- Muhammad Mustafa A’zami
Muhammad Mustafa A’zami, adalah seorang cendekiawan terkemuka di bidang ilmu Hadith, lahir di Mau, India pada awal tahun tiga puluhan. Pendidikan pertama di Dar al-`Ulum Deoband, India (1952), Universitas al-Azhar, Kairo, (M.A., 1955), Universitas Cambridge (Ph.D., 1966). Guru Besar Emeritus (pensiun) pada Universitas King Sa’ud (Riyad) dan beliau pernah menjabat sebagai kepala jurusan Studi Keislaman, dan memiliki kewarganegaraan Saudi Arabia. Profesor A’zami pernah menjabat sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional, Qatar; Associate Profesor pada Universitas Umm al-Qura (Mekah) ;
Sebagai Cendekiawan tamu pada Universitas Michigan (Ann Arbor); Fellow Kunjungan pada St. Cross College (Universitas Oxford) ; Professor Tamu Yayasan Raja Faisal di bidang Studi Islam pada Universitas Princeton, Cendekiawan Tamu pada Universitas Colorado (Boulder). Beliau juga sebagai Professor kehormatan pada Universitas Wales (Lampeter).
Karya-karyanya antara lain, Studies in Early Hadith Literature, Hadith Methodology dan Literaturnya, On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence, Dirasat fi al-Hadith an-Nabawi, Kuttab anNabi, Manhaj an-Naqd `ind al-`Ilal Muhaddithin, dan al-Muhaddithin min alYamamah. Beberapa buku yang dieditnya antara lain, al-` Ilah of lbn al-Madini, Kitab at-Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasulullah of `Urwah bin Zubayr, Muwatta Imam Malik, Sahih ibn Khuzaimah, dan Sunan ibn Majah. Beberapa karya al-A’zami telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa lain. Karya yang akan datang antara lain, The Qur’anic Challenge: A Promise Fulfilled (Tantangan AI-Qur’an: Suatu Janji yang Telah Terpenuhi), dan The Isnad System : Its Origins and Authenticity (Sistem Isnad: Keaslian dan Kesahihannya).
Pada tahun 1980 beliau menerima Hadiah Internasional Raja Faisal untuk studi keislaman.
Prof. M Mustafa A’zami . Untuk tujuan meng-counter pendapat mereka A’zami menulis sejarah teks Al-Qur’an dan dibandingkan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ia mengatakan bahwa kaum orientalis untuk membuktikan naskah Al-Qur’an mengalami perubahan mereka mencurahkan pada aspek naskah bahasa Arab dengan menyentuh segi-segi kelemahannya. Dan perubahan itu terjadi dalam penyusunan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Mereka menuduh bahwa pada periode tersebut terjadi pemalsuan teks asli. Padahal pada periode itu selain banyak penghapal Al-Qur’an dan mereka pun memiliki naskah tertulis. Sebenarnya anggapan mereka tentang “naskah yang tidak lengkap” tidaklah berpengaruh terhadap keutuhan Al-Qur’an. Berbeda dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang keasliannya diragukan
A’zami melihat terdapat beberapa pintu gerbang yang digunakan kaum orientalis sebagai alat penyerang teks Al-Qur’an, yang pertama adalah menghujat tentang penulisan dan kompilasinya. Dengan semangat ini mereka mempertanyakan mengapa, jika Al-Qur’an sudah ditulis sejak zaman nabi Muhammad SAW, Umar bin Khattab khawatir dengan kematian para penghapal (huffaz) pada peperangan Yamamah dan memberitahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini. Mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak disimpan oleh Nabi SAW sendiri? Mengapa pula Zaid bin Tsabit tidak memanfaatkan bahan itu untuk menyiapkan Suhuf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh kaum Muslimin, penjelasan itu oleh mereka bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.
Lalu ia mengatakan, “Mungkin karena kedangkalan ilmu, berlaga tolol (tajahul), atau pengingkaran terhadap kebijakan pendidikan kaum Muslimin merupakan permasalahan sentral yang melingkari pendirian mereka.”
Pintu gerbang kedua, yakni masuknya serangan terhadap Al-Qur’an adalah melalui perubahan besar-besaran studi keislaman menggunakan peristilahan bahasa Barat, seperti yang dilakukan oleh Schackt dalam menulis tentang hukum Islam dan Wansbrough terhadap Al-Qur’an. Dan pintu gerbang ketiga dalam menyerang Al-Qur’an, yakni tuduhan yang diulang-ulang terhadap Islam sebagai pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen.Pintu gerbang terakhir adalah mereka hendak memalsukan Kitab Suci Al-Qur’an itu sendiri, seperti yang dilakukan Arthur Jeffery mengenai ragam bentuk Al-Qur’an.
___________________________________________________________
2. Syekh Muhammad Nasiruddiin al-Bani
Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Bani, lahir tahun 1333 H/ 1912 M di kota Ashqodar, ibu kota Albania. Ayahnya bernama al-Haj Nuh, adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari’at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (Istambul). Ketika Ahmad Zagho naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syeh Nuh memutuskan untuk berhijrah ke Syam. Keputusan itu diambil untuk menyelamatkan agama dan sekalugus guna menghindari terjadinya fitnah. Keluarga ini menuju Damaskus.
Setiba di kota Damaskus, Syekh al-Bani kecil mulai aktif mempelajari bahasa Arab. Ia masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jam’iyah al-Is-af al-Khairiyah. Usai tamat ia menuntut ilmu langsung kepada para syekh.Dari ayahnya ia belajar Al-Qur’an dan fiqh madzhab hanafi. Selain belajar ilmu-ilmu agama, Al-Bani juga belajar keterampilan untuk memperbaiki jam dari ayahnya. Kelak, karena keahliannya itu, ia dikenal sebagai seorang tukang servis jam yang amat masyhur.
Pada usia 20 tahun, pemuda al-Bani mulai mengonsentrasikan diri pada ilmu hadits. Ia tertarik belajar hadits karena terkesan dengan pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, majalah yang diterbitkan oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min Akhbar. Kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang ada pada kitab Ihya ‘Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Kegiatannya dalam bidang ini ditentang oleh ayahnya, dan seraya berkata, ‘”sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan yang orang-orang pailit (bangkrut)”.
Namun, Syekh al-Bani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, ia tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Oleh karenanya, ia memanfaatkan Perpustakaan al-Dhahiriyah yang berada di pusat kota Damaskus. Hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai ia menutup kios reparasi jamnya. Dalam sehari Syekh al-bani bisa menghabiskan 12 jam membaca buku di perpustakaan al-Dhahiriyah. Tidak pernah beristirahaat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Akhirnya, kepala kantor perpustakaan memberi memberi sebuah ruangan khusus untuknya. Bahkan kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Hal ini membuatnya leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pulangnya, ketika orang lain pulang pada waktu dzuhur, al-Bani justru pulang setelah shalat isya. Hal ini ia jalani selama bertahun-tahun.
Diceritakan oleh Abu Abdurrahman Muhammad Khatib, pada tahun 1980 Syekh berhijrah dari negeri Siria ke Amman (Yordania), yang kemudian menjadi tempat tinggalnya. Beliau memilih tinggal di perkampungan yang sederhana. Ia justru ketika pernah ditawari orang kaya sebidang tanah yang terletak di sekitar kota Amman, namun ditolaknya. Syekh a-Bani adalah seorang yang berperangai wara’, selalu menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat dan syubhat. Ketika beliau menolong orang lalu orang yang ditolong memberinya hadiah, Syekh mengutip hadits Rasulullah saw,” Barang siapa yang menolong seseorang dengan suatu pertolongan, lalu diberikan kepadanya hadiah dan diterimanya, berarti ia telah mendatangi salah satu pintu riba”. Kemudian dibagi-bagikannya hadiah tersebut kepada fakir miskin.
Syekh Al-Bani pernah mengajar pada Jami’ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, tahun 1381-1383 H, tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta Al Bani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi tidak memungkinkannya memenuhi tugas tersebut. Pada tahun 1395 -1398 H ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota majelis Tinggi Jami’ah Islamiyah di sana. Beliau mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi berupa King Faisal Foundation pada 14 Dzulqaidah 1419 H.
Karya karyanya:
Di antaranya ada yang sudah dicetak dan masih berupa manuskrip dan ada yang hilang, semau berjumlah 218 judul. Di antaranya ialah: Adabuz –Zifaf fi As-Sunah al-Muthharah; al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid Jami’ah; Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah; Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah; At-Tawasul wa ama’uhu; Ahkam al-Janaiz wabida’uhu.
Di samping karya tulis, juga terdapat kaset-kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.
Beliau berwasiat agar karya-karya tulisnya diserahkan ke perpustakaan Jami’ah untuk manfaat dakwah. Pada hari Jumat malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniah 1420 H/ 1 Oktober 1999 M di Yordania Syekh Albani meninggal dunia.
Kitab ini Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah membahas mengenai hadfits dha’if dan maudh’u/ lemah dan palsu. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia menjadi 4 jilid.
________________________________________________________________
3. Syekh Muhammad Al-Ghazali
Al-Ghazali lahir di desa Nakhla al-Inab, Itay al-Barud, Buhairah, Mesir (22 September 1917 M). Syekh Al-Ghazali dibesarkan di lingkungan keluarga agamis yang sibuk di dunia perdagangan. Ayahnya seorang hafidz al-Qur’an dan sang anak menghapal Qur’an sejak usia sepuluh tahun.
Pendidikan dasar hingga perguruan tinggi ditempuhnya di lingkungan Al-Azhar, di Iskandariyah dan Kairo. Pada mulanya al-Ghazali menerima ilmu dari guru-guru di kampungnya. Sekolah dasar sampai menengah atas di Iskandariyah. Kemudian ia melanjutkan pada Fakultas Ushuluddin dan mendapat ijazah pada tahun 1361 H/1943 M. Ia mendapat gelar Magister di bidang Dawah wal Irsyad tahun 1362 H/ 1944 M. Para guru yang paling berpengaruh saat ia belajar di antaranya yaitu, Syekh Abdul Aziz Bilal, Syekh Ibrahim al-Gharbawi, Syekh Abdul ’Azhim az-Zarqani, dll.
Setelah menyelesaikan studi, Syekh Muhammad al-Ghazali menjadi imam dan khatib di masjid al-‘Atabah Al-Khadira. Setelah itu ia banyak mendapat jabatan secara berurutan, Dewan Urusan Masjid, Dewan Penasehat Al-Azhar, Wakil Dewan Urusan Masjid, Direktur Pelatihan, Direktur Dakwah wal Irsyad (Dakwah dan Penyuluhan). Oleh karena aktivitasnya , pada tahun 1944 Syekh Al-Ghazali dijebloskan penjara Ath-Thur selama satu tahun dan penjara Tharah 1965 selama beberapa waktu.
Ia pernah menjadi dosen tamu di Universitas Ummul Qura, Makah , tahun 1971. Tahun 1981 ditunjuk sebagai wakil menteri, dan kemudian ia memegang jabatan ketua Dewan Keilmuwan Universitas Al-Amir Abdul Qadir Al-Jazaairi al-Islamiyah di Aljazair selama lima tahun.
Syekh Muhammad Al-Ghazali berdakwah di berbagai tempat. Perjuangan dakwahnya tidak hanya di kota kelahirannya, Mesir, namun ia merambah ke berbagai kawasan. Dan bahkan kawasan mulai dari Amerika, Asia Tenggara hingga Australia mengenal aktivitas dakwah dan kejeniusan pemikiran Syekh Al-Ghazali. Kepeduliannya terhadap nasib dan kondisi buruk yang menimpa umat Islam di kawasan Arab, Afrika sampai Asia, tak diragukan lagi. Seluruh hidupnya didekasikan untuk berdakwah membangkitkan umat Islam dari keterpurukannya.
Semasa kuliah, aktivitas pergerakan dakwah Islam mulai memasuki kehidupan Syekh Muhammad al-Ghazali. Ia direkrut oleh Imam Hasan al-Banna menjadi salah seorang anggota, tokoh dan juru bicara Ikhwanul Muslimin. Juga ia pernah menjadi penasehat dan pembimbing di Kementerian Wakaf, ketua Dewan Kontrol Masjid, ketua Dewan dakwah, dan terakhir menjadi wakil kementerian Wakaf dan Urusan Dakwah Mesir. Sebagai akademisi, ia menjadi guru besar di berbagai Negara Islam, seperti Universitas al-Azhar (Mesir), Ummul Qura (Makah), King Abdul Aziz (Jeddah), Qathar, dan Aljazair. Selama hidupnya ia telah menghasilkan lebih dari 60 buah buku, berkaitan dengan pemikiran, syariat maupun akhlak.
Di antara buku-bukunya yang dikenal, antara lain, sebagai berikut: Fiqhu Sirah; Aqidatul Muslim; ‘ilalun wa Adwiyah; Kaifa Nata’amal ma’al Qur’anul karim; Kaifa Nafhamul Islam; Hadza Dinuna; Ath-Thariqu min Huna; Al-Islam wal Audla’ul Iqthisadiyah; Al-Islam wal Manahijul Istirakiyah; Qazaaitul Haqq, dll.
Seluruh pemikiran Syekh Al-Ghazali bermuara pada usaha untuk membangkitkan umat Islam dari keterpurukannya. Sebagai seorang ulama Al-Azhar yang sangat berkompeten dengan ilmu-ilmu keagamaan ia sangat memahami obat apa untuk umat yang sedang sakit saat ini. Sebagai dai ia memiliki semangat menggelora, keimanan mendalam, perasaan lembut, tekad membaja, lincah, gaya bahasa yang indah, memberi kesan mendalam, pandai bergaul dan pemurah. Sifat seperti ini diketahui setiap orang yang hidup bersamanya, menyertai atau bertemu dengannya. Aktif mengikuti perkembangan sosial dengan segala persoalannya, ikut menyelesaikan problematika umat, mengungkap dan mengingatkan umat tentang bencana yang ditimbulkan oleh setan-setan manusia dan jin, baik di Barat maupun di Timur.
Dr. Yusuf Qardhawi mengatakan, “Syekh Al-Ghazali salah satu tokoh Islam abad modern. Ia dai yang sulit ditemukan tandingannya di dunia Islam saat ini. Ia jenius dan keindahan katanya menawan hati, hingga saya dapat menghapal beberapa ungkapan, bahkan beberapa lembar tulisannya, lalu mengulang sesuai teks aslinya di beberapa ceramah”.
Pada kesempatan lain, Syekh Muhammad Al-Ghazali pernah berkata di hadapan publik, “Bertanyalah kepada Yusuf Qardhawi, karena ia lebih utama dariku. Dulu ia muridku, tapi sekarang aku muridnya”.
Al-Ghazali memang dikenal temperamental. Kemarahannya cepat meluap seperti ombak lautan yang menghanyutkan, atau seperti letusan gunung berapi yang meluluhlantakkan. Hal ini dikarenakan kebenciannya terhadap, baik pada dirinya atau orang lain, dan ia tidak suka mendzalimi atau didzalimi.
Syekh Al-Ghazali berpulang ke haribaan-Nya pada tanggal 9 Maret 1996 M di riyadh, Arab Saudi dan lalu dipindah ke Madinah al-Munawarah, untuk dimakamkan di al-Baqi’, sebagai penghormatan Amir Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud kepadanya.
Dalam satu karyanya Menjawab 100 Soal Islam ia mengulas mengenai, di antaranya “Sejauh manakah Islam dapat Menerima Asas Negara Modern?” Ia mengatakan, “Tidak ada perbedaan antara keinginan fitrah yang sehat dan ajaran-ajaran agama yang suci. Kadang-kadang saya membenarkan sementara pemikiran keagamaan yang condong kepada pertimbangan fitrah sehat; dan ada kalanya juga, berdasarkan Wahyu Suci saya membenarkan beberapa cara yang dipandang sehat oleh kaum humanis.”
“Apakah Islam dapat membenarkan kalau seorang khalifah dipilih untuk masa jabatan tertentu (terbatas)?” Syekh menjawab.” Tidak ada nash yang melarang hal itu. Jika umat memandang hal itu sebagai cara terbaik untuk menjaga kemaslahatannya, yang paling efektif untuk melindungi kemerdekaannya, yang paling menjauhkan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan, atau yang paling dapat mendorong penguasa bersikap rendah hati; maka penetapan cara tersebut tidak ada salahnya!”
Syekh AlGhazali mengatakan, bahwa sejarah kekhalifahan setelah berakhirnya zaman para Khulafaurasyidun bukanlah suatu teladan yang baik, dan bahkan patut disesali, serta oknum-oknumnya pun pantas untuk dikecam! Pada masa itu pemilihan khalifah tidak menempuh satu cara. Abu Bakar As-shiddiq ra dipilih oleh ahl hall wal aqd (tokoh-tokoh terkemuka yang saleh dan berilmu) secara langsung. Umar ibn Khatththab ra ditunjuk moleh khalifah yang masih menjabat stelah memperoleh persetujuan umum. Cara ini karena negara dalam keadaan darurat menghadapi perang melawan Romawi dan Persia. Utsman ibn Affan ra dipilih di antara enam sahabat Nabi terkemuka yang ditunjuk oleh khalifah Umar, dan kemudian dibai’at oleh kaum Muslim. Ali ibn Abi Thalib ra dibai’at oleh kaum Muslim secara bebas, beberapa hari kemudian setelah khalifah Utsman gugur akibat pemberontakan.
Cara-cara demikian menunjukan kaum Muslim dibolehkan menempuh berbagai cara pemilihan untuk mencegah timbulnya kekuasaan otoriter. Tidak ada seorang Muslim pun yang berani dan berwenang mengharamkan suatu perbuatan yang tidak diharamkan oleh nash Al-Qur’an dan Sunnah rasul, atau oleh hukum qiyas yang jelas, atau karena pertimbangan akan akibat-akibatnya yang diharamkan oleh syara’. “Sesuatu yang mendatangkan maslahat, disitulah syariat Ilahi diterapkan”.
Adanya partai-partai politik dan kelompok oposisi, untuk menemukan kebenaran dengan tetap menghormati hak mayoritas. Hal ini agar jangan ada seseorang atau kelompok dapat memaksakan pendapatnya kepada orang lain.
Dalam sejarah Islam bangak contoh parea tokoh Muslim dipenjara dan dilenyapkan oleh penguasa otoriter, yang merasa kekuasaannya terancam.
Ada orang- orang yang memerintah atas nama Islam, mereka terdiri dari beberapa puluh “khalifah” dari tiga atau empat dinasti, dan pemerintahan mereka mlampaui batas. Akhinya, kekuasaan mereka runtuh ditangan bangsa Mongol yang dipimpin Jengis Khan tahun 1258 M. Kehalifahan tersebut dimonopoli oleh Abbasyiah (keturunan Abbas bin Abdul Muthalib), lalu Utsmaniyah (Ottoman). Lalu Syekh bertanya, Apakah hal ini yang dipertahankan Islam? Dan menolak pembatasan masa jabatan dan partai-partai politik?
__________________________________________________________
4. Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi
Mutawalli Asy-Sya’rawi lahir di desa Daqadus, prov. Daqliyyah, Mesir, 15 April 1911. Ayahnya Syekh Abdullah Al-Anshari mendorong snsknys untuk menjadi ahli agama. Untuk itu ayahnya menyerahkan Mutawalli Asy-Sya’rawi kecil kepada Syekh Abdul Majid Basya, seorang guru penghapal Al-Quran di desanya.
