Di suatu negeri tua, namun indah dan kaya sumber alam datanglah seorang tamu raja dari negeri seberang, Jurigh Werkedebuz. Ini datang kali kedua. Badannya tinggi. Alisnya agak tebal. Hidungnya tinggi. Jika berbicara suaranya parau. Bagi sebagian kecil warga, raja tamu ini sangat berjasa. Namun, sebagian masyarakat negeri yang terletak di tepi sungai Epet dan Tiris tidak mengakui kebesaran raja itu. Juga jasanya. Walaupun, konon wilayah kekuasaannya sangat luas dan angkatan tentaranya cukup besar dan kuat.
Raja ini menganggap dirinya raja sejagat.
Ingat betul masyarakat negeri ini ketika raja Jurigh datang tak diundang dengan membawa pasukan dengan senjata lengkap siap berperang. Raja negeri ini digantung dan para pembantunya dieksekusi. Tak terelakkan penduduk yang tak berdosa pun menjadi korban. Para orang tua, ibu-ibu dan kanak-kanak tak sedikit yang cidera dan banyak mati. Gedung-gedung, rumah, pohon-pohon kurma, masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya hancur. Banyak yang tinggal puing.
Seorang bapak kehilangan istri dan anaknya. Juga seorang istri kehilangan suami dan anaknya. Banyak pula anak yang ditinggal mati orang tuanya. Mereka semua mati terkena panah, tombak atau serpihan mortir.
Sisa prajurit negeri di tepi dua sungai ini tunduk pada penguasa asing yang telah meluluhlantakkan negeri tersebut. Lalu diangkatlah raja Melek. Kerajaan yang baru ini kerajaan bonekanya raja Jurigh. Raja Jurigh merasa menang perang. Ia untung besar dapat membawa harta karun ke negaranya. Maka, suatu ketika raja itu ingin pamit pada penguasa baru yang telah diangkatnya.
Dalam suatu pertemuan terbatas raja negeri asing itu didampingi Melek. Di hadapan mereka hadir para juru warta utusan dari berbagai negeri.
“Setelah kami membantu sekalian negeri ini dari raja kejam saya dan prajurit bermaksud pamit”, katanya sambil tersenyum. Ia terus nyerocos bicara. Namun, ia kaget dan merah mukanya yang memang sudah merah berbintik-bintik. Seorang warga melempar terompahnya ke muka raja Jurigh sambil berteriak. Pada lemparan pertama hanya menyerempet telinganya. Dengan teriakkan, “Ini hadiah untukmu hei gemblung!!” Dan pada lemparan kedua hampir mengenai telinga kirinya, tapi ditahan oleh Melek. “Ini kebo bule! Untuk para janda dan anak yatim!”, teriaknya dengan keras. Rupanya ia sangat geram pada ulah raja asing itu, walaupun ia sendiri baru melihatnya kali itu.
Si pelempar diringkus pasukan elit kerajaan dan pengawal raja seberang. Sepanjang menuju penjara sementara ia terus disiksa oleh para pengawal. Mereka seakan berpesta menghajar si pemuda malang itu. Dalam budaya negeri ini, perbuatan dia termasuk pelanggaran hukum. Ia akan didakwa sebagai orang yang telah menghina tamu agung. Dan mencoreng martabat negeri.
* * *
Di pengadilan yang terbuka tanpa atap telah duduk hakim yang mulia. Lengkap menggunakan pakaian kebesaran seorang hakim. Di atas kepalanya mahkota besar seperti labu parang. Mata besar. Hidung kembung. Kumis tebal. Juga telinganya lebar. Si pemuda sendiri duduk di hadapannya. Duduk serius dengan mata tajam, ia sesekali memegang matanya yang lebam. Di belang bangku-bangku dipenuhi warga kota itu, dan bahkan ada warga yang sengaja datang dari dusun yang jauh ingin menyaksikan peristiwa itu. Beberapa saat kemudian sang hakim memulai dengan memberi salam kepada semua yang hadir. Ketika bicara terlihat gigi-giginya yang besar.
“Jaitdz nama Anda. Apa Anda sehat pagi ini?”
“Ya tuan hakim. Saya sehat jiwa dan raga. Hanya sedikit sakit bagian mata saya”.
“Jadi, semua baik-baik saja. Hanya mata”.
“Ya… hanya mata”.
“Apa Anda tahu melempar tamu dengan terompah itu perbuatan yang sangat tercela?”
“Tahu yang mulia tuan hakim”.
“Lalu mengapa Anda melakukannya kepada tuan raja Jurigh?”
“Tuan hakim yang mulia. Semua orang di negeri ini dan di negeri-negeri yang jauh tahu kelakuan raja Jurigh. Ia dengan titahnya telah menghancurkan gedung-gedung, rumah-rumah, kebun, tempat ibadah dan banyak lagi. Sementara warga menjadi terlantar karena rumahnya sudah menjadi puing. Seorang anak perempuan dibantai oleh para prajurit Jurigh dengan kejam! Apa semua itu tidak cukup untuk kita agar tidak menghormatinya, dan apalagi menyembahnya?! Dan banyak kejadian lain yang tidak saya saksikan sendiri. Kalau tuan hakim butuhkan saya bisa menghadirkan ratusan saksi mata, dan bahkan ribuan.”
“Bayangkan negeri ini yang dulunya indah. Bangunan kuno peninggalan zaman Babilonia masih terlihat. Dan arsitektur zaman baru yang tiada duanya. Semua telah mereka porak porandakan. Yang tersisa hanya puing-puing. Dan bau darah serta asap misiu di mana-mana. Apa ini tidak cukup tuan hakim? Coba tuan hakim catat kerusakan akibat ulah mereka dari ujung negeri ke ujung lainnya! Pasti tuan hakim akan membukukan berjilid-jilid kerusakan warisan peradaban dunia dan hal itu tak terperikan dalam sejarah”.
