi lama, memberi pelajaran agama di masjid al-Azhar, untuk kalangan umum bagi mereka yang ingin mendalami tentang agama. Kuliah umum ini bertempat di ruangan dekat masjid al-Azhar.

Tahun 2003 Syekh Ali diangkat sebagai Mufti Agung Mesir. Sejak menjabat sebagai Mufti Agung Syekh Ali menjadikan Daul Ifta’ sebagai sebuah institusi modern dengan dewan fatwa dan system checks dan balances. Juga Syekh Ali mengembangkan sarana berbasis teknologi informasi untuk institusi tersebut dengan mengembangkan sebuah wesite canggih dan call center yang membuat orang semakin mudah untuk meminta fatwa tanpa harus datang ke lembaga tersebut. Syekh Ali juga menjabat sebagai anggota Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (2004-2013); Majma’al-Fiqh di Mu’tamar ’Alam Islami di Jeddah; Guru besar Ushul Fiqh Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab, Cabang putra, Universitas al-Azhar, dan anggota Mu’tamar Fiqh Islam di India.

Di samping itu, Syekh Ali Jum’ah adalah penulis produktif yang berkaitan dengan isu-isu keislaman, dan ia menulis kolom mingguan di surat kabar al-Ahram Mesir dengan bahasan masalah kontemporer.

Karya-karya tulisnya antara lain: al-Musthalah al-Ushuli wa at-Tathbiq ‘ala Ta’rif, al-Hukmu syariyu ‘indal Ushuliyyin, al-‘Alaqah Ushul Fiqh bil Falsafah, al-Imam Bukharii, al-Imam Syafi’I, dan al-Mutasyaddidun manhajuhum wa Munaqaasatuhu ahammi Qadaayaahum yang diterjemahkan menjadi Menjawab Dakwah Kaum Salafi.

Dalam buku ini Syekh Ali Jum’ah memulai bahasannya mengenai istilah as-salafiah atau as-salaf, yang secara etimologi mengandung banyak makna. Namun semua makna bermuara kepada sebuah arti yang berkaitan dengan masa atau waktu. Setiap masa dapat dikatakan sebagai salaf jika dilihat dalam konteks masa-masa setelahnya. Orang yang dikatakan salaf juga dapat disebut khalaf, jika dilihat dari konteks masa-masa yang telah berlalu sebelumnya.

Secara terminologis, atau istilah, maksud kata as-salaf adalah tiga generasi pertama setelah Nabi Muhammad Saw, atau tiga generasi pertama dari umat ini. Sebagaimana ditegaskan secara langsung oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (taabi’in), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (taabi’ut taabi’in), kemudian setelah mereka akan datang suatu kaum kesaksian mereka mendahului sumpah meraka, dan sumpah mereka mendahului kesaksian mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)

Istilah as-salafiah pada dasarnya mengandung arti yang baik, namun belakangan disalahpahami, dan bahkan cenderung ‘dirampas’ oleh orang-orang yang mencoba menisbatkan diri mereka ke dalam tiga golongan di atas. Sebagian mereka bahkan mengklaim secara terang-terangan sebagai satu-satunya pewaris salaf, dan tidak ada salafi kecuali mereka.

Namun ironisnya, ketika ditelusuri lebih jauh pemahaman mereka mengenai istilah as-salafiah, ternyata bahwa istilah ini dalam pemahaman mereka terbatas pada permasalahan tertentu, dan berkaitan masalah-masalah cabang yang masih diperdebatkan. Mereka berpendapat bahwa tidak terlibat di dalamnya kecuali sebagian kecil saja dari umat ini. Menurut mayoritas ulama dan pendakwah mereka, orang-orang yang berbeda pandangan dengan mereka dalam masalah-masalah furu’iah (cabang, yang tidak prinsip) tersebut adalah sebagai ahlu bid’ah, sekalipun orang itu telah banyak berjuang untuk agama ini.

