Ismail Raji al-Faruqi lahir di daerah Jaffa, Palestina, 1 Januari 1921. Ia menempuh pendidikan awal di sekolah masjid, dan kemudian ia belajar di sekolah Prancis, College des Freres (St Joseph) di Palestina. Lalu ia belajar selama lima tahun di Universitas Amerika di Beirut mendapat BA pada tahun 1941. Ia masuk pemerintahan dan tahun 1945 ia menjadi gubernur Galilee. Namun, ketika terbentuk negara Israel tahun 1948 kehidupannya berubah ia menjadi pengungsi seperti ribuan pengungsi Palestina lainnya bermigrasi ke Libanon. Ia menata hidup kembali dan ia beralih ke dunia akademik, dan tujuan pertama adalah Amerika. Ia mendapat gelar master dari Indiana dan Harvard dan pada tahun 1952 ia mencapai gelar doktor (PhD.) dari Universitas Indiana. Selain diasingkan dari negerinya ia pun harus membiayai hidup dan pendidikannya.
Setelah ia menyelesaikan doktor dalam bidang filsafat Barat di Amerika ia masih melanjutkan belajar di Kairo. Ia mempelajari Islam di Universitas al-Azhar selamat empat tahun, 1954-1958. Selesai dari Kairo ia kembali ke Amerika Utara, ia menjadi profesor tamu studi-studi Islam di Institut Studi Islam dan sekaligus ia menjadi mahasiswa tingkat doktoral (beasiswa) pada Fakultas Teologi di Universitas McGill dari tahun 1959 sampai 1961. Ia belajar tentang Kristen dan Yahudi. Ia memulai karir sebagai guru besar studi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi Pakistan tahun 1961-1963. Lalu ia kembali ke Amerika menjadi guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Universitas Chicago. Tahun 1964 ia ke Universitas Syracuse dan tahun 1968 ia pindah ke Universitas Temple untuk menjadi guru besar studi Islam dan sejarah agama.
Sebagai akademisi ia aktif dan produktif selama hampir 30 tahun, ia menulis, mengedit dan menerjemahkan sekitar 25 buku, dan ia menulis lebih seratus artikel serta menjadi anggota dewan redaksi 7 jurnal terkemuka. Juga menjadi guru besar tamu pada lebih dari 25 universitas di Afrika, Eropa, kawasan Arab, Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Di antara karyanya antara lain: A Historical Atlas of Religion of the World; The Curtural Atlas of Islam, bersama Lois Lamya; Trialoque of Abrahamic Faiths; Islam and Cultural; Tauhid: Its Impication for Thought and Life: Life of Muhammad saw terjemahannya dari Hayatu Muhammad karya Husein Haikal, dan sebagainya. Buku-bukunya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ia juga menggagas islamisasi ilmu pengetahuan dengan mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada tahun 1980 di Amerika, dan gagasan itu ia sebarkan ke seluruh dunia.
Pada 24 Mei 1986 Ismail al-Faruqi dan istrinya Lois Lamya dibunuh di rumahnya oleh orang tak dikenal. Ada kelompok yang tidak senang dengan gagasan dan berbagai aktivitasnya untuk menghentikannya dengan cara keji, kelompok kontra Palestina.
Al-Faruqi memandang dunia melalui prisma keyakinan dan komitmen keislamannya yang berfokus pada masalah-masalah jati diri, sejarah, kepercayaan, budaya, adat istiadat, dan hubungan internasional. (Esposito)
Tauhid dipandang sebagai esensi pengalaman religious, saripati Islam, prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip etika, prinsip estetika, prinsip ummah, prinsip keluarga, prinsip politik, dan prinsip tatanan politik, sosial, ekonomi dan dunia. Dalam bukunya Tahuid, al-Faruqi menulis:
“Inti pengalaman keagamaan adalah Tuhan. Kalimah syahadah, atau pengakuan penerimaan Islam, mengucapkan “Tidak ada Tuhan selain Allah.” Nama Tuhan adalah “Allah”, dan menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan dan pemikiran setiap Muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam waktu kapan pun. Bagi kaum Muslimin Tuhan merupakan obsesi yang agung. Apa makna ini?
Para filosof dan teolog Muslim telah memperdebatkan masalah ini selama berabad-abad, dan mencapai puncaknya pada argument al-Ghazali dan Ibnu Sina. Bagi para filosof, masalah tentang Tuhan berarti masalah menyelamatkan ketenteraman alam raya. Dunia, kata mereka, adalah kosmos, yaitu suatu alam tempat tatanan dan hukum berlaku, tempat hal-hal terjadi karena adanya sebab dan tiap sebab membawa serta akibat. Dengan pandangan ini, sadar atau tidak, mereka telah menjadi pewaris khazanah agama dan filsafat Yunani, Mesopotamia dan Mesir Kuno. Penciptaan itu sendiri, bagi tradisi-tradisi ini, adalah peralihan dari kekacauan (chaos) ke teraturan (cosmos). Kaum Muslim memang bisa menerima gagasan-gagasan yang paling tinggi mengenai transendensi dan keagungan Tuhan tetapi tidak dapat membayangkan kalau wujud Tuhan itu konsisten dengan dunia yang kacau.