Ketika kecil Syara’wi memiliki hapalan yang kuat. Oleh karena itu guru mengajinya sering menyebut namanya dan menganjurkan teman-temannya untuk menirunya. Umur 11 tahun Al-Quran telah dihapalnya.
Kemudian Syara’wi melanjutkan belajarnya di Aliyah A-Azhar cabang Zaqaziq. Ketika itu ia sempat menjadi ketua organisasi pelajar, dan pada tahun 1934 ia memimpin demontrasi menuntut turunnya sang raja, Muhammad Fuad. Inilah yang membuatnya ditangkap, dengan beberapa temannya, dan dipenjara selama satu bulan.
Setelah menyelesaikan studinya di sekolah tingkat atas, beliau melanjutkan studinya di Fakultas Bahasa Arab, Universitas Al-Azhar, Kairo. Beliau menyelesaikan sarjana pada tahun 1941. Tahun 1943 ia mendapat izin untuk mengajar dan ditunjuk untuk mengajar di sekolah agama yang berada di bawah naungan Al-Azhar.
Pada tahun 1950 ia diutus untuk menjadi dosen di Arab saudi pada Fakultas Syariah Universitas Ummul Qura, Makah. Namun, tahun 1960 ia dan semua pengajar dari Al-Azhar ditarik kembali ke Mesir, karena terjadi perselisihan antara Abdu Naser dan Raja Sa’ud. Sekembali dri Arab Saudi , tahun 1962 ia ditunjuk sebagai direktur dakwah di Departemen Agama dan merangkap sebagai pengawas untuk pengajaran bahasa Arab di Al-Azhar dan menjadi ketua di kantor Syekh Hasan Ma’mun, Syekh masjid Al-Azhar.
Bersama rombongan yang ia pimpin, oleh pihak Al-Azhar Syara’wi diutus ke Al-Jazair untuk berdakwah. Ketika sampai di negara itu ia mendapati fenomena yang tidak baik. Yakni bahasa Arab yang telah bahasa ibu masyarakat akan diganti dengan bahasa Prancis, sebagai bahasa resmi negara. Melihat hal tersebut ia mengingatkan masyarakat kan pentingnya kembali menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa salah satu identitas negara Islam. Usaha itu mendapat tanggapan yang baik dari penduduk Al-Jazair.
Setelah kembali ke Mesir beliau ditunjuk menjadi ketua Dept. Agama cabang Provinsi Gharbiyah. Tahun 1970 ia diminta kembali oleh kerajaan Arab Saudi untuk mengajar di Universitas King Abdul Aziz.
Pada tahun 1976 pada masa presiden Anwar Sadat ia ditunuk untuk menjadi menteri Auqaaf (menteri agama). Ia memprakarsai berdirinya Bank Islam, yang pada tahun sebelumnya 1974 ia salah seorang pencetus berdirinya Bank Dubai Islami. Bank ini kemudian berkembang pesat. Ternyata jabatan sebagai menteri hanya bertahan 2 tahun, karena ia mengundurkan diri ketika menolak usulan undang-undang keluargfa yang bertentangan dengan syari’at Islam dan akan mengakibatkan kehancuran rumah tangga. Karya tulisnya tidak banyak sebab ia lebih banyak berdakwah secara lisan di tengah-tengah umat. Namun, hasil ceramahnya dibukukan dan mendapat sambutan dari masyarakat dab hasilnya ia sumbangkan untuk kegiata-kegiatan sosial.
Pada hari Rabu 17 Juni 1998 Syekh Sya’rawi wafat di usia 87 tahun dan jasadnya dimakamkan di Mesir.
Di antara karyanya yakni tentang Mukjizat Isyra Mi’raj.
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilinganya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami, Sesungguhnya dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Isra’: 1)
Kata subhana di dalam Al-Qur’an seringkali dipakai ketika menyebutkan sesuatu yang memesona, luar biasa, dan merupakan kemu’jizatan. Firman Allah ini merupakan penyucian terhadap Allah. Apa yang dikerjakan-Nya tidak mungkin dikerjakan oleh siapapun, selain oleh Allah Azza Wajalla.
Dan dalam firman-Nya di atas, kata Asy-Sya’rawi, Allah benar-benar menginginkan kita mengetahui bahwa mu’jizat Isra’ dan Mi’raj merupakan perbuatan-Nya. Isra’ dan Mi’raj tidak terjadi oleh kekuatan Muhammad SAW yang manusia. Karenanya surat tersebut diawali dengan: “Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya.” Hal ini berarti perjalanan Isra’ dan Mi’raj adalah suatu perbuatan Allah Ta’ala yang berada di atas kekuatan akal pikiran. (As-Sya’rawi, hlm. 38)
Dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata abdihi (yang sepadan dengan ibaad). Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian kita pada dua hakikat penting, yaitu:
Pertama, peristiwa Isra’ terjadi dengan ruhani dan jasmani, bukan sekedar mimpi dalam tidur. Isra’ merupakan suatu yang dialami oleh Rasulullah SAW secara sadar, terjaga dan dapat diinderanya. Kata abdun dalam istilah bahasa hanya digunakan pada ruhani dan jasmani secara bersamaan.
Kedua, hakikat penting yang tersirat dari kata ‘abdihi adalah Allah Ta’ala ingin menyatakan kepada kita pengabdian kepada-Nya merupakan kelas tertinggi yang bisa dicapai manusia. Seperti penemuan Ibrahim yang berakhir pada Yang Maha Esa adalah melebihi penemuan yang bersifat materi.
Pengabdian kepada Allah dapat mengangkat martabat seseorang di sisi-Nya, tetapi pengabdian terhadap manusia akan menyebabkan suatu kehinaan dan kenistaan. Jika manusia menjadi majikan ia cenderung membuang semua hak-hak hambanya sebagai manusia, sedangkan pengabdian kepada Allah justru akan memberikan rahmat, karunia dan kemuliaan. (Ibid, hlm. 43) 7-9-2012
____________________________________________________________
5. KH. Abdul Wahid Hasyim
Wahid Hasyim, anak KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, yang lahir 1 Juni 1914 di desa Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ia adalah anak kelima dari 10 bersaudara pasangan Hadratus Syekh Hasyim As’ari dengan Nafiqah. Sejak kecil ia sudah kelihatan cerdas. Umur 5 tahun belajar Al-Qur’an dibimbing langsung oleh ayahnya. Ia mendapatkan pelajaran sampai 12 tahun. Kitab-kitab klasik yang dipelajari di pesantren telah ia pelajari sejak usia 7 tahun dan lepas usia 12 ia pergi belajar ke berbagai pesantren, seperti Siwalan Panji dan Lirboyo di Kediri. Ia hanya 3 tahun menimba ilmu di luar Tebuireng dan Wahid kembali dibimbing ayahnya. Pada umur 15 tahun ia banyak membaca dan belajar sendiri bahasa Arab, Belanda dan Inggris. Ia berlangganan penerbitan bahasa-bahasa tersebut. Pada tahun 1931 ia sudah mulai mengajar kitab “Ad-Durarul Bahiyah” dan “Kafrawi”, dan tahun 1932 ia pergi haji ke Makkah. Ketika berada di kota suci itu ia mendalami bahasa Arab dialek Quraisy.
Pada usia 20 tahun Wahid sudah melakukan aktivitas dalam Nahdlatul Ulama yang didirikan, antara lain oleh ayahnya. Di organisasi ini ia merintis dari bawah, dari ranting Tebuireng sampai menjadi Ketua Pendidikan Al-Ma’arif. Ketika NU keluar dari Masyumi dan NU menjadi partai politik tahun 1950, Wahid terpilih sebagai ketua Biro Politik NU.
Karir politik Wahid dimulai sejak tahun 1944 ketika ia membawa pindah keluarganya ke Jakarta. Berawal dari posisinya sebagai Ketua II Majelis Syura Dewan Partai Masyumi tahun 1945, yang sama dengan posisi Ki Bagus Hadikusumo (ketua I) dan Mr. Kasman Singodimejo (ketua III). Ketua umum dijabat oleh KH. Hasyim Asy’ari. Dalam pemerintahan, ia pernah menjabat sebagai menteri negara. Lalu pada 20 Desember 1949 Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Hatta. Ketika itu kabinet silih berganti, namun Kiai Wahid tetap memegang jabatan menteri agama, mulai Kabinet Hatta (1949-1950) berakhir, Kabinet Natsir (1950-1951) dan Kabinet Sukiman (1953), hingga ia meninggal pada 19 April 1953, dalam suatu kecelakaan mobil di daerah Cimahi, Bandung.
Kiai Wahid termasuk pejuang yang merumuskan dasar negara ini. Ketika pada 7 Desember 1944 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wahid termasuk anggotanya. Ia menjadi anggota termuda. Badan ini bersidang dua kali, antara 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Terjadi perdebatan sengit dalam sidang tersebut, antara kelompok nasionalis dan agama. Dua kelompok tersebut tak dapat dipertemukan dan bersikukuh dengan pendapat masing-masing.
Untuk mencari jalan keluar, maka dibentuklah panitia sembilan, wakil Islam (Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno dan Aboel Kahar Moezakar) dan pihak nasionalis (Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, M. Yamin dan AA. Maramis). Panitia kecil tersebut berhasil merumuskan pembukaan UUD, yang kemudian disebut sebagai Piagam Jakarta, yang pada sila pertama tercantum kalimat, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal itu terjadi pada 22 Juni 1945. Semula semua sepakat, termasuk wakil dari nasrani Maramis. Namun pada Agustus 1945 satu persatu ide Islamis digugurkan, setelah panitia lebih kecil dibentuk PPKI sebagai pengganti BPUPKI.
Dalam sidang-sidang selanjutnya yang pada puncaknya 18 Agustus 1945, akhirnya kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dibuang diganti dengan Ketuhanan yang Maha Esa. Perubahan itu karena ada utusan dari perwira Jepang yang mengabarkan berita dari wilayah timur yang menolak.
Dengan ilmu dan pengalamannya yang luas KH. Wahid mulai mencoba menerapkan model pengajaran yang baru, yakni penggabungan antara ilmu agama Islam dan pengetahuan umum. Pada tahap awal ia berhasil mendidik dua orang murid, yang satu berkiprah di Nahdlatul Ulama dan satu lagi menjadi guru di Muhammadiyah. Kemudian pada tahun 1935 ia mulai membuka madrasah modern, dengan nama Madrasah Nizamiyah. Semua kritik tak ia hiraukan, namun dengan berjalannya waktu percobaan madrasah modern itu melahirkan hasil yang baik, murid-murid pandai berbahasa Arab, juga lancar bahasa Belanda dan Inggris. Banyak orang kagum dan percaya, yang akhirnya banyak yang mendaftarkan anaknya untuk belajar di sekolah itu.
Ia aktif berorganisasi, berjuang, dan menulis, dan semua yang ia lakukan karena cintanya pada tanah air ini. Ketika ia menulis untuk sambutan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, dalam kongres PUSA di Kutaraja ia mengutip Douwes Dekker (Dr. Setia Budi), “Jika tidak ada agama Islam di Indonesia ini, niscaya akan lenyaplah kebangsaan Indonesia dari kepulauan ini, karena derasnya arus paham kebaratan. Memang kebangsaan Indonesia akan tetap juga di Indonesia, akan tetapi kebangsaan itu tidak asli lagi”.
Hasil suntingan Aboebakar Atjeh,Sejarah Hidup KH. Wahid Hasyim dan Karangan tersiar,( Jakarta: Panitia Perngt. KH W Hasyim, 1957).
____________________________________________________________
6. Prof. H M Rasyidi
Muhammad Rasyidi lahir di Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 semula bernama Saridi. Ayahnya Atmosudigdo mengenalkan ia agama Islam dengan mendatangkan guru agama dan juga ia sekolah umum, Ongko Loro. Lalu ia belajar di Sekolah Rakyat Muhammadiyah, dan ia melanjutkan ke Kweekscool Muhammadiyah Yogyakarta. Melalui surat kabar ia mengetahui sekolah Al-Irsyad di Lawang Malang yang dipimpin Ahmad Soorkati. Di al-Irsyad ia cepat menerima pelajaran agama Islam dan termasuk Alfiah Imam Malik telah ia kuasai. Ketika lulus itulah oleh Ahmad Soorkati ia diberi nama Muhammad Rasyidi.
Ayahnya mengirim Rasyidi ke Mesir untuk belajar, tujuannya Universitas al-Azhar. Tapi atas saran teman di Mesir, Kahar Muzakir, ia masuk Universitas Kairo pada fakultas filsafat. Ia seangkatan dengan Mustafa Abdur Razik. Selama 7 tahun ia belajar di Kairo dan kemudian tahun 1938 ia kembali ke Yogyakarta. Ia mula-mula menjadi guru madrasah Ma’had al-Islami di Kotagede. Ia juga ikut mendirikan Pesantren Luhur di Solo, tapi ketika Jepang datang tahun 1941 lembaga itu berakhir.
Ia mulai aktif dalam politik dengan memasuki Partai Islam Indonesia (PII) dan ia juga aktif menjadi anggota Muhammadiyah, dan di Masjumi ia menjadi fungsionaris.
Ketika Indonesia merdeka dibentuklah Departemen Agama ia diangkat menjadi Menteri Agama pertama umur 36 tahun pada 3 Januari 1946. Saat Belanda kembali datang ibukota RI pindah ke Yogyakarta H Agus Salim dan ia sebagai sekretaris ikut dalam misi diplomatik ke negara-negara Arab. Dan selanjutnya ia menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Mesir dan Arab Saudi yang berkedudukan di Kairo tahun 1949. Tahun 1953 ia dipindahkan ke Teheran dan setahun lebih sebulan ia kembali ke Jakarta.
Tahun 1954 ia melanjutkan belajar atas beasiswa Rockefeller ke Univeritas Sorbone Paris. Dua tahun belajar selesai pada 23 Maret 1956 ia mempertahankan disertasinya L’evolution de l’Islam en Indonesia au consideration critique du livre Tjentini (Perkembangan Islam di Indonesia atas kajian kritis atas serat Centini) dengan berhasil cum laude.
Pulang dari studinya di Paris ia dipercaya menjadi Duta Besar RI di Pakistan. Dua tahun kurang ia menjadi Duta Besar situasi di negara Indonesia memanas ia mengajukan berhenti dan memilih mengajar di Universitas McGill, Montreal, Canada tahun 1958. Selain mengajar selama 5 tahun ia juga mempelajari dunia orientalisme. Ketika ada ceramah dengan nara sumber tamu di McGill kebetulan orientalis J Schacht yang membahas tentang hukum Islam bahwa Nabi Saw hanya sebagai hakim (abiter) orang bijak dan bukan sebagai qadhi, penentu hukum Islam. Ia tampil mengkritik pernyataannya itu bahwa kata hakim dan qadhi dalam al-Qur’an sinonim dalam beberapa tempat. Hal ini membuat dosen tamu itu marah dan menuduh ia tak tahu masalah. Ia dibela Toshihiko Izutsu bahwa Rasyidi benar. (Azra, 2002) Setelah beberapa lama di Kanada dan Amerika ia pulang kembali ke Indonesia. Tahun 1966 ia mendapat gelar guru besar hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Ia meninggal dunia pada 30 Januari 2001 di Jakarta.
Ia banyak menulis dan menerjemahkan buku, di antara terjemahannya, Persoalan-Persoalan Filsafat, Filsafat Agama (saduran), (Promesses de l’Islam) Janji-Janji Islam dan Otobiografi Garaudy karya Roger Garaudy, Bible Al-Qur’an dan Sain Modern, Humanisme Islam dsb. Sementara bukunya, Empat Kuliah Agama, Islam dan Kebatinan, Koreksi terhadap Dr Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi, menulis dalam Kenneth W Morgan, ed. Islam at Straight Path, dan sebagainya.
Dr. Harun Nasution, lahir di Pematangsiantar, Sumatra Utara, pada tanggal 23 September 1919. Tahun 1934 ia menyelesaikan belajar di HIS dan tahun 1937 di Moderne Islamietische Kweekscool di Bukitinggi. Lalu ia melanjutkan ke Universitas al-Azhar Kairo tahun 1940 mendapat Ahliyah dan tahun 1942 mendapat Candidat dari Fakultas Ushuluddin. Ia juga belajar di Universitas Amerika Kairo mendapat BA dalam studi Sosial tahun 1952. Pada tahun 1962 ia meneruskan studi ke Universitas McGill Montreal, Canada hingga tahun 1965 mendapat MA dalam studi Islam dan tahun 168 memperoleh Ph.D. dalam bidang yang sama. Ia sempat bekerja di Kairo dan tahun 1947-1958 ia menjadi pegawai Dep. Luar Negeri di Perwakilan RI Kairo, Kedutaan Besar RI Kairo, Kedutaan Besar RI Jeddah dan Kedutaan RI Brussel.
Sejak tahun 1969 ia menjadi pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di samping itu menjadi dosen di berbagai universitas, tahun 1970 IKIP Jakarta, Universitas Nasional Jakarta, dan tahun 1975 Fak. Sastra Universitas Indonesia. 1973 ia dianggkat menjadi rektor IAIN Jakarta dan 1978 ia memperoleh guru besar dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Karya tulisnya antara lain, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (2 jid), Perkembangan Pembaruan dalam Islam, Filsafat, Agama, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Teologi Islam (Jkt, UI), Islam Rasional, dan sebagainya.
Beberapa Kritik Prof. HM Rasyidi
Pada zaman Orde Lama yang cenderung kepada partai komunis sebelum tahun 1958 Dr. Rasyidi ketika itu menjabat Duta Besar RI Pakistan ia mengambil cuti dan selanjutnya ia mengajar sebagai associate professor di Institut of Islamic Studies di McGill University, Monteral, Canada. Selama 5 tahun ia mengajar dan belajar, dan selama itu ia banyak mempelajari dunia orientalisme dan Kristen.
Berawal dari sana ia terdorong untuk merintis jalan dan berusaha mengirim para sarjana tamatan IAIN (Institut Agama Islam Negeri, sekarang UIN) dan yang sederajat untuk belajar di dunia orientalisme. Ia terinspirasi oleh al Azhar, yang mengirim para ulama ke Jerman, London atau Paris.
Ternyata maksud itu tidak sesuai harapan. Di antara sarjana yang dikirim untuk belajar di Institut of Islamic Studies memberikan hasil yang tidak memuaskan. Dalam mempelajari dunia orientalisme, mereka bukan menemukan berbagai kekeliruan para sarjana Barat tentang Islam, namun malah mereka menelan mentah yang mereka ucapkan tanpa kritik.
Memang Barat memiliki keuletan dalam penelitian dan berpikir, namun di celah-celah itu sering terdapat kekeliruan besar, kata Rasyidi.
Yang ia kritik adalah karya Dr. Harun Nasution, yang mendapat MA pada tahun 1965 dan Ph.D. pada tahun 1968 dari McGill University, berjudul Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (2 jilid). Buku ini menjadi buku wajib di seluruh IAIN.
Semula ia menulis laporan rahasia pada tanggal 3 Desember 1975 kepada Menteri Agama dan beberapa staf eselon yang berisi kritik terhadap buku Dr. Harun Nasution. Prof. Rasyidi tulis kritiknya itu perpasal. Namun karena sudah berlalu satu tahun tidak ada jawaban, maka ia berpikir ada dua kemungkinan.
