Peran Snouck Hurgronje dalam Kolonialisme Belanda di Indonesia

Asal Usul Christiaan SH

Ia diberi nama Christiaan, lahir di Oosterhout 8 Februari 1857 dan meninggal dunia di Leiden 26 Juni 1936. Ayahnya bernama Ds. J.J. Snouck Hurgronje seorang pendeta yang dipecat yang telah memiliki enam anak. Ia memulai hubungan gelap dengan anak rekan kerjanya, Anna Maria tahun 1848. Christiaan merupakan anak keempat Snouck Tua dengan Anna Maria Visser. Setelah istri pertamanya meninggal mereka resmi menikah tanggal 31 Januari 1855 di Terheijden.

Ia memulai belajar teologi tahun 1874 di Leiden dan diselesaikannya sarjana muda tahun 1878. Setelah ia mengikuti kuliah teologi lalu ia belajar bahasa dan kesusastraan Semitis dengan disertasi berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekah) 24 November 1880, dengan promotor De Goeje.

Tahun 1884 Snouck pergi ke Arab. Ia semula berada di Jeddah. Selama di Jeddah ia banyak dibantu oleh Raden Abu Bakar Djajadingrat dari Banten (paman dari murid Snouck, Ahmad dan Husein Djajadingrat) untuk laporan-laporannya. Setelah ia memakai nama Abdul Ghaffar, ia berhasil memasuki Makah tanggal 21 Februari 1885 dan ia bermukim selama sekitar enam bulan.

Pada tanggal 11 Mei 1889 Snouck Hurgronje[1] berlayar dengan kapal uap Jepara dari Singapura ke Hindia Belanda, untuk mempelajari agama Islam di Indonesia. Selama di Hindia ia membuat laporan tentang aktivitas kaum pribumi. Atas laporan-laporannya yang baik mengenai alam pikiran orang Jawa dan Islam di Jawa tahun 1891 ia mendapat jabatan penasehat untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Tahun itu bulan Juli ia berangkat ke Aceh, dan kurang setahun kemudian kembali di Batavia. Setelah dari Aceh ia menulis De Atjehers (2 jilid, 1893-4). “Karya itu merupakan penerobosan, baik karena artinya untuk pengetahuan tentang Islam di Hindia Belanda, maupun karena pembahasan bangsa Aceh sampai ke sumsum kehidupannya. Pembahasan itu memberi landasan untuk pasifikasi di kemudian hari. Keakraban Snouck dengan Aceh dan bahasa Aceh bermula di Mekah, di mana rumah yang ditempatinya terletak di seberang “hotel” orang Aceh, yang dikunjunginya setiap hari,” kata Wensink (muridnya Snouck H., dan begitulah murid kepada gurunya).

Pada tahun-tahun selanjutnya ia secara bergantian berada di Batavia dan di Aceh.

Snouck sempat menikah dua kali dengan orang pribumi, pertama dengan Sangkana di Ciamis memiliki empat anak dan ketika istri pertamanya meninggal ia mengawini Siti Sadijah di Bandung. Dari istri kedua lahir seorang anak, diberi nama R. Jusuf.

Beberpa koran Hindia pada masa itu ada yang memberitakannya, tapi oleh pemerintah kolonial dibantah dan Snouck sendiri meminta untuk merahasiakannya.

“Memang betul terjadi, bahwa “orang-orang Eropa” atas dasar hukum perdata yang berlaku bagi mereka, dapat mengikat akad nikah dengan para wanita “Bumiputra”, dan anak-anak mereka dipandang sebagai “orang-orang Eropa”. Tetapi dalam masyarakat kolonial waktu itu, perkawinan-perkawinan demikian berarti menodai status Eropa yang bersangkutan, antara lain dapat menyebabkan kesulitan dalam karir”. (VK, h. 156)

Dari buku VK

Tahun 1906 Snouck dari Hindia kembali ke Belanda. Tahun 1910 ia menikah dengan Ida Maria, anak pensiunan pendeta AJ. Oort. Lalu ia ditawari jabatan guru besar bahasa Arab di Leiden, dan ia menerima jabatan itu.  Tahun 1913 ia memberikan serangkaian ceramah tentang Islam atas undangan American Committee for Lectures on the History of Religions.

