Sebagai seorang pemikir yang berkaitan dengan kebangkitan Islam al-Maududi telah banyak menulis sekitar 138 judul buku dalam berbagai tema politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya, serta berbagai aktivitas lainnya. Buku-bukunya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa dan pemikirannya memiliki pengaruh luas, melampaui Asia Selatan.
Abul A’la al-Maududi lahir di Aurangabad, India Selatan pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H). Ia lahir dalam keluarga tokoh Muslim India Utara (syarif) dari Delhi yang bermukim di Deccan. Keluarga ini adalah keturunan wali sufi besar tarekat Chisthi yang membantu menanamkan benih Islam di wilayah India. Keluarga ini pernah mengabdi kepada pemerintahan Bahadur Syah Zafar, penguasa terakhir dinasti Moghul. Kedekatannya dengan penguasa Muslim membuat mereka menolak pemerintah Inggris. Ayahnya bernama Sayyid Ahmad Hassan masuk sekolah tinggi di Aligarh sebentar dan ia kemudian menyelesaikan studi hukum di Allahabad. Ia mendidik anak-anaknya dalam sistem pendidikan klasik, belajar bahasa Arab, Persia dan Urdu. Di usia empat belas tahun Maududi sudah menerjemahkan karya al-Marah jadidah ke dalam bahasa Urdu.
Pada usia sebelas tahun ia baru mendapatkan pelajaran sains. Ketika usia enam belas tahun ayahnya meninggal dan ia berhenti dari sekolah formalnya. Setelah itu, ia terus berusaha belajar sendiri untuk memenuhi minat intelektualnya. Ia semula tertarik pada masalah politik. Ia menulis berberapa esai tentang nasionalisme. Tahun 1918 ia bergabung dengan saudaranya, Abul Khair, di Bajnur, untuk memulai karir dalam bidang jurnalistik
Kemudian mereka berdua pindah ke Delhi. Di kota itu ia berkenalan dengan arus intelektual dalam komunitas Muslim, tahu pandangan modernis dan ikut dalam gerakan kemerdekaan. Tahun 1919 ia pindah ke Jabalpur untuk bekerja pada mingguan Taj yang pro-Kongres. Ia aktif dalam gerakan Khilafah. Ketika mingguan itu ditutup ia kembali ke Delhi. Lalu ia bekenalan dengan Muhammad Ali dan mereka berdua menerbitkan koran Hamdard. Tak lama kemudia ia bergabung dengan gerakan Hijrah yang mendorong kaum Muslim India meninggalkan British India.
Tahun 1921 Maududi berkenalan dengan pimpinan Masyarakat Ulama India (Jami’ati ‘Ulama Hind) Maulana Kifayatullah dan Ahmad Sa’id. Ia diundang untuk menjadi editor koran mereka, Muslim, hingga tahun 1924 koran Muslim diganti menjadi Al-Jami’at. Dari sinilah ia menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum Muslim dan ia lebih aktif dalam persoalan agamanya. Maududi mulai menulis masalah yang menjadi perhatian kaum Muslim India.
Di kota Delhi ia mulai belajar bahasa Inggris dan membaca karya-karya Barat. Juga hubungannya dengan Jami’at memungkinkan ia mendapat pendidikan agama secara formal. Tahun 1926 ia menerima sertifikat pendidikan agama dan ulama. Tapi Maududi tak mau menerima statusnya sebagai alim.
Dengan runtuhnya gerakan Khilafah tahun 1924 ia melepaskan pandangan nasionalismenya, tak percaya pada Partai Kongres dan ia meninggalkan Jami’at dan berpisah jalan dengan penasehat Doebaninya.
Tahun 1925 terjadi kasus, seorang Muslim membunuh Swami Shradhanand, pemimpin kebangkitan Hindu yang yang menganjurkan kasta rendah yang masuk Islam agar kembali ke Hindu. Swami secara terang-terangan meremehkan keyakinan kaum Muslim. Hal itu memancing kemarahan kaum Muslim. Kematiannya menimbulkan kritik dari media massa, bahwa Islam adalah agama kekerasan. Maududi tidak tinggal diam. Kemudian ia menulis buku al-Jihad fil Islam, perang dan damai, kekerasan dan jihad dalam Islam.
Tahun 1928 Maududi pindah ke Heyderabad. Ia banyak menulis dan menerjemahkan buku tafsir dan filsafat dari bahasa Arab. Ia menulis Risalah-i Diniyah, yang kemudian diterjemahkan sebagai Toward Understanding Islam.