- Pihak Departemen Agama setuju dengan isi buku itu dan ingin mencetak sarjana sesuai konsepsi penulisnya.
- Pihak-pihak di institusi tersebut tidak dapat menilai isi buku tersebut dan apa bahayanya.
Oleh karena itu laporan yang bersifat rahasia itu ia terbitkan berupa buku “Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”.
Ada XI bab kritik Prof. Rasyidi terhadap isi buku itu. Di sini tidak akan semuanya ditulis namun bab I dan XI secara singkat, dan jika pembaca ingin mengetahuinya bisa langsung merujuk buku Prof. Rasyidi dan bukunya Dr. Harun Nasution.
Bab I, Tentang agama dan pengertian agama dalam berbagai bentuknya.
Di antara bahasannya berkaitan dengan kata agama, ad-diin dan religion. Kata agama berasal dari Sankrit, ad-diin dari bahasa Arab dan religion dari Latin. Ada kesulitan untuk menyimpulkan dari definisi-definisi itu, sebab tiap kata memiliki konotasi yang berbeda. Agama dalam bahasa Sangkrit lebih menonjolkan tradisi, religion dalam bahasa Latin menonjolkan ikatan manusia dengan kelompoknya dan dewanya dan kata itu tidak terdapat dalam Injil, sedangkan kata ad-diin terdapat dalam al-Qur’an. Penyamaan ketiga kata itu dalam masyarakat untuk praktisnya dalam komunikasi, namun sebenarnya memiliki hakekat yang berbeda.
Agama Islam memiliki dua pokok ajaran yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan antara manusia dengan Tuhan, seperti dalam ibadah shalat. Sementara hubungan dengan masyarakat seperti puasa, zakat dan haji.
Hubungan antara manusia dengan manusia yang terdapat dalam ajaran Islam tentang keluarga, negara, ekonomi, hukum dan hubungan internasional semua itu terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Cara penyajian buku Dr. Harun ini mengikuti para pemikir Barat yang mengatakan bahwa semua agama sama dan merupakan gejala sosial, seperti yang dikatakan Emile Durkheim. Dengan dasar semua agama itu sama, maka unsur agama ada empat:
- Kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong.
- Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut.
- Respons bersifat emosional dari manusia. Respons ini berupa rasa takut seperti dalam agama-agama primitive dan perasaa cinta dalam agama monoteisme.
- Paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang berisi ajaran agama bersangkutan dan tempat-tempat tertentu.
Langsung ke Bab XI Membahas tentang aspek pembaruan dalam Islam.
Umat Islam banyak yang tertarik dengan perkataan pembaruan, modernism atau tajdid. Kata lainnya reformasi atau islah dalam bahasa Arab. Dalam buku sejarah, timbulnya reformasi adalah karena adanya gerakan reformasi dari Martin Luther (1483-1546). Orang Barat sering menggunakan kata reformasi atau modernisme sebagai sinonim, sehingga gerakan Muhammad Abduh kadang dinamakan sebagai gerakan reformasi atau modernisasi.
Reformasi atau modernisasi adalah gejala umum, karena ada perubahan masyarakat, maka cara hidup pun ikut berubah. Jika dahulu di perempatan jalan tidak perlu lampu trafik tapi karena perkembangan banyak motor dan tumbuhnya kota-kota diperlukan lampu pengatur lalu lintas itu.
Perubahan masyarakat di Barat karena kemajuan ilmu pengetahuan dengan tokoh-tokohnya bermunculan. Di Eropa Barat berbagai penemuan semakin marak dari kimia, listrik, biologi dan banyak lagi. Di antara negara Eropa, Inggris yang pesat perkembangan industrinya sebab terhindar perang. Mula-mula dari kereta api lalu kapal api 1838. Industry maju, tapi kaum buruh menderita. Karl Marx muncul yang berkata, kaum buruh berhak memerintah. Di samping itu imperialisme juga mulai muncul dengan tujuan keuntungan ekonomi.
Perubahan itu membuat orang tertarik. Penginjil mengatakan itu adalah buah dari agama Kristen, bahwa peradaban Barat adalah peradaban Kristen. Hal itu sering terdengar, namun itu tidak benar. Sebab banyak ilmuwan di Barat ketika itu seperti Bruno dibakar mati oleh gereja karena mengatakan bumi berputar. Agama Kristen tidak mendorong kemajuan tersebut. Kemajuan itu lepas dari agama.
Di samping kemajuan di bidang kimia, listrik, dan teknik juga ada bidang ilmu sosial dan humaniora.
Di Eropa sendiri terjadi perang antarnegara mereka. Bagaimana di dunia Islam sendiri? Napoleon ketika itu sedang jaya ia ingin menguasai Mesir sebagai pintu ke India. Ia mendarat di Elaxanderia tanggal 2 juli 1798 dengan senjata modern dan kaum ilmuwan, fisika, ekonomi, politik dan sastra. Mesir memang tempat pertemuan Barat dan Islam. Dalam aspek hukum untuk pertama kali dipertemukan hukum barat dan hukum Islam (Syariat).
Mesir banyak terpengaruh budaya Prancis. Dalam keadaan politik lemah ia menghadapi Prancis dan Inggris, mulanya diadakan tribunal mixte (al mahkamah al mukhtalat) tahun 1875. Waktu diadakan tribunal mixte naskah-naskah yang akan berlaku dikirim ke Universitas al Azhar untuk dibahas para ulama. Hasilnya para ulama itu mengatakan bahwa hukum-hukum itu dengan artikelnya ada kesamaan dengan salah satu pendapat empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali) dan sebagian tidak bertentangan dengan madzhab tersebut dan sebagian termasuk al masalih mursalah. Laporan itu tertulis tidak dicetak.
Modenisme mendapat halangan bukan dari Islam tapi dari ketakutan dan rasa curiga kalangan mereka. Juga, kata Dr. Harun, tantangan datang dari kalangan ulama, karena zaman itu konfrontasi Kristen dan Islam masih kuat.
Kata-kata itu pengaruh dari kaum oreintalis yang anti Islam tanpa kritik. Jika dalam hukum para ulama al Azhar menyatakan bahwa hukum Barat, kecuali dalam beberapa hal, pada umumnya senafas dengan salah satu madzhab empat atau merupakan maslahah mursalah, yang berarti salah satu sumber hukum dengan ijtihad untuk memelihara masyarakat, maka penentangan terhadap pembaruan itu adalah datang dari rakyat yang menyamakan modernism dengan pihak penjajah yang beragama Kristen tapi karena penjajahannya, dan bukan karena agamanya.
Dr. Harun, mengatakan, waktu itu pertentangan Kristen Islam sangat keras. Kata-kata tersebut kata-kata orientalis yang anti Islam. Umat Islam tidak benci kepada orang Kristen, tapi tidak suka kepada penjajahan. Pertentengan ketika itu masih keras, Prof. Rasyidi mengatakan, hingga kini pun tetap keras, tapi bukan antara Islam dan Kristen sebagai agama, sebabnya karena meraja lelanya kristenisasi di kalangan umat Islam.
Timbul gerakan Jamaluddin al Afgani yang menggugah umat Islam untuk lepas dari penjajahan, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pelaksana ide Abduh untuk perbaikan pelajaran di al Azhar. Juga Ali Abdul Razik, Prof. Rasydi kenal dengannya. Ia sendiri adalah murid kakaknya, Mustafa Abdul Razik, guru besar filsafat di Univesitas Cairo, pada tahun 1937.
Ali Abdul Raziq seorang yang ambisius dan oportunis. Ketika Turki disekulerkan Attaturk banyak yang ingin memberikan gelar khalifah kepada raja Abdul Aziz bin Saud yang merdeka. Tapi tahun 1926 Sultan Fuad ingin mendapat gelar itu juga sementara negaranya diduduki Inggris, maka Ali menulis buku al-Islam wa Usuulul Hukm (Islam dan prinsip-prinsip ketatanegaraan), yang maksudnya agama Islam itu mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan dan tidak mengatur keduniaan. Buku itu tidak logis dan argumentasinya dibuat-buat.
Buku itu tidak ilmiah dari seorang oportunis, tapi ia populer di kalangan kaum orientalis politisi. Untuk memasukan ide Ali Abdul Razik dalam rangkaian ide pembaruan Islam adalah sangat keliru. Pada waktu itu buku itu telah banyak dikritik oleh para ulama besar seperti Rasyid Ridha dan Khadr Husein yang menjadi syekh al Azhar. (Di Indonesia terbit terjemahan karya Dr. Diauddin Rais yang menanggapi buku Ali)
Dibahas tentang pembaruan di Turki, India, dan di Arab khususnya adalah gerakan salaf dan bukan pembaruan. Lalu di Indonesia. Yang termasuk pembaruan adalah al-Irsyad dengan pimpinan Ahmad Surkati, Sarikat Islam HOS Cokroaminoto dan Haji Agus Salim sebagai figure yang menonjol, juga Dr. Harun tidak menyebutkan sebab langsung yang mendorong KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah adalah tersiarnya kristenisasi di kalangan orang Jawa, dan Masyumi, yang di masa Jepang dijadikan alat propaganda pemerintah militer Jepang, sebagai gerakan politik Islam menentang kembalinya penjajah Belanda. (Jkt, BB, 1989)
_____________________________________________________
7. Sayyid Abu al-Hasan Ali Nadwi
Abu al-Hasan lahir pada 6 Muharram 1333 H (1914 M) di Takia Kala, Raibareily, Uttar Paradesh, India dan wafat pada Jum’at 23 Ramadhan 1440 H (31 Desember 1999 M) di tempat kelahirannya. Ayahnya adalah Syarif al-‘Allamah Abdul Hayy bin Fakhruddin bin Ali, yang nasabnya sampai kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya memiliki banyak karya tulis yang sudah dicetak maupun masih dalam tulisan tangan.
Ia memulai belajarnya dengan menghapal al-Quran, di bawah pengawasan ibunya, yang hafal al-Qur’an, ahli menulis dan menggubah syair. Ia melanjutkan studinya dengan mendalamai bahasa Urdu dan Persia berdasarkan tradisi umum di India. Pada usia 12 tahun ia belajar bahasa Arab dan Inggris sekaligus. Gurunya adalah as-Syekh Khalil bin Muhammad al-Yamani. Selama 2 tahun ia belajar sastra Arab, dan ia banyak menelaah buku sastra Arab. Lalu ia melanjutkan belajar di Universitas Lucknow. Di perguruan tinggi yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dalam bahasa Inggris itu ia memilih Fak. Sastra Arab. Setelah lulus ia masih belajar kepada Syekh Taqiuddin al-Hilali al-Marakisyi, sebagai Kepala bidang sastra Arab di Nadwat al-Ulama.
Pada usia sekita 17 tahun Abu al-Hasan sudah menerbitkan karyanya dalam bahasa Arab, tentang biografi Imam Ahmad. Ia terus melanjutkan belajar ilmu-ilmu Islam lainnya dengan pergi ke Lahore. Selesai masa belajar ia kembali ke Lucknow dan mengabdi sebagai pengajar di Adarul Ulum, Nadwat al-Ulama selama 10 tahun di samping terus menulis. Di Nadwat Ulama ia menjadi pemimpin redaksi majalah an-Nadwah dalam bahasa Urdu, juga ia diminta menulis buku untuk mahasiswa Universitas Islam Aligarh, dan ia juga menulis buku-buku paket untuk pelajar sekolah-sekolah Arab di India.
Setelah itu Sayyid Abu al-Hasan pindah ke kota Delhi dan ia bertemu dengan Syekh Muhammad Ilyas, seorang da’i pembaru. Dari sinilah ia memulai perjalanan dakwah ke berbagai pelosok mengikuti Syekh Ilyas. Juga ia mendapat pelajaran spiritual dari Syekh Abdul Qadir a-Rai Puri.
Melalui berbagai literatur ia mendalami sejarah Eropa, termasuk faktor politik, sosial, agama, khususnya pergulatan antara ilmu pengetahuan dan agama, penguasa dan gereja, serta sejarah kehidupan dan perkembangan moral di Eropa, juga beberapa faktor yang membawa perubahan besar pada pola kehidupan bangsa-bangsa di Barat dan di Timur.
Ia juga melakukan kajian sejarah negeri-negeri Muslim di Timur, termasuk agama, kepercayaan, filsafat dan kebudayaan mereka, dan khususnya sejarah bangsa Arab, pada masa jahiliyah dan pra Islam.
Ia banyak dipengaruhi oleh kakaknya Dr. Sayyid Abdul Ali al-Hasani, Sekjen Majelis Ulama Lucknow. Ia menjadi sosok panutan dalam pemikiran yang menggabungkan antara keilmuan Islam dan Barat modern. Ia meyakini akan relevansi Islam sebagai konsep kepemimpinan dunia sepanjang masa, serta memperkuat keyakinan penulis, bahwa nabi Muhammad Saw adalah penutup para nabi dan rasul, pemimpin semua umat, dan pelita bagi kehidupan.
Sebelum menulis ia telah membaca dan mengamati mengenai umat Islam yang ditulis dengan kacamata sejarah dunia, denagn itu ia ingin keluar dari spektrum konvensional. Ia melihat dunia dari kacamata umat Islam. Oleh karena itu ia membuat berbagai analisis, di antaranya, “Kerugian apa yang diderita umat Islam sebab peristiwa A?”, “sebab jatuhnya pemerintahan si B?”, dan “Kerugian apa yang diderita umat Islam akibat jatuhnya sebagian besar wilayah kekuasaan Islam ke tangan bangsa Barat?”, “Kerugian apa yang diderita umat Islam sebab keterpurukan ekonomi, politik dan militer?”.
Itulah metode lama yang biasa dipergunakan dalam melihat mengenai umat Islam. Lalu ia menggunakan kacamata lain, “Kerugian apa yang diderita dunia akibat kemunduran umat Islam?” Dalam kaitan ini, umat Islam berperan sebagai faktor global yang membawa perubahan pada berbagai peristiwa yang terjadi di dunia ini secara keseluruhan, bukan hanya pada batasan geografis tertentu atau garis teritorial politik terbatas. Dapatkah dibenarkan upaya mengaitkan nasib dunia atau masa depan umat manusia dengan masa depan dan realitas kehidupan umat Islam?
Mula-mula ia agak ragu ketika akan menulis tema itu, dalam bahasa Arab, sebab ia baru dalam dunia tulis menulis. Apalagi dalam bahasa Arab, di mana penulis jauh dari pusat kebudayaan Arab dan dari sumber ilmu pengetahuan Islam yang otentik. Dalam hati ia bertanya, apakah karyanya nanti akan mendapat sambutan di dunia Arab dan dunia Islam? Semula ia mengajukan daftar isi buku kepada Dr. Amin Bek, Ketua Lajnah Penulisan, dan diterima olehnya. Kemudian ia mengirim naskah buku itu.
Ketika ia berkunjung ke negri Hijaz tahun 1950 M (1369 H) ia mendapati naskah buku yang diajukannya beberapa waktu lalu di tangan Prof. Jawwad al-Murabith yang dibawanya dari Mesir. Ia kagum dengan kedalaman dan keaslian pemikiran ulama India.
Dua bulan setelah terbitnya buku itu tahun 1951 M ia berkunjung ke Mesir. Ia tak membayakan bahwa buku itu dibaca kalangan intelektual dan pemerihati persoalan keumatan, perjuangan dan kebangkitan Islam. Buku Derita Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam diulas dan didiskusikan. Dalam kesempatan itulah ia bertemu dengan berbagai kalangan tokoh dan ulama Mesir, di antaranya Sayyid Qutb, Dr. M Yusuf Musa dan Dr. Ahmad as-Syurbashi, Guru Besar universitas al-Azhar. Buku itu juga disetujuinya untuk mendapat revisi dari ulama al-Azhar. Ia mendapat kunjungan dari Dr. as-Syurbashi untuk mengenal penulis, keluarga dan kerabat serta kehidupan penulis. Dalam edisi kedua buku itu disertakan biografi singkat penulis dengan judul Akhi Abul Hasan tulisan Dr. as-Syurbashi.
Setelah buku itu Sayyid Abul Hasan juga menulis, Qodiyanism a Critical Study (1979), dan karya lainnya.
Dalam buku Madza Khosairal ‘Alam bi inhithati al-Muslimun yang diterjemahkan menjadi Derita Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam dan ada beberapa terjemahan dalam bahasa Indonesia. Buku ini juga telah diterjemahkan ke bahasa Urdu dan Inggris.
Tema buku itu berkaitan dengan sejarah zaman Jahiliyah, era Islam, abad Eropa, derita batin manusia sepanjang era kolonialisme Eropa, dan kepemimpinan dunia Islam.
“Feneomena keterbelakangan umat Islam, kegagalan dan keterasingan mereka dari kepemimpinan bangsa-bangsa yang berakhir dengan mundurnya umat Islam dari kancah kehidupan dan dan perjuangan, bukan peristiwa biasa yang seringkali terjadi dalam sejarah, atau sama saja dengan keterbelakangan bangsa-bangsa yang ada di muka bumi, tau jatuhnya rezim atau pemerintahan berkuasa, tersingkirnya seorang raja, kekalahan para pejuang di medan perang, sirnanya baying-bayang peradaban, dan pasang surutnya kehidupan politik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bangsa-bangsa tersebut tidak terbilang banyaknya, dan demikian pula yang terjadi dalam kehidupan umat manusia! Namun peristiwa yang menyangkut keterbelakangan umat Islam sungguh teramat ganjil dan tidak ada bandingnya dalam peristiwa-peristiwa sejarah yang penuh keganjilan.”, kata penulis.
“Fenomena tersebut tidak khusus berkenaan dengan dunia Arab, tidak pula terbatas pada bangsa dan negeri-negeri yang tunduk pada Islam, melainkan bahwa keterbelakangan umat Islam merupakan dilemma kemanusiaan secara umum, yang paling mengerikan dan paling nestapa sepanjang sejarah!”, lanjutnya, “Akan tetapi fenomena keterbelakangan umat Islam itu tidak terjadi dalam sehari melainkan selama beberapa kurun waktu secara perlahan.” Oleh karena itu mata dunia tidak memberikan perhatian secara seimbang terhadap peristiwa besar itu sebab pada hakikatnya mereka tidak memiliki parameter yang bisa meyakinkan bagi kebahagiaan dan penderitaan umat manusia.
