Beberapa tahun terakhir muncul wacana tentang perlunya pro khilafah dan kontra khilafah serta khilafah diberangus pada tahun 1924 M oleh Kemal Attaturk. Wacana itu patut kita telisik dengan interpretasi historis.
Untuk mencari jawab atas persoalan itu kita perlu menengok ke belakang sejenak. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah Islam terutama masa nabi Muhammad Saw dan setelahnya, Khulafaurrasyidun, maka kita akan menemukan bahwa nabi tidak menunjuk anak atau kerabatnya untuk menggantikannya memimpin masyarakat Islam. Nabi tidak suka dengan sistem dinasti/ kaisar. Pada masa nabi menjelang wafat, nabi hanya menunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam shalat, namun bukan untuk menjadi pemimpin umat. Kepemimpinan setelah nabi diputuskan dengan musyawarah (syura) di antara wakil-wakil. (M. Yusuf Musa, h. 99)
Kita dapat menganalogikan kepemimpinan Khulafaurrasyidin dengan sistem yang mutakhir zaman ini, bahwa Khulafaurrasyidin mirip dengan sistem demokrasi (walau tidak persis betul, sebab yang ditekankan di situ kualitas pemilih dan yang dipilih). Tentu saja sisitem ini relatif. (Prof. Husain Mu’nis) Kita mesti terima sistem yang ada saat ini dan sambil kita memperbaiki kekurangannya daripada kita membuang yang ada. Sementara yang kita harapkan sudah terkubur dalam sejarah dan belum tersedia untuk saat ini.
Pemerintahan Khulafaurrasyidin adalah contoh pemerintahan yang demokratis. “Akan tetapi, janganlah Anda menamakan hal ini dengan istilah demokrasi dalam perilaku dan pemerintahan. Prinsip persamaan dan keadilan ini sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan demokrasi manapun karena sumber keadilan dan persamaan dalam Islam adalah ‘ubudiyah kepada Allah yang merupakan kewajiban seluruh manusia. Sementara itu, sumber demokrasi ialah pendapat mayoritas atau “mempertuhankan” pendapat mayoritas atas orang lain betapapun wujud dan pendapat tersebut.
Karena itu, syariat Islam tidak pernah memberikan hak istimewa kepada golongan atau orang tertentu betapapun motivasi dan sebabnya karena sifat ‘ubudiyah (kehambaan kepada Allah) telah meleburkan dan menghapuskan semua itu.” (Prof. Said Ramadhan al-Buthy, h. 316)
Jika pemerintahan semacam itu menjadi model bagi kita, maka sistem tersebut telah dipangkas oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan (bin Harb bin Umayah) yang membangun dinasti Umayah. Sistem Umayah tersebut sama dengan kerajaan, walaupun banyak sejarawan menyebut pemerintahan itu dengan sebutan khilafah. Memang namanya khilafah, namun dalam praktek adalah kerajaan. Ia mewariskan kekuasaan kepada anaknya, Yazid. Sistem itu terus berlanjut hingga zaman Abbasiyah runtuh 1258 M. Dilanjutkan dengan dinasti-dinasti yang lain, dan Utsmaniyah hingga tahun 1924 M.
Kalau kita melihat secara jernih apa yang dilakukan Kemal Attaturk tahun 1924 M, maka sesungguhnya ia hanyalah menghapuskan sistem kerajaan, sebab sistem kekhalifahan yang sesungguhnya telah diputus oleh Umayah dahulu. (Muhammad Al-Ghazali, h. 111)
Di zaman itu selain ada dinasti Utsmaniyah di Turki, di wilayah lain juga ada kerajaan Safawi di Persia dan Mughal di India, yang sebelumnya didahului oleh dinasti Fatimiyah di Mesir.
Mengapa harus dengan khilafah? Padahal berkaitan dengan persoalan negara, Islam tidak menyebutkan sistem apa yang harus dianut, hanya umat Islam harus menjalankan syariat. Apapun bentuk negaranya yang terpenting syariah dapat berlaku seperti di Madinah pada masa nabi dan periode sahabat. (M. Yusuf Musa, h. 26)
Apakah isu tentang khilafah cukup relevan untuk saat ini? Saya kira banyak hal lain yang paling penting dan mendesak. Akan lebih baik, bila kita bertanya apa sesungguhnya yang dapat kita lakukan saat ini agarIndonesialebih baik di masa depan? Dengan usaha yang kongkrit dan jelas.
Energi kita akan habis bila kita terus berkutat dengan persoalan khilafah, yang pengertiannya seperti pemerintahan yang total, seluas negara-negara berpenduduk Muslim. Mungkinkah dapat dicapai pemerintahan semacam itu jika kita melihat pada kenyataan, bahwa negara-negara Arab saja sulit bersatu, dan apalagi dengan seluruh negeri berpenduduk Muslim? Harapan ini adalah harapan yang tidak realistis, atau utopis.
Apakah ini berkaitan dengan persolan penafsiran sejarah? Ataukah persoalan syariah?
Depok, 31-1-2009
lu’ay