Antara tahun 1920-1922 Snouck sibuk menjalankan tugas sebagai sekretaris Senat dan Rektor Universitas di Leiden, dan dalam pengukuhannya ia berpidato dengan judul “De Islam en het rassenprobleem” (Islam dan masalah rasialisme). Dan pada tahun 1927, pada saat ulang tahunnya ia mendapat hadiah sejumlah uang dari kawan-kawannya. Uang itu ia gunakan membangun Lembaga Ketimuran (Oostersch Instituut).

Jika dilihat dari beberapa karyanya ia lebih dekat disebut sebagai etnolog, seperti De Atjehers (Aceh, Rakyat dan Adat istiadatnya). Karya ini berasal dari laporan-laporannya soal Aceh yang dibantu oleh informan Acehnya tapi di dalam pengantarnya tidak disebutkan. Kebanyakan sesama orientalis saling menyanjung dan apalagi murid-muridnya. Tidak ada karya yang bersifat kritik. Kecuali karya Van Koningsveld, ada beberapa kritik dari bukunya.

Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya by Christiaan Snouck Hurgronje
gr

‘Politik Islam’ Hindia Belanda

Snouck menangani masalah kebijaksanaan politik pemerintah Hindia Belanda tentang Islam pada masa kolonialisme. Untuk mempertahankan kekuasaannya pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai cara, di antaranya ide politik Islam dari tokoh kolonialis-orientalis Snouck Hurgronje. Ia meneliti tentang penduduk pribumi dan bermukim di Makah, dan setelah itu ia memberikan nasehat-nasehat terhadap pemerintah Hindia Belanda  untuk menangani pribumi dan terutama Aceh.

Yang semula penjajah selalu berdasar rasa takut dan tidak ikut campur dalam melihat Islam. Dengan penerapan Politik Islam di mana  Snouck Hurgronje sebagai peletak dasar, maka pemerintah Hindia Belanda memiliki pola bagaimana menangani Islam. Terhadap urusan ibadah pemerintah kolonial bersikap netral, namun dalam masalah politik umat Islam harus dijaga, dijauhkan dan bahkan dihancurkan. Para penasehat bekerja di Kantoor voor Inlandsche zaken yang bertugas memberikan nasehat kepada Gubernur Jenderal urusan pribumi.[2]

Snouck Hurgronje dan Islam

Peran Snouck dalam menyokong kolonialisme Belanda di Indonesia sangat besar. Untuk keperluan itu ia meneliti (atau memata-matai) Islam Nusantara dan ia berusaha masuk ke pusat Islam, Makah. Ia bermukim di sana, selama kurang lebih enam bulan, untuk mengumpulkan informasi mengenai kaum muslim Jawa di kota itu. Ia dibantu Sayyid Usman dan Hasan Mustafa. (kelak mereka berdua menjadi pejabat usulan Snouck di Hindia Belanda)

Mengapa Snouck berhasil masuk ke Makah? Koningsveld mengungkapkan bahwa Snouck dengan keahliannya dapat mengecoh ulama-ulama Makah, bahwa ia seorang muslim, dengan nama samaran Abdul Gaffar. Hasil pengamatannya itu, dan kemudian di Aceh, ia gunakan untuk bahan nasehat-nasehat tentang bagaimana menangani kaum muslimin kepada pemerintah Hindia Belanda.[3