Istilah as-salafiah dalam perfektif sejarah modern

Itilah as-salafiah pertama kali muncul di Mesir ketika negara itu dalam cengkeraman kolonial Inggris. Ketika itu menjamur berbagai gerakan yang mengumandangkan semangat reformasi agama. Tokoh gerakan ini yang terkenal di antaranya Jamaluddin al-Afghani, dan muridnya, Muhammad Abduh. Bersamaan dengan munculnya gerakan itu istilah as-salafiah semakin popular didengungkan. Semua itu tidak lepas dari kondisi keagamaan dan ritual yang dijalankan masyarakat Mesir saat itu.

Pada masa itu, berbagai bentu ritual bid’ah dan khurafat sedang berkembang pesat di seluruh wilayah Mesir. Seperti ajaran tasawuf yang tercemar semakin memicu berseraknya ritual aneh dan bahkan ‘gila’ di tengah masyarakat. Mengahadapi realitas itu masyarakat Mesir terpecah menjadi dua kelompok.

Pertama, yang berpendapat, hendaknya masyarakat Mesir mengikuti peradaban Barat, melepaskan segala ikatan dan peraturan, dan bahkan pemikiran Islam. Kedua, yang berpendapat, memperbaiki keadaan kaum muslimin dengan cara mengembalikan mereka kepada ajaran Islam yang benar, bersih dari khurafat, bid’ah dan anggapan-anggapan yang keliru. Selain itu, juga dengan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam sehingga relevan dengan roda kehidupan masa kini. Kelompok terakhir ini juga mencoba membuka diri dengan peradaban asing selama tudak bertentangan dengan Islam.

Syekh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh sebagai garda terdepan dari kelompok kedua. Kelompok yang juga membumikan istilah as-salafiah yang saat itu dimaksudkan untuk mengajak kaum muslimin meninggalkan segalam macam ritual keliru yang membuat keruh kesucian Islam, baik itu bid’ah ataupun khurafat. Mereka optimis kaum muslimin dapat kembali kepada pemahaman Islam seperti di masa salaf, agar kemudian diteladani dan ditiru.

Tujuan dari pemilihan istilah as-salafiah adalah untuk membangkitkan kebencian masyarakat terhadap semua bentuk kekeliruan yang berkembang saat itu. Keinginan itu dilakukan dengan cara membandingkan realitas kehidupan kaum muslimin pada masa awal yang penuh kegemilangan dan kemajuan dengan realitas yang dialami mereka pada saat kini, yang penuh kesuraman. Setelah itu, mereka menjadikan hubungan Islam dengan masa salaf sebagai ukuran dari setiap kebahagiaan, kemajuan dan kebaikan.

Di tengah perjuangan itu, mulai muncul aliran Wahabi, yang dihubungkan dengan tokoh Muhammad bin Abdul Wahab dari Nejd (Arab) dan sebagian daerah semenanjung Arab. Memang tidak dapat dipungkiri, ada hubungan antara munculnya aliran ini dengan dakwah pembaruan agama di Mesir. Hal itu terlihat dalam kenyataan mereka dalam memerangi bid’ah, khurafat dan tahayul. Oleh karena itu penggunaan istilah salaf dan as-salafiah menjadi laris di kalangan elit aliran Wahabi. Tdiak lama kemudian istilah as-salafiah mulai dilekatkan kepada kaum Wahabi, atau mereka yang berfaham wahabiyah. Dikatakan, bahwa pengalihan itu sebagai strategi untuk membuat opini bahwa aliran Wahabi tidaklah hanya berhenti pada tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, tapi menanjak naik sampai ke salaf. Selain tujuan itu, agar masyarakat yakin bahwa aliran yang mereka bangun adalah amanah, untuk menyebarkan aqidah, pemikiran dan metode salaf, baik dalam memahami Islam maupun mengamalkannya.

Awalnya kata as-salafiah digunakan sebagai ciri gerakan reformasi Islam agar mudah diterima masyarakat, tetapi kemudian digunakan oleh kelompok yang menaggap diri mereka paling benar.  

