Abu al-Hasan lahir pada 6 Muharram 1333 H (1914 M) di Takia Kala, Raibareily, Uttar Paradesh, India dan wafat pada Jum’at 23 Ramadhan 1440 H (31 Desember 1999 M) di tempat kelahirannya. Ayahnya adalah Syarif al-‘Allamah Abdul Hayy bin Fakhruddin bin Ali, yang nasabnya sampai kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya memiliki banyak karya tulis yang sudah dicetak maupun masih dalam tulisan tangan.
Ia memulai belajarnya dengan menghapal al-Quran, di bawah pengawasan ibunya, yang hafal al-Qur’an, ahli menulis dan menggubah syair. Ia melanjutkan studinya dengan mendalamai bahasa Urdu dan Persia berdasarkan tradisi umum di India. Pada usia 12 tahun ia belajar bahasa Arab dan Inggris sekaligus. Gurunya adalah as-Syekh Khalil bin Muhammad al-Yamani. Selama 2 tahun ia belajar sastra Arab, dan ia banyak menelaah buku sastra Arab. Lalu ia melanjutkan belajar di Universitas Lucknow. Di perguruan tinggi yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dalam bahasa Inggris itu ia memilih Fak. Sastra Arab. Setelah lulus ia masih belajar kepada Syekh Taqiuddin al-Hilali al-Marakisyi, sebagai Kepala bidang sastra Arab di Nadwat al-Ulama.
Pada usia sekitar 17 tahun Abu al-Hasan sudah menerbitkan karyanya dalam bahasa Arab, tentang biografi Imam Ahmad. Ia terus melanjutkan belajar ilmu-ilmu Islam lainnya dengan pergi ke Lahore. Selesai masa belajar ia kembali ke Lucknow dan mengabdi sebagai pengajar di Adarul Ulum, Nadwat al-Ulama selama 10 tahun di samping terus menulis. Di Nadwat Ulama ia menjadi pemimpin redaksi majalah an-Nadwah dalam bahasa Urdu, juga ia diminta menulis buku untuk mahasiswa Universitas Islam Aligarh, dan ia juga menulis buku-buku paket untuk pelajar sekolah-sekolah Arab di India.
Setelah itu Sayyid Abu al-Hasan pindah ke kota Delhi dan ia bertemu dengan Syekh Muhammad Ilyas, seorang da’i pembaru. Dari sinilah ia memulai perjalanan dakwah ke berbagai pelosok mengikuti Syekh Ilyas. Juga ia mendapat pelajaran spiritual dari Syekh Abdul Qadir a-Rai Puri.
Melalui berbagai literatur ia mendalami sejarah Eropa, termasuk faktor politik, sosial, agama, khususnya pergulatan antara ilmu pengetahuan dan agama, penguasa dan gereja, serta sejarah kehidupan dan perkembangan moral di Eropa, juga beberapa faktor yang membawa perubahan besar pada pola kehidupan bangsa-bangsa di Barat dan di Timur.
Ia juga melakukan kajian sejarah negeri-negeri Muslim di Timur, termasuk agama, kepercayaan, filsafat dan kebudayaan mereka, dan khususnya sejarah bangsa Arab, pada masa jahiliyah dan pra Islam.
Ia banyak dipengaruhi oleh kakaknya Dr. Sayyid Abdul Ali al-Hasani, Sekjen Majelis Ulama Lucknow. Ia menjadi sosok panutan dalam pemikiran yang menggabungkan antara keilmuan Islam dan Barat modern. Ia meyakini akan relevansi Islam sebagai konsep kepemimpinan dunia sepanjang masa, serta memperkuat keyakinan penulis, bahwa nabi Muhammad Saw adalah penutup para nabi dan rasul, pemimpin semua umat, dan pelita bagi kehidupan.
Sebelum menulis ia telah membaca dan mengamati mengenai umat Islam yang ditulis dengan kacamata sejarah dunia, dengan itu ia ingin keluar dari spektrum konvensional. Ia melihat dunia dari kacamata umat Islam. Oleh karena itu ia membuat berbagai analisis, di antaranya, “Kerugian apa yang diderita umat Islam sebab peristiwa A?”, “sebab jatuhnya pemerintahan si B?”, dan “Kerugian apa yang diderita umat Islam akibat jatuhnya sebagian besar wilayah kekuasaan Islam ke tangan bangsa Barat?”, “Kerugian apa yang diderita umat Islam sebab keterpurukan ekonomi, politik dan militer?”.
Itulah metode lama yang biasa dipergunakan dalam melihat mengenai umat Islam. Lalu ia menggunakan kacamata lain, “Kerugian apa yang diderita dunia akibat kemunduran umat Islam?” Dalam kaitan ini, umat Islam berperan sebagai faktor global yang membawa perubahan pada berbagai peristiwa yang terjadi di dunia ini secara keseluruhan, bukan hanya pada batasan geografis tertentu atau garis teritorial politik terbatas. Dapatkah dibenarkan upaya mengaitkan nasib dunia atau masa depan umat manusia dengan masa depan dan realitas kehidupan umat Islam?