Polemik tentang Peran Snouck Hurgronje

Oleh generasi sesudah perang dunia kedua para tokoh yang memiliki peran penting dalam politik kolonial Belanda disorot, di antaranya Snouck Hurgronje. Sarjana yang melancarkan kritik terhandap Snouck ialah PS. van Koningsveld. Ia seorang peneliti ahli dalam sejarah Islam pada Fakultas Theologis, Universitas Leiden, Belanda, satu almamater dengan Snouck. Ia memberikan ceramahnya  mengenai Snouck Hurgronje (SH) tentang perannya dalam politik kolonial, dengan mengajukan beberapa pertanyaan: 1) apakah tujuan SH pergi ke Makah untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam ataukah menjalankan tugas pemerintah kolonial serta menjalankan penelitiannya?; 2) apakah motivasi SH masuk agama Islam (dengan nama Abdul Ghaffar)?; 3) bagaimana pendirian SH terhadap Islam di Indonesia, melindungi atau memerangi?; 4) bagaimana sikap SH terhadap pribumi?

Dalam ceramahnya yang kemudian disiarkan Koningsveld mengatakan bahwa SH selama di Tanah Suci Makah untuk menyelidiki gerak-gerik para haji pribumi dari Hindia Belanda. Penyelidikannya itu membantu penyusunan laporannya mengenai Aceh, yang kemudian menjadi buku De Atjehers. Dalam jilid kedua dipersoalkan Koningsveld karena SH tidak menyebutkan sumber datanya.

Ia didatangkan ke Hindia Belanda setelah terjadi pemberontakan di Cilegon, Banten (Juli 1888). Pendirian SH, kata Sartono Kartodirdjo, ada relevansinya dengan peristiwa itu. Di kalangan pemerintah Belanda sendiri penuh Islamo-phobia serta kiai-phobia.[4]

Menurut Koningsveld masuk Islamnya SH untuk tujuan memasuki kota Makah, untuk menyelidiki jamaah haji Hindia Belanda. Di samping tujuan itu, SH mengikuti cara Ignaz Goldziher yang mempelajari Islam dari dalam.[5]

Pandangan SH mengenai pribumi bahwa kaum pribumi perlu diemansipasi dari keterbelakangan, yang dikenal dengan “politik asosiasi”. Namun, dengan munculnya pergerakan nasional, politik asosiasi mengalami kegagalan. [6] Hal itu juga mengindikasikan arogansi budaya (Eropa-centris) bahwa mereka lebih tinggi dari pribumi. Dalam tulisan-tulisannya SH sangat memusuhi Islam pribumi. Hanya saja kata-kata kasar dan negatif mengenai pribumi sudah banyak dihilangkan atau diedit pada laporan-laporan atau buku yang diterbitkan, seperti kata Koningveld.

Depok, 3 Agustus 2013

lu’ay

Catatan:

[1] P.SJ. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam, (Jakarta: Girimukti P, 1989), terj., h. 180

[2] H Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,(Jakarta:LP3ES, 1985), h. 11

[3]Snouck Hurgronje dan Islam

[4] Sejak Indische sampai Indonesia, h.232; Sartono Kartodirdjo menulis distertasi mengenai “Pemberontakan Petani Banten 1888” (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)

[5]Snouck Hurgronje dan, h. 130

[6] Sejak Indische…, h. 234

Tentang farid lu'ay

on history..... "masa kini dan masa lampau akan muncul di masa depan..." ts eliot (the present and the past will appear in the future)
Pos ini dipublikasikan di Indonesia, Kolonialisme, sejarah dan tag , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

6 Balasan ke Peran Snouck Hurgronje dalam Kolonialisme Belanda di Indonesia

  1. yisha berkata:

    postingan keren, terlalu keren untuk otak yisha…….. :mrgreen:

  2. yudi berkata:

    Artikelnya bagus, pak. Perkenalkan saya yudi dari penerbit dastanbooks. Apakah mungkin bapak memperpanjang artikel ini menjadi sebuah buku? Kalau mungkin, kami mau menerbitkannya.
    Mohon nomor hp atau pin bbm atau whatsapp atau emailnya pak biar kita bisa komunikasi lebih lanjut.

    Terimakasih
    Yudi
    081990913737

  3. abyan berkata:

    apik karyane

Tinggalkan Balasan ke luaydpk Batalkan balasan