Sajak Sebatang Lisong
Mengisap lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka.
Matahari terbit
Fajar tiba
Dan aku melihat 8 juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja-meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya.
……………………………..
Mengisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan.
Dan di langit;
para teknokrat berkata:
bangsa kita adalah bangsa yang malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti diup-grade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimport.
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapa
menjadi gebalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samudra.
………………………………………….
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya membeli metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku.
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya renda-renda kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Sumber: Rendra, Potret pembangunan …, (1996), dibuat pada 19 Agustus 1977.
“Lalu terjadilah suatu ironi. Dalam saat seperti itu, saya melakukan meditasi lagi. Kembali saya masuk ke dalam gelombang pikiran “alpha”. Kembali saya stoned. Saya menulis sajak “” Anuning Ning”. Sesudah itu saya mengalami ketenangan. Dan saya banting. Beberapa saat kemudian, lahirlah sajak-sajak yang terlibat dengan sosial, politik, dan ekonomi.
Tidak gampang menuliskan sajak-sajak tersebut. Dari tahun 1971 sampai 1978 hanya beberapa sajak yang saya tulis, yakni sajak-sajak yang saya kumpulkan dalam Potret Pembangunan dalam Puisi. Waktu saya bacakan di muka umum, ternyata sambutan umum sangat baik. Berarti usaha artisik saya berhasil. Sebab jembatan seniman dengan khalayak ramai hanyalah kekuatan “bentuk seni”. Meskipun isinya “hebat”, tetapi kalau “bentuk seni”-nya lemah, tidak akan menarik khalayak ramai. Ibarat orang gagap yang punya gagasan bagus, tidak mampu menyampaikannya”. (Rendra, dalam Pamusuk Eneste, 1986)