
Abdul Wahid Hasyim, anak KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, yang lahir 1 Juni 1914 di desa Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ia adalah anak kelima dari 10 bersaudara pasangan Hadratus Syekh Hasyim As’ari dengan Nafiqah. Sejak kecil ia sudah kelihatan cerdas. Umur 5 tahun belajar Al-Qur’an dibimbing langsung oleh ayahnya. Ia mendapatkan pelajaran sampai 12 tahun. Kitab-kitab klasik yang dipelajari di pesantren telah ia pelajari sejak usia 7 tahun dan lepas usia 12 ia pergi belajar ke berbagai pesantren, seperti Siwalan Panji dan Lirboyo di Kediri. Ia hanya 3 tahun menimba ilmu di luar Tebuireng dan Wahid kembali dibimbing ayahnya. Pada umur 15 tahun ia banyak membaca dan belajar sendiri bahasa Arab, Belanda dan Inggris. Ia berlangganan penerbitan bahasa-bahasa tersebut. Pada tahun 1931 ia sudah mulai mengajar kitab “Ad-Durarul Bahiyah” dan “Kafrawi”, dan tahun 1932 ia pergi haji ke Makkah. Ketika berada di kota suci itu ia mendalami bahasa Arab dialek Quraisy.
Pada usia 20 tahun Wahid sudah melakukan aktivitas dalam Nahdlatul Ulama yang didirikan, antara lain oleh ayahnya. Di organisasi ini ia merintis dari bawah, dari ranting Tebuireng sampai menjadi Ketua Pendidikan Al-Ma’arif. Ketika NU keluar dari Masyumi dan NU menjadi partai politik tahun 1950, Wahid terpilih sebagai ketua Biro Politik NU.
Karir politik Wahid dimulai sejak tahun 1944 ketika ia membawa pindah keluarganya ke Jakarta. Berawal dari posisinya sebagai Ketua II Majelis Syura Dewan Partai Masyumi tahun 1945, yang sama dengan posisi Ki Bagus Hadikusumo (ketua I) dan Mr. Kasman Singodimejo (ketua III). Ketua umum dijabat oleh KH. Hasyim Asy’ari. Dalam pemerintahan, ia pernah menjabat sebagai menteri negara. Lalu pada 20 Desember 1949 Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Hatta. Ketika itu kabinet silih berganti, namun Kiai Wahid tetap memegang jabatan menteri agama, mulai Kabinet Hatta (1949-1950) berakhir, Kabinet Natsir (1950-1951) dan Kabinet Sukiman (1953), hingga ia meninggal pada 19 April 1953, dalam suatu kecelakaan mobil di daerah Cimahi, Bandung.
Kiai Wahid termasuk pejuang yang merumuskan dasar negara ini. Ketika pada 7 Desember 1944 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wahid termasuk anggotanya. Ia menjadi anggota termuda. Badan ini bersidang dua kali, antara 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Terjadi perdebatan sengit dalam sidang tersebut, antara kelompok nasionalis dan agama. Dua kelompok tersebut tak dapat dipertemukan dan bersikukuh dengan pendapat masing-masing.
Untuk mencari jalan keluar, maka dibentuklah panitia sembilan, wakil Islam (Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno dan Aboel Kahar Moezakar) dan pihak nasionalis (Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, M. Yamin dan AA. Maramis). Panitia kecil tersebut berhasil merumuskan pembukaan UUD, yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta, yang pada sila pertama tercantum kalimat, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal itu terjadi pada 22 Juni 1945. Semula semua sepakat, termasuk wakil dari nasrani Maramis. Namun pada Agustus 1945 satu persatu ide Islamis digugurkan, setelah panitia lebih kecil dibentuk PPKI sebagai pengganti BPUPKI.
Dalam sidang-sidang selanjutnya yang pada puncaknya 18 Agustus 1945, akhirnya kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dibuang diganti dengan Ketuhanan yang Maha Esa. Perubahan itu karena ada utusan dari perwira Jepang yang mengabarkan berita dari wilayah timur yang menolak.
Selain aktif dalam politik Kiai Wahid juga mengelola pendidikan. Dengan ilmu dan pengalamannya yang luas KH. Wahid mulai mencoba menerapkan model pengajaran yang baru, yakni penggabungan antara ilmu agama Islam dan pengetahuan umum. Pada tahap awal ia berhasil mendidik dua orang murid, yang satu berkiprah di Nahdlatul Ulama dan satu lagi menjadi guru di Muhammadiyah. Kemudian pada tahun 1935 ia mulai membuka madrasah modern, dengan nama Madrasah Nizamiyah. Semua kritik tak ia hiraukan, namun dengan berjalannya waktu percobaan madrasah modern itu melahirkan hasil yang baik, murid-murid pandai berbahasa Arab, juga lancar bahasa Belanda dan Inggris. Banyak orang kagum dan percaya, yang akhirnya banyak yang mendaftarkan anaknya untuk belajar di sekolah itu.
Ia aktif berorganisasi, berjuang, dan menulis, dan semua yang ia lakukan karena cintanya pada tanah air ini. Ketika ia menulis untuk sambutan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, dalam kongres PUSA di Kutaraja Aceh, ia mengutip Ernest F Douwes Dekker (Dr. Setia Budi),
“Jika tidak ada agama Islam di Indonesia ini, niscaya akan lenyaplah kebangsaan Indonesia dari kepulauan ini, karena derasnya arus paham kebaratan. Memang kebangsaan Indonesia akan tetap juga di Indonesia, akan tetapi kebangsaan itu tidak asli lagi.”
Sumber dari: Hasil suntingan Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. Wahid Hasyim dan Karangan tersiar, ( Jakarta: Panitia Perngt. KH W Hasyim, 1957).
Depok, 14 Maret 2013
thank for like this post all blogers 🙂