Mula-mula ia agak ragu ketika akan menulis tema itu, dalam bahasa Arab, sebab ia baru dalam dunia tulis menulis. Apalagi dalam bahasa Arab, di mana penulis jauh dari pusat kebudayaan Arab dan dari sumber ilmu pengetahuan Islam yang otentik. Dalam hati ia bertanya, apakah karyanya nanti akan mendapat sambutan di dunia Arab dan dunia Islam? Semula ia mengajukan daftar isi buku kepada Dr. Amin Bek, Ketua Lajnah Penulisan, dan diterima olehnya. Kemudian ia mengirim naskah buku itu.
Ketika ia berkunjung ke negeri Hijaz tahun 1950 M (1369 H) ia mendapati naskah buku yang diajukannya beberapa waktu lalu di tangan Prof. Jawwad al-Murabith yang dibawanya dari Mesir. Ia kagum dengan kedalaman dan keaslian pemikiran ulama India.
Dua bulan setelah terbitnya buku itu tahun 1951 M ia berkunjung ke Mesir. Ia tak membayangkan bahwa buku itu dibaca kalangan intelektual dan pemerhati persoalan keumatan, perjuangan dan kebangkitan Islam. Buku Derita Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam diulas dan didiskusikan. Dalam kesempatan itulah ia bertemu dengan berbagai kalangan tokoh dan ulama Mesir, di antaranya Sayyid Qutb, Dr. M Yusuf Musa dan Dr. Ahmad as-Syurbashi, Guru Besar universitas al-Azhar. Buku itu juga disetujuinya untuk mendapat revisi dari ulama al-Azhar. Ia mendapat kunjungan dari Dr. as-Syurbashi untuk mengenal penulis, keluarga dan kerabat serta kehidupan penulis. Dalam edisi kedua buku itu disertakan biografi singkat penulis dengan judul Akhi Abul Hasan tulisan Dr. as-Syurbashi.
Setelah buku itu Sayyid Abu al-Hasan juga menulis, Qodiyanism a Critical Study (1979), The Glory of Iqbal (1379 H), Maulana Jalauddin Rumi (1394 H/ 1974 M, )dan karya lainnya.
Dalam buku Madza Khosairal ‘Alam bi inhithati al-Muslimun yang diterjemahkan menjadi Derita Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam dan ada beberapa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Buku ini juga telah diterjemahkan ke bahasa Urdu dan Inggris dan bahasa lainnya..
Tema buku itu berkaitan dengan sejarah zaman Jahiliyah, era Islam, abad Eropa, derita batin manusia sepanjang era kolonialisme Eropa, dan kepemimpinan dunia Islam.
“Feneomena keterbelakangan umat Islam, kegagalan dan keterasingan mereka dari kepemimpinan bangsa-bangsa yang berakhir dengan mundurnya umat Islam dari kancah kehidupan dan perjuangan, bukan peristiwa biasa yang seringkali terjadi dalam sejarah, atau sama saja dengan keterbelakangan bangsa-bangsa yang ada di muka bumi, atau jatuhnya rezim atau pemerintahan berkuasa, tersingkirnya seorang raja, kekalahan para pejuang di medan perang, sirnanya bayang-bayang peradaban, dan pasang surutnya kehidupan politik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bangsa-bangsa tersebut tidak terbilang banyaknya, dan demikian pula yang terjadi dalam kehidupan umat manusia! Namun peristiwa yang menyangkut keterbelakangan umat Islam sungguh teramat ganjil dan tidak ada bandingnya dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang penuh keganjilan.”, kata penulis.
“Fenomena tersebut tidak khusus berkenaan dengan dunia Arab, tidak pula terbatas pada bangsa dan negeri-negeri yang tunduk pada Islam, melainkan bahwa keterbelakangan umat Islam merupakan dilema kemanusiaan secara umum, yang paling mengerikan dan paling nestapa sepanjang sejarah!”, lanjutnya, “Akan tetapi fenomena keterbelakangan umat Islam itu tidak terjadi dalam sehari melainkan selama beberapa kurun waktu secara perlahan.” Oleh karena itu mata dunia tidak memberikan perhatian secara seimbang terhadap peristiwa besar itu sebab pada hakikatnya mereka tidak memiliki parameter yang bisa meyakinkan bagi kebahagiaan dan penderitaan umat manusia.
Ia menulis, “Seorang Muslim memandang dunia Arab bukan dengan kacamata yang dipergunakan bangsa Eropa, bukan pula dengan kacamata yang dipergunakan oleh penduduk pribumi Arab, melainkan bahwa umat Islam memandang dunia Arab sebagai bumi kelahiran dan ufuk terbitnya fajar Islam, sebagai tambatan umat manusia dan sebagai poros kepemimpinan dunia.” (h. 308)
Lanjutnya, “Sesungguhnya dunia Arab tidak berdaya menghadapi zionisme, atheism, atau musuh-musuh Islam lainnya, dengan kekuatan materi, atau kekuatan uang yang dikucurkan pemerintah Inggris atau yang dipinjamkan oleh Amerika atau Rusia, atau uang tunai yang diberikan oleh negeri lain sebagai harga dari minyak bumi. Melainkan bahwa umat Islam akan mengalahkan musuh-musuhnya dengan senjata iman dan kekuatan spiritual seperti ketika mereka menundukkan imperium Roma dan Persia dalam satu waktu.”
28-2-2013
makin penuh makna……….
mencoba menggali makna…