Ia menulis, “Seorang Muslim memandang dunia Arab bukan dengan kacamata yang dipergunakan bangsa Eropa, bukan pula dengan kacamata yang dipergunakan oleh penduduk pribumi Arab, melainkan bahwa umat Islam memandang dunia Arab sebagai bumi kelahiran dan ufuk terbitnya fajar Islam, sebagai tambatan umat manusia dan sebagai poros kepemimpinan dunia.” (h. 308)
Lanjutnya, “Sesungguhnya dunia Arab tidak berdaya menghadapi zionisme, atheism, atau musuh-musuh Islam lainnya, dengan kekuatan materi, atau kekuatan uang yang dikucurkan pemerintah Inggris atau yang dipinjamkan oleh Amerika atau Rusia, atau uang tunai yang diberikan oleh negeri lain sebagai harga dari minyak bumi. Melainkan bahwa umat Islam akan mengalahkan musuh-musuhnya dengan senjata iman dan kekuatan spiritual seperti ketika mereka menundukkan imperium Roma dan Persia dalam satu waktu.” (25-3-2022)
____________________________________
8. Prof. Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di daerah Jaffa, Palestina, 1 Januari 1921. Ia menempuh pendidikan awal di sekolah masjid, dan kemudian ia belajar di sekolah Prancis, College des Freres (St Joseph) di Palestina. Lalu ia belajar selama lima tahun di Universitas Amerika di Beirut mendapat BA pada tahun 1941. Ia masuk pemerintahan dan tahun 1945 ia menjadi gubernur Galilee. Namun, ketika terbentuk negara Israel tahun 1948 kehidupannya berubah ia menjadi pengungsi seperti ribuan pengungsi Palestina lainnya bermigrasi ke Libanon. Ia menata hidup kembali dan ia beralih ke dunia akademik, dan tujuan pertama adalah Amerika. Ia mendapat gelar master dari Indiana dan Harvard dan pada tahun 1952 ia mencapai gelar doktor (PhD.) dari Universitas Indiana. Selain di asingkan dari negerinya ia pun harus membiayai hidup dan pendidikannya.
Setelah ia menyelesaikan doktor dalam bidang filsafat Barat di Amerika ia masih melanjutkan belajar di Kairo. Ia mempelajari Islam di Universitas al-Azhar selamat empat tahun, 1954-1958. Selesai dari Kairo ia kembali ke Amerika Utara, ia menjadi profesor tamu studi-studi Islam di Institut Studi Islam dan sekaligus ia menjadi mahasiswa tingkat doktoral (beasiswa) pada Fakultas Teologi di Universitas McGill dari tahun 1959 sampai 1961. Ia belajar tentang Kristen dan Yahudi. Ia memulai karir sebagai guru besar studi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi Pakistan tahun 1961-1963. Lalu ia kembali ke Amerika menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Universitas Chicago. Tahun 1964 ia ke Universitas Syracuse dan tahun 1968 ia pindah ke Universitas Temple untuk menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama.
Sebagai akademisi ia aktif dan produktif selama hampir 30 tahun, ia menulis, mengedit dan menerjemahkan sekitar 25 buku, dan ia menulis lebih seratus artikel serta menjadi anggota dewan redaksi 7 jurnal terkemuka. Juga menjadi guru besar tamu pada lebih dari 25 universitas di Afrika, Eropa, kawasan Arab, Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Di antara karyanya yaitu: A Historical Atlas of Religion of the World; The Curtural Atlas of Islam, bersama Lois Lamya; Trialoque of Abrahamic Faiths; Islam and Cultural; Tauhid: Its Impication for Thought and Life; Life of Muhammad saw terjemahaan dari Hayatu Muhammad karya Husein Haikal, dan sebagainya. Buku-bukunya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ia juga menggagas islamisasi ilmu pengetahuan dengan mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada tahun 1980 di Amerika, dan gagasan itu ia sebarkan ke seluruh dunia.
Al-Faruqi memandang dunia melalui prisma keyakinan dan komitmen keislamannya yang berfokus pada masalah-masalah jati diri, sejarah, kepercayaan, budaya, adat istiadat, dan hubungan internasional. (Esposito)
Pada 24 Mei 1986 Ismail al-Faruqi dan istrinya Lois Lamya dibunuh di rumahnya oleh orang tak dikenal. Ada kelompok yang tidak senang dengan gagasan dan berbagai aktivitasnya untuk menghentikannya dengan cara keji, suatu kelompok kontra Palestina.
Tauhid dipandang sebagai esensi pengalaman religious, saripati Islam, prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip etika, prinsip estetika, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip politik, dan prinsip tatanan politik, sosial, ekonomi dan dunia. Dalam bukunya Tahuid, al-Faruqi menulis:
“Inti pengalaman keagamaan adalah Tuhan. Kalimah syahadah, atau pengakuan penerimaan Islam, mengucapkan “Tidak ada Tuhan selain Allah.” Nama Tuhan adalah “Allah”, dan menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan dan pemikiran setiap Muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam waktu kapan pun. Bagi kaum Muslimin Tuhan merupakan obsesi yang agung. Apa makna ini?
Para filosof dan teolog Muslim telah memperdebatkan masalah ini selama berabad-abad, dan mencapai puncaknya pada argument al-Ghazali dan Ibnu Sina. Bagi para filosof, masalah tentang Tuhan berarti masalah menyelamatkan ketenteraman alam raya. Dunia, kata mereka, adalah kosmos, yaitu suatu alam tempat tatanan dan hukum berlaku, tempat hal-hal terjadi karena adanya sebab dan tiap sebab membawa serta akibat. Dengan pandangan ini, sadar atau tidak, mereka telah menjadi pewaris khazanah agama dan filsafat Yunani, Mesopotamia dan Mesir Kuno. Penciptaan itu sendiri, bagi tradisi-tradisi ini, adalah peralihan dari kekacauan (chaos) ke teraturan (cosmos). Kaum Muslim memang bisa menerima gagasan-gagasan yang paling tinggi mengenai transendensi dan keagungan Tuhan tetapi tidak dapat membayangkan kalau wujud Tuhan itu konsisten dengan dunia yang kacau.
Di lain pihak, para teolog mencemaskan bahwa penekanan yang demikian rupa pada keteraturan alam raya tersebut akan menjadikan Tuhan sebagai deus otiosus (Tuhan yang pensiun), karena Dia tidak punya pekerjaan lagi, begitu Dia selesai menciptakan alam raya dan mekanisme yang diperlukan alam dan segala isinya bergerak secara teratur dan menuruti hokum sebab-akibat. Kecemasan ini memang abash dan benar! Kerena sebuah dunia yang segala sesuatunya terjadi sesuai dengan sebabnya dan semua sebab adalah alamiah—yakni di dalam alam dan dari alam—adalah dunia yang segala sesuatu terjadi dengan sendirinya, dunia yang tidak membutuhkan Tuhan. Tuhan macam itu tidak memberikan kepuasaan perasaan beragama. Tuhan adalah Dia, oleh Siapa segala sesuatu menjadi ada, karena Siapa segala sesuatu terjadi, kalau tidak, Dia betul-betul bukan Tuhan. Dengan menyodorkan argumen yang rumit, para teolog menunjukkan bahwa Tuhan seperti yang diajarkan para filosof adalah Tuhan yang tidak mengetahui apa yang terjadi, tidak mampu mengontrol dan mengawali kejadian, atau ada Tuhan lain di samping-Nya, penyebab sesungguhnya dan yang menguasai segala sesuatu. Ini berrarti, para teolog menolak pandangan para filosof tersebut dan menciptakan doktrin yang disebut “okasionalisme”, sebuah doktrin yang beranggapan bahwa Tuhan setiap saat mencipta-ulang dunia ini, cipta-ulang yang mengakibatkan terjadinya seluruh kejadian di dalamnya. Mereka menggantikan kemustian kausalitas dengan kepercayaan bahwa Tuhan, sebagai Dzat yang bersifat adil dan bijaksana, tidak akan mengelabui, tetapi akan memastikan bahwa akbibat yang tapat akan selalu mengikuti sebab yang tepat. Hasil dari perdebatan ini adalah tegaknya kehadiran Ilahi, dan diakomodasikannya kausalitas kepada kehadiran tersebut. Para teolog menang telak atas para filosof!”
“Dia adalah tujuan akhir dari segala kehendak dan keinginan. Dialah yang membuat setiap kebaikan yang lain menjadi baik; sebab, jika cincin yang terakhir dari serenteng rantai tidak dikaitkan, mata setiap cincin yang lain akan sia-sia. Tujuan akhir adalah dasar aksiologis dari semua mata rantai atau rangkaian tujuan-tujuan.”
Di lain tempat ia menulis, “Para ilmuwan modern Barat menolak Tuhan dan mengusir-Nya dari alam, disebabkan oleh kebencian mereka kepada Gereja Kristen dan kewenangan palsu yang dipaksakan Gereja terhadap dirinya sendiri berkaitan dengan seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman. Hanya ketika mereka melakukan hal itulah ilmu pengetahuan kealaman dapat berkembang dan Berjaya di kalangan mereka. Selama seribu tahun, orang-orang Kristen tidak menghasilkan sains karena dominasi Gereja ini. Metodanya yang paradoksal, teologi inkarnasinya, dan kitabnya yang otoriter yang berbicara secara ex cathedra tentang masalah-masalah ilmu kealaman, menutup setiap kemungkinan gerak bagi semangat ilmiah. Mitos dan tahayul disokong oleh para penguasa Gereja. Penghapusan mitos dan tahayul dianggap sebagai ancaman bagi Gereja. Dengan menghukum para ilmuwan, Gereja berusaha untuk mengamankan fondasi-fondasinya sendiri. Sekalipun demikian, kaum ilmuwan lambat laun memperoleh kemenangan dan Gereja menemui kekalahan. Apa yang berhasil mereka lakukan itu adalah “sekularisasi” sepanjang hal itu berarti penghapusan kewenangan Gereja dari ilmu pengetahuan kealaman. Pencapaian mereka adalah sah dan berharga.” (h. 54-55)
11-9-2022
Sumber
Ismail R al-Faruqi; John L Esposito dan John O Voll, (2002): Akbar S Ahmed (1991); Harry Muhammad dkk, (2006)
_________________
9. Syekh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti
Muhammad Sa’id ibn Ramadhan Umar al-Buti lahir pada tahun 1929 di desa Jilika, Turki, yang terletak di Pulau Butan di Anatolia Barat. Daerah yang menderita kebodohan dan kebutuhan akan kebudayaan dan pengetahuan. Ia anak kedua dan satu-satunya anak lelaki. Ayahnya seorang sarjana Kurdi Mulla Ramadhan al-Buti. Semua leluhurnya keluarga petani dan juga ayahnya, yang telah mempelajari ilmu-ilmu Islam atas kemauan ayahnya dan membangunkan tradisi kesarjanaan keluarganya. Ibunya seorang yang saleh. Ia melanjutkan tradisi itu dan dilanjutkan oleh putranya Muhammad Taufik Ramadan al-Buti. Ibunya telah melahirkan tiga anak putri dan semuanya mati muda, yang kemudian membuatnya jatuh sakit dan ia wafat ketika al Buti umur 13 tahun. Ketika itu keluarganya telah pindah dan tinggal di Damaskus.
Pada tahun 1934 keluarganya melarikan diri dari Turki untuk menghindari langkah-langkah sekularisasi yang dilakukan Kemal Ataturk, yang dikatakan al-Buti sebagai ‘menghina Islam’. Di Damaskus ia memulai belajar agama, bahasa Arab dan matematika di sekolah swasta Suq al-Saruja, sebuah kota lama di dekatnya, dan kemudian ia pada usia 11 tahun mempelajari al-Qur’an dan riwayat hidup Nabi saw di bawah bimbingan Syekh Hasan Habannakah dan Syekh al-Maradini di Masjid Jami’ Manjak di al-Midan. Ketika masjid itu diubah menjadi Institut Oriantasi Islam (Ma’had at Tawjih al-Islami) al-Buti mempelajari tafsir al-Qur’an, logika, retorika (pidato) dan prinsip-prinsip pokok hokum Islam (ushul fiqh) sampai tahun 1953. Namun waktu itu guru utamanya dan yang paing berpengaruh adalah ayahnya sendiri.
Ayahnya selalu membaca al-Qur’an, melakukan shalat tahajud, membaca dzikir dan wirid, dan munajat, serta hidup wara dan zuhud. Ayahnya banyak melakukan ritual keagamaan meskipun ia rentan terhadap penyakit. Surat Yasin dibacanyanya pagi dan petang; setiap Senin dan Selasa pagi setelah shalat subuh ayahnya mengajak keluarganya untuk bersama-sama berzikir membaca tahlil laa ilaha illa Allah dan Allah masing-masing seratus kali, wirid lainnya, shalawat dan doa. Al-Buti pun mengamalkannya hingga saat ini.
Pada tahun 1956 ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas al-Azhar dengan ijazah guru Syari’ah dan diploma pendidikan. Mula-mula ia menjadi guru Syari’ah di sekolah menengah pertama dan di Dar Muallimin Ibtidaiyah di Homs. Karir akademisnya dimulai pada tahun 1961 ketika ia menjadi asisten di Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus yang baru didirikan. Pada tahun 1965 setelah al-Buti menyelesaikan gelar doktornya di Al-Azhar ia menjadi dosen dalam fiqh perbandingan dan studi agama di Universitas Damaskus. Ia juga menjabat Dekan Fakultas Syari’ah. Al-Buti adalah profesor di bidang hukum perbandingan pada Jurusan Fiqh dan Madzhab-madzhabnya.
Di Damaskus al-Buti juga menjalin silarurrahim dengan Syekh Mustafa as Siba’i yang ketika itu menjadi profesor hukum Islam di Universitas Damaskus. Ia tokoh Ikhwan Syria yang banyak menulis buku. Ia simpati terhadap gerakan Islam, namun ketika mereka melakukan tindakan kekerasan ia tidak setuju dan mengutuknya di televisi. Beberapa tahun kemudian ia semakin dekat dengan rezim Asad. Hal itu membuat kelompok gerakan Islam kecewa.
Yang banyak mempengaruhi perkembangan intelektualitasnya selain ayahnya, ialah gurunya Syekh Hasan Habannakah. Juga tokoh pemimpin spiritual Badi’ Zaman Sa’id Nursi sebagai aktivis politik dan agama yang beberapa kali ditangkap oleh pemerintahan Ottoman dan Republik. Al-Buti menerjemahkan otobiografinya dari bahasa Kurdi ke bahasa Arab dan ia menulis artikel tentang Sa’id Nursi.
Selain mengajar di Universitas Damaskus Syekh al-Buti banyak menulis buku dan berceramah di televisi dan radio. Tentang ijtihad kaum modernis ia berpendapat, tidak bisa diterima gagasan bahwa setiap orang semestinya memiliki hak untuk melakukan ijtihadnya sendiri. Sebaliknya, proses ijtihad menuntut pengetahuan yang dalam atas semua sumber yang relevan dan kemampuan untuk menerapkan aturan-aturan yang berasal dari teks-teks otoritatif untuk keadaan-keadaan modern.
Karya tulisnya sangat beragam. Di antaranya, lebih dari dua pulu jilid risalahnya telah terbit; pamflet; ratusan petunjuk, kuliah, dan ceramah agama di masjid yang direkam tim pemuda Muslim. Judul buku Muhadarat fi Fiqh al-Muqarin; Fiqh Sirah Nabawiyah dan sebagainya.
Buku Fiqh Sirah Nabawiyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh beberapa penerbit.
Dalam buku Sirah Nabawiyah itu Syekh Al-Buti menulis: bahwa tujuan mengkaji Sirah Nabawiyah bukan hanya untuk mengetahui berbagai peristiwa sejarah dan tidak sepatutnya kita mengagap itu termasuk kajian sejarah sebagaimana kajian tentang hidup seorang khalifah atau suatu suatu periode sejarah yang telah lalu. Tujuannya ialah agar setiap Muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna yang tercermin di dalam kehidupan Nabi Muhammas Saw. Sesudah ia dipahami secara kosepsional sebagai prinsip, kaidah dan hukum. Sirah Nabawiyah merupakan upaya penerapan yang bertujuan untuk memperjelas hakikat Islam secara utuh dalam keteladanannya yang tertinggi.
Ia mengeritik orientalis Gibb: “Kita tidak bisa menolak sama sekali pemikiran tentang adanya bukti-bukti kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam yang beraneka ragam, seperti fenomena wahyu, mukjizat al-Qur’an, dan fenomena kesucian dakwahnya dengan dakwah para Nabi terdahulu bersama sejumlah sifat dan akhlaqnya, hanya kita harus menerima hipotesis bahwa Muhammad bukan Nabi.
…
Perlu diketahui bahwa orang-orang yang mengeluarkan tuduhan semacam ini tidak memiliki bukti dan dalil-dalil sama sekali. Mereka hanya mengemukakan lontaran-lontaran pemikiran yang tidak ilmiah sama sekali.
Jika Anda memerlukan contohnya, bacalah buku Sistem Pemikiran Agama yang ditulis oleh seorang orientalis Inggris terkenal bernama HAR Gibb. Dalam buku ini, Anda dapat mencium fanatisme buta terhadap orang-orang tersebut, fanatisme aneh yang saling mendorong seseorang untuk menghindari faktor-faktor kehormatannya sendiri dan berlagak bodoh terhadap segudang dalil dan bukti yang nyata, hanya supaya tidak memaksanya untuk menerimanya.
Sistem pemikiran di dalam agama, menurut pandangan Gibb, tidaklah berbeda dengan berbagai kepercayaan pemikiran-pemikiran transendental yang ada dalam diri bangsa Arab. Muhammad telah merenungkannya kemudian mengubah bagian-bagian yang diubahnya. Untuk hal-hal yang tidak dapat dihindarinya, dia telah menutupinya dengan “kain” agama Islam. Ia juga tidak lupa dengan mendukungnya dengan suatu kerangka pemikiran dan sikap-sikap yang cocok. Di sinilah dia menghadapi kemuskilan besar. Dia ingin membangun kehidupan agama ini bukan hanya untuk bangsa Arab, melainkan untuk semua bangsa dan umat. Karena itu, dia tegakkan agama ini dalam sistem al-Qur’an. Itulah pemikiran Gibb di dalam bukunya tersebut. Jika And abaca bukunya dari awal sampai akhir, Anda tidak akan menemukan suatu argument pun yang dikemukakannya. Jika Anda perhatikan pendapat yang dilontarkannya, Anda tidak meragukan lagi bahwa pada waktu menulis, dia telah membesituakan segala potensi intelektualnya dan sebagai gantinya, di gunakan daya khayalnya sepuas-puasnya.
Tampaknya, ketika menuliskan pengantar terjemahan Arabnya, dia telah membayangkan bagaimana para pembaca akan menyerang pemikiran-pemikirannya yang telah menghina Islam tersebut. Karena itu, ia berkelit dengan mengatakan, “Sesungguhnya, pemikiran-pemikiran yang terknadung dalam buku ini bukanlah hasil pemikiran penulis, melainkan pemikiran yang sebelum ini telah dikemukakan oleh para pemikir dan kaum Muslimin yang terlalu banyak untuk di sini. Akan tetapi, cukup saya sebutkan salah seorang di antara mereka, yaitu Syekh Syah Waliyullah ad-Dahlawi.
Gibb kemudian mengutip suatu nash dari kitab Syekh Syah Waliyullah ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Balighah (1: 122). Tampaknya, dia menyangka tak seorang pun dari pembaca akan memerika teks kitab tersebut lalu dengan sengaja dia ubah dan palsukan. Berikut teks yang telah diubah dan dipalsukan oleh Gibb.