Dengan menyandang nama salafi mereka mengklaim bahwa hanya merekalah yang paling amanah dalam menyampaikan aqidah salaf, dan hanya merekalah sebagai refresentasi dari manhaj salaf dalam memahami dan menerapkan ajaran Islam.

Hakikat mengikuti salaf menurut ulama

Sesungguhnya mengikuti salaf tidak hanya sebatas makna sederhana kata salaf atau sebagian sikap mereka. Karena kalangan salaf tidak menuntut semua itu. Tetapi mengikuti salaf secara benar adalah dengan cara kembali merujuk semua yang menjadi pedoman mereka dalam merumuskan hukum. Dimulai dari kaidah-kaidah dalam penafsiran al-Qur’an, Sunnah, kaidah dalam ijtihad dan dasar-dasar hukum agama lainnya. Kaum muslim di setiap masa wajib kembali kepada semua itu, tak terkecuali salaf, tapi juga khalaf.

Kalangan salaf sendiri tidak pernah menjadikan makna as-salafiah secara khusus sebagai identitas kelompok atau pemikiran tertentu untuk membedakan mereka dari kaum muslimin yang lain.

Begitupun dalam masalah cabang agama (furu’iyah) kalangan salaf tidak berada dalam satu pemahaman yang sama. Mereka berbeda pendapat dalam banyak masalah furu’ hingga bermuara pada hukum yang bersifat perbuatan maupun masalah aqidah yang bersifat cabang. Dampaknya masih kita temui sampai sekarang dalam perselisihan anarmazhab.

Tipe kaum ekstrim kontemporer (salafi-Wahabi)

Dikatakan, banyak terdapat kesalahanpada pendapat, paradigm, perilaku, sikap dan rumusan hukum mayoritas mereka yang menamakan diri salafi itu. Beberapa unsur yang disebutkan di atas harus menjadi catatan bagi mereka yang ingin melihat aliran ini secara objektif.

Pada waktu yang sama, mereka juga membangun pemikiran yang kontadiktif. Pemikiran itu tercermin dalam beberapa hal.

1. bahwa semua negara di dunia ini membenci Islam. Mereka semua selaalu menyatakan perang untuk menghabisi Islam.

2. mewajibkan perlawanan terhadap asing hingga kita benar-benar bisa membalas dendam atas penderitaan yang dialami negara-negara Islam di berbagai wilayah, dengan diwujudkan membunuh orang-orang kafir dan membunuh orang-orang murtad dan fasik.

3. pemikiran mereka dimaksudkan sebagai pola piker yang sekedar mudah diterapkan.

Doktrin mereka menjadi beban yang sangat berat bagi kemajuan kaum muslimin baik dalam soal reformasi dakwah dan agama maupun pengembangan lain yang dibutuhkan dunia Islam. Fanatisme yang mereka kembangkan mudah menjadi embrio bagi maraknya pemikiran ekstrim (keras). Adalah kewajiban kita semua untuk melawan pemikiran tersebut. Sebab, gejala itu tidak hanya membahayakan kelompok mereka, generasi umat, masyarakat, tapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya.

Mereka menentang segala pembaruan (tajdid) di dalam agama, sebab setaip yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah sesat. Dalam membahas masalah mereka enggan menganalisa kandungan inti permasalahan. Mereka hanya mengamati kulit luarnya saja.

Dalam ilmu fiqh mereka hanya melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihad sendiri. Dalam aqidah mereka bertaqlid kepada para pemimpin mereka. Mereka muliakan orang yang sebetulnya belum layak dianggap sebagai ulama. Pada waktu yang sama, justru mereka mediskriditkan para ulama, yang bertentangan dengan mereka.   

