Pengantar
Islamic studies atau kajian Islam terkait dengan semangat orang-orang Barat dalam mengkaji kebudayaan Timur (orient). Kajian ketimuran dan Islam yang kemudian dinamakan orientalisme baru dimulai sekitar abad ke-18.
Kajian orientalisme terus berkembang, karena antara proyek pengetahuan dan kekuasaan saling terkait dan menopang. Saat ini cukup banyak buku yang mengkaji tentang proyek orientalisme, misalnya yang paling banyak dirujuk adalah buku Orientalisme karya Edward W. Said.[1]
Mengapa Barat tertarik mengkaji kebudayaan Timur dan Islam? Prosesnya cukup panjang dan kompleks. Namun, paling tidak ada dua motif secara umum. Pertama adalah motif keagamaan., dan Kedua lebih kepada motif politik..[2]
Dari kegiatan kajian orientalisme itulah maka di universitas-universitas negara Barat didirikan Islamic Studies oleh para orientalis, seperti di Inggris, Belanda, Prancis, Kanada , Amerika dll. Tempat-tempat itu kemudian cukup banyak diminati juga oleh para sarjana muslim.
Tujuan Islamic Studies dan Perkembangannya
Tujuan awal didirikannya Islamic Studies di universitas-universitas negara Barat adalah untuk mendidik tenaga-tenaga ahli yang akan dikirim ke negara-negara jajahan. Namun, seiring perkembangan waktu institusi-institusi yang telah didirikan itu banyak pula diminati oleh mereka dari negara-negara non-Barat, seperti negara-negara jajahan dan bekas negara jajahan. Terutama ketika banyak negara Barat yang melakukan kolonialisasi terhadap negara-negara berpenduduk muslim mulai dari Maroko di ujung Afrika hingga Indonesia di Asia.
Bahkan para orientalis itu bukan saja mendirikan institusi studi Islam, tetapi mereka pun menerbitkan jurnal-jurnal tentang keislaman dan dunia Islam.
Dengan berdirinya pusat-pusat studi keislaman maka kerangka kerja (framework) kajian para orientalis mengalami pergeseran yang cukup berarti, dari fase caci maki dan kebencian yang meluap-luap menjadi serangan sistematis dan ilmiah. Namun demikian serangan yang sistematis dan ilmiah itu tidak berarti lepas dari kesalahan dan bias. Justru dengan pergeseran itu niat busuk mereka terbungkus dalam berbagai baju ilmiah. Jangan berharap kita akan menemukan dalam kajian mereka tentang misi nabi Muhammad SAW dan nilai-nilai universal Islam yang disumbangkan kepada dunia.[3]
Yang jelas, tujuan mereka mendirikan berbagai Islamic Studies bukanlah untuk mengkaji Islam dengan hati tulus dan dengan obyektif. Namun mereka mempunyai tujuan untuk mengaburkan nilai-nilai Islam. Namun, tidak semua orientalis atau islamolog bertujuan negatif, ada beberapa yang tulus dan hasil kajiannya cukup obyektif. Mengenai tujuan dan kaitan antara kegiatan ilmiah dan kolonialisme dapat dibaca karyanya Edward W. Said. Dalam buku itu Said membongkar seluk-beluk orientalisme.[4]
Beberapa Pusat Islamic Studies
Islamic Studies tersebar di berbagai negara Barat, seperti di Paris tahun 1822 didirikan Society Asiatic of Paris, tahun 1823 Royal Asiatic Society of Great Bretain and Ireland di Inggris, tahun 1842 American Oriental Society di Amerika, dan tahun 1916 di University of London didirikan School of Oriental Studies yang kini menjadi SOAS (School of Oriental and African Studies), dan sebagainya.[5]
Dari hasil kegiatan mereka telah banyak menghasilkan karya seperti ensikopedia, jurnal-jurnal, laporan-laporan dan yang tak kalah banyaknya mereka menulis buku-buku tentang ketimuran dan Islam. Dengan dukungan dana yang melimpah mereka dapat leluasa melakukan kegiatan tersebut. Mereka pun banyak mendokumen-tasikan mengenai budaya dan berbagai aspek penduduk jajahan, termasuk tentang Islam.[6]
Sebagai contoh. Jika kaum pribumi ingin mempelajari sejarah Indonesia, maka mereka mesti mengorek-ngorek berbagai dokumen di negeri Belanda. Karena di sanalah tersimpan mengenai Indonesia. Tak ada sejarawan Indonesia yang tidak pernah ke negeri itu, mulai Hussein Djayadiningrat (anak asuh orientalis Snouck), Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Azyumardi Azra hingga sejarawan terkini. Begitu pula dengan sejarawan di kawasan Asia Tenggara bekas jajahan atau kawasan lain.