“Sesungguhnya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam diutus dalam suatu bi’tsah yang meliputi bi’tsah lainnya. Yang pertama kepada bani Israel. Bi’tsah ini mengharuskan agar materi syariatnya berupa syiar-syiar cara ibadah dan segi-segi kemanfaatan yang ada pada mereka. Hal ini karena syariat hanyalah merupakan perbaikan terhadap apa yang ada pada mereka, bukan pembebanan dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui sama sekali.” (Gibb, h. 58)
Padahal teks yang terdapat di dalam Hujjatullah al-Balighah secara utuh adalah sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa Nabi Muhammad diutus dengan membawa hanifiyah Isma’il untuk meluruskan kebengkokannya, membersihkan kepalsuannya, dan memancarkan sinarnya. Firman Allah, Millah orang tuamu Ibrahim. Karena itu, dasar-dasar millah tersebut harus diterima dan sunnah-sunnahnya harus ditetapkan. Hal ini karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam diutus pada suatu kaum yang masih terdapat pada mereka sisa sunnah yang terpimpin. Jadi, tidak perlu mengubahnya atau menggantinya, bahkan wajib meletakkannya karena hal itu lebih disukai oleh mereka dan lebih kuat bila dijadikan hujjah atas mereka. Anak-anak keturunan Isma’il mewarisi ajaran bapak mereka (Isma’il)” (Sirah Nabawiyah, h. 26-28)
Tentang sejarah:
“Mungkin Anda akan melihat suatu bangsa yang secara material berdiri tegar dalam puncak kemajuannya, padahal sistem sosial dan akhlaknya tidak benar, sesungguhnya bangsa ini sedang berjalan dengan cepat menuju kehancurannya. Mungkin Anda tidak akan melihat dan merasakan “perjalanan yang cepat” ini karena pendeknya umur manusia dibandingkan dengan umur sejarah dan generasi. Perjalanan seperti ini hanya dapat dilihat oleh “mata sejarah” yang tidak pernah tidur, bukan oleh mata manusia yang picik dan terbatas.
…juga Anda akan melihat suatu bangsa yang tidak pernah segan-segan mengorbankan segala kekuatannya demi mempertahankan aqidah yang benar dan membangun sistem sosial yang sehat, tetapi tidak lama kemuadian bangsa pemilik aqidah yang benar dan sistem sosial yang sehat ini berhasil mengembalikan negerinya yang hilang dan harta kekayaannya yang dirampok, bahkan kekuatannya kembali jauh lebih kuat dari sebelumnya.” (Sirah Nabawiyah, h. 111)
Tentang politik ia menulis:
“Akan tetapi, janganlah Anda menamakan hal ini dengan istilah demokrasi dalam perilaku dan pemerintahan. Prinsip persamaan dan keadilan ini sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan demokrasi manapun karena sumber keadilan dan persamaan dalam Islam adalah ‘ubudiyah kepada Allah yang merupakan kewajiban seluruh manusia. Sementara itu, sumber demokrasi ialah pendapat mayoritas atau “mempertuhankan” pendapat mayoritas atas orang lain betapapun wujud dan pendapat tersebut.
Karena itu, syariat Islam tidak pernah memberikan hak istimewa kepada golongan atau orang tertentu betapapun motivasi dan sebabnya karena sifat ‘ubudiyah (kehambaan kepada Allah) telah meleburkan dan menghapuskan semua itu.” (Sirah Nabawiyah, 316)
Syekh al-Buti meninggal pada 21 Maret 2013 di masjid al-Iman Suriah ketika memberikan ceramah oleh serangan bom.
Sumber: Dr. Muhammad Said Ramadan al-Buti (2006); John Cooper ed. dkk. (2006)
19-9-2022
——-
10. M Natsir, Jejak Langkahnya
M Natsir yang lahir 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, ayahnya bernama Idris Sutan Saripado seorang pegawai kecil dan ibunya Khadijah. Ia semula masuk Sekolah Rakyat, dan ketika ia akan masuk HIS ditolak karena ayahnya hanya pegawai kecil, kemudian ia masuk HIS Adabiyah Padang dan pindah sekolah lain hingga tamat. Lalu ia masuk MULO. Setelah menamatkan MULO di Padang M Natsir lalu melanjutkan pendidikannya di AMS (algemene middlbare school), setingkat sekolah menengah, di Bandung, setelah sebelumnya mengajukan bea siswa diterima. Di kota Bandung ia tinggal di Gang Pakgade dekat Pasar Baru dan Babatan. Yang tinggal di gang itu bukan hanya Sunda, ada Palembang, Jawa dan Keling. Tak ada orang Cina, mereka tinggal di sekitar Pecinan.
Di AMS Bandung ia ambil jurusan bahasa-bahasa Barat, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis juga bahasa klasik Latin dan Yunani. Setelah bertemu dengan Tuan Hassan ia belajar bahasa Arab lebih mendalam.
Fachoeddin al-Khairi mula-mula sering menghadiri pengajian Persatuan Islam dan sering berkunjung ke rumah Tuan Hassan. Lalu Fachroeddin mengajak temannya, M Natsir ke rumah Tuan Hassan untuk bertanya dan berdiskusi soal-soal agama. Mereka berdua sekolah Belanda belajar bahasa Barat namun berminat untuk mempelajari agama Islam, berbeda dengan kebanyakan temannya. Juga M Natsir belajar bahasa Arab kepada Tuan Hassan.
Pada bulan Januari 1929 dalam rapat umum Jong Islamiten Bond (JIB) yang diadakan di sekolah Persatuan Islam, Fachroeddin al-Khairi terpilih sebagai ketua JIB cabang Bandung dan M Natsir sebagai wakilnya. JIB ini didirikan atas respon para pemuda Islam terhadap organisasi pemuda yang ada dan atas saran Kiai Agus Salim, yang didirikan oleh Wiwoho, Sjamsuridjal dan kawan-kawan. Dengan aktivitasnya itu keduanya semakin sering datang ke kediaman Tuan Hassan.
Bulan Maret 1929 didirikan Komite oleh kaum Muslim untuk menentukan sikap yang berkaitan dengan berbagai cemoohan, serangan, tuduhan dan celaan dari orang-orang yang membenci Islam. Serangan kebencian itu dilakukan dengan lisan dan tulisan, melalui mimbar gereja, ceramah, pelajaran di sekolah atau tulisan-tulisan di koran, majalah dan buku-buku agar kaum pribumi membenci Islam dan umatnya. Untuk menanggapi mereka Komite menerbitkan Pembela Islam. Majalah Pembela Islam diterbitkan pertama kali pada bulan Oktober 1929. Majalah ini terbit sampai nomor 71.
Pada bulan September 1929 setiap hari Kamis murid-murid AMS Bandung dikerahkan oleh gurunya untk mendengarkan ceramah AC. Christoffels di gereja yang baru dibangun di dekat Pieterspark (sekarang Taman Merdeka). Ada ceramah berisi tentang Muhammad, konon dimaksudkan untuk mengenal Islam dan umatnya. Ceramah-ceramah itu ringkasannya kemudian disiarkan di surat kabar A.I.D. yang terbit di Bandung. Isinya banyak kesalahan fakta sejarah dengan sikap pongah dan melecehkan Islam dan Nabi. Natsir kemudian menulis bantahannya dikirim ke koran itu yang semula ditolak dan akhirnya diterbitkan juga. Untuk selanjutnya tulisan-tulisannya itu dimuat di majalah Pembela Islam.
Ketika M Natsir akhirnya lulus dari AMS Bandung ia mendapat bea siswa dan ia bisa melanjutkan pendikan ke Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Belanda, tapi ia lebih memilih untuk mengelola Pembela Islam. Tulisan-tulisannya tentang Islam banyak di muat di dalamnya, selain kolom Soal-Jawab A Hassan tentang masalah fiqh.
Setelah ia putuskan untuk tidak mengambil bea siswa ke perguruan tinggi, ia selanjutnya menjadi pendidik, dengan dibekali ilmu mendidik yang ketika itu baru dibuka. Ia mengajar di sekolah yang ia dirikan sendiri, dengan bantuan para donatur. Di sela kesibukannya mengajar M Natsir mengelola majalah Pembela Islam hingga majalah itu berhenti penerbitannya.
Zaman setelah kemerdekaan ia pidato dalam Sidang Konstituante 12 November 1957 tentang hubungan Islam dan negara, yang isinya antara lain: “Sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap, hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam penghidupan kaum sekularis tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal: akhirat, Tuhan dan sebagainya …” (Herbert & Lance Castles, ed.,1988)
Pada jilid pertama mengisahkan tentang M Natsir hingga menjelang kedatangan Jepang dan polemiknya dengan Soekarno. Dalam polemik dengan Soekarno yang memuji langkah Turki yang dipimpin Kemal Attartuk melakukan modernisasi dan demokrasi ia mengatakan Soekarno telah keliru tentang sekularisme, yang memisahkan agama dari negara. Attartuk berkuasa otoriter. Ia langsung merujuk karya Ali Abdurrazik, yang ketika itu sudah diterbitkan, untuk menjawab Bung Karno. Tulisan-tulisan lain M Natsir yang dimuat dalam Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat kemudian dikumpulkan dalam buku Capita Selekta, termasuk polemiknya dengan Soekarno. Selain karya tulis yang dikumpulkan dalam Capita Selekta itu ia banyak menulis artikel dan buku, ada yang ditulis dalam bahasa Belanda.
M Natsir menulis dalam Capita Selekta:
“Tidak pernah kita menaruh kepercayaan akan hasilnya cita-cita aliran assosiasi a la Snouck. Sebab aliran assosiasi yang dianjurkannya itu hendak dicapai bukan dengan mempertalikan dua kebudayaan, melainkan hendak menindas yang satu dengan yang lain. menurut teori Snouck Hurgronje, assosiasi itu hendaklah dicapai dengan ”mendekatkan orang Islam daripada ajaran-ajaran agama mereka”. Dengan ini ia memungkiri akan kekuatan yang ada dalam agama Islam, yang sanggup mempertahankan dirinya dari segala pengaruh aliran luar. Setiap orang yang memperhatikan tariich [sejarah] agama Islam dari dulu sampai sekarang, tak dapat tidak mendapat kesimpulan bahwa harapan akan tercapainya assosiasi a la Snouck semacam itu tidak beralasan sama sekali”. (Natsir, h. 334)
Ketika Soekarno sebagai presiden sudah mengarah kepada penyimpangan UUD 1945 M Natsir bersuara dan berjuang secara fisik. Ia, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan kawan-kawan politisi menuntut dibentuknya kabinet Hatta dan Hamengkubuwono IX. Pada puncaknya dikeluarkan ultimatum 10 Februari 1958, yang berisi, bahwa pemerintah pusat tidak memberi jawaban maka mereka menganggap tak memiliki kewajiban untuk taat kepada pemerintah yang melanggar UUD. Natsir dan kawan-kawan masuk hutan, yang kemudian dikenal dengan peristiwa PRRI Sumatra Barat. Mereka kalah dan dipenjara dari tahun 1961 sampai 1966.
Ketika zaman Orde Baru para pemimpin Masyumi berharap agar pemerintah untuk merehabilitasi Masyumi yang dibubarkan Agustus 1960 oleh Soekarno, tapi pemerintah khawatir jika Masyumi bangkit. Itu artinya para tokoh politik Masyumi akan tampil ke gelanggang politik.
Tahun 1967 ia dan kawan-kawan mendirikan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) di Jalan Keramat Raya Jakarta. Ia aktif di Rabitah Alam Islami 1969, Anggota Dewan Masjid Sedunia, dan mendidik calon dai. Untuk bekal para dai Natsir menulis buku Fiqhu Dakwah. Lembaga ini juga menerbitkan buku dan media lainnya, seperti majalah Media Dakwah dan lainnya.
Juga ia banyak mengenalkan dan mendorong aktivis muda untuk aktif dalam gerakan pemuda muslim internasional, seperti Imaduddin Abrurrahim dan Nurchlish Madjid. M Natsir mengutus Imadduddin untuk keliling ke berbagai negara Muslim untuk menemui beberapa tokoh, di antaranya, di Palestina ia bertemu mufi Palestina, ke Pakistan ia bertemu Abul A’la Maududi untuk menyampaikan surat dari M Natsir, dan ia diterima serta mendapat hadiah buku tafsir yang baru ditulis Maududi. M Natsir mengangap semua aktivis muda muslim adalah anaknya.
Natsir juga termasuk satu tokoh yang menandatangani Petisi 50 yang dicekal rezim Orde Baru. Ketika ia mendapat penghargaan Doktor Honoraris Causa dari Universitas Malaysia ia tidak dapat hadir di sana.
Pada tanggal 6 Februari 1993 M Natsir meninggal dunia sebagai pejuang yang tak kenal lelah. (Herry dkk, h. 52)
Sumber: Ajip Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi 1, (Jakarta, GP, 1990); M Natsir, Capita Selekta; Herry Muhammad dkk. Tokoh-tokoh Islam; Jimly Assidiqdy peny. dkk., Bang Imad (2002).
26-10-2022
———
11. Abul Ala al-Maududi dan Perjuangannya
Sebagai seorang pemikir yang berkaitan dengan kebangkitan Islam al-Maududi telah banyak menulis sekitar 138 judul buku dalam berbagai tema politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya, serta berbagai aktivitas lainnya. Buku-bukunya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa dan pemikirannya memiliki pengaruh luas, melampaui Asia Selatan.
Al-Maududi lahir di Aurangabad, India Selatan pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H). Ia lahir dalam keluarga tokoh Muslim India Utara (syarif) dari Delhi yang bermukim di Deccan. Keluarga ini adalah keturunan wali sufi besar tarekat Chisthi yang membantu menanamkan benih Islam di di wilayah India. Keluarga ini pernah mengabdi kepada pemerintahan Bahadur Syah Zafar, penguasa terakhir dinasti Moghul. Kedekatannya dengan penguasa Muslim membuat mereka menolak pemerintah Inggris. Ayahnya bernama Sayyid Ahmad Hassan masuk sekolah tinggi di Aligarh sebentar dan ia kemudian menyelesaikan studi hukum di Allahabad. Ia mendidik anak-anaknya dalam sistem pendidikan klasik, belajar bahasa Arab, Persia dan Urdu. Di usia empat belas tahun ia sudah menerjemahkan karya al-Marah jadidah ke dalam bahasa Urdu.
Pada usia sebelas tahun ia baru mendapatkan pelajaran sains. Ketika usia enam belas tahun ayahnya meninggal dan ia berhenti dari sekolah formalnya. Setelah itu, ia terus berusaha belajar sendiri untuk memenuhi minat intelektualnya. Ia semula tertarik pada masalah politik. Ia menulis berberapa esai tentang nasionalisme. Tahun 1918 ia bergabung dengan saudaranya, Abul Khair, di Bajnur, untuk memulai karir dalam bidang jurnalistik
Kemudian mereka berdua pindah ke Delhi. Di kota itu ia berkenalan dengan arus intelektual dalam komunitas Muslim, tahu pandangan modernis dan ikut dalam gerakan kemerdekaan. Tahun 1919 ia pindah ke Jabalpur untuk bekerja pada mingguan Taj yang pro-Kongres. Ia aktif dalam gerakan Khilafah. Ketika mingguan itu ditutup ia kembali ke Delhi. Lalu ia bekenalan dengan Muhammad Ali dan mereka berdua menerbitkan koran Hamdard. Tak lama kemudia ia bergabung dengan gerakan Hijrah yang mendorong kaum Muslim India meninggalkan British India.
Tahun 1921 Mududi berkenalan dengan pimpinan Masyarakat Ulama India (Jami’ati ‘Ulama Hind) Maulana Kifayatullah dan Ahmad Sa’id. Ia diundang untuk menjadi editor koran mereka, Muslim, hingga tahun 1924 koran Muslim diganti menjadi Al-Jami’at. Dari sinilah ia menjadi lebih mengetahui kesadaran politik kaum Muslim dan ia lebih aktif dalam persoalan agamanya. Maududi mulai menulis masalah yang menjadi perhatian kaum Muslim India.
Di kota Delhi ia mulai belajar bahasa Inggris dan membaca karya-karya Barat. Juga hubungannya dengan Jami’at memungkinkan ia mendapat pendidikan agama secara formal. Tahun 1926 ia mendpat sertifikat pendidikan agama dan ulama. Tapi Maududi tak mau menerima statusnya sebagai alim.
Dengan runtuhnya gerakan Khilafah tahun 1924 ia melepaskan pandangan nasionalismenya, tak percaya pada Partai Kongres dan ia meninggalkan Jami’at dan berpisah jalan dengan penasehat Doebaninya.
Tahun 1925 terjadi kasus, seorang Muslim membunuh Swami Shradhanand, pemimpin kebangkitan Hindu yang menganjurkan kasta rendah yang masuk Islam agar kembali ke Hindu. Swami secara terang-terangan meremehkan keyakinan kaum Muslim. Hal itu memancing kemarahan kaum Muslim. Kematiannya menimbulkan kritik dari media massa, bahwa Islam adalah agama kekerasan. Maududi tidak tinggal diam. Kemudian ia menulis buku al-Jihad fil Islam, perang dan damai, kekerasan dan jihad dalam Islam.
Tahun 1928 Maududi pindah ke Heyderabad. Ia banyak menulis dan menerjemahkan buku tafsir dan filsafat dari bahasa Arab. Ia menulis Risalah-i Diniyah, yang kemudian diterjemahkan sebagai Toward Understanding Islam.
Tahun 1932 Maududi menerbitkan Tarjumun Al-Qur’an, sebuah jurnal yang berisi pandangan-pandangannya selama empat puluh tahun. Ia tidak puas hanya dengan tulisan dan tak berpengaruh pada peristiwa politik yang mengalami perubahan cepat dalam sejarah India periode itu. Untuk itu ia tahun 1938 pindah ke Punjab untuk memimpin Dar al-Islam, suatu proyek pendidikan yang semula digagas oleh Dr. Muhammad Iqbal (w 1938 M), di Pathankot, sebuah dusun kecil di Punjab. Dar al-Islam diharapkan melahirkan pembaruan Islam besar di India. Ia sibuk dengan politik dan tidak memperhatikan proyek Dar al_Islam. Tahun 1939 ia pindah ke Lahore untuk melakukan aktivitas politik yang langsung. Ia bersama sejumlah aktivis Muslim dan ulama muda pada 26 Agustus 1941 mendirikan Jama’t-I Islami (Partai Islam). Setelah partai ini berdiri segera pindah ke Pathankot dan mulai berkembang cepat dan berpengaruh dalam berbagai peristiwa di India.
Ketika India pecah Jam’at-i pecah juga, Maududi bersama seluruh anggotanya memilih Pakistan yang berdiri tahun 1947. Sejak saat itu karir politik dan intelektual Maududi berkaitan erat dengan perubahan perkembangan Jama’at-i. Beberapa kali berseberangan dengan pemerintah dan beberapa kali pula ia ditangkap dan dipenjarakan. Pernah dijatuhi hukuman mati, lalu menjadi hukuman seumur hidup dan akhirnya bebas. Selama dalam aktivitas politiknya ia banyak menulis, artikel, ulasan, risalah pendek dan buku. Juga ia melakukan gerakan anti-Ahmadiyah. Di antaranya, hasil ceramahnya di radio diterjemahkan oleh Khurshid Ahmad dengan judul Islamic Way of Life; karya besarnya Tafhim Al-Qur’an (Memahami Al-Qur’an) yang ditulisnya sejak tahun 1941 sampai 1972, terjemahan dan ulasan al-Qur’an, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; tentang politik al-Khilafah wal Mulk dan Islamic Law and Constitution, dan lainnya.
Tahun 1960-1962 Maududi menjawab koresponden Maryam Jameelah yang akhirnya Maryam pindah dari New York ke Pakistan. Abul A’la Maududi meninggal di New York pada 22 September 1979 dan dimakamkan di Lahore.