“Ingat tuan pada bangsa Mongol? Yang tiba-tiba nongol. Kelakuan mereka hampir sama. Saya tidak tahu apakah tujuan dan hasil akhirnya sama? Yang pasti kedua bangsa itu telah merusak negeri ini”.
“Bagaimana pun ia adalah raja negeri seberang. Seorang tamu agung”.
“Tapi raja yang jeleknya bukan main tuan!”
“Stop! Jangan katakan tamu agung itu j-e-l-e-k” .
“Baik tuan hakim. Tapi saya katakan ia seperti keledai. Bebal. Buta tuli mata hatinya”.
“Cukup. Jangan dilanjutkan…!”
Lalu hakim Amet memegang terompah pemuda itu yang diletakkan di sampingnya dan mengangkatnya. “Ini terompahmu?”
“Ya tuan hakim yang mulia. Tidak salah”.
“Yang sebelah lagi milik Anda juga?”
“Betul tuan”.
“Sepasang terompah ini menjadi bukti bahwa Anda telah melakukan penghinaan kepada tamu agung negeri ini dengan sengaja. Maka…”.
“Maaf tuan hakim yang mulia. Saya melakukannya tidak sengaja… Maksud saya. Saya melakukannya secara sepontan. Tidak direncanakan jauh-jauh hari apalagi jauh-jauh bulan…!”
“Anda tetap bersalah. Anda dikurung selama dua musim panas!”
“Tuan hakim saya menolak putusan ini! Seharusnya putusan ini untuk si Jurigh. Ini tidak adiiiiiiiiiiil!!”, protesnya dengan muka marah. Lalu ia membanting tubuhnya ke kursi. Sambil terduduk diusapnya peluh di mukanya dengan kain. Prajurit dengan sigap membawanya ke penjara.
Di bangku barisan belakang banyak warga yang berdiri protes sambil mengepalkan tinju ke atas dan berteriak-teriak. “Hidup Jaitdz! Hidup Jaitdz! Ja…idz!!” Mereka memberikan dukungan kepada pemuda itu. Namun, protes mereka tak dihiraukan hakim dan kawan-kawan.
“Sekian terima kasih…”, kata hakim itu.
Pemuda itu diikat tangannya ke belakang dan digiring dua prajurit kerajaan menuju penjara.
* * *
Dua musim telah berlalu… Dibandingkan dengan dirinya penderitaan warga negeri ini lebih berat, karena itu ia seakan tak merasakan dinginnya penjara. Setelah menghirup udara bebas. Kegiatan pemuda ini hanya duduk menulis di rumahnya yang sebagian hancur.
Ia terus menulis di atas meja yang sudah tua. Alisnya yang tebal dan sorot matanya yang tajam menyiratkan bahwa “Ia seorang yang cerdas dan berhati lembut”, kata temannya. “Ia pemuda rajin,” kata teman-teman lainnya. Kegiatanya hanya menulis apa yang terlintas dalam ingatannya. Mengenai peristiwa di negerinya dan negeri-negeri luar ia mendapatkannya dari orang-orang pengembara atau para pedagang.
Ia berjalan dibantu dengan tongkat. Setiap pagi ia memandang ke luar melalui jendela yang daun pintu sebelahnya copot. Ia tidak jemu memperhatikan matahari terbit. Setaip pagi. Dengan melihat matahari ia melihat ada harapan bahwa zaman akan berganti. Hingga larut malam ia terus duduk menulis. Hanya sesekali diselingi istirahat.
Kadang ia teringat masa itu. Karena lemparan terompah ia menjadi seperti sekarang. Juga karena itu ia dianggap pahlawan yang berani oleh masyarakatnya. Khabarnya terompah itu disimpan di museum kerajaan.
Ia menjadi pencatat berbagai kejadian. Untuk mengecek informasi yang diterimanya benar-benar akurat ia paling tidak menanyakan pada tiga sumber informan. Jika dari ketiganya ada kesesuaian, maka ia mencatatnya bahwa informasi yang ia dapatkan benar adanya, dan bukan berita bohong atau khabar angin. Juga ketika ia menerima berita mengenai negeri seberang yang dilanda musim paceklik. Ia berusaha menyocokkan informasi yang diterimanya itu.
Dalam catatannya, negeri itu paceklik karena penduduknya hidup serba mewah dan selalu berpoya-poya dan boros. Banyak penduduknya busung kenyang. Rajanya hobi berperang terutama melawan para ekstrimis di segala negeri. Ia tak segan-segan melabrak negeri lain yang mencoba menyimpan para ekstrimis. Atau menentang titahnya. Dalam perang melawan mereka ia menganggap dirinya sebagai David melawan Goliat. Namun, sebenarnya negeri-negeri kecil yang lain menganggap ia sebagai Goliat itu sendiri. Goliath dari utara.
Jaitdz juga mencatat bahwa raja sejagat itu menjadi pelindung anak keturunannya Samiri, si pengkhianat Musa, yang telah merampas hak-hak penduduk negeri tetangganya selama bertahun-tahun. Namun, selama itu tak banyak raja dari negeri lain yang mencoba mencegahnya. Dan apalagi berani melawannya.
Untuk bukunya yang telah ia tulis ia beri judul ”Terompah dan Raja”.
Depok, 18-12-2008
Lu’ay
Peminat sejarah dan sastra