Memang, di pusat-pusat studi Islam itu tidak hanya didominasi oleh para orientalis, para ilmuwan muslim terkemuka pun banyak yang hijrah dari negaranya ke berbagai negeri Barat. Mereka di sana banyak yang menjadi pengajar di berbagai institusi itu, seperti Seyyed Hossein Nasr dari Iran, Ismail Raji Al-Faruqi dari Palestina, Fazlur Rahman dari Pakistan, dan banyak lagi. Kebanyakan mereka yang hijrah karena alasan politis. Para mahasiswa dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia banyak yang belajar pada mereka.
Jika dibandingkan pusat-pusat studi Islam di kawasan Arab dengan yang ada di Barat dari segi pasilitas jauh berbeda. Di Barat begitu lengkap, di Timur kebanyakan kurang. Namun, apakah perkembangan terkini telah berubah? Perlu dikaji lebih jauh. Yang harus kita ingat adalah bahwa banyak sumber yang ada di Barat berasal dari negara-negara berpenduduk Muslim yang menjadi jajahan mereka.
Mengapa Belajar Islam ke Barat?
Banyak sarjana muslim yang belajar ke universitas-universitas Barat. Hal itu berlangsung ketika di Barat banyak didirikan berbagai pusat studi Islam. Inilah kenyataan yang ada, seperti negara-negara bekas jajahan. Terutama banyak dari mereka yang mendapat beasiswa yang ditawarkan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Amerika, dan lainnynya.
Bagi sarjana muslim yang berhati-hati, seperti dari Mesir, India, Pakistan dan juga dari Indonesia dan Malaysia, atau Asia Tenggara sebelum mereka belajar ke Barat mengenai Islam mereka telah mempelajari Islam secara mendalam terlebih dahulu, sehingga ketika mereka belajar di universitas-universitas Barat yang membuka Islamic Studies tidak ‘tersesat jalan’. Harus diingat bahwa sejarah tradisi keilmuwan di Timur dan di Barat berbeda.
Banyak pula sarjana muslim yang menempuh jalan semacam ini. Sebut saja, Dr. Muhammad Al-Bahy dari Mesir yang banyak mengkritik hasil kajian para orientalis, Dr. Musthafa As-Siba’i, Prof. Azami, dan sebagainya. (Catatan: Dr. As-Siba’i bertemu langsung berdialog dengan para orentalis ketika berkunjung ke barat dan membantah buku-buku yang ditulis mereka yang banyak kesalahan). Bahwa banyak karya mereka yang mengaburkan Islam dan kebudayaannya. Juga, seperti Prof. M Mustafa A’zami dari India yang mengkritik tesis Joseph Schack tentang hukum Islam (baca disertasinya tentang kajian Hadits), dan ia juga menulis tentang sejarah teks Al-Qur’an dan membandingkannya dengan Taurat dan Injil. Hal itu ia lakukan untuk membuktikan bahwa Al-Quran yang umat Islam baca saat ini tidak mengalami perubahan, dan riwayatnya bersambung hingga kepada nabi Muhammad saw. Banyak sarjana muslim lainnya menghasilkan kajian ilmiah yang kritis terhadap hasil tulisan para orientalis atau islamolog Barat. Untuk melindungi, bahkan Prof. Anderson dari Universitas London dari Inggris melarang mahasiswanya mengajukan kritik terhadap buku Schackt, dengan mengatakan:”Bila anda ingin meraih gelar doktor, jangan sekali-kali anda mengkritik Schacht, karena pihak universitas tidak akan mengizinkan hal itu”. (Ali Mustafa Yaqub, 2001, h. 53)