Teori Politik Maududi
Asas terpenting dalam Islam adalah tauhid, dan seluruh nabi serta rasul Allah mempunyai tugas pokok untuk mengajarkan tauhid (keesaan Tuhan) kepada seluruh umat manusia. Ajaran tauhid memiliki implikasi mengubah tata sosial, tata politik, dan tata ekonomi.
Di zaman modern fenomena Fir’aun dan Namrud masih tetap dapat kita amati secara jelas. Banyak penguasa negara yang bertingkah dan bersikap seperti Fir’aun dan Namrud, yang merasa paling benar sendiri dan menuntut ketaatan rakyat secara total tanpa syarat (reserve).
Maududi menyatakan, kedaulatan ada di tangan Tuhan, dan ‘bukan’ di tangan manusia. Berbeda dengan teori demokrasi umumnya, yang mengatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam kenyataannya, kata-kata “kedaulatan rakyat” seringkali menjadi kata-kata kosong karena partisipasi rakyat dalam kebanyakan negara demokrasi hanyalah dilakukan empat atau lima tahun sekali dalam bentuk pemilihan umum, sedangkan kendali pemerintahan sesungguhnya berada di tangan sekelompok kecil penguasa yang menentukan seluruh kebijakan negara.
Siapa pun yang sedikit mendalami praktek teori demokrasi akan menyadari bahwa yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yakni bahwa sekelompok penguasa saling bekerjasama untuk menentukan berbagai kebijaksanaan politik, sosial, ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana sesungguhnya aspirasi rakyat yang sebenarnya.
Beberapa prinsip menurut Maududi, pertama, tidak ada seseorang, sekelompok orang atau seluruh penduduk suatu negara dapat melakukan klaim atas kedaulatan. Hanya Allah yang memagang kedaulatan. Kedua, Tuhan adalah pencipta hukum yang sebenarnya, sehingga Dia sajalah yang berhak membuat legislasi secara mutlak. Ketiga, suatu pemerintahan yang menjalankan peraturan-peraturan dasar dari Tuhan sebagaimana diterangkan oleh nabiNya wajib memperoleh ketaatan rakyat.
Tujuan diselenggarakannya negara adalah, pertama, untuk menghilangkan terjadinya eksploitasi antarmanusia, antarkelompok dan antarkelas dalam masyarakat. Kedua, untuk memelihara kebebasan (ekonomi, politik, pendidikan dan agama) para warga negara dan melindungi seluruh warga negara dari invasi asing. Ketiga, untuk menegakkan sistem keadilan sosial yang seimbang sebagaimana dikehendaki al-Qur’an. Keempat, untuk memberantas setiap kejahatan (munkarat) dan mendorong setiap kebajikan. Kelima, menjadikan negara sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi setiap warga negara dengan jalan memberlakukan hukum tanpa diskriminasi.
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh, akan memberikan khilafah (menggantikan penguasa-penguasa yang ada) kepada mereka di bumi, sebagaimana Dia telah memberikan khilafah itu kepada orang-orang sebelum mereka.” (QS An-Nur: 55)
Ayat al-Qur’an dengan jelas melukiskan teori Islam tentang politik atau negara. Setidaknya ada dua masalah fundamental, yaitu: pertama, Islam menggunakan istilah “khilafah” sebagai kata kunci, bukan kata kedaulatan atau lainnya, karena kedaulatan sesungguhnya hanya milik Allah. Kedua, kekuasaan untuk mengatur bumi, untuk memakmurkannya, untuk mengelola negara dan untuk menyejahterakan masyarakat dijanjikan kepada “seluruh masyarakat beriman; bukan kepada seseorang atau suatu kelas tertentu.”
Kedua masalah fundamental itu merupakan fondasi demokrasi dalam Islam. Dari pengertian fundamental itu paling tidak ada empat prinsip yang dapat diturunkan. Pertama, dalam suatu masyarakat yang setiap orang menjadi khalifah Tuhan dan menjadi partisipan sederajat dalam khilafah, setiap perbedaan kelas yang didasarkan pada keturunan dan posisi sosial sama sekali tidak dapat dibenarkan. Semua manusia mempunyai posisi dan status yang sama. Kedua, dalam masyarakat seperti ini tidak ada satu orang pun atau satu kelompok pun yang akan akan menderita karena diskriminasi berdasar keturunan, status sosial, atau profesi yang dapat menghambat pertumbuhan bakat dan kemampuannya. Ketiga, Islam tidak memberikan kesempatan bagi berlangsungnya kediktatoran, karena setiap orang adalah khilafah Tuhan. Tidak ada seseorang atau sekelompok orang berhak menjadi penguasa mutlak dengan menghilangkan hak khilafah rakyat. Keempat, dalam masyarakat dan negara yang mematuhi Islam itu, setiap Muslim yang sehat jiwa dan raganya, baik pria maupun wanita, berhak sepenuhnya untuk mengemukakan pendapatnya. Akhirnya, dalam Islam, tujuan kehidupan individual dan kehidupan kolektif diarahkan untuk mencapai keridhaan Allah dengan jalan melaksanakan hukum-hukum ilahi.
——–
Sumber : Ali Rahnema, ed.,(1995); Amien Rais pengantar Abul A’la Maududi, (1984); Surat-surat Maryam Jameelah, (1984).
5-11-2022
———————–
12. Jamaluddin al-Afghani, Pemikir-Pejuang
“Ia ahli bahasa yang sempurna, yang menguasai berbagai bahasa dari bangsa beragama Islam di dunia, yang kefasihannya berbicara diakui, yang merasuk hati. Jiwa yang tidak mau diam itu selalu mengembara dari negara Islam yang satu ke negara Islam lain untuk mempengaruhi orang-orang penting di Iran, Mesir, dan Turki.” Muhammad Iqbal
Ketika dunia Muslim masuk dalam cengkeraman penjajahan barat tampil seorang pembaru dengan pemikiran yang tajam di abad ke-19. Ia berjuang dan mengingatkan kaum Muslim untuk bangkit dan melawan. Ia melakukan perjalanan dari satu wilayah muslim ke wilayah lainnya. Dialah Jamaluddin al-Afghani.
Jamaluddin al-Afghani dilahirkan pada tahun 1838 di Abadabad, wilayah Afghanistan. Ayahnya bernama Safdar, keturunan Sayed Ali al-Tirmizi, yang kemudian pindah dan menetap di Kabul. Pada umur 8 tahun ia telah menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa. Selagi belum mencapai usia 18 tahun ia telah menguasai berbagai cabang ilmu Islam, termasuk filsafat, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, mistik, astronomi, dan astrologi. Pengetahuannya ensiklopedik.
Setelah ia membekali diri secara sempurna dengan berbagai disiplin ilmu Timur dan ilmu Barat, ia memulai misi untuk membangkitkan kembali dunia Islam yang tenggelam dalam keterpurukan.
Afghani mula-mula berkelana ke India. Ia memulai dengan mempengaruhi orang-orang yang berhubungan dengannya. Pada saat itu India dalam prahara. Kekuasaan asing mengangkangi negeri India. Mereka bertindak kejam kepada kaum pribumi. Pada tahun 1857 terjadi perlawanan dan perang kemerdekaan pertama di India. Ketika pemberontakan terjadi di India ia berada di Makkah beribadah haji.
Lalu ia kembali ke kota Kabul dan disambut penguasa Afghanistan, Dast Muhammad. Di Afghanistan ia memiliki pengaruh di kalangan cendekiawan dan warga biasa. Namun setelah penguasa itu meninggal Afghani tidak disukai karena ide-idenya. Ia pun pergi dari Kabul dan untuk sekali lagi ia beribadah haji.
Namun ia tidak diperkenankan dengan jalan darat, melalui Persia, hingga ia melewati dan masuk India lagi tahun 1869. Di India ia dilarang bertemu dengan para pemimpin India. Rezim pendudukan memberangkatkan ia dengan kapal laut melalui Suez. Ia tiba di Kairo. Di kota ini ia bertemu dengan para intelektual dan pelajar al-Azhar. Mereka langsung terkesan dengan ilmu dan kesarjanaan Afghani. Di antara berbagai gagasan progresifnya yang sangat berpengaruh di kalangan cendekiawan Mesir terdapat pada diri Muhammad Abduh.
Yang semula ia akan pergi ke Makkah tidak diteruskan, namun Afghani melakukan perjalanan ke Istambul, Turki. Lagi, wawasan ilmiahnya membuatnya popular di kalangan cendekiawan Turki. Ia berceramah di Universitas Istambul. Dalam satu ceramahnya menimbulkan keberatan pada sebagian mereka sehingga memaksa pemerintah Ottoman memerintahkannya untuk meninggalkan kota itu. Ia tahun 1871 kembali lagi ke Mesir.
Di negeri Mesir ia begitu popular dan mendapatkan penghormatan dari kaum terpelajar atas wawasan ilmiahnya. Ia berada di negeri itu selama sekitar 8 tahun. Tetapi Mesir yang kala itu dalam cengkeraaman penjajah Inggris mengusirnya.
Tahun 1879 ia meninggalkan Kairo dan sampai di Hyderabad Deccau, India. Di kota ini ia menulis risalahnya yang terkenal, Risalah fi ibthali madzhahib dahriyyin (Pembuktian Kesalahan Kaum Matrialis), yang menimbulkan gejolak di kalangan kaum matrialis. Buku Afghani mengeritik teori Darwin, evolusionisme, dan memperingatkan bahwa teori itu menimbulkan gelombang ateisme di dunia barat. Paham evolusionismenya terus berkembang dan ateisme pun turut berkembang.
Darwinisme mengatakan bahwa tidak ada wujud di alam ini, kecuali wujud hakikat kebendaan (materi). Semua yang ada dalam kehidupan ini tidak lain adalah sebagai suatu refleksi fenomena dari hakikat kebendaan itu, hingga pada masalah pemikiran dan perasaan yang bersifat psikologis.
Ia memperingatkan bahwa paham itu berbahaya, yang di India menamakan diri dengan neicheris, atau naturalisme, bukan karena menentang agama, tapi bagi kesatuan dan kekuatan kaum muslim. Selain itu penggerak dan pembawa paham itu berasal dan berbaju muslim, yang disadari atau tidak membuat lemahnya umat Islam India dalam hal aqidah ataupun integritas umat. Kelompok itu dipimpin oleh Ahmad Khan. Dalam artikel-artikelnya Khan menafsirkan al-Qur’an dengan akal, agar sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Selain itu ia dianggap memihak Inggris dan ia ingin rakyat India mengikuti budaya bangsa penjajah itu.
Di London dan Paris
Di kota London Afghani sempat bertemu dengan Herbert Spenser. Ia bertukar pikiran dengannya, mengenai dunia Timur dan kejahatan penjajah. Spenser bertanya kepada Afghani tentang definisi keadilan, dan dijawabnya, bahwa keadilan adalah apabila kekuatan-kekuatan yang ada telah seimbang. Jawaban itu dimaksudkan untuk menyinggung, tentang keberadaan Inggris di Mesir.
Selama di London ia merasakan keganjilan. Meskipun di sana ada kebebasan, untuk menyampaikan pendapat dan pikiran, namun apa artinya suatu kebebasan jika ia sendiri tidak bisa berbicara langsung kepada pengikut-pengikutnya? Pikiran di benaknya semakin berkecamuk. Ia lalu pergi ke Paris.
Di Paris Afghani memanggil Muhammad Abduh yang dalam pengasingan di Beirut untuk pergi ke kota itu. Di kota itu Abduh mengajukan ide tentang mendidik kader-kader pembaru. Namun Afghani tak sepakat, sebab ia lebih fokus pada pemikiran dan politik, juga jauh dari pengikutnya. Namun kemudian disepakati bersama Afghani yang menuangkan ide-ide dan Abduh menuliskannya. Mereka lalu menerbitkan majalah al-Urwatul Wusqa (tali penyambung). Majalah ini sebagai media Afghani untuk memberikan pesan kepada dunia Timur tentang perlunya kaum Muslim bersatu menghadapi musuh kaum penjajah, optimis dalam perjuangan, tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar agama Islam sebagaimana para pendahulu yaitu suatu ideologi yang merupakan kekuatan, membela tuduhan yang ditujukan kepada bangsa Timur dan kaum Muslim khususnya, menjelaskan tentang taktik politik dan permainan politik penjajah barat, memperkokoh solidaritas kaum Muslim dan bangsa Timur, dan membuka sebab-sebab mereka lemah dan menggali kekuatan spiritual mereka.
Edisi pertama al-Urwatul Wusqa terbit berbahasa Arab tanggal 13 Maret 1884. Setelah edisi kedelapan belas tidak terbit lagi. Namun majalah itu mampu mengoncangkan dunia Islam. Penjajah Inggris memboikot majalah itu untuk masuk ke Mesir dan India.
Selama di kota itu Afghani juga bertemu dan bertukar pikiran dengan Renan. Kedua tokoh itu berdebat, tentang isi ceramah Renan di Sorbone. Bebarapa lama setelah isi ceramah Renan beredar di antaranya, bahwa Islam dari aspek sejarah perkembangannya bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan pembawaan kodrati bangsa Arab tidak cocok dengan semangat ilmu pengetahuan dan filsafat. Lalu Afghani menanggapi poin-poin yang dikatakan Renan. Setelah Afghani memberikan jawaban dengan argumen-argumen kuat, Renan akhirnya mengakui, bahwa kaum Muslim selama tahun 775 hingga abad ke-13 telah melahirkan banyak pemikir ulung. Dunia Islam ketika itu mengungguli Kristen dalam bidang ilmu pengetahuan.
Jamaluddin al-Afghani sejak muda belajar dan berjuang, dan ia pergi ke berbagai negeri, serta menyebarkan pikiran-pikirannya. Ketika berada di Istambul ia pun membuka Majelis Ilmu, setelah pengawasan atasnya dilonggarkan penguasa sebab ia lebih memusatkan perhatian pada sastra, filsafat dan kebudayaan, di mana para tokoh datang ke tempatnya untuk berdiskusi dan bertanya, di antaranya Amir Syakib Arselan.
Al-Afghani telah tiada, tetapi pikiran-pikirannya masih tetap menjadi inspirasi para pejuang di dunia Muslim, tentang persatuan, perjuangan, optimisme dan pan Islamisme.
“Tidak satu negeri Barat pun yang mengetuk pintu negeri Timur, kecuali dengan alasan untuk menjamin hak kelangsungan rajanya, atau untuk memadamkan pemberontakan kepada raja itu, atau alasan membantu pelaksanaan butir-butir undang-undang serta alasan yang dibuat-buat lainnya. …
Janji-janji di atas membuat bangsa Timur semakin asyik bermimpi dalam pelukan Barat. Tiap saat berusaha mempersembahkan ketaatannya dan penghormatannya kepada musang penjajah berbulu ayam. Bangsa Timur berlomba untuk memenangkan restu bangsa Barat itu, dan selalu berharap dengan bangga untuk melaksanakan perintahnya. Mereka mengira bahwa, bangsa Barat akan memenuhi janji manisnya. …
Begitulah pikiran apa yang ada di benak bangsa Timur. Sedangkan apa yang dilakukan bangsa Barat, adalah suatu rencana masak, disimpan dalam koper yang telah sengaja dibawa dari negeri mereka. Kemudian mereka mencatat dengan rapi dalam buku bangsa Timur adalah bangsa malas, bodoh, fanatik, tanahnya subur, kekayaan alamnya melimpah dan merupakan proyek besar dan udaranya nyaman. Maka…… kamilah bangsa Barat lebih berhak untuk menikmati semua itu. Dan untuk dapat meraih itu semua, diperlukan rencana sebagai berikut;
1. Menjauhkan setiap tokoh yang diperkirakan akan mampu membangkitkan perlawanan untuk menentang kehadiran penjajah.
2. Mendekati dan merangkul pihak yang bisa diajak berkompromi, dan pihak yang tidak memiliki kepedulian kepada negerinya, karena mempertimbangkan untung rugi pribadi.
3. Mempraktekkan politik ”memecah belah dan menguasai” (devide et impera), sehingga masing-masing golongan akan saling hantam dan berpecah belah.
Negeri penjajah apabila melihat bahwa kekuasaan telah berada di tangan penguasa diktator yang melumpuhkan kekuatan rakyat, berarti telah tiba saatnya untuk mengail ikan dalam air keruh, baik dengan kekuatan militer, ekonomi atau bujuk rayu dan tipu daya.” (Mustolah Maufur, MA., h. 82)
———-
Sumber: Jamil Ahmad, 2009; Mustolah Maufur, MA., 1991.
10-1-2023
————
13. Prof. Ali Jum’ah dan Karyanya
Nama lengkapnya Ali Muhammad Jum’ah Abdul Wahhab, yang lahir pada 3 maret 1952 di Bani Suwayf, Mesir. Syekh Ali Jum’ah mulai menghapal al-Qur’an pada umur sepuluh tahun. Ia tidak masuk sekolah agama, tapi Syekh Ali telah membaca dan mempelajari Kutubus Sittah serta mempelajari karya fiqih Imam Maliki sejak lulus sekolah menengah atas. Kemudian ia mengambil gelar BA. di Fakultas Perdagangan, Universitas Ain Syam pada tahun 1973. Setelah lulus dari perguruan tinggi itu Syekh Ali belajar di Universitas Al-Azhar. Ia menyelesaikan kesarjanaannya di Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab pada Universitas Al-Azhar pada tahun 1979.
Lalu Syekh Ali melanjutkan program master bidang Usul Fiqh pada Fakultas Syariah dan Perundang-undangan di Universitas Al-Azhar yang diselesaikan tahun 1985 dengan nilai mumtaz (cumlaude), dan gelar doktor pada Fakultas yang sama pada tahun 1988 dengan nilai summa cumlaude.
Selain belajar di universitas Syekh Ali Jum’ah juga belajar kepada banyak syekh dan ahli di bidang syariah. Di antaranya ia belajar kepada ahli hadits dari Maroko, yaitu Syekh Abdullah bin Siddiq al-Ghumari. Ia menganggap Syekh Ali sebagai mahasiswa yang paling berhasil. Selain itu Syekh Ali belajar kepada banyak syekh yang lainnya, yakni Syekh Abdul Fattah Abu Ghuda, Syekh Muhammad Abu Nur Zuhair, dan sebagainya.
Sebelum diangkat menjadi Mufti Agung Republik Arab Mesir Syekh Ali menjadi rujukan dalam Manahij Fiqhiyah di Universitas Al-Azhar.
Pada tahun 1990-an Syekh Ali mencetuskan kembali tradisi lama, memberi pelajaran agama di masjid al-Azhar, untuk kalangan umum bagi mereka yang ingin mendalami tentang agama. Kuliah umum ini bertempat di ruangan dekat masjid al-Azhar.
Tahun 2003 Syekh Ali diangkat sebagai Mufti Agung Mesir. Sejak menjabat sebagai Mufti Agung Syekh Ali menjadikan Daul Ifta’ sebagai sebuah institusi modern dengan dewan fatwa dan system checks dan balances. Juga Syekh Ali mengembangkan sarana berbasis teknologi informasi untuk institusi tersebut dengan mengembangkan sebuah wesite canggih dan call center yang membuat orang semakin mudah untuk meminta fatwa tanpa harus datang ke lembaga tersebut. Syekh Ali juga menjabat sebagai anggota Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah (2004-2013); Majma’al-Fiqh di Mu’tamar ’Alam Islami di Jeddah; Guru besar Ushul Fiqh Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab, Cabang putra, Universitas al-Azhar, dan anggota Mu’tamar Fiqh Islam di India.
