Membahas mengenai ijtihad dalam wacana hukum Islam, terutama dalam konteks Indonesia amat penting sebagai solusi umat Islam. Tentang ijtihad dapat dirunut dalam sejarah umat Islam. Umat Islam dalam sejarahnya menjadi maju karena ijtihad para ulama berkembang. Hasil pemikiran mereka menjadi penggerak kemajuan umat Islam hingga umat Islam mencapai puncak peradaban yang gemilang. Namun, ketika pintu ijtihad tertutup pada sekitar abad ke-10 dan gerakan intelektual Islam terhenti, maka umat Islam mengalami kemunduran. Mereka terus berkutat dalam kejumudan. Mereka merasa cukup hanya pada pemikiran yang telah ada dan mapan, dan tidak melakukan terobosan.
Terhentinya ijtihad itu karena umat Islam telah merasa puas dengan kejayaan masa lalu dan lebih-lebih ditambah faktor luar, seperti serangan dari kekuatan tentara Monggol yang meluluhlantakan dinasti Abbasiyah pada 1258 M.[1] Lengkaplah alasan untuk tidak melakukan ijtihad sebagai gerakan intelektual Islam dalam menjawab persoalan yang tidak terdapat dalam dua sumber utama Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw.
Namun, bagi pemikir Muslim tercerahkan dalih semacam itu tidak berlaku, maka tampillah para ulama dengan kegairahan intelektual pada abad ke-19 untuk menjawab tantangan zaman yang terus berkembang, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan di anak benua India seperti Muhammad Iqbal, untuk menyebut beberapa nama. Mereka menyuarakan bahwa umat Islam harus berpikir rasional dan tidak terjatuh dalam taqlid buta dan khurafat.
Oleh karena itu umat Islam harus menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam. Untuk menghidupkan tradisi intelektual Islam, maka umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Disinilah peran ulama dibutuhkan untuk menggali prinsip-prinsip hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Berusaha dan berpikir secara sungguh-sungguh untuk mencapai hukum syar’i itulah yang disebut dengan istilah “ijtihad”. Bagi umat Islam ijtihad adalah sebagai pedoman dalam menjawab berbagai persoalan yang belum ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw dan belum pernah ada pada masa Nabi Muhammad Saw.
Tantangan modernitas kini sangat membutuhkan peran ulama untuk menghasilkan pemikiran hukum Islam sebagai pedoman masyarakat dalam menjawab berbagai permasalahan yang muncul. Tentang ijtihad tersebut, telah banyak pemikir Muslim berusaha secara kontekstual dan khususnya dalam pemikiran hukum Islam di Indonesia. Di antaranya, Dr. Ahmad Mukri Aji mengambil contoh ijtihad sahabat Umar bin Khattab,antara lain bahwa ketika umat Islam telah kuat maka membujuk hati (muallafatu qulubuhum) tidak perlu lagi, bagi peminum khamer di zaman Rasulullah Saw dari 40 kali cambuk ditambah menjadi 80 kali, dan pencuri pada musim kelaparan tidak dipotong tangan.[2] Dalam konteks Indonesia pengaruh ijtihad Umar bin Khattab terhadap perundangan negara RI, yakni dalam Undang –Undang Perkawinan No I tahun 1974 dan dalam program Keluarga Berencana (KB). Di dalam UU Perkawinan terdapat pengaturan mengenai pembatasan umur, pencatatan nikah dan pengaturan masalah cerai,[3] dan di dalam program KB terdapat pengaturan mengenai kelahiran. Adanya pengaruh ijtihad Umar bin Khattab dalam Undang-undang tentang perkawinan dan KB tersebut berkaitan dengan kemaslahatan bagi manusia. Kemaslahatan bagi manusia tersebut adalah merupakan hasil pemikiran yang pernah dilontarkan oleh Umar bin Khattab.
Dengan demikian, menurut penulis, pada kedua hal tersebut di atas adanya pengaruh ijtihad sahabat Umar bin Khattab.[4] Inilah di antaranya pengaruh ijtihad Umar bin Khattab dalam konteks Indonesia. Dengan demikian hasil ijtihad Umar bin Khattab menjadi solusi bagi umat Islam di Indonesia, dalam persoalan hukum Islam. Wallahu a‘lam.
Depok, 3-1-2011
Lu’ay
peminat buku