“…. risalah Islam tidak ada mengenai tegaknya kerajaan Islam. Yang ada adalah tegaknya sistem politik dan sosial baru yang didasarkan pada keterhubungan, persaudaraan, empati, pencegahan hegemoni manusia satu atas manusia lain. Kekuasaan kerajaan diganti dengan kekuasaan nurani. Nurani yang hidup dan sehat yang mengatur manusia dalam tindakannya. Nurani inilah yang mengatur masyarakat. Nurani inilah yang menjamin tegaknya umat yang luhur yang diatur oleh nuraninya yang Islami. Khalifah dalam hal ini hanyalah simbol bagi keadilan dan jaminan terhadap moralitas.” Prof. Husain Mu’nis
Islam sebagai agama sudah disempurnakan sebagaimana dinyatakan dalam wahyu terakhir al-Quran. (Hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu… QS al-Ma idah: 3 ) Umatnya dituntut untuk mempelajarinya (fardhu ‘ain). Setiap Muslim wajib mempelajari, memahami dan mengamalkannya. Sebab dalam Islam tidak ada dominasi pemahaman agama oleh kalangan tertentu. Siapapun bisa menjadi ahli agama (ulama) jika ia mau dan mampu mempelajarinya. Juga tidak ada struktur kekuasaan keagamaan. Semua sejajar, sederajat, mengenai kualitas iman dan taqwa hanya Allah yang Maha Tahu.
Islam yang dipraktekkan oleh nabi Muhammad Saw dan sahabat sangat ideal. Dalam arti, apa yang diwahyukan dipraktekan oleh Nabi Saw. Sahabat patuh mengikuti apa yang dilakukan Nabi Saw walau dalam beberapa hal kadang mengikuti pendapat (ijtihad) sahabat. Umat Islam setelah periode jauh dari kehidupan Nabi Saw dan para sahabat semakin berkurang pemahaman terhadap agamanya dan juga pelaksanaannya.
Lebih-lebih di zaman sekarang yang jauh dari masa Nabi Saw. Oleh karena jarak yang demikian jauh sekitar 15 abad lalu maka pemahaman dan pelaksanaan agama umat semakin kurang dan jauh dari ideal. Inilah fakta yang harus disadari oleh orang saat ini.
Jika kita lihat sejarah. Ketika khalifah Utsman bin Affan terbunuh oleh sekelompok orang ekstrim dan naiknya Ali ra menjadi khalifah terjadi krisis politik. Krisis politik ini dampaknya sangat jauh, dan mencabik-cabik kedaulatan Islam yang masih baru.
Zaman sahabat Ali bin Abi Thalib ra ada orang-orang yang hapal Qur’an yang disebut qurra, yang hanya hapal, namun pemahamannya sangat kurang. Akibatnya mereka sangat ekstrim dalam menentang Ali. Mereka keluar barisan pendukung Ali, yang kemudian disebut kaum Khawarij. Di samping kaum Khawarij ada Muawiyah, ketika itu gubernur Syam, yang juga menentang Ali ra. Di sisi lain ada pendukung Ali ra yang disebut syiat. Muawiyah, walaupun dalam beberapa perang telah berjasa, namun ia termasuk kaum tulaqa. Kaum tulaqa ini adalah kaum kafir Quraisy yang setelah Makah dapat dibebaskan (fath) mereka semua bebas menentukan pilihan. Dan kemudian mereka masuk Islam karena sudah terjepit. Mereka masih terikat kepada tradisi Jahiliyah, masih fanatik kesukuan, yang pada masa selanjutnya mempengaruhi sejarah perkembangan Islam.
Di masa Muawiyah bin Abi Sufyan inilah kekuasaa diwariskan kepada anaknya, Yazid. Hingga akhirnya Ali ra terbunuh, maka dimulailah kepemimpinan dalam Islam berubah menjadi kerajaan atau dinasti, yang pergantiannya dilakukan secara turun temurun. Berbeda dengan masa sebelumnya, pergantian kepemimpinan melalui musyawarah (syura).
“Sebenarnya pertentangan antara jiwa Islam dengan ajaran-ajarannya melawan jiwa jahili dengan norma-normanya sangatlah hebat dan memakan waktu yang lama. Dan pengaruh ajaran Islam terhadap bangsa Arab tidaklah sama diterimanya; yang paling terpengaruh ialah golongan Islam yang pertama yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Ajaran Islam sampai menembus ke jiwa, mereka ikhlas dan patuh menjalankan perintah-perintahnya. Adapun mereka yang masuk Islam setelah penaklukan Makah di masa mereka belum mau menerima ajaran ini kecuali setelah menyaksikan kemenangan-kemenangan yang diperolah Nabi dengan pengikut-pengikutnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali menerima Islam, maka pengaruh agama terhadap sebagian mereka tidak kuat dan mendalam,” demikian dikatakan oleh Ahmad Amin. (h. 112)
“Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.“ (QS al-Hadid: 10)
Depok, 29-8-2019
Rujukan
M Husain Haikal, Sej. Hidup Nabi Saw
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, (2005)
Ahmad Amin, Fajar Islam, (tt), terj. Zaini Dahlan, MA.