Di samping itu, Syekh Ali adalah penulis produktif yang berkaitan dengan isu-isu keislaman, dan ia menulis kolom mingguan di surat kabar al-Ahram Mesir dengan bahasan masalah kontemporer.
Karya-karya tulisnya antara lain: al-Musthalah al-Ushuli wa at-Tathbiq ‘ala Ta’rif, al-Hukmu syariyu ‘indal Ushuliyyin, al-‘Alaqah Ushul Fiqh bil Falsafah, al-Imam Bukharii, al-Imam Syafi’I, dan al-Mutasyaddidun manhajuhum wa Munaqaasatuhu ahammi Qadaayaahum yang diterjemahkan menjadi Menjawab Dakwah Kaum Salafi.
Dalam buku ini Syekh Ali Jum’ah memulai bahasannya mengenai istilah as-salafiah atau as-salaf, yang secara etimologi mengandung banyak makna. Namun semua makna bermuara kepada sebuah arti yang berkaitan dengan masa atau waktu. Setiap masa dapat dikatakan sebagai salaf jika dilihat dalam konteks masa-masa setelahnya. Orang yang dikatakan salaf juga dapat disebut khalaf, jika dilihat dari konteks masa-masa yang telah berlalu sebelumnya.
Secara terminologis, atau istilah, maksud kata as-salaf adalah tiga generasi pertama setelah Nabi Muhammad Saw, atau tiga generasi pertama dari umat ini. Sebagaimana ditegaskan secara langsung oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (taabi’in), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (taabi’ut taabi’in), kemudian setelah mereka akan datang suatu kaum kesaksian mereka mendahului sumpah meraka, dan sumpah mereka mendahului kesaksian mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)
Istilah as-salafiah pada dasarnya mengandung arti yang baik, namun belakangan disalahpahami, dan bahkan cenderung ‘dirampas’ oleh orang-orang yang mencoba menisbatkan diri mereka ke dalam tiga golongan di atas. Sebagian mereka bahkan mengklaim secara terang-terangan sebagai satu-satunya pewaris salaf, dan tidak ada salafi kecuali mereka.
Namun ironisnya, ketika ditelusuri lebih jauh pemahaman mereka mengenai istilah as-salafiah, ternyata bahwa istilah ini dalam pemahaman mereka terbatas pada permasalahan tertentu, dan berkaitan masalah-masalah cabang yang masih diperdebatkan. Mereka berpendapat bahwa tidak terlibat di dalamnya kecuali sebagian kecil saja dari umat ini. Menurut mayoritas ulama dan pendakwah mereka, orang-orang yang berbeda pandangan dengan mereka dalam masalah-masalah furu’iah (cabang, yang tidak prinsip) tersebut adalah sebagai ahlu bid’ah, sekalipun orang itu telah banyak berjuang untuk agama ini.
Istilah as-salafiah dalam perfektif sejarah modern
Itilah as-salafiah pertama kali muncul di Mesir ketika negara itu dalam cengkeraman kolonial Inggris. Ketika itu menjamur berbagai gerakan yang mengumandangkan semangat reformasi agama. Tokoh gerakan ini yang terkenal di antaranya Jamaluddin al-Afghani, dan muridnya, Muhammad Abduh. Bersamaan dengan munculnya gerakan itu istilah as-salafiah semakin popular didengungkan. Semua itu tidak lepas dari kondisi keagamaan dan ritual yang dijalankan masyarakat Mesir saat itu.
Pada masa itu, berbagai bentu ritual bid’ah dan khurafat sedang berkembang pesat di seluruh wilayah Mesir. Seperti ajaran tasawuf yang tercemar semakin memicu berseraknya ritual aneh dan bahkan ‘gila’ di tengah masyarakat. Mengahadapi realitas itu masyarakat Mesir terpecah menjadi dua kelompok.
Pertama, yang berpendapat, hendaknya masyarakat Mesir mengikuti peradaban Barat, melepaskan segala ikatan dan peraturan, dan bahkan pemikiran Islam. Kedua, yang berpendapat, memperbaiki keadaan kaum muslimin dengan cara mengembalikan mereka kepada ajaran Islam yang benar, bersih dari khurafat, bid’ah dan anggapan-anggapan yang keliru. Selain itu, juga dengan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam sehingga relevan dengan roda kehidupan masa kini. Kelompok terakhir ini juga mencoba membuka diri dengan peradaban asing selama tudak bertentangan dengan Islam.
Syekh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh sebagai garda terdepan dari kelompok kedua. Kelompok yang juga membumikan istilah as-salafiah yang saat itu dimaksudkan untuk mengajak kaum muslimin meninggalkan segalam macam ritual keliru yang membuat keruh kesucian Islam, baik itu bid’ah ataupun khurafat. Mereka optimis kaum muslimin dapat kembali kepada pemahaman Islam seperti di masa salaf, agar kemudian diteladani dan ditiru.
Tujuan dari pemilihan istilah as-salafiah adalah untuk membangkitkan kebencian masyarakat terhadap semua bentuk kekeliruan yang berkembang saat itu. Keinginan itu dilakukan dengan cara membandingkan realitas kehidupan kaum muslimin pada masa awal yang penuh kegemilangan dan kemajuan dengan realitas yang dialami mereka pada saat kini, yang penuh kesuraman. Setelah itu, mereka menjadikan hubungan Islam dengan masa salaf sebagai ukuran dari setiap kebahagiaan, kemajuan dan kebaikan.
Di tengah perjuangan itu, mulai muncul aliran Wahabi, yang dihubungkan dengan tokoh Muhammad bin Abdul Wahab dari Nejd (Arab) dan sebagian daerah semenanjung Arab. Memang tidak dapat dipungkiri, ada hubungan antara munculnya aliran ini dengan dakwah pembaruan agama di Mesir. Hal itu terlihat dalam kenyataan mereka dalam memerangi bid’ah, khurafat dan tahayul. Oleh karena itu penggunaan istilah salaf dan as-salafiah menjadi laris di kalangan elit aliran Wahabi. Tdiak lama kemudian istilah as-salafiah mulai dilekatkan kepada kaum Wahabi, atau mereka yang berfaham wahabiyah. Dikatakan, bahwa pengalihan itu sebagai strategi untuk membuat opini bahwa aliran Wahabi tidaklah hanya berhenti pada tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, tapi menanjak naik sampai ke salaf. Selain tujuan itu, agar masyarakat yakin bahwa aliran yang mereka bangun adalah amanah, untuk menyebarkan aqidah, pemikiran dan metode salaf, baik dalam memahami Islam maupun mengamalkannya.
Awalnya kata as-salafiah digunakan sebagai ciri gerakan reformasi Islam agar mudah diterima masyarakat, tetapi kemudian digunakan oleh kelompok yang menaggap diri mereka paling benar.
Dengan menyandang nama salafi mereka mengklaim bahwa hanya merekalah yang paling amanah dalam menyampaikan aqidah salaf, dan hanya merekalah sebagai refresentasi dari manhaj salaf dalam memahami dan menerapkan ajaran Islam.
Hakikat mengikuti salaf menurut ulama
Sesungguhnya mengikuti salaf tidak hanya sebatas makna sederhana kata salaf atau sebagian sikap mereka. Karena kalangan salaf tidak menuntut semua itu. Tetapi mengikuti salaf secara benar adalah dengan cara kembali merujuk semua yang menjadi pedoman mereka dalam merumuskan hukum. Dimulai dari kaidah-kaidah dalam penafsiran al-Qur’an, Sunnah, kaidah dalam ijtihad dan dasar-dasar hukum agama lainnya. Kaum muslim di setiap masa wajib kembali kepada semua itu, tak terkecuali salaf, tapi juga khalaf.
Kalangan salaf sendiri tidak pernah menjadikan makna as-salafiah secara khusus sebagai identitas kelompok atau pemikiran tertentu untuk membedakan mereka dari kaum muslimin yang lain.
Begitupun dalam masalah cabang agama (furu’iyah) kalangan salaf tidak berada dalam satu pemahaman yang sama. Mereka berbeda pendapat dalam banyak masalah furu’ hingga bermuara pada hukum yang bersifat perbuatan maupun masalah aqidah yang bersifat cabang. Dampaknya masih kita temui sampai sekarang dalam perselisihan anarmazhab.
Tipe kaum ekstrim kontemporer (salafi-Wahabi)
Dikatakan, banyak terdapat kesalahanpada pendapat, paradigm, perilaku, sikap dan rumusan hukum mayoritas mereka yang menamakan diri salafi itu. Beberapa unsur yang disebutkan di atas harus menjadi catatan bagi mereka yang ingin melihat aliran ini secara objektif.
Pada waktu yang sama, mereka juga membangun pemikiran yang kontadiktif. Pemikiran itu tercermin dalam beberapa hal.
1. bahwa semua negara di dunia ini membenci Islam. Mereka semua selaalu menyatakan perang untuk menghabisi Islam.
2. mewajibkan perlawanan terhadap asing hingga kita benar-benar bisa membalas dendam atas penderitaan yang dialami negara-negara Islam di berbagai wilayah, dengan diwujudkan membunuh orang-orang kafir dan membunuh orang-orang murtad dan fasik.
3. pemikiran mereka dimaksudkan sebagai pola piker yang sekedar mudah diterapkan.
Doktrin mereka menjadi beban yang sangat berat bagi kemajuan kaum muslimin baik dalam soal reformasi dakwah dan agama maupun pengembangan lain yang dibutuhkan dunia Islam. Fanatisme yang mereka kembangkan mudah menjadi embrio bagi maraknya pemikiran ekstrim (keras). Adalah kewajiban kita semua untuk melawan pemikiran tersebut. Sebab, gejala itu tidak hanya membahayakan kelompok mereka, generasi umat, masyarakat, tapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya.
Mereka menentang segala pembaruan (tajdid) di dalam agama, sebab setaip yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah sesat. Dalam membahas masalah mereka enggan menganalisa kandungan inti permasalahan. Mereka hanya mengamati kulit luarnya saja.
Dalam ilmu fiqh mereka hanya melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihad sendiri. Dalam aqidah mereka bertaqlid kepada para pemimpin mereka. Mereka muliakan orang yang sebetulnya belum layak dianggap sebagai ulama. Pada waktu yang sama, justru mereka mediskriditkan para ulama, yang bertentangan dengan mereka.
Kita dituntut untuk melawan pemikiran dan pemahaman tersebut. Dengan cara kembali ke paham Ahlu Sunnah wal jama’ah. Kedudukan Ahlu Sunnah wal jama’ah dalam mazhab-mazhab aqidah seperti halnya kedudukan Islam di antara agama-agama lainnya. Dalam bidang aqidah mengikuti paham Asy’ariyah yang banyak diikuti kaum muslimin, dan dalam bidang fiqh mengikuti mazhab arba’ah (Imam mazhab empat), juga tidak mengingkari adanya ijtihad individu dan golongan. Manhaj moderat berusaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan utama (maqasidul ‘ulya), yakni perlindungan terhadap jiwa, akal, agama, kehormatan dan harta. Dalam bidang akhlak, al-Azhar, mengajarkan beberapa aliran tasawuf yang memberika pendidikan kepada manusia untuk selalu membersihkan dirinya dari penyakit hati, seperti sombong, keras kepala, dengki dan lainnya.
Ada 17 masalah yang dibahas Syekh Ali Jum’ah dalam bukunya itu. Cukup dalam tulisan ini ambil satu tentang bid’ah. Mereka meluaskan pemahaman tentang bid’ah sehingga mereka mengklaim adat istiadat maupun tradisi yang dilakukan kaum muslimin sebagai bid’ah dan sesat.
“Dan setiap yang bid’ah itu sesat.” (HR Muslim)
Imam Syafi’i berkata, “Perkara-perkara yang baru itu ada dua macam. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar sahabat atau ijma’. Perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang mengandung kebaikan, dan tidak bertentangan dengan salah satu di atas. Maka perkara baru semacam ini tidaklah tercela.”
Imam al-Ghazali berkata, “Tidaklah semua perbuatan yang baru itu dilarang. Akan tetapi, yang dilarang adalah bid’ah yang bertentangan dengan Sunnah yang telah kokoh, serta menghilangkan perintah agama.”
Ibnu Rajab mengatakan, “Yang dimaksud bid’ah adalah melakukan sesuatu yang dasar pembolehannya tidak ada sama sekali dalam syariat.” Sedang Imam Izuddin membagi bid’ah menjadi: waajibah, muharramah, manduubah, dan mubaahah…”
Ulama memiliki dua pandangan mengenai bid’ah. Pertama, pandangan secara umum, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Rajab dan ulama lainnya yang sependapat dengannya. Yakni, segala perbuatan yang bisa mengakibatkan pelakunya mendapat pahala, dan ada tuntutan syariat untuk melakukannya (meski secara umum) maka itu tidak dinamakan bid’ah secara syar’i, sekalipun ia termasuk dalam kategori bid’ah secara bahasa. Kedua, pandangan yang lebih rinci, seperti dikemukakan oleh Imam Izzuddin bin Abdissalam.
…
Di antara masalah manhaj terpenting yang digulirkan kalangan kaum yang keras dan kaku itu adalah berdakwah tanpa persiapan, dan mencampuradukan antara ceramah agama dan ilmu agama. Mereka menggunakan majelis ceramah agama sebagai panggung fatwa sehingga menyebabkan kebodohan merajalela dan kaum muslimin terpecah-pecah. “Apakah benar ulama telah berkurang sehingga kebodohan meruyak di mana-mana? Apakah benar sudah dekat kabar yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw ?”
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Ia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama. Sehingga ketika Allah ta’ala tidak menyisakan seorang alim pun, orang-orang akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. (Apabila) para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka akan berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari dan Muslim)
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ
“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” (QS az-Zumar: 9)
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadilah: 11)
Ibnu Abbas berkata, “Para ulama lebih tinggi 700 derajat di atas orang-orang beriman lainnya. Antara satu derajat dengan derajat yang lainnya seluas perjalanan 500 tahun.”
—————–
Sumber: Prof. Ali Jum’ah, (2020).
11-2-2023
—————————————————————————-
14. Prof KH Ali Mustafa Yaqub
Ali Mustafa Yaqub lahir di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah pada 2 Maret 1952. Putra Kyai Yaqub dan Nyai Habibah ini memiliki tujuh saudara.
Selesai menempuh pendidikan dasar dan menengah di desa kelahirannya, Kiai Ali muda sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah umum. Tapi ia menuruti keinginan ayahnya untuk belajar di pesantren Seblak, Jombang, hingga tingkat Tsanawiyah dari tahun 1966 hingga 1969. Kemudian pada tahun 1969 – 1971, ia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tebuireng Jombang, yang tidak jauh dari pondok Seblak.
Di Tebuireng, Kiai Ali belajar kepada para ulama, antara lain: KH. Idris Kamali, KH. Adlan Ali, KH. Shobari, dan KH. Syansuri Badawi. Selain itu, ia hapalkan pula beberapa kitab seperti Matan Jurumiyyah, al-Baiqûniyyah, Alfiyyah ibnu Malik, al-Waraqât, dan sebagainya.
Seusai belajar di Tebuireng, Kiai Ali sempat berkuliah di Fakultas Syariah Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA, sekarang Universitas Hasyim Asy’ari) tahun 1972 sampai 1975.
Pada pertengahan tahun 1976, Kiai Ali mendapat mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi untuk studi di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh, Saudi Arabia. Ia lulus, mendapatkan predikat License (Lc) pada tahun 1980. Segera setelah lulus S1 ia lanjutkan studi di Universitas King Saud Riyadh, Departemen Studi Islam spesialisasi Tafsir dan Hadis hingga mendapat master di tahun 1985.
Setelah studi, ia kembali ke Indonesia. Sejak bermukim di Jakarta, ia aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi. Tercatat di antaranya adalah Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, STAI Al Hamidiyah juga IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN). Bidang yang diajarkan terutama adalah sesuai kecakapan ia, yaitu bidang studi agama khususnya hadis dan ilmu hadis.
Selain aktif di bidang akademik, ia juga terlibat di berbagai lembaga dan organisasi. Ia dikenal luas sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal dari tahun 2005 sampai 2016. Selain itu, ia juga mejbat Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Fatwa (2010-2016). Ia juga aktif di MUI, mulai menjadi anggota Komisi Fatwa MUI (1986-2005), Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI (1997-2010), juga Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI (2005-2010). Terakhir sejak 2015, bersama beberapa ulama, ia menggagas organisasi Ikatan Persaudaraan Imam Masjid (IPIM) se-Indonesia.
Yang menarik, meskipun belum menempuh studi doktoral, ternyata Kiai Ali telah diangkat menjadi Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di IIQ Jakarta pada tahun 1998. Ia menyelesaikan jenjang doktoralnya pada tahun 2006 di Universitas Nizhamia, Hyderabad, India di bawah bimbingan Syekh M. Hassan Hitou, seorang Guru Besar Fikih Islam dan Ushul Fiqh Universitas Kuwait serta Direktur salah satu lembaga studi Islam internasional yang berpusat di Frankfurt, Jerman. (ds)
Di antara karya tulisnya, Kritik Hadits (1995), Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997), Islam Masa Kini (2001), dan sebagainya.
Prof Ali Yaqub banyak menulis mengenai hadits, dan menerjemahkan tulisan para ulama. Di antara tulisannya tentang kritik hadits ia mengutip gurunya, Prof. M Mustafa Azami, Guru besar Universitas King Saud, Arab Saudi. Sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian Hadits diperkirakan adalah Ignaz Goldziher, keturunan Yahudi, dari Hunggaria yang hidup tahun 1850-1921 M. Pada tahun 1890 m ia menerbitkan bukunya tentang Hadits Nabawi dengan judul Muhammedanische Studien (Studi Islam) yang kemudian menjadi rujukan para pengkaji Islam barat.
Kemudian setelah Goldziher disusul oleh Joseph Schacht yang menerbitkan buku dengan judul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Bukunya itu menjadi sumber rujukan para orientalis. Setelah kedua orang itu tidak ada lagi, kecuali Guillaume dengan judul The Tradition of Islam, namun bukunya itu tidak mempunyai nilai ilmiah, kata Azami.
Oleh karena itu untuk menelusuri kajian orientalis tentang Hadits maka cukuplah kita melihat tulisan Goldziher dan Schacht. Sebab kedua orang orientalis ini memiliki bobot lebih dibanding yang lainnya, terutama dalam kajian Hadits.
Kedua orang ini memiliki tujuan sama, yakni ingin melecehkan Hadits agar ia tidak digunakan sebagai rujukan oleh umat Islam. Keduanya berpendapat bahwa Hadits tidak berasal dari nabi Muhammad Saw, tetapi sesuatu yang lahir dari abad ke-1 dan ke-2 hijriah. Dengan kata lain ia dibuat ulama pada abad ke-1 dan ke-2 hijriah.
Ignaz dalam tulisannya itu dapat menimbulkan keraguan terhadap keaslian Hadits. Namun Schacht lebih jauh lagi, ia sampai mengatakan bahwa bagian terbesar sanad Hadits palsu. Ternyata yang dijadikan rujukan untuk meneliti Hadits adalah kitab-kitab karya Imam Malik, Imam as-Syaibani dan Imam Syafi’i.
