Natsir yang lahir 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, ayahnya bernama Idris Sutan Saripado seorang pegawai kecil dan ibunya Khadijah. Ia semula masuk Sekolah Rakyat, dan ketika ia akan masuk HIS ditolak karena ayahnya hanya pegawai kecil, kemudian ia masuk HIS Adabiyah Padang dan pindah sekolah lain hingga tamat. Lalu ia masuk MULO. Setelah menamatkan MULO di Padang M Natsir lalu melanjutkan pendidikannya di AMS (algemene middlbare school), setingkat sekolah menengah, di Bandung, setelah sebelumnya mengajukan bea siswa diterima. Di kota Bandung ia tinggal di Gang Pakgade dekat Pasar Baru dan Babatan. Yang tinggal di gang itu bukan hanya Sunda, ada Palembang, Jawa dan Keling. Tak ada orang Cina, mereka tinggal di sekitar Pecinan.
Di AMS Bandung ia mengambil jurusan bahasa-bahasa Barat, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis juga bahasa klasik Latin dan Yunani. Ia sering membaca di perpustakaan di kota itu. Setelah bertemu dengan Tuan Hassan ia belajar bahasa Arab lebih mendalam.
Fachoeddin al-Khairi mula-mula sering menghadiri pengajian Persatuan Islam dan sering berkunjung ke rumah Tuan Hassan. Lalu Fachroeddin mengajak temannya, M Natsir ke rumah Tuan Hassan untuk bertanya dan berdiskusi soal-soal agama. Mereka berdua sekolah Belanda belajar bahasa Barat namun berminat untuk mempelajari agama Islam, berbeda dengan kebanyakan temannya. Juga M Natsir belajar bahasa Arab kepada Tuan Hassan.
Pada bulan Januari 1929 dalam rapat umum Jong Islamiten Bond (JIB) yang diadakan di sekolah Persatuan Islam, Fachroeddin al-Khairi terpilih sebagai ketua JIB cabang Bandung dan M Natsir sebagai wakilnya. JIB ini didirikan atas respon pemuda Islam terhadap organisasi pemuda yang ada dan atas saran Kiai Agus Salim, yang didirikan oleh Wiwoho, Sjamsuridjal dan kawan-kawan. Dengan aktivitasnya itu keduanya semakin sering datang ke kediaman Tuan Hassan.
Bulan Maret 1929 didirikan Komite oleh kaum Muslim untuk menentukan sikap yang berkaitan dengan berbagai cemoohan, serangan, tuduhan dan celaan dari orang-orang yang membenci Islam. Serangan kebencian itu dilakukan dengan lisan dan tulisan, melalui mimbar gereja, ceramah, pelajaran di sekolah atau tulisan-tulisan di koran, majalah dan buku-buku agar kaum pribumi membenci Islam dan umatnya. Untuk menanggapi mereka Komite menerbitkan Pembela Islam. Majalah Pembela Islam diterbitkan pertama kali pada bulan Oktober 1929. Majalah ini terbit sampai nomor 71.
Ketika M Natsir akhirnya lulus dari AMS Bandung ia mendapat bea siswa dan ia bisa melanjutkan pendikan ke Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Belanda, tapi ia lebih memilih untuk mengelola Pembela Islam. Tulisan-tulisannya tentang Islam banyak di muat di dalamnya, selain kolom Soal-Jawab A Hassan tentang masalah fiqh.
Setelah ia putuskan untuk tidak mengambil bea siswa ke perguruan tinggi, ia selanjutnya menjadi pendidik, dengan dibekali ilmu mendidik yang ketika itu baru dibuka. Ketika ia akan mengajar, semuanya harus disiapkan sendiri, gedung untuk kelas menyewa, meja bangku dan peralatan beli sendiri dan dibantu donatur. Di sela kesibukannya mengajar M Natsir mengelola majalah Pembela Islam hingga majalah itu berhenti penerbitannya.
Zaman setelah kemerdekaan ia pidato dalam Sidang Konstituante 12 November 1957 tentang hubungan Islam dan negara, yang isinya antara lain: “Sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap, hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam penghidupan kaum sekularis tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal: akhirat, Tuhan dan sebagainya …” (Herbert Feith & Lance Castles, ed.,1988)
Pada jilid pertama mengisahkan tentang M Natsir hingga menjelang kedatangan Jepang dan polemiknya dengan Soekarno. Dalam polemik dengan Bung Karno yang memuji langkah Turki yang dipimpin Kemal ia mengatakan Soekarno telah keliru tentang sekularisme. Ia langsung merujuk karya Ali Abdurrazik, yang ketika itu sudah diterbitkan, untuk menjawab Bung Karno, (Capita Selekta, hal. 429). Tulisan-tulisan lain M Natsir yang dimuat dalam Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat kemudian dikumpulkan dalam buku Capita Selekta. Selain karya tulis yang dikumpulkan dalam Capita Selekta itu ia banyak menulis artikel dan buku, ada yang ditulis dalam bahasa Belanda.
Ajip Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi, (Jakarta, GP, 1990)
Cibinong, 23-10-2022