Lahir 26 Juli 1946 di Osaka, Jepang. Ia lulus dari Universits Tokyo, dengan skripsi sarjana berjudul “Pemberontakan Anti-Jepang tentara Peta di Belitar pada Tahun 1944”, dan sejak itu ia terus mempelajari sejarah Indonesia masa pendudukan Jepang. Tahun 1972 ia pertama kali datang ke Indonesia sebagai mahasiswa pascasarjana Universitas Tokyo, dan belajar selama satu setengah tahun. Pada tahun 1976 ia melanjutkan studi di Universitas Cornell, AS. Setelah kuliah dua tahun, ia melakukan penelitian lapangan dan kearsipan di Indonesia, Belanda dan Jepang untuk membuat disertasi . Ia mendapat gelar Ph.D. pada tahun 1987. Ia mengajar tahun 1981 di Universitas Setsunan, Tokyo Jepang, lalu ia ditugaskan sebagai peneliti di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta tahun 1991. Pada tahun 1993 ia kembali ke Jepang dan mengajar di School of International Departement Universitas Nagoya, Jepang. Kini sebagai guru besar sejarah di program Pascasarjana Universitas Nagoya, Jepang.
Karyanya: Mobilitas dan Kontrol: Studi tentang perubahan Sosial di pedesaan Jawa 1942-1945 (Jakarta, 1993), terj.; Sisi Gelap Perang Asia, (2019).
Dalam bukunya Mobilitas dan Kontrol ia menulis dan mengungkap mengenai sejarah pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, terutama di pulau Jawa selama tahun 1942 – 1945, dan beberapa wilayah lainnya. Selama tahun itu Jepang mengeksploitasi masyarakat pribumi untuk mendapatkan sumberdaya ekonomi dan manusia guna menyokong operasi-operasi militer Jepang. Dengan kebijakan itu Jepang mengontrol produksi dan distribusi panen dan bahan komoditas untuk kepentingan pasukan militer. Petani dikontrol untuk menanam padi yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah militer Jepang. Di samping itu Jepang mengeluarkan maklumat romusha.
Romusha is a low labor under Japanese occupation in Indonesia 1942-1945. After Indonesia freedom some of them not go home and dearth.
Romusha dalam bahasa Jepang berarti seorang pekerja yang melakukan pekerjaan sebagai buruh kasar. Namun dalam sejarah Indonesia kata itu memiliki pengertian khusus karena pengalaman orang-orang yang dipekerjakan selama pemerintahan militer Jepang mengalami kekejaman. Bagi orang Indonesia romusha berarti seorang pekerja buruh kuli yang dimobilisasi untuk melakukan pekerjaan kasar di bawah kekuasaan penjajah Jepang.
Angkatan Darat ke-16 Jepang menaklukkan Belanda pada tanggal 8 maret 1942 dengan operasi selama seminggu dan kemudian memulai pemerintahan militernya. Jepang masuk di pulau Jawa dengan kekuatan tentara sekitar 50.000 dan kemudian jumlah tentara itu berkurang hingga menjadi 10.000. Dari jumlah semula semakin berkurang, karena kelebihannya dikirim pada pertempuran di Pasifik Selatan. Jumlah seluruh orang Jepang yang ditempatkan di Jawa sekitar 20.000 lebih. Pulau Jawa dikuasai Angkatan Darat ke-16, Sumatra Angkatan Darat ke-25 dan Sulawesi oleh Angkatan Laut.
Untuk menopang pendudukan Jepang memberlakukan romusha, sering disebut juga “prajurit pekerja” atau “prajurit ekonomi”, di samping ada tentara sukarela dan heiho. Perekrutan romusha diawali dengan propaganda yang masif agar orang-orang tertarik. Pada mulanya banyak yang tertarik, tapi setelah banyak tahu perlakuan kejam militer Jepang banyak yang enggan dan takut. “Siapa berikutnya?”, itulah suara yang menakutkan.
Pelaksana perekrutan romusha oleh para pemimpin di tingkat bawah mulai dari desa oleh kucho (kepala desa), juga terdapat lembaga rukun tetangga (tonarigumi) dan koperasi (kumiai), lalu diteruskan ke atas, hingga karesidenan. Rakyat berhadapan dengan para pemimpin itu dan hal itu menjadi sasaran kebencian orang-orang desa. Para pemimpin desa itu tidak berani menolak perintah, sebab mereka tahu bagaimana kejamnya kenpeitai (polisi militer). Juga karena kebutuhan tenaga di berbagai wilayah semakin meningkat maka kaum pelajar pun direkrut menjadi romusha, walaupun sesungguhnya hanya untuk menarik minat lebih banyak orang.
Mereka yang direkrut pada umumnya kalangan petani di desa-desa yang kebanyakan buta huruf. Ada yang secara sukarela, tertipu atau ditipu, penculikan dan paksaan, tapi yang disebut sukarela itu sebenarnya ada intimidasi. Umur para pekerja mulai dari usia muda sampai usia tua. Mereka yang dipekerjakan ada yang di wilayah dekat sekitar karesidenan, di beberapa daerah di Jawa, Sulawesi, Borneo dan di luar negeri di Singapura, Thailand dan Indocina. Ribuan orang diangkut dengan kereta api dan kapal laut untuk luar Jawa dan wilayah Asia Tenggara. Sebelum sampai tujuan banyak juga yang meninggal dalam perjalanan atau mati di kapal dibuang begitu saja ke laut.
Jumlah romusha keseluruhan sekitar 2,5 juta orang, tapi ketika Jepang menyerah pemerintah Indonesia mengatakan 4 jutaan. Ketika perang usai romusha yang dikirim ke luar Jawa dan negeri tetangga banyak yang belum kembali. Sekitar 270 ribu orang yang di luar Jawa, yang kembali tidak kurang 70 ribu orang.
Pekerja romusha mengerjakan proyek pembangunan seperti membuat jalan, rel kereta, membuat saluran air, lapangan terbang, juga di pabrik. Mereka dapat upah bulanan dan makan, dan dari upah itu disisihkan untuk keluarga di rumah, tapi banyak yang berkurang. Para pekerja itu banyak yang meninggal karena terlalu cape, kelaparan dan kurang gizi serta terserang penyakit.
Banyak tenaga tersedot untuk romusha sehingga di desa-desa kekurangan tenaga untuk mengolah lahan pertanian. Akibatnya keluarga di desa juga banyak yang menderita.
Eksploitasi kaum pribumi oleh pemerintah militer Jepang itu menimbulkan trauma pada masyarakat Indonesia yang mengalami saat itu. (Ada beberapa dari mereka yang selamat dan masih hidup membuat kesaksian). Tenaga manusia dieksploitasi dan kekayaan alam dikuras untuk biaya perang yang Jepang lakukan. Ketika akhirnya Jepang menyerah, pos-pos di Asia Tenggara diduduki kembali oleh tentara Sekutu.
Semua kebijakan yang diterapkan Jepang itu merupakan perpaduan antara kontrol dan mobilitas, yang mengakibatkan kegoncangan pada masyarakat pribumi, baik secara sosial-ekonomi maupun psikologis.
———
Sumber: Aiko Kurasawa, (1993)
23-1-2023
Wow… Setelah Deandels berganti Romusha?
begitulah catatannya…