Tahun 1932 Maududi menerbitkan Tarjumun Al-Qur’an, sebuah jurnal yang berisi pandangan-pandangannya selama empat puluh tahun. Ia tidak puas hanya dengan tulisan dan tak berpengaruh pada peristiwa politik yang mengalami perubahan cepat dalam sejarah India periode itu. Untuk itu ia tahun 1938 pindah ke Punjab untuk memimpin Dar al-Islam, suatu proyek pendidikan yang semula digagas oleh Dr. Muhammad Iqbal (w 1938 M), di Pathankot, sebuah dusun kecil di Punjab. Dar al-Islam diharapkan melahirkan pembaruan Islam besar di India. Ia sibuk dengan politik dan tidak memperhatikan proyek Dar al_Islam. Tahun 1939 ia pindah ke Lahore untuk melakukan aktivitas politik yang langsung. Ia bersama sejumlah aktivis Muslim dan ulama muda pada 26 Agustus 1941 mendirikan Jama’t-I Islami (Partai Islam). Setelah partai ini berdiri segera pindah ke Pathankot dan mulai berkembang cepat dan berpengaruh dalam berbagai peristiwa di India.
Ketika India pecah Jam’at-i pecah juga, Maududi bersama seluruh anggotanya memilih Pakistan yang berdiri tahun 1947. Sejak saat itu karir politik dan intelektual Maududi berkaitan erat dengan perubahan perkembangan Jama’at-i. Beberapa kali berseberangan dengan pemerintah dan beberapa kali pula ia ditangkap dan dipenjarakan. Pernah dijatuhi hukuman mati, lalu menjadi hukuman seumur hidup dan akhirnya bebas. Selama dalam aktivitas politiknya ia banyak menulis, artikel, ulasan, risalah pendek dan buku. Juga ia melakukan gerakan anti-Ahmadiyah. Di antaranya, hasil ceramahnya di radio diterjemahkan oleh Khurshid Ahmad dengan judul Islamic Way of Life; karya besarnya Tafhim Al-Qur’an (Memahami Al-Qur’an) yang ditulisnya sejak tahun 1941 sampai 1972, terjemahan dan ulasan al-Qur’an, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; tentang politik al-Khilafah wal Mulk dan Islamic Law and Constitution, dan lainnya.
Tahun 1960-1962 Maududi menjawab koresponden Maryam Jameelah yang akhirnya Maryam pindah dari New York ke Pakistan. Abul A’la Maududi meninggal di New York pada 22 September 1979 dan dimakamkan di Lahore.
Teori Politik al-Maududi
Asas terpenting dalam Islam adalah tauhid, dan seluruh nabi serta rasul Allah mempunyai tugas pokok untuk mengajarkan tauhid (keesaan Tuhan) kepada seluruh umat manusia. Ajaran tauhid memiliki implikasi mengubah tata sosial, tata politik, dan tata ekonomi.
Di zaman modern fenomena Fir’aun dan Namrud masih tetap dapat kita amati secara jelas. Banyak penguasa negara yang bertingkah dan bersikap seperti Fir’aun dan Namrud, yang merasa paling benar sendiri dan menuntut ketaatan rakyat secara total tanpa syarat (reserve).
Maududi menyatakan, kedaulatan ada di tangan Tuhan, dan ‘bukan’ di tangan manusia. Berbeda dengan teori demokrasi umumnya, yang mengatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam kenyataannya, kata-kata “kedaulatan rakyat” seringkali menjadi kata-kata kosong karena partisipasi rakyat dalam kebanyakan negara demokrasi hanyalah dilakukan empat atau lima tahun sekali dalam bentuk pemilihan umum, sedangkan kendali pemerintahan sesungguhnya berada di tangan sekelompok kecil penguasa yang menentukan seluruh kebijakan negara.
Siapa pun yang sedikit mendalami praktek teori demokrasi akan menyadari bahwa yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yakni bahwa sekelompok penguasa saling bekerjasama untuk menentukan berbagai kebijaksanaan politik, sosial, ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana sesungguhnya aspirasi rakyat yang sebenarnya.
Beberapa prinsip menurut Maududi, pertama, tidak ada seseorang, sekelompok orang atau seluruh penduduk suatu negara dapat melakukan klaim atas kedaulatan. Hanya Allah yang memagang kedaulatan. Kedua, Tuhan adalah pencipta hukum yang sebenarnya, sehingga Dia sajalah yang berhak membuat legislasi secara mutlak. Ketiga, suatu pemerintahan yang menjalankan peraturan-peraturan dasar dari Tuhan sebagaimana diterangkan oleh nabiNya wajib memperoleh ketaatan rakyat.
Tujuan diselenggarakannya negara adalah, pertama, untuk menghilangkan terjadinya eksploitasi antarmanusia, antarkelompok dan antarkelas dalam masyarakat. Kedua, untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga negara dan melindungi seluruh warga negara dari invasi asing. Ketiga, untuk menegakkan sistem keadilan sosial yang seimbang sebagaimana dikehendaki al-Qur’an. Keempat, untuk memberantas setiap kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebajikan. Kelima, menjadikan negara sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan memberlakukan hukum tanpa diskriminasi.
——–
Sumber : Ali Rahnema, ed.,(1995); Amien Rais pengantar pada Abul A’la Maududi, (1984); Surat-surat Maryam Jameelah, (1984).
5-11-2022