Memang ada yang mengatakan bahwa belajar ke Barat bukan untuk mempelajari Islam, namun hanya mengambil metodologinya saja. Sebab metodologi keilmuan mereka cukup ‘canggih’. Walaupun hal ini tentu masih dapat dipersoalkan oleh sarjana muslim tentang tingkat kecanggihannya, antara metodologi keilmuan Barat dan Islam. Sebagai contoh, metodologi Hadits dalam keilmuan Islam sudah sangat tua dan solid serta canggih, dan belum ada bandingnya dengan metodologi modern manapun. (Subhi Shaleh)
Padahal kalau kita cermati, dari berbagai karya sarjana muslim kritis, para orientalis itu sendiri banyak merujuk kepada karya-karya klasik Islam dan mereka banyak yang salah memahami Islam. Atau mereka sengaja membelokan informasi mengenai Islam untuk kepentingan misi mereka, seperti dibuktikan Prof. Ramadhan Al-Buti terhadap karya Gibb.
Memang tidak semua orientalis membawa misi terselubung, ada pula dari mereka yang meneliti Islam semata-mata keilmuan, namun jumlahnya sedikit. Mengenai polemik plus dan minus belajar Islam ke kawasan Arab dan ke Barat dapat dibaca dalam jurnal Ulumul Qur’an.[7]
Catatan Akhir
Islamic Studies pada awalnya banyak didirikan di Barat oleh para orientalis yang banyak mengkaji keislaman, yang kaitannya juga dengan penjajahan yang mereka lakukan. Dalam meneliti mereka menggunakan modus tertentu. (Baca Akbar S Ahmed, Antropologi…) Namun, dalam perkembangannya kemudian banyak pula sarjana muslim terkemuka yang mengisi dan menjadi pengajar di institusi-institusi Barat. Kebanyakan mereka yang telah pergi dari negerinya, sebut saja Sayyed Hossein Nasr, Ismail Raji Al-Faruqi, Akbar S. Ahmed dan banyak lagi yang lainnya.
Sebagai institusi tempat di mana para orientalis mengajar, tentu prasangka dan bias yang telah terbentuk dalam pikiran mereka akan ditularkan pula pada para muridnya. Hanya bagi murid yang kritislah yang mampu meng-counter tesis para orientalis itu, seperti yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Al-Bahy dan MM. A’zami dengan brilian.
Melihat pengalaman para pendahulu sarjana muslim lebih baik jika belajar Islam dahulu di Al-Azhar atau Ummul Qura, atau pusat studi Islam di negara Islam sebagai ‘bekal’, sebelum mereka belajar kepada para orientalis di Barat. Hal itu berkaca pada para kritikus Muslim, yang banyak membongkar hasil studi para orientalis. Mengingat sejarah tradisi keilmuwan Islam dan Barat berbeda. Wallahu a’lam bissawab. a
luay
Catatan:
Oleh karena itu hati-hatilah dari mana dan kepada siapa kita belajar! Sebab ilmu tidaklah netral. Ia membawa ideologi perintisnya.
dgn dmikian marilah kita sama2 membela dan mempertahankan tsaqafah islamiyah kita sellu agr tidak dinodai dan oleh merka, degn mmanfaatkan waktu kita hanya untuk agama kita, krn agama kita sdah lebih dari sempurna dan lengkap.
ayo maju terus muslim di mana saja antum berada ,,, al qur’an dan sunnah rasulullah yang ada pada kita sebagai pegangan dan panduan hidup kita… kita juga harus meniru org yang jeli dalam berpikir sprt pada masa skrg ini doktor Muhammad Al bahiy, prof.Harun Yahya, prof. mustafa al a’azami dan lainnya,,
mudah2an indonesia juga bisa mnghasilkn org2 yang sperti mreka.. AAmiin