Di lain pihak, para teolog mencemaskan bahwa penekanan yang demikian rupa pada keteraturan alam raya tersebut akan menjadikan Tuhan sebagai deus otiosus (Tuhan yang pensiun), karena Dia tidak punya pekerjaan lagi, begitu Dia selesai menciptakan alam raya dan mekanisme yang diperlukan alam dan segala isinya bergerak secara teratur dan menuruti hokum sebab-akibat. Kecemasan ini memang abash dan benar! Kerena sebuah dunia yang segala sesuatunya terjadi sesuai dengan sebabnya dan semua sebab adalah alamiah—yakni di dalam alam dan dari alam—adalah dunia yang segala sesuatu terjadi dengan sendirinya, dunia yang tidak membutuhkan Tuhan. Tuhan macam itu tidak memberikan kepuasaan perasaan beragama. Tuhan adalah Dia, oleh Siapa segala sesuatu menjadi ada, karena Siapa segala sesuatu terjadi, kalau tidak, Dia betul-betul bukan Tuhan. Dengan menyodorkan argumen yang rumit, para teolog menunjukkan bahwa Tuhan seperti yang diajarkan para filosof adalah Tuhan yang tidak mengetahui apa yang terjadi, tidak mampu mengontrol dan mengawali kejadian, atau ada Tuhan lain di samping-Nya, penyebab sesungguhnya dan yang menguasai segala sesuatu. Ini berrarti, para teolog menolak pandangan para filosof tersebut dan menciptakan doktrin yang disebut “okasionalisme”, sebuah doktrin yang beranggapan bahwa Tuhan setiap saat mencipta-ulang dunia ini, cipta-ulang yang mengakibatkan terjadinya seluruh kejadian di dalamnya. Mereka menggantikan kemustian kausalitas dengan kepercayaan bahwa Tuhan, sebagai Dzat yang bersifat adil dan bijaksana, tidak akan mengelabui, tetapi akan memastikan bahwa akbibat yang tapat akan selalu mengikuti sebab yang tepat. Hasil dari perdebatan ini adalah tegaknya kehadiran Ilahi, dan diakomodasikannya kausalitas kepada kehadiran tersebut. Para teolog menang telak atas para filosof!”
“Dia adalah tujuan akhir dari segala kehendak dan keinginan. Dialah yang membuat setiap kebaikan yang lain menjadi baik; sebab, jika cincin yang terakhir dari serenteng rantai tidak dikaitkan, mata setiap cincin yang lain akan sia-sia. Tujuan akhir adalah dasar aksiologis dari semua mata rantai atau rangkaian tujuan-tujuan.”
Di lain tempat ia menulis, “Para ilmuwan modern Barat menolak Tuhan dan mengusir-Nya dari alam, disebabkan oleh kebencian mereka kepada Gereja Kristen dan kewenangan palsu yang dipaksakan Gereja terhadap dirinya sendiri berkaitan dengan seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman. Hanya ketika mereka melakukan hal itulah ilmu pengetahuan kealaman dapat berkembang dan berjaya di kalangan mereka. Selama seribu tahun, orang-orang Kristen tidak menghasilkan sains karena dominasi Gereja ini. Metodanya yang paradoksal, teologi inkarnasinya, dan kitabnya yang otoriter yang berbicara secara ex cathedra tentang masalah-masalah ilmu kealaman, menutup setiap kemungkinan gerak bagi semangat ilmiah. Mitos dan tahayul disokong oleh para penguasa Gereja. Penghapusan mitos dan tahayul dianggap sebagai ancaman bagi Gereja. Dengan menghukum para ilmuwan, Gereja berusaha untuk mengamankan fondasi-fondasinya sendiri. Sekalipun demikian, kaum ilmuwan lambat laun memperoleh kemenangan dan Gereja menemui kekalahan. Apa yang berhasil mereka lakukan itu adalah “sekularisasi” sepanjang hal itu berarti penghapusan kewenangan Gereja dari ilmu pengetahuan kealaman. Pencapaian mereka adalah sah dan berharga.” (h. 54-55)
Sumber
Ismail R al-Faruqi; John L Esposito dan John O Voll, (2002): Akbar S Ahmed (1991); Harry Muhammad dkk, (2006)