Prof. Azami mengatakan bahwa kitab-kitab itu sebagai kitab fiqih dan buakn kitab Hadits. Terdapat perbedaan karakteristik kedua jenis kitab tersebut. Meneliti Hadis dengan rujukan kitab fiqih hasilnya tidak tepat. Untuk meneliti Hadits harus merujuk kepada kitab-kitab Hadits.
Namun begitu Schacht berpendapat bahwa tidak ada satu Hadits pun yang shahih dari Nabi Saw yang berkaitan dengan hukum Islam. Bukunya itu kemudian menjadi sumber rujukan para orintalis lain.
Di antara mereka berpendapat, yakni Goldziher menuduh Imam az-Zuhri sebagai pemalsu Hadits, dan ia mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Imam az-Zuhri. Goldziher keliru bahwa Imam Zuhri dipaksa penguasaa waktu itu untuk menulis Hadits yang sudah ada, tapi pengertian dia Imam Zuhri dipaksa menulis Hadis yang belum ada, membuat Hadis baru. Lalu Schacht membuat teori rekayasa, yang mengatakan, bahwa hukum Islam baru dikenal pada masa pengangkatan para qadhi (hakim agama) pada masa dinasti Bani Umayah.
Atas pendapat para orientalis tentu Ulama Hadits memberikan tanggapan, di anratanya Dr. Musthafa as-Siba’i, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, dan Prof. Azami.
Berbeda dengan dua sarjana, Musthafa as-Siba’i dan al-Khatib, Azami menggunakan bahasa mereka dalam mengeritik karya para orientalis. Untuk membantah mereka Azami mengambil doktor di Universitas Cambridge Inggris. Ia menulis disertasi dengan judul Studies in Early Hadith Literature, yang telah diuji dari Cambridge dan Lembaga Hadits International King Faisal Riyadh, dan kemudian disertasi itu diterbitkan. Prof. Arberry dari Cambridge University menghargai karya Azami sebagai karya yang bernilai ilmiah, mengagumkan dan asli dalam bidang Hadits.
———-
Sumber: Prof. Ali Mustafa Yaqub, (2010).
16-2-2023
—————————————————-
15. Dr. Musthafa as-Siba’i dan Perjuangannya
Mustafa bin Husni as-Siba‘i, lahir di Kota Homs, Suriah pada tahun 1915 M. Ia dibesarkan dalam didikan keluarga dan keturunan yang dikenal dengan ilmu pengetahuan sejak lama.
Ayah serta kakeknya merupakan orator ulung yang aktif berdakwah di masjid-masjid Kota Homs. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh ayahnya, Syaikh Husni as-Siba‘i, seorang alim yang menguasai berbagai ilmu syar’i.
Musthafa as-Siba’i kuliah di Universitas al-Azhar pada tahun 1933. Selama studinya di Mesir, as-Siba’i bertemu dan dekat dengan pendiri Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna. Hubungan mereka berdua sangat erat, bahkan tetap terjalin meskipun setelah kepulangannya ke Suriah.
As-Siba’i mengajar di Fakultas Syariah, Universitas Damaskus.
Di tempat kelahirannya pula ia bersama para ulama, dai, cedekiawan muslim, dan masyarakat Islam bertemu di kegubernuran Suriah sepakat untuk menyatukan barisan dalam beramal islami di bawah naungan satu organisasi Islam, yaitu Ikhwanul Muslimin.
Pertemuan ini juga dihadiri langsung perwakilan Ikhwanul Muslimin Mesir, Said Ramadhan, pada tahun 1942 M. Tidak berselang lama, tepatnya tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 1945 M, Mustafa as-Siba‘i terpilih menjadi pengawas umum Ikhwanul Muslimin pertama di Suriah.
Tahun 1955 as-Siba’i bersama rekan-rekannya menerbitkan majalah mingguan as-Syihab yang terbit hingga terbit tahun 1958. Tahun itu juga ia menerbitkan al-Muslimun sampai tahun 1958 kembali kepemilikan kepada Dr. Said Ramadhan. Lalu ia menerbitkan majalah bulanan Hadhratul Islam yang ia kelola hingga ia meninggal.
Ia dalam perjalanan dakwahnya sempat mengunjungi berbagai negeri Barat dan juga Rusia. Di sana ia bertemu dengan para orientalis , berdiskusi dan ia membantah berbagai kesalahan dalam tulisan mereka, secara ilmiah dan historis.
Selama hidupnya Mustafa as-Siba’i termasuk cendekiawan muslim yang produktif. Setidaknya ada 28 judul buku yang ia tulis dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Di antara buku-bukunya, yaitu Min Rawa’i Hadharatina, al-Istisyraq wa al-Mustasyriqun, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’, Sirah Nabawiyah dan lainnya. Buku-bukunya telah banyak diterjemahkan, ke bahasa Indonesia.
Di akhir hayatnya, Mustafa as-Siba‘i diuji Allah Subhanahu wata’ala dengan kelumpuhan kaki kirinya. Ia tetap bersabar selama 8 tahun hingga ajal menjemput pada hari Sabtu, 3 Oktober 1964 M, dan dishalatkan di Masjid Umayyah. (Nof/ dakwah.id)
Dalam bukunya Sirah Nabaiyah as-Siba’i menulis:
Dalam kata pengantarnya ia katakan bahwa bukunya semula disampaikan dalam beberapa perkuliahan mengenai teladan Nabi Muhammad Saw yang patut direnungkan dan dijadikan pedoman oleh setiap Muslim. Dengan karyanya ini berusaha menghadirkan Rasulullah Saw di tengah-tengah kaum Muslim bagaikan matahari yang menyinari kegelapan dengan sinarnya yang hangat dalam hati, akal dan sikap.
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS ‘Ali Imran: 110).
Sirah Nabawiyah menghimpun beberapa keistimewaan. Dengan membaca dan mengkajinya, maka akan menggugah kesegaran spiritual, intelektual dan kesejarahan. Sirah Nabi dapat berfungsi sebagai media penyebaran dakwah Islam dengan metode yang bisa dipahami. Di antara keistimewaan itu, yakni:
Pertama, sirah Nabi merupakan sejarah perjalanan hidup nabi dan rasul yang paling diakui validitas dan besar manfaatnya. Sirah Nabi ini sampai ke tangan kita umat Islam melalui metode ilmiah yang valid dan dapat dipercaya. Hal in berbeda dengan sejarah Musa as dan Isa as. Jika sejarah para rasul saja meragukan adanya dan bagaimana dengan sejarah para pemangku agama dan filsafat lainnya.
Kedua, setiap pase kehidupan Rasulullah saw sangat jelas, sejak pernikahan ayahnya Abdullah dengan ibunya, Aminah, hingga beliau wafat. Semuanya tergambar dengan rinci dan jelas.
Ketiga, sirah Rasulullah saw mengisahkan perjalanan hidup seorang manusia yang dimuliakan Allah dengan risalah. Sejarah ini tidak mengeluarkan Nabi dari sisi kemanusiaannya, tidak diwarnai cerita-cerita khurafat, dan tidak pula ditambahi sifat ketuhanan sedikitpun. Hal ini berbeda dengan sejarah tokoh agama lain.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS al-Ahzab; 21)
Keempat, sirah Rasulullah memuat seluruh aspek kemanusiaan. Di dalamnya mengisahkan sejarah Muhammad muda yang terpercaya dan lurus, sebelum beliau diangkat sebagai Rasul. Ia menyeru manusia untuk menyembah Allah dengan media efektif, sebagai kepala negara yang menetapkan peraturan dengan lurus dan legal bagi negaranya. Beliau sebagai suami yang penuh belas kasih yang memilah antara hak dan kewajiban, bagi istri, suami dan anak-anak. Juga Rasul adalah pendidik dan pemberi petunjuk para sahabatnya dengan metode keteladanan. Sesuatu yang menjadikan para sahabat menyintai beliau seperti cinta mereka terhadap diri sendiri dan melebihi cinta mereka terhadap keluarga dan kerabat. Beliau sebagai pemberani, pemimpin yang jaya, politikus ulung, pelindung terpercaya dan sekutu yang jujur.
“Hingga kini, kami tidak menemukan cakupan yang begitu komprehensif semacam ini dalam sejarah rasul-rasul terdahulu serta sejarah para pendiri agama dan filsafat, baik klasik maupun modern,” katanya.
Kelima, hanya sirah Muhammad saw yang memberikan argument tidak terbantahkan akan kebenaran risalah dan kenabian beliau. Ia adalah sejarah manusia paripurna yang memimpin dakwahnya dari satu kemenangan ke kemenangan yang lain, tidak dengan cara-cara akrobatik dan mukjizat, tapi secara alamiah.
Berkaitan dengan sumber sirah Nabawiyah as-Siba’i mencatat, di antaranya, Al_Qur’an, Sunah nabi, syair Arab yang sezaman dengan nabi, dan buku-buku sirah, mulai Ibnu Hisyam, Thabaqat Ibnu Sa’d, dan Tarikh Thabari.
Di setiap ia menuliskan sirah Nabi di halaman selanjutnya ia menyertakan penjelasan tentang pelajaran dan nasihat dari suatu peristiwa.
Dalam peristiwa hijrahnya nabi Muhammad Saw As-Siba’i mengatakan: “Sesampainya di Madinah, hal pertama yang dilakukan Nabi Saw adalah memilih tempat untuk perhentian pertama untanya lantas mendirikan masjid.” Lalu dalam penjelasan, pelajaran dan nasihat, ia katakan: “Ketika sampai di Madinah, yang pertama dilakukan nabi adalah membangun masjid. Ini menunjukkan begitu pentingnya masjid dalam Islam. Seluruh peribadatan dalam Islam bertujuan menyucikan hati, membersihkan akhlak, menguatkan hubungan saling tolong-menolong sesama Muslim, shalat jamaah, shalat jumat, dan shalat dua hari raya, indikasi kuat dari ekspresi persatuan kaum Muslim, manunggalnya kalimat dan tujuan mereka, serta bahu-membahu dalam kebaikan dan taqwa. Tidak salah jika masjid mempunyai peran sosial dan spiritual yang besar dalam kehidupan umat Islam. Masjidlah yang menyatukan barisan mereka, menyucikan jiwa, mengingatkan hati dan akal, menyelesaikan segala masalah mereka, serta memunculkan kekuatan dan ketahanan mereka.” (h. 70)
——-
Sumber: Musthafa as-Siba’i, (2021); Harry Muhammad dkk., (2006)
25-2-2023
16. Dr Yusuf Qardhawi, Ulama Fiqh
Lahir di desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta pada 9 September 1926. Usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an. Menamatkan pendidikan di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, Qardhawi terus melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar. Ia lulus tahun 1952. Tapi gelar doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan“, yang kemudian di sempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat konprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.
Sebab keterlambatannya meraih gelar doktor, karena dia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.
Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi pernah mengenyam “pendidikan” penjara sejak dari mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi Juni di Mesir. Bulan Oktober kembali ia mendekam di penjara militer selama dua tahun.
Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu.
Qardhawi memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama yang sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Dia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya.
Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.
Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan Qardhawi terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah, karena Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam. (hdy) Dr. Yusuf Qardhawi meninggal pada 26 September 2022 di Doha, Qatar.
Syekh Yusuf Qardhawi sangat produktif menulis, karyanya telah diterbitkan dan diterjemahkan, di antaranya. Fiqu Zakah; Halal wal haram fil Islam, 1985; As-Shawah al Islamiyah bainal Juhud wat Thatharruf; Haqiqah Tauhid, 1989; Fatawa Qardhawi, dan sebagainya.
Dalam bukunya tentang gerakan Islam “ekstrem”, ia menulis:
“Wajiblah bagi kita untuk bersikap kesatria dan mengakui, banyak dari ulah kita jugalah yang menyebabkan para pemuda itu bersikap ekstrem. Kita mengakui Islam sebagai agama kita, tetapi tidak mengamalkannya; kita membaca al-Qur’an tetapi tidak mempraktekkan hukum-hukumnya; kita mengatakan cinta kepada Rasulullah saw, tetapi tidak mengikuti Sunnahnya; dan kita menetapkan dalam undang-undang kita bahwa agama negara adalah Islam, tetapi kita tidak memberikan hak Islam dalam hukum syari’at dan undang-undang.” Dr. Yusuf Qardhawi.
Ia memulai pembahasannya tentang makna tatharruf diniy (ekstremitas keagamaan), hakikatnya dan tanda-tandanya yang menonjol.
Tatharruf dalam bahasa Arab berarti, berdiri di tepi, jauh dari tengah. Pada mulanya kata tersebut digunakan untuk hal yang bersifat material (inderawi), misalnya, jauh menepi dalam duduk, berdiri atau berjalan. Kemudian digunakan pula untuk hal-hal yang abstrak, seperti menepi (melampaui batas tengah) dalam agama, pikiran atau kelakuan. Di antara akibat sikap ekstrem adalah bahwa hal itu lebih dekat kepada kebinasaan dan bahaya, serta lebih jauh dari keamanan dan kedamaian. Berkaitan dengan itu seorang penyair berkata:
Sebelum ini ia berada di tengah yang terjaga
Namun berbagai peristiwa mengeoungnya
Sehingga ia pun terlempar jauh ke tepi.
Islam mengajak kepada Jalan Tengah dan melarang ekstrem
Islam adalah jalan tengah dalam segala hal, baik dalam konsep, aqidah, ibadah, perilaku, hubungan dengan sesame manusia maupun dalam perundang-undangan.
Inilah yang dinamakan Allah swt sebagai “jalan lurus”, jalan yang membedakan manusia dari para pemeluk agama dan filsafat yang menjadi anutan “orang-orang yang dimurkai Allah” dan jalan “orang-orang yang sesat”, yaitu mereka yang konsep hidupnya tidak terhindar dari sikap melampaui batas (ekstremitas) ataupun penyia-nyiaan dan pengabaian.
Sikap tengah atau moderat merupakan satu ciri khas Islam. Dan ia merupakan satu di antara tonggak-tonggak utamanya, yang dengannya Allah membedakan umatnya dari yang lain.
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.“ (QS al-Baqarah: 143)
Qardhawi menjelaskan, yaitu umat yang adil dan lurus, yang akan menjadi saksi di dunia dan akhirat atas setiap kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus.
…
Nash-nash Islam selalu mengajak kepada i’tidal (sikap tengah, moderasi), dan melarang sikap berlebih-lebihan, yang biasa diistilahkan dengan ghuluw (kelewat batas), tanatthu’ (sok pintar, sok kosekuwen dan sebagainya) serta tasydid (mempersulit). Dengan melihat nash-nash ini kita akan memahami dengan jelas bahwa Islam sangat tidak menyukai sikap keterlaluan dan memperingatkkan agar tidak mengikutinya.
1. Dari Abdullah bin Abbas ra. Bahwa Nabi Saw bersabda: “Hindarkanlah daripadamu sikap melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya.” (HR Imam Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Maksud dari “orang-orang sebelum kamu” adalah para pemeluk agama terdahulu, ahlui Kitab, khususnya Nasrani. Allah menunjukkan dalam al-Qur’an kepada mereka.
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (QS al-Mai’dah: 77)
2. Dari Abdullah bin Mas’ud, berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Binasalah kaum mutantthi’un,” dan beliau mengulanginya tiga kali. (HR Muslim)
3. Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda: ”Janganlah kamu memperberat dirimu, nanti Allah memperberat atas kamu. Suatu kaum telah memberatkan diri mereka sendiri sehingga Allah memperberat atas mereka. Lihatlah sisa-sisa hal itu seperti dalam cara hidup para pendeta kaum Nasrani.” (HR Abu Ya’la)
Islam datang membawa keseimbangan yang sempurna.
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS al-Baqarah: 201)
Bencana sikap ekstrem
1. Sikap seperti itu sangat menyusahkan dan tidak dapat ditanggung perangai manusia biasa serta tidak ada yang bersabar atasnya.
2. Umur manusia pendek, dan kebiasaan bersikap keterlaluan dalam agama tidak mudah.
3. Sikap ekstrem tidak lepas dari memperkosa kewajiban-kewajiban lain, yang sebenarnya justru harus dipelihara dan dilaksanakan.
Tanda-tanda ekstremitas
1. Fanatik pada satu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain.
2. Kebanyakan orang mewajibkan atas manusia sesuatu yang tidak diwajibkan Allah atas mereka.
3. Memperberat yang tidak pada tempatnya.
4. Sikap kasar dan keras.
5. Buruk sangka terhadap manusia.
6. Terjerumus kepada jurang pengafiran.
Beberapa faktor penyebab ekstremitas
Di antara sebab-sebab itu, ada yang bersifat keagamaan, politis, ekonomis, sosial, psikologis, rasional dan ada pula yang bersifat gabungan sebagiannya atau semuanya.
1. Lemahnya pandangan terhadap hakikat agama. Maksudnya adalah pengetahuan yang setengah-setengah, tapi pemiliknya menyangka bahwa ia termasuk golongan yang berpengetahuan sempurna, padahal banyak yang belum diketahuinya.
a. Kecenderungan Dhahiri dalam memahami nash (secara harfiah)
b. Sibuk mempertentangkan hal-hal sampingan tetapi melupakan masalah-masalah pokok
c. Berlebih-lebihan dalam mengharamkan
d. Pemahaman keliru tentang beberapa pengertian, keliru dalam memahami kosep-konsep Islam
2. Mengikuti yang tersamar dan meninggalkan yang jelas. Yaitu mengikuti nash-nash yang mutasyabihat (tidak jelas) dan meninggalkan yang muhhakamat (yang terang).
3. Jangan mengambil ilmu pengetahuan dari seorang shuhufi dan jangan mempelajari Al-Qur’an dari seorang mush-hafi. Mereka tidak mau mendengar ucapan orang yang berbeda pendapat dengan mereka, tidak mau berdiskusi, serta tidak rela pendapat-pendapat mereka diuji agar dijadikan bahan perbandingan dengan yang lainnya, ataupun menerima sanggahan atau pembetulan.
Kebanyakan mereka tidak mempelajari ilmu dari ahlinya dan guru-guru yang mempunyai pengetahuan mendalam, tetapi hanya mempelajari dari buku-buku dan surat kabar.
4. Mengapa para pemuda berpaling dari ulama? Sebagian para pemuda berpegang hanya pada buku-buku, karena mereka telah kehilangan kepercayaan kepada kebanyakan ilmuwan (ulama) professional, khususnya mereka yang dekat dengan penguasa.
5. Lemahnya pengetahuan tentang sejarah dan tentang kenyataan serta hokum-hukum alam dan kehidupan. Selain lemahnya pandangan tentang agama, ada pula kelemahan pandangan tentang hidup, sejarah, kenyataan dan Sunnah-sunnah Allah pada makhluk-Nya.
6. Keterasingan Islam di negara Islam.
7. Serangan terang-terangan maupun makar jahat terhadap umat Islam.
8. Memberangus seruan kepada Islamisasi.
Untuk mencari penyelesaian persoalan tersebut tentu semua pihak harus ikut terlibat dan berpartisipasi, dari masyarakat, pemerintah dan para tokoh pendidik dan ulama yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan, pengarahan dan penerangan.
——-
Sumber: isnet; Dr. Yusuf Qardhawi (1985)
26-2-2023