Kita dituntut untuk melawan pemikiran dan pemahaman tersebut. Dengan cara kembali ke paham Ahlu Sunnah wal jama’ah.  Kedudukan Ahlu Sunnah wal jama’ah dalam mazhab-mazhab aqidah seperti halnya kedudukan Islam di antara agama-agama lainnya. Dalam bidang aqidah mengikuti paham Asy’ariyah yang banyak diikuti kaum muslimin, dan dalam bidang fiqh mengikuti mazhab arba’ah (Imam mazhab empat), juga tidak mengingkari adanya ijtihad individu dan golongan. Manhaj moderat berusaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan utama (maqasidul ‘ulya), yakni perlindungan terhadap jiwa, akal, agama, kehormatan dan harta.  Dalam bidang akhlak, al-Azhar, mengajarkan beberapa aliran tasawuf yang memberikan pendidikan kepada manusia untuk selalu membersihkan dirinya dari penyakit hati, seperti sombong, keras kepala, dengki dan lainnya.

Ada 17 masalah yang dibahas Syekh Ali Jum’ah dalam bukunya itu. Cukup dalam tulisan ini ambil satu tentang bid’ah. Mereka meluaskan pemahaman tentang bid’ah sehingga mereka mengklaim adat istiadat maupun tradisi yang dilakukan kaum muslimin sebagai bid’ah dan sesat.

Dan setiap yang bid’ah itu sesat.” (HR Muslim)

Imam Syafi’i berkata, “Perkara-perkara yang baru itu ada dua macam. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar sahabat atau ijma’. Perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang mengandung kebaikan, dan tidak bertentangan dengan salah satu di atas. Maka perkara baru semacam ini tidaklah tercela.”

Imam al-Ghazali berkata, “Tidaklah semua perbuatan yang baru itu dilarang. Akan tetapi, yang dilarang adalah bid’ah yang bertentangan dengan Sunnah yang telah kokoh, serta menghilangkan perintah agama.”

Ibnu Rajab mengatakan, “Yang dimaksud bid’ah adalah melakukan sesuatu yang dasar pembolehannya tidak ada sama sekali dalam syariat.” Sedang Imam Izuddin membagi bid’ah menjadi: waajibah, muharramah, manduubah, dan mubaahah…”

Ulama memiliki dua pandangan mengenai bid’ah. Pertama, pandangan secara umum, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Rajab dan ulama lainnya yang sependapat dengannya. Yakni, segala perbuatan yang bisa mengakibatkan pelakunya mendapat pahala, dan ada tuntutan syariat untuk melakukannya (meski secara umum) maka itu tidak dinamakan bid’ah secara syar’i, sekalipun ia termasuk dalam kategori bid’ah secara bahasa. Kedua, pandangan yang lebih rinci, seperti dikemukakan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam.

Di antara masalah manhaj terpenting yang digulirkan kalangan kaum yang keras dan kaku itu adalah berdakwah tanpa persiapan, dan mencampuradukan antara ceramah agama dan ilmu agama. Mereka menggunakan majelis ceramah agama sebagai panggung fatwa sehingga menyebabkan kebodohan merajalela dan kaum muslimin terpecah-pecah. “Apakah benar ulama telah berkurang sehingga kebodohan meruyak di mana-mana? Apakah benar sudah dekat kabar yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw ?”

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Ia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Sehingga ketika Allah ta’ala tidak menyisakan seorang alim pun, orang-orang akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. (Apabila) para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka akan berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari dan Muslim)

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ

Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS az-Zumar: 9)

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

“Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadilah: 11)

Ibnu Abbas berkata, “Para ulama lebih tinggi 700 derajat di atas orang-orang beriman lainnya. Antara satu derajat dengan derajat yang lainnya seluas perjalanan 500 tahun.”

—————–

Sumber: Prof. Ali Jum’ah, (2020).

11-2-2023

Iklan

Tentang luaydpk

on history..... "masa kini dan masa lampau akan muncul di masa depan..." ts eliot (the present and the past will appear in the future)
Pos ini dipublikasikan di hukum Islam dan tag , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s